Bagaimana prinsip Islam dalam menghadapi konflik

PENYELESAIAN KONFLIK INTERNAL AGAMA

Oleh Masykuri Abdillah*

Sebagai masyarakat majemuk sejak awal, bangsa Indonesia selama ini dikenal sebagai masyarakat beragama yang moderat dan toleran, dan bahkan menjadi contoh toleransi kehidupan beragama di dunia. Namun di era reformasi ini muncul sejumlah peristiwa konflik dan intoleransi atau bahkan kekerasan berlatarbelakang agama, baik internal maupun antarumat beragama. Meski jumlah konflik berlatarbelakang agama ini rata-rata pertahun hanya sekitar 1,3 % dari keseluruhan konflik, tetapi hal ini tetap mengkhawatirkan bagi kehidupan masyarakat, di samping dapat mengurangi apresiasi dunia terhadap kebijakan negara dan kerukunan umat beragama di Indonesia yang sangat baik.

Munculnya sejumlah kasus intoleransi dan bahkan kekerasan itu sebenarnya merupakan salah satu ekses dari reformasi, yang memang sangat mendukung kebebasan. Dalam kondisi demikian sejumlah kelompok agama cenderung mengekspresikan kebebasan yang terlalu bersemangat atau berlebihan, termasuk dalam hal pemahaman keagamaan yang puritan, radikal atau menyimpang dari mainstream. Ekspresi yang bersemangat ini juga terjadi dalam hal protes terhadap kelompok lain yang dianggap menodai atau menghina agama, sehingga dalam beberapa kasus protes itu termanifestasi dalam bentuk konflik atau kekerasan.

Potensi Konflik Internal

Terdapat sejumlah kondisi yang potensial menimbulkan konflik atau ketegangan internal agama dalam -hal ini Islam­, yakni: (1) keberadaan paham yang dinilai sesat (bukan Islam) baik oleh Dunia Islam maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti Jemaat Ahmadiyah, (2) keberadaan faham keagamaan yang berbeda dengan mainstream tetapi dunia Islam tetap mengakui keberadaannya, seperti aliran Syi’ah, (3) munculnya faham radikal baik yang bersifat ideologis seperti Jama’ah Islamiyyah (JI) dan Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT) maupun non-ideologis seperti Front Pembela Islam (FPI), (4) munculnya kelompok literalis atau puritan seperti salafi, yang menganggap kelompok lain sesat atau bid’ah, dan (5) munculnya aliran-aliran yang dinilai sesat yang bersifat lokal tetapi mengidentifikasikan diri sebagai Islam, seperti Al-Qiyadah al-Islamiyah yang didirikan Ahmad Musaddeq.

Faham-faham keagamaan tersebut dalam sejumlah kasus menimbulkan ketegangan atau konflik dalam masyarakat, baik karena aliran itu sendiri dinilai menyimpang yang berarti menodai agama, maupun karena faham-faham baru itu disiarkan dengan cara menyalahkan, membid’ahkan atau bahkan mengkafirkan faham yang dikuti warga masyarakat setempat. Namun demikian, hanya sebagian kecil saja dari ketegangan atau konflik itu yang berkembang menjadi kekerasan atau pengusiran, seperti kasus Ahmadiyah di Cikesik, Banten dan Lombok serta kasus Syi’ah Sampang di bawah kepemimpinan Tajul Muluk. Konflik semacam ini juga terjadi di sejumlah negara Muslim lainnya, seperti konflik Muslim-Ahmadiyah di Pakistan, konflik Sunni-Syi’ah di Pakistan, Irak dan Lebanon, serta konflik Salafi-Sufi di Mesir.

Ahmadiyah telah dinyatakan sebagai aliran sesat (non-Islam) oleh Rabithah al-‘Alam al-Islami (Muslim World League) pada 1974 serta fatwa MUI pada 1980 dan 2005. Dalam konteks perundangan di Indonesia, Ahmadiyah dianggap sebagai aliran yang menodai agama berdasarkan  PNPS No. 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang kemudian diperkuat menjadi UU No 5/1969 dan dimasukkan ke dalam KUHP, yakni pasal 156a. Ahmadiyah dinilai telah melakukan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama, yakni mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Sebenarnya PNPS ini sudah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk judicial review, tetapi MK menolaknya melalui Keputusannya No. 140/PUU-VII/2009.

Berbeda dengan Ahmadiyah, keberadaan Syi’ah diakui di negara-negara Muslim, termasuk Arab Saudi yang notabene memiliki paham keagamaan yang puritan. Dalam kasus Syi’ah di Sampang persoalannya bukan semata-mata perbedaan keyakinan, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor konflik keluarga dan persepsi warga bahwa Tajul Muluk kerap mengkafirkan para sahabat Nabi. Buktinya, kekerasan terhadap pengikut Syi’ah tidak terjadi di tempat lain, dan dakwah yang dilakukan oleh kelompok Syi’ah di berbagai daerah dapat berlangsung tanpa gangguan.

Penyelesaian Konflik

Di dunia terdapat variasi tentang kebijakan negara terhadap penodaan agama serta pelarangan atau pembatasan aktivitas aliran keagamaan yang dapat menimbulkan konflik dalam masyarakat. Dalam resolusi-resolusi Komisi/Dewan HAM PBB sejak tahun 2002, negara-negara yang mendukung hukum penodaan agama (blasphemy law) lebih banyak dari pada yang menolaknya. Meski Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak hukum ini, kini masih banyak negara Eropa yang mempertahankannya, yakni Austria, Denmark, Finlandia, Yunani, Italia, Irlandia, Belanda dan Jerman di samping Spanyol, Protugal dan Slovakia. Demikian pula, sejumlah negara di Eropa, seperti Rusia, Perancis, Swiss, Jerman dan Yunani, kini masih melarang atau membatasi aktivitas aliran tertentu, seperti Mormon, Saksi Yehova atau Scientology serta aliran-aliran kepercayaan (cults) lainnya.

