tirto.id - Sejumlah wilayah di Indonesia diperkirakan sudah memasuki masa musim hujan pada bulan November 2019. Sementara pada Desember mendatang, sesuai dengan prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), hampir seluruh wilayah Indonesia akan diguyur hujan dengan intesitas 150-200 mm sampai 400-500 mm. Curah hujan tinggi membuat sejumlah daerah berpotensi mengalami banjir. BMKG sudah memetakan beberapa daerah di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Papua yang memiliki tingkat kerawanan banjir rendah, sedang maupun tinggi, pada Desember 2019. Peta prediksi kawasan rawan banjir itu semakin meluas, terutama di Jawa dan Kalimantan, pada Februari 2020. Salah satu upaya pencegahan banjir yang sempat dikampanyekan sejumlah akademikus ialah memanen air hujan. Beberapa akademikus, mahasiswa, dan perwakilan komunitas dan warga pernah menggelar deklarasi Gerakan Memanen Air Hujan Indonesia, pada 18 November 2018 lalu. Deklarasi itu adalah bagian dari Kongres Memanen Air Hujan Indonesia yang digelar pada 10 hari kemudian. Deklarasi di Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut bertujuan mengampanyekan gerakan memanen dan mengolah air hujan. Memanen dan mengolah air hujan dianggap menjadi salah satu solusi efektif untuk mencegah banjir, kekeringan serta memenuhi kebutuhan akan air berkualitas. Menurut pakar hidrologi Fakultas Teknik UGM yang terlibat dalam deklarasi tersebut, Agus Maryono, memanen air hujan bisa dengan memakai bak penampungan atau mengalirkannya ke sumur. Air hujan dari atap dapat dialirkan melalui pipa ke sumur atau bak penampung. Agar bersih dari debu, air hujan bisa disaring dengan alat sederhana, seperti kain dan kaos. Para petani juga bisa memanen air hujan dengan membuat sumur atau kolam di sekitar lahan pertanian. Saat musim kemarau, air yang ditampung itu dapat menjadi alternatif untuk pengairan. “Air hujan bisa dimanfaatkan untuk perikanan,” tambah Agus sebagaimana dilansir laman UGM. Menurut Agus, air hujan di Indonesia juga masih sangat layak untuk dikonsumsi. Dia pernah 20-an kali meneliti tingkat keasaman air hujan di berbagai daerah, termasuk Jogja, Bali, Bogor dan Jakarta. Riset itu menyimpulkan rata-rata tingkat pH (potential hydrogen) air hujan di sejumlah daerah tersebut adalah 7,2 sampai 7,4. Artinya, secara kualitas, air hujan di Indonesia masih layak diminum manusia. Pengolahan Air Hujan Versi BPPTBadan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah mengembangkan dua bentuk sistem pemanfaatan dan pengolahan air hujan untuk air minum. Keduanya bernama Sistem Pemanfaatan Air Hujan (SPAH) dan Pengolahan Air Siap Minum (ARSINUM).Berdasarkan ulasan yang diterbitkan BPPT, SPAH terdiri atas sistem Penampungan Air Hujan (PAH) dan sistem pengolahan air hujan. PAH dilengkapi talang air, saringan pasir, bak penampung dan Sumur Resapan yang dapat digunakan untuk melestarikan air tanah dan mengurangi resiko genangan atau banjir. Prinsip dasar PAH adalah mengalirkan air hujan yang jatuh di permukaan atap bangunan melalui talang air untuk dialirkan ke tangki penampung. Limpasan air dari tangki penampung yang telah penuh lalu di salurkan ke sumur resapan. Adapun sistem pengolahan air hujan dalam praktiknya ialah untuk mengolah air dari bak penampungan agar menjadi air siap minum dengan kualitas setara air kemasan mineral. Pengolahan air hujan ini bisa memakai teknologi ARSINUM. Berikut ini sekilas tata cara membuat SPAH dan instalasi Arsinum sebagaimana anjuran BPPT.1. Cara Membuat SPAH di Rumah Berikut ini sejumlah tahapan membuat instalasi SPAH di sekitar bangunan atau rumah:
