Siapakah pemberontak di Kerajaan Demak yang akhirnya dikalahkan oleh Kerajaan Pajang Jaka Tingkir?

Masjid Agung Demak. (Wikimedia Commons).

Pada 1546, Demak menghadapi krisis. Kematian Sultan Tranggana menjadi mula permasalahan muncul di Jipang dan Pajang, dua wilayah di Jawa Tengah yang sama-sama menuntut hak peninggalan Demak. Aria Panangsang, keponakan Sultan Tranggana, yang memerintah Jipang berusaha menguasai salah satu kerajaan Islam terbesar di Jawa tersebut.

Namun di tengah upaya itu,Jaka Tingkir (Raja Pajang) muncul. Ia berusaha keras menghalangi upaya Sultan Trenggana. Konflik mulai meluas di antara Jipang dan Pajang. Melibatkan rakyat di kedua wilayah. Jaka Tingkir keluar sebagai pemenang. Kharisma dan kesaktiannya diakui mampu mengembalikan kejayaan Demak. Siapa sebenarnya Jaka Tingkir?

Pemuda Tingkir

Menurut J.J. Meinsma dalam Babad Tanah Djawi: Javaanse Rijskroniek, Jaka Tingkir lahir di Pengging, sebuah negeri merdeka di Jawa Tengah yang penuh rahasia. Wilayah itu dahulu berada di bawah kuasa Kebo Kenanga, alias Andayaningrat, ayah Jaka Tingkir. “Karena ia lahir sewaktu ada pertunjukan wayang beber (juga dinamakan wayang krebet) maka ia pun dinamakan Mas Krebet,” tulis Meinsma.

Baca juga: Dua Wali dalam Konflik Demak

Jaka Tingkir harus hidup dalam pelarian setelah ayahnya terlibat dalam upaya pemberontakan atas Demak. Andayaningrat dikisahkan tewas di tangan Sunan Kudus. Tidak lama, ibunya pun meninggal. Jaka Tingkir menjadi yatim-piatu di usia yang cukup muda. Oleh keluarganya ia dibawa ke desa Tingkir dan diadopsi oleh seorang janda kaya, sahabat ayahnya.

“Karena itulah ia diberi nama Jaka Tingkir, pemuda dari Tingkir, sebagaimana yang dikenal dan dicintai di mana-mana di daerah raja-raja Jawa Tengah,” tulis H.J. De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati.

Ketika remaja, Jaka Tingkir belajar pada Kiai Ageng Sela. Babad Tanah Jawi menyebut gurunya itu sakti dan begitu dihormati, sekaligus ditakuti oleh masyarakat. Jaka Tingkir disebut menerima kesaktian dari gurunya itu. Keduanya sangat dekat. Kiai Ageng Sela sampai memberi perhatian yang amat besar kepada muridnya itu.

Selain kepada Kiai Ageng Sela, Jaka Tingkir juga menerima pelajaran dari Sunan Kalijaga. Salah satu Wali penyebar Islam di tanah Jawa itu memberi ajaran agama dan kehidupan kepada Jaka Tingkir. Dia jugalah yang menyarankan kepada Tingkir untuk bekerja di Demak. Ia menerima saran itu dan mendaftar sebagai pengawal pribadi raja.

Baca juga: Benarkah Kesultanan Demak Bagian dari Turki Usmani?

“Keberhasilannya melompati kolam masjid dengan lompatan ke belakang –tanpa sengaja karena sekonyong-konyong ia harus menghindari Sultan dan para pengiringnya– memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai tamtama, dan ia pun dijadikan kepala tamtama,” tulis de Graaf sebagaimana dituturkan dalam Babad Tanah Jawi.

Jaka Tingkir sempat diusir dari Demak setelah memperlihatkan kesaktiannya di depan penguasa Demak. Bermaksud menguji calon pengawal baru yang memiliki ilmu kebal, Jaka Tingkir justru membunuhnya. Sebuah tusuk konde menancap tepat di jantung si calon pengawal. Kesaktian Jaka Tingkir terbukti lebih hebat, meski berujung pengusiran.

