Hukum memuliakan orang tua yang senantiasa bermaksiat kepada Allah swt adalah

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (٢٣)

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. al-Israa’: 23)

Itulah ayat dalam al-Qur’an yang dibedah dalam kajian tafsir oleh Drs. Anhar Anshary, M.Si. pada kajian rutin Ahad pagi (6/12/2015), yang bertempat di Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Jalan Ringroad Selatan, Tamanan, Banguntapan, Bantul, DIY.

Kajian rutin ahad pagi merupakan program rutin Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) UAD yang pada penyelenggaraannya memberikan tema dan pembicara yang berbeda. Kajian tersebut diperuntukkan bagi mahasiswa UAD dan masyarakat umum. Sekitar 100 orang menghadiri acara tersebut pada setiap minggunya.

Dalam tafsir QS. al-Israa’ ayat 23, terdapat tiga poin yang harus dicatat dan diaplikasikan oleh manusia. Di antaranya, manusia dilarang menyembah kepada selain Allah, setiap orang hendaknya berbakti kepada kedua orang tua mereka, serta jangan membentak orang tua dan selalu mengucapkan perkataan yang mulia.

Terdapat dua akhlak yang terkandung dalam ayat itu, yakni akhlak kepada Allah dan akhlak kepada kedua orang tua. Muhammadiyah, sebagai organisasi yang berlandaskan pada al-Qur’an dan Sunnah menjadi pemurni ibadah dan akhlak.

“Saat ini, persekutuan terhadap Allah terjadi pada diri manusia sendiri, ia menganggap dirinya sebagai Tuhan. Hal itu terjadi ketika manusia menuruti hawa nafsu mereka,” terang Anhar.

Manusia memiliki tiga kekuatan dasar, yaitu iman, hati, dan akal. Sementara Allah selalu melihat manusia dalam isi hati serta ibadahnya yang menggunakan akan dan menentukan iman seseorang.

Selain itu, berbakti kepada kedua orang tua merupakan kebutuhan seorang anak. Anak harus senantiasa berkata lemah lembut dan tidak menyinggung perasaan orang tua, tunduk dan patuh pada perintahnya, selalu mendoakan yang terbaik bagi keduanya baik diminta atau tidak, serta membantu tidak hanya ketika mereka butuh bantuan.

“Doa anak shalih merupakan amalan yang tidak pernah putus pahalanya, karena hanya doa anaklah yang paling ikhlas. Allah selalu menuntun setiap orang dalam berdoa, karena Dia Maha Segalanya yang dapat membalas jasa kedua orang tua, bukan manusianya,” tutup Anhar. (AKN)

Pertanyaan (Nasihin):

Bagaimana batasan taat kepada orang tua yang tidak taat pada Allah?

Jawaban (Ustadz Abdul Walid, MHI.  Alumni Ma’had Aly PP Syalafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo):

Pertama, sebelum kami menjawab pertanyaan sahabat KESAN di atas. Terlebih dahulu kami ingin menyampaikan keutamaan dan kedudukan orang tua dalam Islam.

Ketaatan atau kepatuhan kepada kedua orang tua tercatat sebagai kebaktian seorang anak kepada orang tua (birrul walidain). Birrul walidain ini merupakan kewajiban bagi seorang anak. Begitu “keramatnya” orang tua dalam Islam, hingga mereka tidak berhak menerima kata-kata menyakitkan walaupun hanya sekadar ucapan uf (ah!) keluar dari bibir seorang anak.

 Allah berfirman dalam Al-Qur’an: 

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا - ٢٣

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik (QS: Isra’:  23).

Maka, tidak heran bila Al-Qur’an mensejajarkan syukur kepada orang tua itu “sama dengan” syukur kepada Allah. Dengan pengertian bahwa seseorang tidak dinilai bersyukur kepada Allah sampai ia bersyukur kepada orang tuanya.

Dalam ayat lain Allah berfirman: 

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ - ١٤

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu (QS. Luqman: 14).

Ibnu ‘Uyainah menjelaskan bahwa cara bersyukur kepada Allah itu dengan melaksanakan salat yang lima waktu, sementara bersyukur kepada orang tua adalah dengan berdoa untuk mereka setiap kali selesai melakasanakan salat lima waktu. 

