Cara menurunkan kasus kekerasan terhadap anak

Cara menurunkan kasus kekerasan terhadap anak
Ilustrasi bullying. acasacuca.com.br

TEMPO.CO, Jakarta - Kekerasan terhadap anak bukan saja dilakukan orang tua, tapi bisa juga dilakukan orang-orang yang ada di lingkungannya.

Untuk itu, Anda sebagai orang tua perlu mengupayakan agar kekerasan tersebut sebisa mungkin dicegah dan diatasi dengan cara berikut, seperti di lansir dari laman Washington Post.

1. Bantu Anak Melindungi Diri

Maraknya kejahatan fisik maupun seksual yang terjadi belakangan ini tentunya membuat Anda semakin khawatir dengan keselamatan anak. Inilah saatnya menjelaskan kepada anak bahwa tidak ada seorang pun yang boleh menyentuhnya dengan tidak wajar.

Berikan pemahaman dan ajarkan anak untuk menolak segala perbuatan yang tidak senonoh dengan segera meninggalkan di mana sentuhan terjadi. Ingatkan anak untuk tidak gampang mempercayai orang asing dan buat anak untuk selalu menceritakan jika terjadi sesuatu pada dirinya.


2. Pembekalan Ilmu Bela Diri

Pembekalan ilmu bela diri pun dapat menjadi salah satu solusi agar anak tidak menjadi korban kekerasan. Selain mengajarkan kepada anak mengenai disiplin dan membentuk mental juga jasmani yang kuat, bela diri dapat digunakan untuk membela diri sendiri dari ancaman-ancaman yang ada. Namun tetap harus diberikan pengarahan bahwa ilmu bela diri dipelajari bukan untuk melakukan kekerasan.


3. Maksimalkan Peran Sekolah

Sekolah harus memiliki fungsi kontrol sosial, yakni sekolah memiliki assessment (penilaian) terhadap perilaku anak. Sekolah juga harus menggagas aktivitas-aktivitas internal sekolah yang bersifat positif, memfasilitasi aktivitas orang tua siswa dan siswa minimal setahun sekali seperti yang diterapkan sekolah-sekolah di Jepang. Sekolah juga bisa membentuk petugas breaktime watch dari kalangan pengurus sekolah yang bertugas berkeliling dan memantau kegiatan siswa.


4. Pendidikan Budi Pekerti

Salah satu solusi untuk mencegah krisis moral yang melanda di kalangan generasi penerus adalah mengajarkan budi pekerti, baik di rumah maupun di sekolah. Seperti yang kita ketahui, pendidikan budi pekerti masih belum merata dan belum benar-benar menjadi mata pelajaran wajib di semua sekolah.


5. Laporkan kepada Pihak Berwajib

Hal terakhir yang harus dilakukan bila terjadi kekerasan fisik, psikis, ataupun seksual adalah segera melaporkan kepada pihak berwajib. Hal ini bertujuan agar segera diambil tindakan lebih lanjut terhadap tersangka dan mengurangi angka kejahatan yang sama terjadi. Adapun korban kekerasan harus segera mendapatkan bantuan ahli medis serta dukungan dari keluarga.

BISNIS.COM

Hingga saat ini kekerasan mengancam kelangsungan hidup anak. Kita semua ditantang untuk mengakhiri segalabentuk kekerasan kepada anak. Ketika anak terpapar dengan kekerasan, satu episode tumbuh kembang terganggu. Anak mengalami kerusakan psikis, fisik dan mental.

Yang memprihatinkan, pelaku kekerasan kepada anak dilakukan orang terdekat, seperti teman, guru, orang tua, paman, dan saudara. Lokasi kekerasan anak kebanyakan di rumah dan sekolah. Dengan demikian keluarga dan sekolah bukan menjadi tempat nyaman bagi tumbuh kembang anak.

