PENERAPAN teori Ausubel dalam PEMBELAJARAN Matematika SD

Abstrak

Artikel ini mendeskripsikan tentang penerapan beberapa teori belajar dalam pembelajran matematika. Teori tersebut adalah teori Thorndike, Teori Bruner dan, teori Ausubel. Pemahaman guru tentang teori belajar merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan pembelajaran di sekolah. Seorang guru sangat perlu memperoleh wawasan tentang teori belajar agar dapat menerapkannya dalam pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas. Wawasan tersebut diharapkan menjadi acuan bagi guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran ,dewasa dan berwibawa dalam mengajar, memahami peserta didik, memahami bagaimana seharusnya proses pembelajaran berlangsung, serta menilai pelaksanaan pembelajarannya sendiri. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menambah referensi bagi guru dalam memahami teori-teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli dalam pendidikan.

Kata kunci: Teori Thorndike, Teori Bruner, Teori Ausubel.

Pendahuluan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003). Pendidikan memerlukan guru yang kompeten untuk mewujudkan suasana belajar dalam Undang-Undang tersebut. Guru kompeten seharusnya memiliki kriteria dalam memilih metode yang tepat dalam melaksanakan pembelajaran, mampu menyesuaikan metode pembelajaran dengan materi yang akan disajikan, memahami karakteristik peserta didik dan lain-lain. Kompetensi guru ini dapat diperoleh melalui pemahaman yang memadai tentang teori-teori pembelajaran.

Teori belajar ialah teori yang bercerita tentang kesiapan siswa untuk belajar sesuatu. Atau uraian tentang kesiapdidikan siswa untuk menerima sesuatu (Ruseffendi, 1990 15). Teori pembelajaran memiliki peran penting dalam menentukan bagaimana proses pembelajaran di kelas terjadi. Guru seharusnya menguasai sejumlah teori-teori belajar sebelum merancang perencanaan pelaksanaan pembelajaran. Penguasaan teori-teori pembelajaran dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban secara ilmiah perilaku mengajar guru di kelas.

Terdapat banyak teori-teori pembelajaran dalam pendidikan yang dikemukakan oleh para tokoh pendidikan, antara lain: (1) teori pembelajaran behaviorisme dengan tokoh:  Ivan Pavlov,  Edward L. Thorndike, Erdwin R. Guthrie dan Burrus Frederick Skinner, (2) teori pembelajaran kognitivisme dengan tokoh: Jean Piaget, David P. Ausubel, Jerome Bruner, dan Albert Bandura,  (3) teori pembelajaran humanistik dengan tokoh: David P. Ausubel, Habermas, Honey dan Mumfofd, dan (4) teori pembelajaran konstruksivisme dengan tokoh:  Vygotsky,  Jean Piaget, John Dewey dan Jerome Bruner. Berikut ini dibahas ke-empat teori-teori pembelajaran tersebut.

Teori belajar yang akan dibahas dalam artikel ini adalah: teori Edward L. Thorndike, teori Jerome Bruner dan teori David P. Pembahasan difokuskan pada penerapannya dalam pembelajaran matematika SD/MI dan SMP/MTs.

TEORI JEROME S. BRUNER

Bruner membagi penyajian proses pembelajaran dalam tiga tahap, yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik (Sadiq).

Tahap Enaktif

Pada tahap ini, siswa dituntut untuk mempelajari pengetahuan matematika dengan menggunakan benda konkret (benda nyata yang dapat diamati dengan menggunakan panca indera siswa). Pengetahuan sebagian besar dalam bentuk respon motorik, siswa dapat lebih baik menunjukkan pekerjaan pisik ketimbang mendeskripsikan secara tepat tugas yang sama,

Contoh:

Ketika siswa belajar penjumlahan dan pengurangan, siswa dapat menggunakan benda konkret seperti: batu, buah-buahan, lidi, ataupun sedotan.

Tahap Ikonik

Tahap berikutnya adalah tahap ikonik, dimana siswa mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram sebagai perwujudan dari kegiatan yang menggunakan benda konkret atau nyata tadi. Jika pada proses pembelajaran penjumlahan dua bilangan bulat dimulai dengan menggunakan benda nyata berupa garis bilangan sebagai “jembatan”, maka tahap ikonik untuk beberapa penjumlahan dapat saja berupa gambar atau diagram.