Merasa putus asa, Jaka Tingkir memilih kembali ke desanya. Ia menghabiskan waktu dengan bertapa dan berguru kepada Kiai Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan Kiai Buyut dari Banyubiru. Jaka Tingkir mendapat lebih besar kesaktian. Satu waktu, Demak dilanda kekacauan. Seekor kerbau besar mengamuk. Tidak ada seorang pun pengawal mampu menghentikannya. Mendengar kabar itu, Jaka Tingkir segera pergi ke Demak. Dengan kesaktiannya, kerbau itu dengan cepat dihentikan. Ia mendapatkan kembali kedudukan sebagai kepala pengawal raja.

Baca juga: Legenda Kota Suci Demak

“Beberapa waktu kemudian, ia kawin dengan putri ke-5 raja (Trenggana), dan menjadi bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bau. Tiap tahun ia harus menghadap ke Demak. Negerinya berkembang dengan baik sekali dan di sanalah dibangunnya sebuah istana,” ungkap de Graaf.

Menguasai Takhta Demak

Sebagai menantu Sultan Tranggana, Jaka Tingkir jelas tidak memiliki hak apapun atas Demak. Tetapi tidak lama setelah pemakaman Sultan Tranggana, Jaka Tingkir mengumumkan kekuasaannya di Demak. Pengangkatan mendadak Jaka Tingkir itu dilakukan berdasarkan pilihan rakyat Demak. Ia lalu memerintahkan agar pemerintahan Demak dipindahkan ke Pajang. Seluruh benda pusaka di Demak juga tak luput dari perpindahan tersebut.

Sebagai pewaris sah Demak, Sunan Prawata, seharusnya menggantikan kedudukan Sultan Trenggana. Tetapi ia diceritakan tidak ingin naik takhta, dan secara sukarela menjadi Priayi Mukmin atau Susuhunan di wilayah Prawata, sebuah pasanggarahan yang digunakan Raja Demak selama musim hujan. Hal itulah yang kemudian mempermudah Jaka Tingkir untuk mengambil alih kekuasaan.

Baca juga: Mata-Mata Pembunuh Sultan Demak

Berdasar penelitiannya, JJ Meinsma mengatakan kalau Jaka Tingkir dan penguasa Pajang begitu berambisi menguasai Demak. Mereka segera mengamankan takhta atas pemilik sebagian besar wilayah Jawa Tengah tersebut. Ia bahkan melakukan berbagai tindakan untuk memastikan kedudukannya tetapi baik. Sampai tidak ada wilayah yang berani mengusik raja Pajang karena takut akan kesaktiannya.

“Semua negara bawahan menyerah. Yang mengadakan perlawanan dikalahkan. Tidak ada seorang pun yang berani melawan, karena takut akan kesaktian adipati dari Pajang. Hanya adipati dari Jipang, Pangeran Aria Panangsang, yang tidak mau menyerah,” tulis Meinsma.

Pada perkembangan selanjutnya, setelah melalui persaingan kekuasaan yang cukup panjang, Aria Panangsang berhasil menduduki takhta Demak. Ia memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke Jipang.

Jakarta -

Kerajaan Demak adalah kerajaan tertua di Pulau Jawa dan termasyur dalam sejarah kerajaan Islam Nusantara. Dalam perjalanan politik kerajaan, ibu kota kesultanan pernah dipindahkan dari Demak ke Pajang.

Kerajaan Islam berbasis maritim ini mewariskan sebuah kerajaan yang terletak di perbatasan Desa Pajang, Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Kerajaan tersebut dikenal dengan Kerajaan Pajang.

Sejarah Kerajaan Demak

Kerajaan Demak berdiri pada tahun 1478 di bawah kekuasaan Raden Patah. Raden Patah yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah berusaha mengislamkan masyarakat Jawa yang mayoritas saat itu beragama Hindu-Buddha.

Dikutip dari buku Sejarah Indonesia Periode Islam oleh Ricu Sidiq dkk, Raden Patah sebenarnya adalah Pangeran Jimbun, putra Brawijaya V yang merupakan raja terakhir Kerajaan Majapahit. Pada akhir abad ke-15 Majapahit mengalami kemunduran. Hal tersebut membuka peluang bagi Kerajaan Demak untuk berkembang menjadi pusat perdagangan.