Data Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia memperlihatkan tren kenaikan angka kekerasan pada anak. Tahun 2013 sebanyak 1.615 kasus, tahun 2014 sebanyak 1.234 kasus, 2015 terjadi 2.898 kasus kekerasan, 2016 sebanyak 1.000 kasus, tahun 2017 sebanyak 4.885 kasus, dan tahun 2018 sebanyak 3.849 kasus. Dikhawatirkan kekerasan akan terus meningkat lagi. Masalahnya fenomena kekerasan pada anak seperti gunung es.

Yang memprihatinkan, masih ada upaya menyembunyikan kasus-kasus kekerasan di tengah masyarakat. Kekerasan pada anak sering dipandang wilayah domestik yang tidak perlu diketahui orang lain. Maka pelaporan kasus-kasus kekerasan pada anak menjadi sulit karena pelaku orang terdekat korban sering tidak kooperatif. Bahkan dalam budaya tertentu melakukan kekerasan dalam rangka pendidikan dan pendisiplinan anak dianggap benar dan wajar.

Kekerasan disebabkan banyak faktor. Salah satunya ditunjang dengan masalah ekonomi. Keluarga yang terhimpit secara ekonomi cenderung lebih stres disbanding keluarga lainnya. Orang tua yang sibuk bekerja tidak memiliki banyak kesempatan berinteraksi dengan anak. Pengetahuan mengenai bagaimana mengasuh anak dengan benar tidak mereka miliki. Problem anak banyak kerap membawa ke situasi kompleks rumah tangga.

Di pihak lain, orang tua yang pernah menjadi korban kekerasan atau terpapar dalam kehidupan yang penuh stres seperti KDRT, kemiskinan, narkoba, gangguan kejiwaan pada masa kanak-kanak juga berpotensi melakukan kekerasan. Ini patut diwaspadai karena kekerasan yang secara tradisional turuntemurun dalam lingkup keluarga membawa dampak yang lebih buruk terhadap anak.

Sudah saatnya kekerasan pada anak dipandang bukan sebagai masalah personal atau domestik belaka. Kekerasan pada anak yang terjadi dalam kurun waktu yang lama, turun temurun bahkan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat untuk jangka waktu tertentu sangat merugikan masa depan anak. Anak-anak yang tinggal di lingkungan penuh kekerasan tidak tumbuh sebagai anak dengan sempurna.

Karena itu, kekerasan pada anak jangan lagi dipandang sebagai persoalan individu. Ini adalah masalah kronis sistemik yang membutuhkan pemecahan serius. Jika tindakan menyakiti bahkan melukai anak dilakukan secara terus-menerus dan jangka panjang tentu ada normal sosial dan hak anak dilanggar. Pemecahannya pun harus menggunakan pendekatan sistemik komunal yang melibatkan banyak orang.

Pertama, kekerasan pada anak terjadi karena tidak ada norma sosial yang melindungi anak. Kekerasan bahkan dianggap sebagai bagian dari pendidikan. Mau dipukuli wong anak sendiri. Di banyak tempat orang tua menggebuki anaknya sampai pingsan pun masyarakat tidak peduli. Kekerasan jalan terus karena di masyarakat memang tidak mempunyai pranata atau sistem perlindungan anak untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan itu.

Kedua, pola hirarki sosial yang merendahkan posisi anak. Hal ini berakar dari budaya mereka yang kecil, miskin, tidak berpengaruh, tidak berharga di masyarakat. Hubungan antara anak dan orang tua dibangun sedemikian rupa sehingga sangat timpang dan merugikan anak. Orang dewasa, senior dan mereka yang kuat harus selalu berkuasa dan menang. Mereka yang lebih dewasa dan di atas harus dipatuhi. Dalam pola hirarki semacam itu anak berada di bawah. Karena anak-anak ini lemah, mereka rentan menjadi sasaran pelampiasan kemarahan orang dewasa.

