Pelajar Indonesia yang sedang belajar di Makkah yang masuk anggota Komite Hijaz adalah

You're Reading a Free Preview
Page 4 is not shown in this preview.

Pesantren sejak awal kelahirannya adalah institusi penguatan akhlak melalui ilmu-ilmu agama yang bersumber dari berbagai literatur klasik kitab kuning (turats). Kekayaan redaksi dan keilmuan dari para ulama membuat santri mampu berpikir kritis dan terbuka terhadap setiap perbedaan.

Namun, pesantren yang lahir kala bangsa Indonesia sedang mengalami penjajahan tidak menjauhkan diri untuk berjuang agar terbebas dari keterkungkungan akibat kolonialisme. Identitas kebangsaan pun terus diperkuat dengan meneguhkan tradisi dan budaya sebagai kekayaan intelektual bangsa Indonesia. Terbukti, pesantren mampu menancapkan rasa cinta tanah air yang kuat di dada para pejuang bangsa, termasuk santri dan ulama.

Mobilitas perjuangan tidak berhenti dalam persoalan kebangsaan, tetapi juga akidah kala ulama pesantren yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) berupaya keras menjaga kemerdekaan bermadzhab di tanah Hijaz (Mekkah dan Madinah). Hal itu dilakukan karena Raja Ibnu Sa’ud dari Najed dengan paham Wahabi puritannya berusaha melarang madzhab berkembang di Hijaz. Padahal, kebebasan brmadzhab telah berlangsung lama sehingga Hijaz menjadi salah satu tempat menimba ilmu dari umat Islam di dunia.

Perjuangan kalangan pesantren yang saat itu diinisasi oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) menunjukkan bahwa ulama pesantren tidak hanya melakukan perjuangan di tingkat lokal, tetapi juga dalam skala internasional dengan melakukan upaya diplomasi global. Sebab tentu dalam melakukan perjuangan meneguhkan madzhab ini, KH Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab, KH Raden Asnawi Kudus, dan tokoh-tokoh pesantren lain melihat bahwa warisan intelektual para ulama dalam ijtihadnya yang berdampak munculnya beragam madzhab harus tetap dipertahankan.

Apalagi di tanah Hijaz sendiri yang menjadi perjuangan penting Nabi Muhammad SAW dalam mengembangkan agama Islam sebagai Rahmat, tidak terkerangkeng dengan sentimen suku yang hingga saat ini seolah menjadi sumber konflik yang luar biasa di tanah Arab. Kiai Wahab dan kawan-kawan memahami bahwa Islam tidak hanya akan berkembang di tanah Arab, melainkan juga di seluruh belahan dunia.

Sentimen anti-madzhab yang cenderung puritan dengan berupaya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri. Kiai Wahab bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung Centraal Comite Al-Islam (CCI)--dibentuk tahun 1921--yang kemudian bertransformasi menjadi Centraal Comite Chilafat (CCC)—dibentuk tahun 1925--akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami) di Mekkah tahun 1926.

Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai Wahab secara cepat menyampaikan pendapatnya menanggapi akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam. Usul Kiai Wahab antara lain: “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Mekkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab. Sistem bermadzhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan”.

Kiai Wahab beberapa kali melakukan pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto, juga Ahmad Soorkatti. Namun, diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang berusaha disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berkahir dengan kekecewaan karena sikap tidak kooperatif dari para kelompok modernis tersebut.

Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926. Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah mendapat restu KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947).

Perhitungan sudah matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari pun telah dikantongi. Maka pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah. Para ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz. Namun setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 M.

Komite Hijaz bersepakat menyusun risalah atau mandat dan materi pokok yang hendak disampaikan langsung kepada Raja Ibnu Sa’ud di Mekkah dalam forum Muktamar Dunia Islam. Risalah Komite Hijaz terdiri dari 5 (lima) poin yang berasal dari pokok pikiran para ulama NU, sebagai berikut (Choirul Anam, 1985):

1. Meminta kepada Raja Ibnu Sa’ud untuk tetap melakukan kebebasan bermadzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

2. Memohon tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah karena tempat tersebut diwakafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah, bangunan Khaizuran, dan lain-lain.

3. Mohon disebarluaskan ke seluruh dunia Islam setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji mengenai hal ihwal haji. Baik ongkos haji, perjalanan keliling Mekkah maupun tentang Syekh (guru).

4. Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di tanah Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut.

5. Jam’iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap Raja Ibnu Sa’ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul NU tersebut.

(Fathoni Ahmad)

KOMITE HIJAZ adalah nama sebuah kepanitiaan kecil yang diketuai oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Panitia ini bertugas menemui raja Ibnu Saud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan.<>Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh. Saat itu terjadi eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain, mereka pindaha atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia. Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah, berbagai tempat bersejarah, baik rumah Nabi Muhammad dan sahabat termasuk makam Nabi hendak dibongkar.Dalam kondisi seperti itu umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Hijaz. Komite bertugas menyampaikan lima permohonan:Pertama, Memohon diberlakukan  kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu  dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran  antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan  mazhab tersebut  di bidang tasawuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk  memperkuat hubungan  dan persaudaraan umat Islam yang bermazhab sehingga umat Islam menjadi sebagi tubuh yang satu, sebab umat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan.Kedua, Memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat  bersejarah  yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut  diwaqafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah “Hanyalah orang yang meramaikan Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah” dan firman Nya “Dan siapa yang lebih aniaya dari pada orang yang menghalang-halangi orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya  dan berusaha untuk merobohkannya.” Di samping untuk mengambil ibarat dari tempat-tempat yang  bersejarah tersebut.Ketiga, Memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji menganai tarif/ketentuan beaya yang harus diserahkan oleh jamaah haji kepada syaikh dan muthowwif dari mulai Jedah  sampai pulang lagi ke Jedah. Dengan demikian orang  yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan  yang cukup buat pulang-perginya dan agar supaya mereka tiak  dimintai lagi  lebih dari ketentuan pemerintah.Keempat, Memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang  agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.Kelima, Jam’iyah Nahdlatul Ulama  memohon  balasan surat  dari Yang Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan  surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat  balasan tersebut  diserahkan kepada  kedua delegasi tersebut.Karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud. 

Maka dapat disimpulkan bahwa Komite Hijaz yang merupakan respon terhadap perkembangan dunia internasional ini menjadi faktor terpenting didirikannya oeganisasi NU. Berkat kegigihan para kiai yang tergabung dalam Komite Hijaz, aspirasi dari umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah diterima oleh raja Ibnu Saud. (A. Khoiril Anam)