Semua negara Muslim memiliki hukum penodaan agama, dan pada umumnya mereka melarang aliran Ahmadiyah atau mengelompokkan sebagai non-Islam. Oleh karenanya, beberapa tahun lalu banyak ormas Islam di Indonesia menuntut Presiden untuk membubarkan Jemaat Ahmadiyah berdasarkan PNPS di atas. Namun karena pembubaran oleh presiden itu tidak sejalan dengan prinsip demokrasi, maka Ahmadiyah ini tidak dibubarkan. Sebenarnya kasus ini bisa diselesaikan melalui proses  peradilan dengan tuduhan penodaan agama berdasarkan pasal 156a KUHP, tetapi sampai kini belum ada pihak yang membawanya ke pengadilan.

Pemerintah menyelesaikan kasus Ahmadiyah dengan penerbitan SKB Menag, Mendagri, dan Jaksa Agung, No 3/2008, No KEP-033/A/JA/6/2008, No. 199/2008. SKB ini memberi peringatan kepada warga Ahmadiyah untuk menghentikan penyebaran ajaran yang menyatakan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, serta peringatan kepada warga masyarakat untuk tetap menjaga kerukunan. Dengan demikian, SKB ini memperbolehkan pengikut Ahmadiyah untuk mengekspresikan keyakinan mereka secara internal (forum internum), tetapi melarang mereka untuk mengekspresikannya secara eksternal (forum externum). Hanya saja, sampai kini kadang-kadang masih terjadi pelanggaran terhadap SKB tersbut, baik yang dilakukan oleh pengikut Ahmadiyah maupun oleh warga. Bahkan di Lombok Barat pengikut aliran ini masih berada di pengungsian di Asrama Transito Mataram sejak 2006.

Oleh karenanya, Pemda, Kantor Kementerian Agama dan MUI Kabupaten/Kota serta para tokoh agama di tingkat lokal dituntut untuk terus menerus mensosialisaikan SKB tersebut. Sejalan dengan hal ini, agar negara konsisten pada kewajiban perlindungan HAM terhadap minoritas, para pengungsi Ahmadiyah di Mataram tersebut semestinya dipulangkan ke kampung asalnya, kecuali jika mereka lebih memilih relokasi atas kemauan mereka sendiri. Pemulangan serupa semestinya juga dilakukan bagi warga Syiah Sampang yang kini masih berada di pengungsian di Rusun Puspa Agro Sidoarjo. Namun Tajul Muluk tetap dibiarkan menjalani hukuman sampai selesai. Ia dijatuhi hukuman bukan karena ia pengikut Syi’ah, melainkan karena ia dituduh melakukan penodaan agama dalam bentuk pengkafiran kepada sahabat Nabi, berdasarkan pasal 156a KUHP.

Upaya-upaya pemulangan tersebut bisa dilakukan melalui pendekatan persuasif dengan mengedepankan musyawarah dan negosisi (interst approach). Pendekatan ini lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan kekuasaan (power approach) atau pendekatan pengadilan (right approach). Hanya saja, keberhasilan pendekatan persuasif ini sangat ditentukan oleh empat faktor, yakni (1) komitmen Pemda untuk menyelesaikan persoalan dengan mengesampingkan faktor politis terkait Pilkada, (2) keihklasan para tokoh agama masing-masing pihak untuk menyelesaikannya secara bijak dengan mengesampingkan kepentingan atau egoisme kelompok, (3) keberadaan mediator yang bisa diterima oleh semua pihak serta memiliki pengalaman dalam dialog antar dan internal agama, dan (4) penyediaan berbagai kompensasi berdasarkan prinsip win win solution.

Akhirnya, untuk tetap menjaga kerukunan internal umat beragama, Pemda dan aparat keamanan tetap harus melakukan upaya-upaya pencegahan konflik serta antisipasi agar konflik atau ketegangan itu tidak berkembang menjadi kekerasan. Sementara para tokoh agama tetap bisa menjelaskan posisi aliran-aliran tersebut dalam perspektif aqidah Islam yang benar sesuai dengan kesepakatan ulama dan organisasi Islam tingkat dunia, disertai dengan ajakan kepada warga tentang perlunya pemeliharaan kedamaian dan kerukunan umat beragama.

Ajakan tersebut sangat penting, karena jika protes-protes terhadap penodaan atau penghinaan agama itu dimaksudkan untuk “membela agama”, maka aksi-aksi itu seharusnya dilakukan dengan cara baik (ma’ruf) dan bijaksana (hikmah), bukan dengan cara kekerasan yang justru menodai agama itu sendiri. Di sisi lain, para pengikut Ahmadiyah seharusnya menghentikan penyiaran bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, sementara pengikut Syi’ah tidak melakukan caci maki terhadap sahabat Nabi. Yang lebih penting lagi adalah, ketentuan delik penodaan atau penghinaan agama, yang dalam RUU KUHP dimuat pada pasal 341-344, perlu diperjelas agar tidak menimbulkan multi tafsir.

* Masykuri Abdillah adalah Guru Besar UIN Jakarta. Artikel ini telah dimuat dalam GATRA, 21 Agustus 2013.