Para pemuda indonesia menyatukan diri dengan melaksanakan kongres pemuda 1 dan 2

Para pemuda indonesia menyatukan diri dengan melaksanakan kongres pemuda 1 dan 2

Gagasan peleburan (Fusi) semakin lama semakin dirasakan perlunya oleh pemimpin-pemimpin pemuda di Indonesia, bahkan secara mendesak.

Suara yang ditiupkan oleh Pemuda Indonesia dan PPPI, serta PI di negeri Belanda semakin tertanam dalam sanubari pemuda-pemuda Indonesia.

Maka pada tanggal 30 April 1926 di Jakarta diselenggarakan “Kerapatan Besar Pemuda”, yang kemudian terkenal dengan nama “Kongres Pemuda I”. Kongres Pemuda I ini dihadiri oleh wakil organisasi pemuda Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studerenden Minahasaers, kemudian Jong Bataks Bond dan Pemuda Kaum Theosofi juga ikut dalam kerapatan besar.

Pengundang dari Kongres Pemuda I ini ialah suatu panitia yang terdiri dari pengurus organisasi pemuda, dan kongres ini dipimpin oleh Mohammad Tabrani. Tujuan Kongres Pemuda I ialah mencari jalan membina perkumpulan pemuda yang tunggal, yaitu membentuk sebuah badan sentral dengan maksud :

  1. Memajukan persatuan dan kebangsaan.
  2. Menguatkan hubungan antara sesama perkumpulan-perkumpulan pemuda kebangsaan.

Selama kongres itu diucapkan pidato-pidato diantaranya berjudul “Indonesia Bersatu” oleh seorang pemuda dari PPPI. Para pemuda harus memperkuat rasa persatuan, yang harus tumbuh mengatasi kepentingan golongan, agama, dan daerah. Juga dibentangkan sejarah pergerakan Indonesia dan ditegaskan bagian yang harus diambil oleh pemuda untuk meresapkan jiwa dan cita-cita Indonesia Raya. Pemuda-pemuda harus dapat menjauhkan diri dari kepentingan golongan dan kepentingan diri sendiri. Dalam pertemuan itu juga dibicarakan kedudukan kaum wanita dalam pergaulan hidup islam, dan juga dibicarakan masalah poligami.

Pemuda Moh. Yamin membicarakan tentang kemungkinan untuk bahasa dan kesusasteraan Indonesia dikemudian hari. Yamin juga menginginkan agar bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa bangsa Indonesia. Dalam membawakan pidatonya itu Yamin masih terpaksa menggunakan bahasa Belanda, karena waktu itu banyak pemuda kita yang belum mahir dan menguasai bahasa Melayu.

Terhadap pidato Yamin itu Prof. Dr. Hoykas pernah memberi komentar bahwa pemuda dari Sumatra ini (Moh. Yamin) akan menjadi seorang pelopor dari usaha pemekaran bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan pergaulan di Indonesia, dan bahasa Belanda akan terdesak karenanya. Dalam kongres itu juga dibicarakan tentang kewajiban agama dalam pergerakan kebangsaan, yang antara lain berisi anjuran akan bersikap toleran terhadap agama lain. Tujuan kongres mengadakan fusi belum mendatangkan hasil, tetapi dapat dikatakan bahwa kongres ini memang menambah cita-cita bersatu. Kongres ini bukanlah suatu yang sia-sia, yang hilang tanpa berkas, kongres pemuda I ini dapat dikatakan suatu kongres orientasi.

Hasil utama yang dicapai Kongres Pemuda I ialah mengakui dan menerima cita-cita persatuan Indonesia, walaupun masih samara-samar dan belum jelas. Pemuda-pemuda mengakui meskipun terdapat perbedaan sosial dan kesukuan, tetapi terdapat pula rasa persatuan nasional (on-danks squciale en etnologische tegenstellingen, ont sond een gevoel van nationale saamhorigheid) yang terjemahannya kira-kira begini (Bola-bola etnologi sosial tentang perasaan nasional yang kompak).

