Kearifan lokal yang mengandung nilai lokal

KEARIFAN LOKAL MENDINAMISASI KEHIDUPAN MASYARAKAT YANG BERKEADABAN

Syafiq A. Mughni

Pendahuluan

Kearifan lokal (local wisdom) akhir-akhir ini menjadi subyek perbincangan yang semakin ramai di kalangan karena posisinya yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Ia merupakan perwujudan dari nilai lokal (local value) yang dipandang positif karena fungsinya dalam menjamin harmoni dan solidaritas sosial serta dipandang efektif dalam transformasi sosial. Kearifan sosial tentu saja harus digali dalam maknanya yang paling substansial dari tradisi lokal (local tradition) dan kemudian secara selektif ditarik ke dalam nilai-nilai keadaban. Dengan kata lain, tidak semua tradisi lokal mengandung nilai keadaban, dan karena itu tidak semua tradisi lokal menjadi sumber bagi kearifan lokal. Bagi kita, tradisi lokal harus terseleksi untuk ditransformasikan ke dalam kearifan lokal dan harus paralel dengan nilai-nilai ajaran Islam yang telah menjadi worldview (pandangan dunia) bagi setiap Muslim.

Ancaman Modernitas

Perjalanan sejarah pemikiran manusia bisa dipandang dalam bentuk dialektika. Pada abad-abad pertengahan, kehidupan manusia didominasi oleh pemikiran keagamaan, yang oleh August Comte disebut sebagai masa teologis. Ajaran agama sangat mewarnai kehidupan manusia pada saat itu. Ukuran baik dan buruk, benar dan salah, ditentukan oleh ajaran agama. Kalau cara pandang semacam itu dipandang sebagai sebuah tesis dalam dialektika, maka muncullah antisesis pada zaman berikutnya yang mengkritik bahwa agama pada abad-abad pertengahan itu sebagai penghambat kemajuan. Antisesis itu menyatakan bahwa cara pandang yang absah adalah rasionalisme, yang dalam bahasa August Comte disebut sebagai positivisme. Orang lebih bergantung pada rasio atau ilmu pengetahuan untuk membangun cara berfikir dan bertindak. Masa positivistik itu terjadi ketika modernitas berkembang dan menggusur tradisi yang dipandang menghambat kemajuan manusia. Dalam masa ini ilmu pengetahuan cepat berkembang yang kemudian terjadi sekularisasi dalam hampir seluruh kehidupan manusia. Agama dan tradisi dipandang sebagai sesuatu yang obsolete yang menghambat kemajuan. Jika modernitas semacam itu dipandang sebagai tesis (sebelumnya berupa antitesis), maka pada masa berikutnya muncul antisesis baru yang mengkritik modernitas sebagai sumber malapetaka. Seorang intelektual Muslim, Seyyed Hosein Nasser, menulis sebuah buku berjudul The Plight of Modern Men, yang menggambarkan kehidupan manusia modern yang menderita akibat kegersangan spiritual dan kerusakan lingkungan. Antitesis itu disebut orang sebagai post-modernity atau post-traditionality, yang selain mengkritik modernitas, juga memberikan kembali apresiasi terhadap agama dan tradisi. Pada masa terakhir inilah wacana tentang pluralisme, multikultutalisme dan kearifan lokal berkembang, yang pada dasarnya ingin menyatakan bahwa agama dan tradisi yang pernah dipersalahkan sebagai penghambat kemajuan sekarang dipandang sebagai modal budaya yang diperlukan bagi perbaikan kehidupan manusia.

Sebagaimana sering disebut bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam modern karena banyak sekali menyerap unsur-unsur modernitas dalam cara berfikir maupun pengelolaan organisasi. Tetapi, modernitas Muhammadiyah bukanlah bersifat sekular karena agama tetap menjadi motivasi, ruh dan jalan perjuangan dkwah Muhammadiyah. Dengan demikian, ciri-ciri masa teologis masih tetap ada di dalamnya bersamaan dengan ciri-ciri masa positivistik. Agama dan modernitas diramu secara eklektik dalam Muhammadiyah sehingga menjadi gerakan yang memperkokoh agama dan sekaligus mendinamisasi instrumen-instrumen dakwah.