Contoh: dengan diagram garis bilangan, gambar koin positif dan koin negatif dan lain-lain.

Tahap Simbolik

Pada tahap ini pengetahuan sudah di bangun dengan menggunakan simbol-simbol matematika dan bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemauan seseorang lebih memperhatikan preposisi/pernyataan daripada obyek-obyek yeng memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep kemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial.

Belum cukup hanya dengan menggunakan garis-garis bilangan maupun koin positif dan negatif, baik secara enaktif (menggunakan benda nyata) maupun ikonik (menggunakan gambar atau diagram), dalam menjumlahkan dua bilangan bulat. Untuk itu, menurut Bruner, para siswa harus melewati suatu tahap dimana pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol abstrak. Dengan kata lain, siswa harus mengalami proses berabstraksi. Berabstraksi terjadi pada saat seseorang menyadari adanya kesamaan di antara perbedaan-perbedaan yang ada Cooney, 1975 (Sadiq).

Penerapkan teorema Bruner dapat diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti yang dikemukakan oleh Edgar Dale dalam bukunya “Audio Visual Methods in Teaching” (Kemendikbud) sebagai berikut:

Pengalaman langsung

Anak diminta untuk mengalami, berbuat sendiri dan mengolah, merenungkan apa yang dikerjakan,

Pengalaman yang diatur

Contoh dalam membicarakan sesuatu benda, jika benda tersebut terlalu besar atau kecil, atau tidak dapat dihadirkan di kelas maka benda tersebut dapat diragakan dengan model.

Contoh dalam matematika adalah model-model anggota himpunan tertentu, peta, gambar benda-benda yang tidak mungkin dihadirkan di kelas seperti binatang, pohon, bumi, dan lainlain.

Dramatisasi

Contoh   permainan peran,  sandiwara  boneka  yang bisa digerakkan ke kanan atau ke kiri pada garis bilangan.

Demonstrasi

Biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat bantu seperti papan tulis, papan flanel, LCD, dan lain-lain. Banyak topik dalam pembelajaran matematika di SMP yang dapat diajarkan dengan demontrasi, misalnya: penjumlahan, pengurangan, pecahan, dan lain-lain.

Karyawisata

Kegiatan ini sebenarnya sangat baik untuk menjadikan pelajaran matematika disenangi siswa. Kegiatan yang diprogramkan dengan melibatkan penerapan konsep matematika seperti mengukur tinggi obyek secara tidak langsung, mengukur lebar sungai, mendata kecenderungan kejadian dan realitas yang ada di lingkungan merupakan kegiatan yang sungguh sangat menarik dan sangat bermakna bagi siswa serta bagi daya tarik pelajaran matematika di kalangan sisw.

Pameran

Pameran adalah usaha menyajikan berbagai bentuk model-model kongkret yang dapat digunakan untuk membantu memahami konsep matematika dengan cara yang menarik. Berbagai bentuk permainan matematika ternyata dapat menyedo perhatian anak untuk mencobanya, sehingga jenis kegiatan ini juga cukup bermakna untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika.

Televisi sebagai alat peragaan

Program pendidikan matematika yang disiarkan melalui media TV juga merupakan alternatif yang sangat baik untuk pembelajaran matematika.

Televisi sebagai alat peragaan

Program pendidikan matematika yang disiarkan melalui media TV juga merupakan alternatif yang sangat baik untuk pembelajaran matematika.

Penerapan Teori BRUNER (Nuryadi)

Pembelajaran Menemukan Rumus Luas Daerah Persegi Panjang.

Guru menunjukkan contoh bangun persegi dengan berbagai ukuran dilingkungan sekitar.

Guru guru menunjukkan bentuk-bentuk bukan contohnya bangun datar lainnya seperti, persegi panjang, jajar genjang, trapesium, segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.