Mengapa Kongres Pemuda I itu belum berhasil, sebab-sebabnya mungkin sekali terletak pada hal-hal sebagai berikut :

  1. Belum tiba waktunya organisasi daerah berpadu menjadi suatu organisasi yang tunggal, dan masih terdapat keraguan pada sementara organisasi pemuda akan kegunaan persatuan.
  2. Masih terdapat kesalah pahaman dan kurang pengertian tentang perlunya fusi diantara organisasi pemuda itu.
  3. adanya pandangan yang berbeda mengenai persatuan nasional dari kaum theosofi (Dienaren Van Indie) yang terasa menjalankan peranannya waktu itu.

Keraguan, kesalah pahaman dan kurang pengertian antara kita sendiri ini juga merupakan akibat dari politik pemerintah Hindia Belanda yang selama ratusan tahun menjalankan disini politik pecah belah (Devide et impera).

Bagi Belanda waktu itu tentu lebih mudah menghadapi gerakan nasionalisme lokal dari pada menghadapi gerakan kebangsaan Indonesia yang bulat. Cara yang dipakai oleh pemerintah Hindia Belanda, misalnya dengan meniupkan adanya bahaya “penjajahan” dari suatu suku atas suku yang lain.

Politik pemerintah Hindia belanda ini memang suatu politik yang harus dijalankan oleh suatu bangsa yang jauh letak tinggalnya, dan kecil jumlah penduduknya untuk menguasai bangsa besar seperti Indonesia.

Kaum theosofie disini mempunyai hubungan yang erat dengan kaum theosofie di negeri Belanda dibawah pimpinan Ir. AJH Van Leeuwen (Ia meninggal dunia pada tanggal 19 Februari 1972 di Amsterdam).

Dalam pada itu untuk persatuan terus dijalankan sesudah Kongres Pemuda  I, nyata untuk mencapai persatuan memang dibutuhkan kesabaran dan ketekunan.