Sementara itu, pernah suatu ketika Ibnu Umar melihat seorang laki-laki sedang melakukan tawaf dengan menggendong seorang wanita yang tua renta. 

“Siapakah wanita ini?” tanya Ibnu Umar kepada laki-laki itu. 

“Beliau adalah ibuku,” jawab laki-laki tersebut. 

“Bagaimana pendapatmu ya Ibnu Umar, apakah dengan menggendong ibuku ini, aku sudah bisa membalas budi baiknya?” tanya laki-laki itu penasaran. 

“Demi Allah. Dengan menggendong ibumu tujuh putaran tawaf masih belum mampu membayar satu jeritan kontraksi ibumu saat melahirkanmu!” jawab Ibnu Umar (Dalil Al-Sailin, 102).

Dari sini kita memahami bahwa (seakan-akan) tidak ada satu perbuatan pun yang mampu membalas budi orang tua, utamanya ibu. Begitu mulianya kedua orang tua, hingga kemuliaannya melebihi kemuliaan ka’bah sekalipun. Habib Alwi bin Shihab, mengutip perkataan ulama salaf, mengatakan bahwa “melihat kedua orang tua itu lebih utama dari pada melihat ka’bah,”( Kalam Al-Habib Alwi bin Syihab, 1/130).

Lalu sejauh mana batasan taat kepada kedua orang tua? Bagaimana seandainya orang tua menyuruh anaknya melakukan kemaksiatan kepada Allah?

Sahabat KESAN yang budiman, yang harus kita pahami bahwa taat dan berbakti kepada kedua orang tua merupakan kewajiban mutlak, tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Menurut Imam Al-Jashshash, Al-Qur’an surat Luqman ayat 14 sudah cukup kuat untuk dijadikan dalil atas kewajiban taat kepada kedua orang tua.  

Lalu bagaimana seandainya ada orang tua menyuruh anaknya untuk bermaksiat kepada Allah? Hampir tidak pernah terdengar kisah orang tua yang memerintahkan anaknya untuk durhaka kepada Allah. Kalaupun toh itu memang ada, mungkin yang perlu dipertanyakan adalah “keorangtuaannya”. 

Ketika ada orang tua yang menyuruh anaknya durhaka kepada Allah, maka jelas bagi si anak tidak ada kewajiban untuk mentaatinya. Hal ini sesuai sabda Nabi Muhammad :

لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf (HR. Bukhari no. 7257; HR. Muslim no. 1840).

Hadis di atas menjelaskan bahwa seorang anak tidak berkewajiban untuk patuh, taat, dan berbakti kepada orang tua yang memerintahkan untuk tidak taat pada Allah. 

Seorang anak hanya boleh patuh kepada orang tua dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah. Allah berfirman:

وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ - ١٥

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS: Luqman: 15).

Kesimpulannya, batasan ketaatan kepada orang tua ialah dalam hal kebaikan, sementara dalam hal kemaksiatan kita diperbolehkan untuk tidak patuh terhadap orang tua. 

Misalnya, ada orang tua yang menyuruh anaknya membeli miras atau narkoba, maka sang anak boleh tidak patuh terhadap perintah orang tuanya itu. Dan itu tidak menyebabkannya menjadi anak yang durhaka. 

Namun, perlu digaris bawahi bahwa sekalipun kita tidak wajib taat kepada orang tua yang memerintahkan maksiat, akan tetapi kita tetap wajib untuk berkomunikasi dan berhubungan secara baik dan santun (ma’ruf) terhadap mereka. 

Sejahat-jahatnya orang tua, seorang anak sampai kapan pun wajib berlaku baik pada orang tuanya. Apalagi terhadap orang tua yang baik-baik, maka sang anak pun harus bersikap lebih baik. 

Referensi: Dalil Al-Sailin, 101. Ahkam Al-Qur’an, 3/155.

###

*Jika artikel di aplikasi KESAN dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin. Download atau update aplikasi KESAN di Android dan di iOS. Gratis, lengkap, dan bebas iklan.

**Punya pertanyaan terkait Islam? Silakan kirim pertanyaanmu ke .