Proses Islamisasi di wilayah Demak menuai keberhasilan berkat bantuan para ulama Wali Songo. Hingga akhirnya, Demak menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur Nusantara.

Daerah kekuasaan Raden Patah pada saat itu meliputi wilayah Demak, Semarang, Tegal, Jepara, dan sekitarnya. Ia cukup berpengaruh di wilayah Palembang dan Jambi di Sumatera, serta beberapa wilayah di Kalimantan. Raden Patah memperkuat armada lautnya dan menjadikan Demak sebagai negara maritim yang kuat.

Kekuatan tersebut mendorong Kerajaan Demak untuk menyerang Portugis yang saat itu menduduki Malaka. Namun strategi yang dirancang Raden Patah mengalami kegagalan. Perjuangan kemudian dilanjutkan oleh putranya, Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor.

Adipati Unus hanya berkuasa selama tiga tahun. Dia mati muda dan dikenal sebagai panglima perang pemberani. Tahta kemudian digantikan oleh adiknya, Sultan Trenggono. Di bawah kekuasaan Sultan Trenggono inilah Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaan.

Sultan Trenggono gugur dalam penyerangan ke Pasuruan pada tahun 1546. Sepeninggalannya, Kerajaan Demak mengalami kemunduran. Konflik perebutan kekuasaan pun dimulai. Putra Sulung Sultan Trenggono, Sunan Prawoto, berusaha merebut hak Pangeran Sekar Seda Lepen, saudara Sultan Trenggono yang seharusnya menjadi raja.

Sunan Prawoto dikalahkan oleh Arya Penangsang, yang tak lain adalah putra Pangeran Sekar Seda Lepen. Namun, Arya Penangsang terlibat perkelahian dengan Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggono. Akhirnya, Arya Penangsang terbunuh dalam peperangan perebutan tahta tersebut.

Pemindahan Pusat Kerajaan Demak ke Pajang

Kerajaan kemudian jatuh ke tangan Jaka Tingkir yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya. Dikutip dari buku Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa oleh Alik Al Adhim, keberhasilan Sultan Hadiwijaya dalam mengalahkan Arya Penangsang didukung oleh Ratu Kalinyamat dan para pengikutnya.

Di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya, pusat kerajaan pun turut dipindahkan. Pemindahan ibu kota kesultanan dari Demak ke Pajang dilakukan oleh Sultan Hadiwijaya pada tahun 1568. Kerajaan Pajang awalnya hanya memiliki sebagian wilayah di Jawa Tengah. Sultan Hadiwijaya kemudian melakukan perluasan hingga Madiun, Blora, dan Kediri.

Simak Video "Megahnya Arsitrktur Istana Siak Bergaya Eropa dan Timur Tengah, Riau"


[Gambas:Video 20detik]
(kri/nwy)

KOMPAS.com - Kerajaan Pajang adalah salah satu kerajaan Islam di Pulau Jawa yang terletak di daerah perbatasan Desa Pajang, Kota Surakarta, dan Desa Makamhaji, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.

Kerajaan Pajang berdiri pada tahun 1568 dan runtuh pada 1587.

Pendiri Kerajaan Pajang adalah Sultan Hadiwijaya atau dikenal juga sebagai Jaka Tingkir.

Sultan Hadiwijaya pula yang berhasil mengantarkan Pajang ke puncak kejayaan.

Pajang merupakan kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa yang letaknya berada di pedalaman.

Karena itu, kerajaan ini bersifat agraris dan mengandalkan pertanian sebagai tulang punggung perekonomian.

Setelah 21 tahun berdiri, Kesultanan Pajang mengalami kemunduran dan akhirnya dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram.

Baca juga: Sejarah Berdirinya Kerajaan Pajang

Berdirinya Kerajaan Pajang

Babad Banten menyebutkan bahwa keturunan Sultan Pajang berasal dari Pengging, kerajaan kuno di Boyolali yang dipimpin oleh Andayaningrat.

Andayaningrat, yang juga memakai nama Jaka Sanagara atau Jaka Bodo, konon masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Majapahit.

Meski Majapahit ditaklukkan orang-orang Islam pada 1625, Pengging masih berdaulat hingga di bawah pemerintahan Kebo Kenanga, yang bergelar Ki Angeng Pengging.