  1. Pada tanggal 15 Agustus 1926 diadakan lagi pertemuan antara Jong Sumatranen Bond, Jong Java, Jong Minahasa, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Sekar Rukun, Vereninging voor AmbonescheStuderenden, dan komite Kongres Pemuda I, pertemuan itu diadakan di gedung bioskop “Oost Java” di Jakarta. Acara rapat ialah membahas usul Jong Java untuk mengadakan federasi antara berbagai organisasi pemuda. Dalam anggaran dasar Jong Java pada tahun 1920 masih dapat dibaca, bahwa maksud Jong Java ialah mendidik para anggota supaya ia kelak dapat memberikan tenaganya untuk pembangunan Jawa Raya, yaitu yang meliputi penduduk asli yang ada di pulau-pulau Jawa, Madura, dan Bali agar terjamin kemajuan hidupnya baik jasmani maupun rohani.Sedangkan dalam tahun 1926 dibawah pengaruh PI sudah terjadi perubahan besar dalam pengertian kebangsaan seperti yang tertera dalam anggaran dasarnya sebagai berikut : Perkumpulan bermaksud akan menghidupkan rasa persatuan didalam kalbu para anggotanya dengan seluruh bangsa Indonesia dan sambil kerjasama sekalian perkumpulan pemuda. Hendak meluaskan dan mempererat rasa persatuan yang bercorak ke Indonesia. Nyatalah bahwa  antara tahun 1920 hingga tahun 1926 terjadi proses yang besar, mengenai pengertian dan jiwa nasionalisme Indonesia dikalangan pemuda Jong Java. Dikalangan pemuda lebih-lebih perkumpulan yang bersifat kedaerahan, sebenarnya telah mempunyai keyakinan bahwa persatuan secara unit daerah hanya bersifat sementara. Dikalangan Jong Sumatranen Bond sendiri, sejak tahun 1917 sudah ada hasrat untuk menyatukan diri dalam pengertian nasional, serta membina perasaan “Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa”. Bukankah tokoh Jong Sumatranen Bond seperti Moh. Hatta, telah menjadi tokoh “Perhimpunan Indonesia” (PI), di negeri Belanda, demikian pula tokoh-tokoh organisasi daerah lainnya, misalnya J. Leimena dari Jong Ambon.
  2. Pada tanggal 15 Agustus rapat belum mendapat hasil positif, kemudian pada tanggal 20 februari 1927 sekali lagi di Jakarta diadakan pertemuan antara Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, Jong Minahasa, dan PPPI. Rapat ini sudah dapat lebih maju selangkah lagi karena sudah membahas usul fusi dari Jong Java. Pertemuan ini walaupun belum mencapai hasil final, tetapi telah meletakkan dasar yang kokoh, karena makin mendekatkan persatuan. Setelah pertemuan ini pemuda-pemuda dari Bandung merasa tidak sabar lagi, dan pada tanggal 20 Februari 1927 didorong oleh Mr. Sartono dan Mr. Sunario, mereka mendirikan sendiri Jong Indonesia (Pemuda Indonesia). Pemuda Indonesia mendirikan cabangnya di Yogyakarta, Solo, dan Jakarta. Bersama-sama PPPI dan PI di negeri Belanda, maka Pemuda Indonesia terus mendorong organisasi pemuda lainnya untuk mengadakan persatuan yang nyata. Persatuan itu harus diwujudkan dengan tegas dalam bentuk fusi.
  3. Kemudian pada tanggal 23 April 1927 diadakan lagi pertemuan anggota pengurus organisasi-organisasi Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Ambond, Jong Minahasa, jong Java, Pemuda Indonesia dan PPPI.

Tokoh-tokoh pemuda ini sekali lagi membicarakan materi rapat tanggal 20 februari 1927 yang lalu. Rapat ini kemudian berhasil merumuskan beberapa keputusan penting.

  1. Indonesia merdeka harus menjadi ideal segala anak Indonesia.
  2. Segala perserikatan pemuda harus berdaya upaya menuju mempersatukan diri dalam satu perkumpulan Makin lama tembok kedaerahan dan kesukuan yang mengungkung dan sempit itu semakin hilang, diambrukkan oleh satu arena besar dengan jiwa Indonesia Raya, yang semakin hari semakin kuat dan cemerlang.

Sumber : Buku Peranan Kramat Raya

 Hari ini (Senin 28/10/2019), 91 tahun lalu, tepatnya 28 Oktober 1928, berlangsung Kongres Pemuda. 28 Oktober menjadi hari lahirnya Sumpah Pemuda. Kongres ini menjadi bukti bahwa perjuangan pemuda dalam mengupayakan kemerdekaan telah berlangsung sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Momen-momen awal yang menandai bergeraknya kaum pemuda adalah dengan munculnya berbagai organisasi yang dibentuk oleh kalangan muda.  Salah satunya adalah Perhimpunan Indonesia yang dibentuk pada tahun 1908.

Organisasi ini masih sebatas perkumpulan mahasiswa Hindia yang belajar di Belanda. Setelah para mahasiswa kembali ke Tanah Air, mereka turut berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia. Para pemuda ini mulai menyadari akan tujuan bersama dan mengurangi perpecahan karena perbedaan suku bangsa dan agama. Beberapa tokoh besar diketahui pernah menjadi anggota, seperti Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) pada 1913. Kemudian, organisasi pemuda lain yang lahir adalah Tri Koro Darmo. Perkumpulan ini didirikan oleh seseorang bernama Satiman yang menjadi motor pergerakan pemuda.

