Menurunnya penguasaan berbahasa Jawa kalangan anak muda Jawa tengah

Red:

YOGYAKARTA -- Kemampuan generasi muda menggunakan Bahasa Jawa cenderung menurun, kata pakar bahasa Prof Dr Edi Subroto di Yogyakarta, Kamis. Akademisi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini bahkan menyatakan tingkat tutur bahasa Jawa dari generasi muda saat ini berada pada kondisi yang memprihatinkan.

Edi pada seminar bahasa dan sastra dalam berbagai perspektif bidang ilmu menjelaskan kecenderungan menurunnya kemampuan dan keterampilan generasi muda dalam menggunakan Bahasa Jawa dapat dilihat dari banyaknya keluhan para orangtua.

Selain itu ada hasil penelitian terhadap generasi muda di Surakarta dan sekitarnya yang juga ditunjang penelitian di Madiun dan sekitarnya. Dari penelitian itu diperoleh hasil bahwa penguasaan terhadap kosakata tataran Bahasa Jawa mulai dari "ngoko" hingga "krama inggil" atau tingkat kasar hingga paling halus tergolong sangat kurang.

Di sisi lain, kata dia, penguasaan terhadap penggunaan kosakata dalam tatanan bahasa dikaitkan dengan konteks sosio kultural juga sangat kurang. "Sekalipun mereka masih mengenal sedikit pasangan kosakata, namun saat menggunakannya dalam tutur bahasa menjadi tidak benar," katanya.

Ia menyontohkan generasi muda seringkali menggunakan kata-kata krama (halus) untuk diri sendiri dan bukannya digunakan untuk membahasakan kepada orang lain yang dianggap lebih tua.

"Kurangnya penguasaan generasi muda terhadap Bahasa Jawa disebabkan beberapa faktor diantaranya dominasi Bahasa Indonesia serta ketakutan generasi muda menggunakan Bahasa jawa dalam percapakan sehari-hari terutama dengan generasi yang lebih dituakan," katanya.

Sebenarnya penggunaan Bahasa Indonesia memang tidak dapat dielakkan, tetapi bahasa daerah juga memiliki fungsi lain yang tidak boleh dilupakan," katanya.

Tidak adanya orangtua yang menggunakan tingkat tutur Bahasa Jawa dengan tepat juga menjadi penyebab turunnya kemampuan generasi muda menggunakan bahasa tersebut. Karena itu perlu ada pedoman tingkat tutur Bahasa Jawa, mulai dari "ngoko" hingga "krama inggil" serta adanya rekayasa bahasa.

"Kalau perlu Bahasa Jawa yang rumit tersebut disederhanakan, seperti mengurangi tingkat tutur menjadi 'ngoko' dan 'krama' saja," katanya dan menambahkan lebih dari 60 juta orang saat ini berbahasa Jawa. ant/is

Menurunnya penguasaan berbahasa Jawa kalangan anak muda Jawa tengah

Sumpah Pemuda
Kami putra dan putri Indonesia
Mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia
Mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia
Mengaku berbahasa yang satu, bahasa Indonesia

Menurunnya penguasaan berbahasa Jawa kalangan anak muda Jawa tengah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bahasa merupakan lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan mengindentifikasikan diri. Berdasarkan data dari Kemendikbud, Indonesia memiliki sebanyak 718 bahasa daerah. Data tersebut berasal dari total 2.560 titik pengamatan dan kemungkinan besar ada lebih dari satu atau dua bahasa yang belum terindentifikasi. Bahasa sendiri mempunyai tujuan yakni untuk mengekspresikan diri dan gagasan kepada orang lain.

Sesuai data sensus penduduk dari Badan Pusat Statistik 2010, ada 5 bahasa yang paling banyak digunakan sehari-hari oleh masyarakat Indonesia yakni Bahasa Jawa sebanyak 68.044.660 penutur, Bahasa Indonesia 42.682.566 penutur, Bahasa Sunda 32.412.752 penutur, Bahasa Melayu 7.901.386 penutur, dan Bahasa Madura 7.743.533 penutur. Selain itu, dari 68 juta penutur Bahasa Jawa, 11,2 juta diantaranya tersebar di 30 provinsi lainnya.

Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan oleh suku Jawa yang mayoritas menetap di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, bahasa Jawa kerapkali juga digunakan oleh sebagian masyarakat di wilayah pesisir Karawang, Subang, Cirebon, Indramayu dan Banten. Bahasa Jawa juga dituturkan oleh diaspora Jawa atau merupakan kelompok demografi keturunan etnis Jawa yang bermigrasi menetap di berbagai wilayah Nusantara. Bahkan diaspora yang tersebar di berbagai negera seperti Suriname dan Belanda juga menggunakan bahasa Jawa.

Persebaran penutur Bahasa Jawa di Suriname Amerika Selatan dikarenakan adanya program transmigrasi masyarakat suku Jawa. Diketahui, sebanyak 32.956 orang dari Jawa dikirim ke Suriname secara bertahap dari tahun 1890–1939 oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dikontrak secara paksa untuk bekerja. Hingga tahun 2001, terdapat sekitar 65.000 penutur Bahasa Jawa di Suriname. Bahasa Jawa juga tersebar di Belanda sebanyak 30.000 penutur serta sebagian masyarakat keturunan Jawa di Malaysia dan Kaledonia Baru.

Namun, menurut data dari Badan Pusat Statistik tahun 2000 dan 2010, penutur Bahasa Jawa mengalami penurunan dalam satu dasawarsa. Yakni pada tahun 2000 terdapat sebanyak 75,5 juta penutur turun menjadi 68 juta penutur pada tahun 2010. Hal itu berarti rata-rata 750.000 penutur Bahasa Jawa berkurang tiap tahunnya. Meskipun begitu, dalam beberapa penelitian yang bersifat kuantitatif, Bahasa Jawa selalu masuk dalam kategori bahasa yang aman.

Salah satu daerah yang masih menggunakan Bahasa Jawa Kromo atau Bahasa Jawa dengan tingkatan kesopanan tertinggi ada di perkampungan Baluwarti Kota Surakarta. Perkampungan itu berada di dalam kompleks Keraton Kasunanan Surakarta.

Menurut Gatot Basuki salah satu tokoh masyarakat, pada tahun 1960-an masyarakat di kampung Baluwarti masih menggunakan Bahasa Jawa yang baik dan benar. Di Kampung tersebut, kata banyaknya sentono-sentono abdi dalem keraton yang masih hidup dan bisa memberikan contoh tauladan cara berbahasa Jawa yang baik.

“Dulu waktu saya kecil, masih dberi tuntunan bagaimana cara berbahasa Jawa yang baik. Tapi kelihatannya menurut saya, orang sudah tidak memperhatikan tentang paranomo sastro atau tentang empan papannya Bahasa Jawa tapi asalkan bahasanya di mengerti saja. Jadi bahasa hanya sekedar sebagai alat komunikasi bukan sebagai budaya yang dulu katanya Adiluhung yang ada graduasinya untuk tataran dengan orang tua, tataran dengan teman, tataran dengan orang-orang yang di bawah umur atau dibawah generasinya. Dulu ada yang seperti itu, tapi seperti sekarang sudah tidak ada lagi yang seperti itu,” kata Gatot di YouTube Watchdoc Documentary.

Mariatin salah satu warga kampung Baluwarti mengungkapkan, ada pergeseran berbahasa Jawa bila dibandingkan dengan zaman dulu dengan jaman sekarang. Pergesaran Bahasa Jawa tersebut sangat terlihat dalam komunikasi yang dibangun atau dilakukan antara orangtua dan anak.

“Ketika dipanggil lalu dijawab “dalem” itu salah, harusnya dijawab “kulo”. Anak jaman saiki iku ora iso mbedakne. Yang benar ya dijawab “nun kulo” atau “kulo”. Baru matur lagek “dalem bade nopo nopo”. Jadi salah kaprah, karena dipanggil dan waktu kita berbicara itu berbeda,” kata Mariatin.