Langkah-langkah pembelajaran:

Tahap Enaktif

  1. Siswa diarahkan untuk mengukur atau menghitung panjang dan lebar bangun persegi panjang yang tersusun dari petak-petak satuan seperti pada contoh dibawah ini. (semakin banyak variasi bangun semakin baik)
  2. Siswa mengisinya tabel yang tersedia sesuai dengan hasil perhitungan.
PENERAPAN teori Ausubel dalam PEMBELAJARAN Matematika SD

Siswa diajak menghitung banyaknya satuan persegi dengan cara membilang dan kemudian dibimbing untuk menemukan hubungan antara satuan panjang dan lebar untuk menentukan luas bangun.

PENERAPAN teori Ausubel dalam PEMBELAJARAN Matematika SD

Siswa diminta untuk mengeneralisasikan untuk menenukan rumus luas daerah persegi panjang. Jika simbolis ukuran panjang adalah p, ukuran lebarnya adalah l, dan luas daerah persegi panjang adalah L, maka rumus luas persegipanjang dapat digeneralisasikan menjadi:

PENERAPAN teori Ausubel dalam PEMBELAJARAN Matematika SD
  • jawaban yang diharapkan adalah:

            L = (p x l) satuan

  • Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali dengan ukuran lebar.

TEORI BELAJAR EDWARD LEE THORNDIKE

Teori belajar Thorndike

Teori belajar Thorndike di sebut “ Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut “Trial and error” dalam rangkan menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa. Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.

Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh horndike ini disebut juga koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukkan hubungan anatara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).

Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya transfer of training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik dengan  unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki.

Schunk (2012:101-104) mengutip hasil eksperimen Thorndike tentang beberapa hukum-hukum dan prinsip-prinsip dalam belajar dan, yaitu: (1) Hukum Latihan (Exercise), (2) Hukum Akibat (Effect Laws), (3) Hukum Kesiapan (Law of Readiness), dan (4) Prinsip Peralihan Asosiatif (Asssociating Shifting). Schunk (2012:101-104) mengutip hasil eksperimen Thorndike tentang beberapa hukum-hukum dan prinsip-prinsip dalam belajar, yaitu: (1) Hukum Latihan (Exercise), (2) Hukum Akibat (Effect Laws), (3) Hukum Kesiapan (Law of Readiness), dan (4) Prinsip Peralihan Asosiatif (Asssociating Shifting).

Hukum Latihan (Exercice) terdiri dari dua yaitu: Hukum Kegunaan (Law of Use) dan Hukum Ketidakgunaan (Law of Disuse). Law of Use adalah sebuah respons terhadap sebuah stimulus akan memperkuat koneksi keduanya sedangkan Law of Disuse adalah ketika tidak diberikan pada sebuah respons terhadap stimulus maka kekuatan koneksinya menurun. Latihan akan memperkuat koneksi antara stimulus dan respons.

  1. Hukum Akibat(Effec), menekankan bahwa akibat yang menyenangkan dari suatu perbuatan akan cenderung dipertahankan dan akibat yang tidak menyenangkan cenderung akan ditinggalkan.
  2. Hukum Kesiapan (Law of Readiness), menyatakan bahwa ketika seseorang dipersiapakan (sehingga siap) untuk bertindak maka melakukan tindakan tersebut merupakan imbalan (rewarding), sementara tidak melakukan merupakan hukuman (punishing).
  3. Prinsip Peralihan Asosiatif (Asssociating Shifting), mengacu pada situasi dimana respons yang diberikan untuk stimulus tertentu pada akhirnya ditujukan pada stimulus yang sama sekali berbeda, jika setelah percobaan yang berulang-ulang ada perbedaan-perbedaan    kecil    dalam   karakter   stimulus.  Transfer  (pengalihan)  terjadi  ketika
  4. situasi yang ada memiliki elemen yang identik dan memerlukan respons yang sama (Schunk, 2012:104).