Ancaman Puritanisme

Di samping ancaman modernitas, tradisi dan nilai-nilai lokal juga mendapatkan ancaman dari puritanisme agama. Kecenderungan puritan dalam Islam, misalnya, telah menggusur tradisi-tradisi yang dipandang berbau bid’ah, takhayul, khurafat dan syirik karena merusak akidah Islam yang murni. Dalam prakteknya, gerakan puritan ini telah melancarkan serangan tanpa pandang bulu terhadap tradisi yang diyakini bertentangan dengan Islami murni, seperti ziyarah kubur, sedekah bumi, sedekah laut, tahlilan dan slametan karena semuanya itu berbau sinkretik dan tidak bersumber dari ajaran Islam yang otentik. Tradisi secama itu dipandang oleh Puritanisme sebagai bentuk sikretisme, campuran ajaran-ajaran yang berasal dari Hindu, Budha dan paganisme. Cara berfikir puritan semacam itu pada masa berikutnya dikritik karena menyebabkan kegersangan spiritual dan hilangnya kearifan lokal. Mengikuti cara pandang dialektika seperti tersebut di atas, maka kita melihat bahwa jika sinkretisme abad pertengahan adalah sesuatu tesis, muncullah puritanisme pada zaman modern sebagai antitesis. Pada gilirannya, antitesis ini menjadi tesis, yang selanjutnya ditantang oleh tesis baru, yang mengritik puritanisme sebagai pemikiran yang menggusur tradisi dan spiritualitas secara membabi buta.

Dalam kesempatan ini perlu dipaparkan bagaimana Muhammadiyah memandang tradisi lokal. Rujukan yang paling baik sesungguhnya adalah produk Sidang Tanwir di Makassar 2007 yang mengesahkan Dakwah Kultural Muhammadiyah.  Pada prinsipnya, Muhammadiyah sangat menghargai tradisi lokal. Tetapi, jika tradisi itu mengandung penyimpangan dari akidah yang benar, maka Muhammadiyah melakukan purifikasi dalam arti menjauhkan diri dari tradisi yang mengandung unsur-unsur takhayul, bid’ah, khurafat dan syirik. Jika tradisi itu tidak mengandung unsur-unsur sinkretik, maka Muhammadiyah mendinamisasikan tradisi itu sehingga menjadi modal bagi pencepatan kemajuan manusia.

Posisi Muhammadiyah semacam itu menyiratkan penghargaannya terhadap budaya lokal, dan setelah melalui seleksi sebagiannya menjadi local wisdom. Ini berarti bahwa sekalipun telah dikenal sebagai gerakan modernis yang menghargai rasionalitas, Muhammadiyah tetap menghargai tradisi yang positif dan posisinya sebagai kearifan lokal. Demikian pula, sekalipun dikenal sebagai gerakan puritan, Muhammadiyah tidak berlaku semena-mena terhadap tradisi. Muhammadiyah hanya melakukan usaha purifikasi jika mengandung atau mempersubur sinkretisme.

Kearifan Lokal

Kearifan lokal menjadi bahan wacana dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Berikut ini bebrapa contoh tentang bangkitan kesadaran terhadap pentingnya kearifan lokal. Akibat industrialisasi yang terus berekspansi secara cepat, terjadilah kerusakan lingkungan. Polusi, banjir, tanah longsor dan pemanasan global (global warning) merupakan byproduct dari industrialisasi, yang bahkan sampai sekarang diyakini oleh para penganut developmentalisme sebagai satu-satunya jalan menuju kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Pengunaan bahan bakar, konversi lahan produktif menjadi real estat dan pabrik menyebabkan kesusakan lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam atas nama pembangunan ternyata menimbulkan penderitaan di banyak tempat. Itu semua menggambarkan bagaimana parahnya kerusakan lingkungan yang menimbulkan penderitaan masyarakat lokal akibat pembangunan yang tidak berorientasi pada kearifan lokal.