Ketika Ki Angeng Pengging wafat karena dibunuh oleh Sunan Kudus, ia meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet, yang diangkat anak oleh Nyi Ageng Tingkir.

Mas Karebet atau lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir justru memutuskan untuk mengabdi pada Kesultanan Demak.

Kesultanan Demak kemudian mengutus Jaka Tingkir mendirikan Kerajaan Pajang sekaligus menjadi raja pertamanya dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Saat Kesultanan Demak mengalami kemunduran dan diserang Arya Penangsang, Sultan Hadiwijaya maju untuk menghadapinya.

Hadiwijaya berhasil membunuh Arya Penangsang dan menjadi pewaris takhta Kesultanan Demak dan memindahkan ibu kotanya ke Pajang.

Dengan begitu, Kerajaan Pajang resmi berdiri pada 1568 M.

Baca juga: Raja-Raja Kerajaan Pajang

Raja-raja Kerajaan Pajang

Selama 21 berdiri, berikut ini tiga raja yang pernah bertakhta di Kerajaan Pajang.

  1. Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya (1568-1583 M)
  2. Arya Pangiri atau Ngawantipura (1583-1586 M)
  3. Pangeran Benawa atau Prabuwijaya (1586-1587 M)

Masa kejayaan Kerajaan Pajang

Sebagai pendiri dan raja pertama Kerajaan Pajang, Sultan Hadiwijaya berkuasa selama 15 tahun.

Selama memerintah, ia berhasil mengantarkan Pajang mencapai puncak kejayaan.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Pajang mencapai Madiun, Blora, dan Kediri.

Selain itu, Pajang adalah kerajaan bersifat agraris yang mengalami kemajuan pesat di bidang pertanian.

Hal ini didukung oleh letaknya yang berada di dataran rendah yang mempertemukan Sungai Pepe dan Dengkeng, sehingga menjadi lumbung beras utama di Pulau Jawa.

Baca juga: Raja-Raja Kerajaan Mataram Islam

Kemunduran Kerajaan Pajang

Pada 1582 M, meletus perang Pajang dan Mataram. Sepulang dari pertempuran, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia.

Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, Pajang mulai mengalami kemunduran karena terjadi perebutan takhta.

Putra Sultan Hadiwijaya, Pangeran Benawa, dan menantunya yang bernama Arya Pangiri saling bersaing untuk menjadi raja.

Arya Pangiri berhasil naik takhta pada 1583, sedangkan Pangeran Benawa tersingkir ke Jipang.

Namun selama pemerintahannya, Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram, sementara kehidupan rakyatnya terabaikan.

Hal itu membuat Pangeran Benawa merasa prihatin dan melancarkan serangan pada 1586, dibantu oleh Sutawijaya dari Mataram.

Dalam serangan itu, Arya Pangiri kalah dan dipulangkan ke Demak.

Sementara Pangeran Benawa dinobatkan sebagai raja Kerajaan Pajang ketiga.

Baca juga: Kerajaan Mataram Kuno: Letak, Masa Kejayaan, dan Peninggalan

Pemerintahan Pangeran Benawa hanya berlangsung singkat karena ia lebih memilih menjadi penyebar agama Islam.

Pada 1587, kekuasaannya pun berakhir tanpa meninggalkan putra mahkota.

Atas kebijakan Sutawijaya, Pajang kemudian dijadikan negeri bawahan Mataram.

Riwayat Kerajaan Pajang benar-benar berakhir pada 1618 saat dihancurkan oleh pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Agung.

Peninggalan Kerajaan Pajang

Peninggalan Kerajaan Pajang tidak banyak ditemukan, hanya Masjid Laweyan yang konon didirikan oleh Sultan Hadiwijaya.

Masjid yang telah beberapa kali mengalami pemugaran ini masih terjaga dan digunakan untuk beribadah hingga kini.

Selain itu, di daerah Pajang hanya ditemui reruntuhan yang dipercaya sebagai petilasan keraton Pajang.

Referensi:

  • Amarseto, Binuko. (2017). Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Relasi Inti Media.

Siapakah pemberontak di Kerajaan Demak yang akhirnya dikalahkan oleh Kerajaan Pajang Jaka Tingkir?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.