Penerapan Teori Thorndike dalam Pembelajaran Matematika

Aplikasi teori Thorndike sebagai slaah satu aliran psikologi tingkah laku dalam pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Setiap pembelajaran yang berpegang pada teori belajar behavioristik telah terstruktur rapi, dan mengarah pada bertambahnya pengetahuan pada siswa.Penerapan yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran matematika adlah sebagai berikut:

  1. Sebelum memulai proses belajar mengajar, guru harus memastikan siswanya siap mengikluti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
  2. Pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pemebelajaran yang kontinu, hal ini dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa.
  3. Dalam proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi matematika denagn cara yang menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat kesulitannya bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa mampiu menyerap materi yang diberikan.
  1. Pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa mengingat materi terkait lebih lama.
  2. Supaya peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses hars bertahap dari yang sederhana hingga yang kompleks.
  3. Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang belum baik harus segera diperbaiki.
  4. Dalam belajar, motivasi tidak begitu penting, karena perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh penghargaan eksternal dan bukan oleh intrinsic motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya respon yang benar terhadap stimulus.
  5. Materi yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah dari sekolah
  6. Thorndike berpendapat, bahwa cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu bahwa apa yang telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah.
  7. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan harus terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan sesuai situasi.

Contoh Penerapan

Materi Ajar   :   Operasi Bilangan

SK                 :   Melakukan operasi hitung bilangan tiga

KD                :    Melakukan perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka dan  pembagian tiga angka.

Proses Pembelajaran:

  1. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok dengan 4 orang
  2. Setiap kelompok diberi amplop ke-1 yang berbeda warna. Amplop terdapat berisis soal-soal yang harus dikerjakan.
  3. Siswa diminta mengerjakan soal-soal tersebut pada kertas yang telah disediakan tanpa bertanya pada guru dan tanpa diberi bimbingan, sehingga hasil yang diperoleh adalah kemampuan dasar siswa.
  4. Setiap kelompok diberi amplop ke-2 yang bersisi soal yang sama untuk semua kelompok. Setiap selesai mengerjakan satu soal, setiap kelompok diberi jawabannya sampai soal selesai, Setiap kelompok bersama-sama mencocokkan jawaban yang dihasilkan. Hasil yang diperoleh adalah kemamouan selama latihan.
  5. Setiap kelompok di beri amplop ke-3 yang juga berisi soal-soal, kemudian siswa mengerjakannya tanpa diberikan jawaban.
  6. Apabila hasil belajar selama training lebih baik dari kemampuan dasar, maka telah terjadi proses belajar.

Hal yang dilakukan oleh Thorndike pada eksperimen terhadap kucing:

  • Siswa diberi beberapa soal latihan dan pada akhirnya siswa mampu mengerjakan soal latihan yang diberikan.
  • Selain diberi latihan, juga diberi umpan balik.
  • Umpan balik dapat memberi informasi bahwa hasil perkalian yang dilakukan siswa ada yang salah dan ada yang benar.
  • Efek tindakan dapat mendorong perubahan tindakan bimbingan oleh guru.
  • Hasil yang diperoleh adalah kemampuan setelah latihan.

Kelemahan dan Kelebihan Teori Thorndike dalam Pembelajaran Matematika

Kelemahan:

  1. Sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang tida dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon.
  2. Teori ini tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya.

Kelebihan:

  1. Teori ini mengarahkan anak untuk berfikir linier dan konvergen. Belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa anak menuju atau mencapai target tertentu.
  2. Membantu  guru dalam menyelesaikan indikator pembelajaran Matematika.

TEORI BELAJAR DAVID AUSUBEL

Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Teori belajar Ausubel terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Menurut Ausubel belajar dapat dikalifikasikan ke dalam  dua  dimensi (Sujadi & Dhoruri, 2016:37) yaitu:  (1) berhubungan  dengan  cara informasi atau  materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan, dan (2) menyangkut cara bagimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada, yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.

          Pada dimensi pertama, informasi dapat dikomunikasikan kepada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi dalam bentuk final, maupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada dimensi kedua, jika siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya, maka terjadi belajar bermakna. Jika siswa hanya dapat mencoba coba menghafalkan informasi baru itu, tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar hafalan. Kaitan antara kedua dimensi tersebut dapat dilihata pada gambar di bawah ini.(Sujadi & Dhoruri, 2016:38).

PENERAPAN teori Ausubel dalam PEMBELAJARAN Matematika SD

Menurut Ausubel terdapat perbedan antara belajar menerima dengan belajar menemukan. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghapalkannya, sedangkan pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi siswa tidak menerima pelajaran begitu saja. Selanjutnya terdapat perbedaan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna, pada belajar menghapal siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, sedangkan pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkannya dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.

Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1986:116) prasyarat-prasyarat belajar bermakna ada dua sebagai berikut. (1) Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial; kebermaknaan materi tergantung dua faktor, yakni materi harus memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. (2) Siswa yang akan belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna. Dengan demikian mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna.

Prinsip-prinsip dalam teori belajar Ausubel

Menurut Ausubel faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apabyang sudah diketahui siswa. Jadi agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, terdapat konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut (Sujadi & Dhoruri, 2016:39). adalah:

  1. Pengaturan Awal (advance organizer). Pengaturan Awal mengarahkan siswa ke materi yang akan dipelajari dan mengingatkan siswa pada materi sebelumnya yang dapat digunakan siswa dalam membantu menanamkan pengetahuan baru.
  2. Diferensiasi Progresif. Pengembangan konsep berlangsung paling baik jika unsur-unsur yang paling umum, paling inklusif dari suatu konsep diperkenalkan terklebih dahulu, dan kemudian barudiberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu. Diferensiasi progresif adalah cara mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan secara heirarkhis sehingga setiap bagian dapat dipelajari secara terpisah dari satu kesatuan yang besar (Sulaiman,1988:203).
  3. Belajar Superordinat. Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif (subsumsi), konsep itu tumbuh dan mengalami diferensiasi. Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif.

Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif). Mengajar bukan hanya urutan menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan pada konsep konsep superordinat. Guru harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit, dan bagimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.

Penerapan Teori Ausubel dalam Pembelajaran

Dadang Sulaiman (1988) menyarankan agar penerapan teori Ausubel dilakukan dalam dua fase pembelajaran, yakni fase perencanaan dan fase pelaksanaan. Fase perencanaan terdiri dari: menetapkan tujuan pembelajaran, mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, membuat struktur materi dan memformulasikan pengaturan awal. Sedangkan fase pelaksanaan pembelajaran terdiri dari: pengaturan awal, diferensiasi progresif, dan rekonsiliasi integratif.

Fase Perencanaan

Langkah-langkah fase perencanaan (Sujadi & Dhoruri, 2016:40)

  1. Langkah pertama dalam merencanakan pembelajaran adalah menentukan tujuan pembelajaran. Model Ausubel dapat digunakan untuk mengajarkan hubungan antara konsep dan hubungan antar generalisasi.
  2. Mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, model Ausubel ini cukup fleksibel untuk dipakai dalam mengajarkan konsep dan generalisasi, dengan syarat guru harus menyadari latar belakang pengetahuan siswa.
  3. Membuat struktur materi secara hirarkhis, merupakan salah satu pendukung untuk melakukan rekonsiliasi integratif dari teori Ausubel.
  4. Memformulasikan pengaturan awal (advance organizer), menurut Eggen (1979:277), pengaturan awal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a) mengaitkan materi pelajaran dengan struktur pengetahuan siswa, (b) mengorganisasikan materi yang dipelajari siswa.

Fase Pelaksanaan

Langkah-langkah fase pelaksanaan (Sujadi & Dhoruri, 2016:41)

  1. Guru berusaha agar siswa tidak pasif dengan membangun/mempertahankan adanya interaksi dengan siswa melalui tanya jawab, memberi contoh perbandingan dan sebagainya berkaitan dengan ide yang akan disampaikan.
  1. Guru hendaknya mulai dengan advance organizer dan menggunakannya hingga akhir pelajaran sebagai pedoman untuk mengembangkan bahan pengajaran.
  2. Guru menguraikan pokok-pokok bahasan menjadi lebih terperinci melalui diferensiasi progresif.
  3. Jika guru telah yakin bahwa siswa mengerti akan konsep yang disajikan maka ada dua pilihan langkah berikutnya yaitu:

a. Menghubungkan atau membandingkan konsep-konsep itu melalui rekonsiliasi integratif,

b. Melanjutkan dengan diferensiasi progresif sehingga konsep tersebut menjadi lebih luas.

Contoh Penerapan Penerapan Teori Belajar Ausubel pada Pembelajaran Matematika.