Contoh lainnya bisa dilihat dalm dimensi hubungan antarmanusia. Dalam tradisi Jawa yang sesungguhnya diwarnai oleh ajaran Islam, manusia diharuskan untuk menjalin silaturrahim. Orang bertemu muka, bercanda, berbincang-bincang dengan keakraban. Mereka memiliki waktu yang longgar untuk bercengkerama sehingga hubungan batin menjadi kuat karena bisa melihat ekspresi teman atau tetangganya. Tetapi, dalam kehidupan modern, akibat teknologi informasi, orang merasa cukup berkomunikasi dengan teknologi informasi, misalnya telepun. Manusia modern telah kehilangan sentuhan-sentuhan keakraban sesama. Tradisi gotong royong di kampung-kampung tradisional sesungguhnya merupakan instituasi untuk menguatkan keakraban dan tanggung jawab sosial. Ada nilai-nilai (values) yang tidak bisa digantikan oleh sistem baru, misalnya dengan urunan untuk membayar tenaga orang lain untuk mengerjakan tugas-tugas kolektif di suatu komunitas tertentu.

Keadaban

Menyadari pentingnya kearifan lokal. Maka tugas kita sekarang ialah menemukan kearifan lokal dan memfungsikannya untuk mengembangkan kehidupan masyarakat yang berkeadaban. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kehidupan masyarakat semacam itu, dalam bahasa rakyat Indonesia, adalah kehidupan yang sejahtera lahir dan batin dan berada bi bawah naungan keampunan Allah (wa rabb ghafur); juga masyarakat yang diberkahi oleh Allah (barakat min al-sama’ wa al-ardl); masyarakat yang aman damai (aminan muthma’innan). Masyarakat seperti itu tidak akan lahir secara tiba-tiba, tetapi dari proses yang melibatkan usaha manusia, yang salah satunya ialah pertimbangan terhadap pentingnya kearifan lokal.

Pada masyarakat Jawa, misalnya, kearifan lokal bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari baik terhadap sesama manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam dalam pengertian yang lebih luas. Dalam hubungan manusia, kita masih menemukan budaya kewajaran (ngono yo ojo ngono), toleransi (tepo seliro), gotong royong, ketulusan, penghormatan terhadap yang lebih tua, termasuk orang tua, guru dan lain-lain. Dalam hubungan dengan hewan, kita menemukan betapa akrabnya manusia denga makhluk Allah itu, misalnya tradisi angon wedus (kambing), memelihara sapi di kandang yang dekat dengan rumah. Ini berbeda dengan ternak ayam dalam masyarakat modern yang penuh dengan kekejaman karena ingin memperbesar produksi untuk memenuhi konsumsi masyarakat modern. Dalam hubungnnannya denga alam, masyarakat masih memelihara hubungan yang akrab sehingga tidak melakukan eksploitasi sumber daya alam secara sembrono. Industrialisasi yang tidak memperhatikan kearifan lokal mengakibatkan malapetaka baik bagi masyarakat yang tinggal di sekitar maupun bagi warga dunia dalam jangka panjang.

Kesimpulan

Modernitas selain berdampak positif juga berdampak negatif karena itu harus ada ukuran-ukuran transedental untuk melahirkan sintesis yang membuat masyarakat terus bergerak ke arah kehidupan yang berkeadaban. Demikian pula, puritanisme selain mengandung sisi-sisi positif, juga mengandung sisi-sisi negatif. Karena itu harus ada ukuran-ukuran spiritual untuk melahirkan sintesis. Dalam masa sekarang, sintesis yang dilahirkan dari tesis modernitas dan puritanisme perlu mempertimbangkan kearifan lokal agar masyarakat tetap bergerak maju tetapi tidak menyebabkan kegersangan spiritual, tidak menimbulkan malapetaka akibat kerusakan alam, dan tidak menyebabkan fragmentasi sosial. Kearifan lokal harus diberikan apresiasi yang wajar karena bisa secara secara bersama-sama mengurangi dampak buruk dari modernitas dan puritanisme yang semena-mena.