2. Cara Buat Instalasi Arsinum Selanjutnya, untuk keperluan pengolahan, air hujan di bak penampung utama dapat dipompa menuju instalasi Arsinum. Rangkaian instalasi Arsinum buatan BPPT terbilang rumit. Ada banyak sekali bagian dalam rangkaian tersebut. Sesuai dengan rancangan BPPT, instalasi itu terdiri atas sejumlah perangkat yang terhubung secara berturut-turut, yakni:
Pengolahan Air Hujan Versi KomunitasCara pengolahan air dengan metode lebih sederhana juga dikembangkan sejumlah komunitas pemanen air hujan di sekitar Magelang, Klaten dan Jogja dan sejumlah daerah lain. Misalnya ialah cara pengolahan air hujan menjadi air siap minum yang dilakukan oleh Komunitas Banyu Bening di Sleman (DI Yogyakarta) dan Komunitas Kandang Udan di Desa Bunder, Klaten (Jawa Tengah).Caranya ialah dengan menampung air hujan yang turun langsung dari langit atau talang ke bak-bak plastik. Air hujan kemudian disaring dengan kain atau gabus busa, jika banyak bercampur debu. Air hujan juga bisa sekedar didiamkan agar debu-debu mengendap. Kemudian, air hujan dimasukkan ke dalam dua tabung plastik ( berlabel foodgrade) yang saling terhubung, seperti membentuk bejana berhubungan. Lalu, air di dua tabung itu dialiri listrik DC. Proses penyetruman atau elektrolisis tersebut untuk mengatur tingkat pH air hujan.Cara komunitas itu mengolah air hujan bisa dilihat pada video unggahan di youtube di link ini atau link ini.
YOGYAKARTA – Indonesia memiliki sumber daya air yang melimpah, tinggal bagaimana manusia memanfaatkannya untuk kebutuhan hidup. Salah satunya air hujan yang dapat dimanfaatkan sebagai air minum yang masih belum dikonsumsi orang banyak. Sri Wahyuningsih penggerak Komunitas Banyu Bening di Rejodani, Kabupaten Sleman Yogyakarta. Sejak tahun 2012 sudah melakukan pemanfaatan air hujan untuk layak konsumsi dengan proses elektrolis yang didukung BNPB dengan slogan Gerakan Memanen Air Hujan, “Banyu Udan, Sumber Penguripan”. Air Hujan yang berkualitas setelah 15 menit, “Jangan ditampung dulu, karena 10-15 menit air hujan fungsinya menetralisirkan polutan udara, kotoran di genteng dan sebagainya” ungkapnya. “Kualitas air hujan yang baik adalah saat hujan deras dan petir saling menyambar” tambah wanita yang akrab dipanggil Yu Ning ini. Menceritakan pengalamannya, ada seorang mahasiswa ibunya terkena gagal ginjal. Sehingga mengharuskan cuci ginjal 2 kali seminggu. Dengan terapi air hujan yang memiliki kandungan mineral dan PH yang baik,mampu mengobati ibu mahasiswa tersebut. “Tetangga depan saya ini, penderita stroke. Alhamdulillah terapi dengan air hujan ini kembali jadi normal kembali” ceritanya. 35 fasilitator sekolah sungai BNPB semakin tertarik dan mencoba air yang tersedia gratis untuk warga. “Air hujan ini bukan obat, harus dipinggirkan persepsi tersebut. Tetapi air yang efektif untuk membersihkan sampah di tubuh kita” tegas Sri. Air tidak difilter/disaring tetapi diurai mineral dan asamnya. Yu Ning mengklaim, air hujan ini baik untuk tubuh, sehat, gratis dan terbaik setelah air Zam Zam. Kegiatan ini merupakan rangkaian gerakan pengurangan risiko bencana sekolah gunung dan sekolah sungai di Yogyakarta, selama 6-12 Agustus 2017 yang diikuti 30 orang dari 10 daerah (Kota Bima, Kabupaten Belu, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Sampang, Kota Denpasar, Kabupaten Lombok Tengah, Kota Singkawang, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Takalar) dan 5 orang dari LSM (Dompet Dhuafa, Forum Masyarakat Cinta Sungai Cirebon, Komunitas Citanduy) di Indonesia. Air Hujan untuk Air Minum |