Pokok bahasan:  Pertidaksamaan Linear satu variabel

Langkah-langkah pelaksanaan:

Fase Perencanaan :

(a) Menetapkan tujuan pembelajaran, yakni siswa memahami dan dapat menenyelesaiakan pertidaksamaan linear satu variabel; (b) Indikator: Menentukan penyelesaian pertidaksamaan linear satu variabel; (c) Mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa dalam memahami pokok bahasan pertidaksamaan linear, yakni: Persamaan linear satu variabel (materi SMP kelas-7); (d) Penyelesaian persamaan linear satu variabel (materi SMP kelas-7); (e) Keekuivalenan pada persamaan linear satu variabel (materi SMP kelas-7 Membuat struktur materi; (f) Mementukan struktur materi tentang pertidaksamaan linear satu variabel sebagai berikut:

  1. Mengenal persamaan linear satu variabel
  2. Pengertian pertidaksamaan linear satu variabel
  3. Menyelesaian pertidaksanaan linear satu variabel.

(g) Memformulasikan pengaturan awal, untuk mengajarkan pokok bahasan pertidaksamaan linear di kelas-7 SMP adalah sebagai berikut.

PENERAPAN teori Ausubel dalam PEMBELAJARAN Matematika SD

Fase Pelaksanaan.

Pada fase pelaksanaan guru melakukan kegiatan sebagai berikut:

PENERAPAN teori Ausubel dalam PEMBELAJARAN Matematika SD

PENUTUP

Edward L. Thorndike mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, persaan atau gerakan (tindakan). Dari definisi belajar tersebut maka perubahan atau tingkah laku akibat kegitan belajar itu dapat berujud kongkrit sehingga dapat diamati.

Teori belajar stimulus respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga Koneksionisme. Teori Koneksionisme menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa hukum yang dikemukakan Thorndike, yang mengakibatkan munculnya stimulus respon ini, yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exsercise) dan hukum akibat (law of effect).

Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan. Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, siswa akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih dipahami dan diingat anak.

Brunner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar siswa sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh siswa dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya. Keaktifan siswa dalam proses belajar secara penuh sangat disarankan dalan teori belajar Bruner. Ausubel terkenal dengan teori belajar bermakna. Bermakna artinya bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya dimana faktor intelektual, emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.

Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Belajar menemukan adalah siswa mencari/menemukan konsep. Sedangkan belajar menerima adalah siswa hanya menerima konsep atau materi dari guru, dan siswa tinggal menghapalkannya. Selain itu Ausubel juga membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Belajar menghafal adalah siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya. Sedangkan belajar bermakna adalah materi yang telah diperoleh dikembangkan pada dengan keadaan situasi yang lain sehingga belajarnya lebih bisa dimengerti.

Ausubel tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa metode penemuan dianggap sebagai suatu metode mengajar yang baik karena bermakna, dan sebaliknya metode ceramah adalah metode yang kurang baik karena merupakan belajar menerima. Menurut Ausubel, baik metode penemuan maupun metode ceramah bisa menjadi belajar menerima atau belajar bermakna, tergantung dari situasinya. Beberapa hal terkait dengan teori Belajar Ausubel sebagai berikut:

Klasifikasi toeri belajar terdiri dari dua dimensi, yaitu:

  1. Cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan,
  2. Cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada, yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.

Prasyarat-prasyarat belajar bermakna adalah sebagai berikut:

  1. Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial,
  2. Siswa yang akan belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna.

Prinsip-prinsip belajar adalah:

  1. Advance Organizer (pengaturan awal),
  2. Diferensiasi Progresif,
  3. Belajar Superordinat,
  4. Rekonsiliasi Integratif (Penyesuaian Integratif).

Fase-fase penerapan adalah:

  1. Fase Perencanaan,
  2. Fase Pelaksanaan.

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Dahar, Ratnawilis. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Nuryadi,  Aplikasi Teori Bruner Dalam Pembelajaran Matematika di Tingkat SD, http://made82math.wprdpress,com

Schunk, D. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective sixth edition. Diterjemahkan oleh : Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Shadiq, (2016). Aplikasi Teori Belajar, Depdiknas, PPPPTK Yogyakarta

Shadiq & Amini. (2011). Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran Matematika di SD. PPPPTK Yogyakarta

Sujadi &  Dhoruri, (2016). Teori Belajar, Himpunan, dan Logika Matematika. Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

Suherman, dkk.(2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Universitas

Pendidikan Indonesia. Bandung: JICA.