Ketiga, masih adanya ketimpangan sosial dalam masyarakat turut memberi kontribusi maraknya aksi-aksi kekerasan. Kekerasan pada anak banyak terjadi di keluarga yang berasal dari strata sosial ekonomi rendah. Kemiskinan sebagai struktur sosial yang menindas melahirkan kekerasan struktural. Karena masalah ekonomi, orang tua mengalami stress berkepanjangan dan tidak banyak waktu tersedia untuk anak. Komunikasi yang buruk utamanya di kalangan masyarakat bawah menyebabkan anak dan orang tua cenderung sensitif.

Karena itu, untuk mengakhiri kekerasan pada anak, kita memerlukan tindakan kolektif yang melibatkan banyak pihak dalam mengatasinya. Negara dituntut tanggung jawab politiknya menuntaskan masalah kemiskinan sebagai akar masalah kekerasan pada anak. Selama masyarakat miskin masih terpelihara maka praktik kekerasan pada anak tetap akan marak. Memberantas kemiskinan bagian penting meretas kekerasan kepada anak.

Selain itu, negara kita memiliki Undang-Undang No 23 Tahun 2002 yang direvisi menjadi UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, namun dalam praktiknya masih lemah. Kelemahan mendasar implementasi UU itu ialah lemahnya sosialisasi sehingga tidak ada rasa memiliki dalam masyarakat melaksanakan undang-undang itu. Negara memang sudah menyusun UU meski praktiknya tidak semua berhasil.

UU itu juga belum berhasil membangun sistem perlindungan anak yang dapat dilaksanakan sampai struktur terendah RT/RW. Padahal, selama tidak ada sistem perlindungan anak kekerasan pada anak mudah terjadi. Mestinya pendekatan terhadap kekerasan bukanlah proyek. Yang terjadi selama ini jika ada kasus semua ribut membuat pernyataan akan melakukan ini dan itu.

Kenyataan tidak ada gerakan apa-apa sampai muncul kasus kekerasan baru dan ribut lagi. Oleh karena itu, diperlukan proses penyadaran terus-menerus guna menyosialisasikan hak anak secara terus-menerus kepada semua elemen masyarakat. Negara tidak boleh membiarkan kekerasan pada anak terus terjadi. Para pengambil kebijakan harus lebih sungguh-sungguh dalam menelorkan kebijakan yang melindungi anak.

Pelanggaran negara dalam pemenuhan hak anak sama halnya dengan membiarkan kekerasan pada anak terus berlangsung. Apakah negara akan terus tinggal diam menyaksikan kekerasan pada anak terus terjadi? Tanggung jawab negara dituntut untuk mengakhiri kekerasan pada anak yang mengancam kelangsungan hidup mereka.

Di sinilah perlunya pemberdayaan masyarakat lebih ditingkatkan untuk membangun gerakan perlindungan anak. Upaya melindungi anak memerlukan kerja sama banyak orang. Maka, kepengurusan RT dan RW secara lebih konkret melengkapi pengurusnya dengan seksi perlindungan anak agar pencegahan dari kekerasan dapat dilakukan dari paling bawah. Jika ada warga mendengar, melihat ada orang tua atau orang dewasa lain melakukan kekerasan pada anak, segera dapat direspons. Jika pelaku tidak peduli dapat dilaporkan, apalagi kini mekanisme pelaporan sudah banyak tersedia.

Pada akhirnya keteladanan penting dilakukan. Jika kita berharap kekerasan musnah dari masyarakat, sikap saling meneladani perlu dilakukan. Pendidikan harus dimulai dengan tidak melakukan kekerasan. Pola orang dewasa, yang merasa serba benar dan tahu segala permasalahan tentang anak dan memperlakukan anak sekehendak orang dewasa, harus dihentikan. Jika anak adalah generasi penerus kita sebagai bangsa maka tindak kekerasan bukanlah cara mendidik yang tepat.

Paulus Mujiran, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang

Editor : Gora Kunjana ()

Baca berita lainnya di GOOGLE NEWS