Kepala Prodi Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret, Dr. Supana, M.Hum menuturkan, penguasaan Bahasa Jawa terutama generasi muda sudah berkurang signifikan. Supana menyoroti kekeliruan pengucapan maupun penulisan fonem atau bunyi bahasa. Supana juga mengulik terkait aturan jam pelajaran Bahasa Jawa yang rata-rata hanya diberikan sebanya 2 jam per minggu. Menurutnya, belajar Bahasa Jawa bukan hanya mempelajari tata bahasanya, tetapi juga aksara dan seni tradisionalnya.

Hal serupa disampaikan oleh Kunardi dalam bukunya yang berjudul Rohmadi dan Lili, “Basa Jawa sing nduweni unggah-ungguh (ngko, karma, lan karma inggil) pancen angel dicakake yen ora dikulinakake wiwit cilik. Wong-wong Jawa akeh sing ora bisa ngecakake wewetone basa iki amarga rikala sekolah kurang entuk pakulinan/praktek micara ngaggo basa Jawa alus. Mula akeh kulawarga Jawa sing padha ngecakake basa Indonesia kanggo micara utawa caturan ing kaluwarga. Ya, kahanan kaya ngono iki sing anjalari wong Jowo lali karo Jawane.”

Di era kemajuan teknologi yang sangat cepat, penggunaan Bahasa Jawa semakin lama semakin memudar. Bahasa Jawa sedikit demi sedikit tergeser dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari.

“Bahasa Daerah termasuk Bahasa Jawa di sekolah mengalami cukup banyak tantangan. Bahkan tidak sedikit para pelajar yang mulai melupakan Bahasa Jawa dan lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari. Ketika di lingkungan keluarga tidak dibiasakan menggunakan Bahasa Jawa, maka dalam mengikuti pelajaran Bahasa Jawa di sekolah, siswa itu akan merasa kesulitan dalam menggunakan dan memahami istilah-istilah yang digunakan dalam Bahasa Jawa. Itu pun akan berpengaruh pada penggunaan Bahasa Jawa mereka dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Suwarna dalam Tribunjogja.com.

Menurut jurnal yang ditulis oleh Suharyo dengan judul “Nasib Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia dalam Pandangan dan Sikap Bahasa Generasi Muda Jawa” menyebutkan bahwa dari data yang telah dikumpulkan dapat diketahui bahwa generasi muda Jawa sudah mulai tidak bangga terhadap Bahasa Jawa. Selain itu, sikap terhadap Bahasa Jawa cenderung negatif, sedangkan terhadap Bahasa Indonesia generasi muda Jawa menunjukkan terdapat gejala tidak setia dan kesadaran atas norma Bahasa Indonesia lemah.

“Beberapa poin yang bisa diambil dari penelitian diantaranya Bahasa Indonesia sudah lebih diminati generasi muda Jawa sebagai pilihan utama sebagai alat ekspresi didalam ranah rumah ketika berkomunikasi dengan anggota keluarga. Telah terjadi “keboocoran” diglosia atau manakala bahasa daerah yang selama bertahun-tahun menjadi alat ekspresi utama di ranah rumah kemasukan bahasa kedua/bahasa lain. Generasi muda lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sehari-hari dengan teman sebaya dan pasangan. Selain itu, generasi muda Jawa juga mulai menggunakan nilai-nilai global dalam menyikapi ekspresi kebahasaannya.”

Apabila dulu Bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa pegantar, maka sekarang Bahasa Jawa digunakan sebagai mata pelajaran yang harus dipelajari di lingkungan pendidikan. Tentunya hal tersebut merupakan indikasi lemahnya edukasi bahasa dalam keluarga. Akibatnya, kurangnya kecapakan seorang anak dalam berbahasa daerah. Saat ini di lingkungan keluarga mayoritas memperkenalkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Padahal, keluarga tersebut tinggal di daerah yang masyarakatnya menggunakan Bahasa Jawa untuk berkomunikasi.