Organisasi ini merupakan wadah awal perhimpunan pemuda dan perkumpulan pelajar yang berdiri pada 7 Maret 1915. Sesuai namanya, organisasi ini memiliki tiga tujuan yakni sakti, bukti, dan bakti. Mereka yang tergabung dalam Tri Koro Darmo menginginkan sebuah perubahan dari cara pandang pemuda dan kondisi yang terjadi di Nusantara saat itu. Akan tetapi, karena adanya desakan dari berbagai pihak, nama organisasi akhirnya berubah menjadi Jong Java. Di Jong Java, seluruh pemuda baik dari Jawa, Madura, Bali, hingga Lombok dapat bergabung dengan gerakan ini.

Dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda (1974) yang diterbitkan oleh Museum Sumpah Pemuda, dituliskan, setelah Jong Java bermunculan banyak organisasi pemuda. Organisasi-organisasi itu masih bersifat kesukuan, seperti Jong Batak, Jong Minahasa, dan Jong Celebes. Ada pula Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islaminten Bon, Pemuda Kaum Betawi, Pemuda Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan masih banyak lainnya.

Kongres Pemuda I

Adapun peristiwa penting lain dalam sejarah pergerakan pemuda adalah kala mereka menyatukan tekadnya dalam sebuah momentum yang hingga kini dikenal dengan nama Kongres Pemuda I pada 30 April hingga 2 Mei 1926. Saat itu, para kaum muda mulai menyadari bahwa perjuangan mereka membutuhkan persatuan dari semua unsur. Kongres ini melahirkan gagasan penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

Salah satu tokoh yang mengemukakan gagasan tersebut adalah Muhammad Yamin yang kala itu aktif dan memimpin organisasi Jong Sumatranen Bond. Melalui pidatonya, Kemungkinan Bahasa-bahasa dan Kesusastraan di Masa Mendatang, Yamin “menyodorkan” bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa bahasa Melayu lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan dan bahasa persatuan yang ditentukan untuk orang Indonesia. Dan kebudayaan Indonesia masa depan akan mendapatkan pengungkapannya dalam bahasa itu,” demikian pidato Yamin, seperti dikutip dari buku Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru (2003).

Namun, ceramah-ceramah yang diberikan dalam kongres masih belum membuahkan hasil. Ini karena masih banyak ego kedaerahan dan kesukuan yang kental dari setiap peserta.

Kongres Pemuda II.

Para pemuda indonesia menyatukan diri dengan melaksanakan kongres pemuda 1 dan 2

 Menyadari hal ini, para pemuda kemudian mengadakan Kongres Pemuda II yang digelar pada 27 hingga 28 Oktober 1928. Kongres ini mulai menyatukan pemikiran para pemuda dari berbagai daerah untuk satu tujuan bersama yakni berjuang melawan penjajahan. Kongres yang berjalan selama dua hari tersebut akhirnya melahirkan sebuah deklarasi yang dikenang hingga saat ini. Tokoh yang kembali berjasa dalam merumuskan deklarasi tersebut adalah Muhammad Yamin.

Saat kongres tengah berlangsung, Yamin mulai menuliskan gagasan “Sumpah Pemuda” tersebut dalam suatu kertas. Kertas itu kemudian dia sodorkan kepada Soegondo Djojopoespito, yang saat itu menjabat Ketua Kongres. “Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya punya rumusan resolusi yang elegan),” kata Yamin kepada Soegondo, dikutip dari buku Mengenang Mahaputra Prof. Mr. H. Muhammad Yamin Pahlawan Nasional RI (2003).

Deklarasi bernama Sumpah Pemuda itu lahir setelah para peserta menyatakan sebuah kesepakatan bersama akan pentingnya persatuan pemuda. Adapun istilah Sumpah Pemuda sendiri tidak muncul dalam putusan kongres tersebut, melainkan diberikan setelahnya, berikut isinya:

Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.

Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia

Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

(Penulis : Stevi K.S Mononimbar, S.Pd.,M.Pd)