Show DOI https://doi.org/10.31933/unesrev.v3i2.151 Mulyawan, F., & Tiara, D. (2020). KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM PADA ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA DAN JEPANG. UNES Law Review, 3(2), 113-125. https://doi.org/10.31933/unesrev.v3i2.151
Ahmad Noeh dari Islamic Courts in Indonesia, Jakarta: PT. Intermasa, 1986. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta : LP3ES, 1986. Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, Padang, IAIN Press, 2008. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998 Busthanul Arifin, Budaya Hukum itu Telah Mati, Jakarta : Kongres Umat Islam, 1998. Chtijanto, “Pengadilan Agama sebagai Wadah Perjuangan Mengisi Kemerdekaan Bangsa”, dalam Kenang-kenangan Seabad Pengadilan Agama, Jakarta: Dirbinbapera Dep. Agama RI, 1985. Daniel S. Lev, Peradilan Agama di Indonesia, Terjemah oleh Zaini Idris Ramulyo, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Ind-Hillco, 1992. Ismail Suny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” dalam Amrullah Ahmad et.al (ed.), Prospek Hukum Islam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia : Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, Jakarta: PP IKAHA, 1994. Juhaya S. Praja, “Pengantar” dalam Eddi Rudiana Arief, Hukum Islam Di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991. Muhammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique (ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta : LP3S, 1989. ____________________, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Muhammad Hasan al-Aydrus, Penyebaran Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Lentera, 1996. Munawir Sjadzali, “Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia” dalam Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Proyek IAIN Syahid, Laporan Penelitian tentang Teori Resepsi, Jakarta: Lembaga Penelitian, 1981. R. Tresna, Peradilan Indonesia dari Abad ke-Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta : INIS, 1998. Samsul Hadi & Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam Di Indonesia Jakarta: Akademika Prasindo, 1984. Sajuti Thalib, Receptio a Contrario : Hubungan antara Hukum Adat dan Hukum Islam, Jakarta : Bina Aksara, 1985. Sukarsi dari Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936, Jakarta : 1994. Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001. Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat, Jakarta : Pranya Paramita, 1982. Taufik Abdullah, “BPUPKI: Sebuah Episode di Panggung Sejarah”, dalam Kompas, Sabtu, tanggal 1 Januari 2000. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Buku Ikhtiar,1961. Zainal Abidin Abu Bakar, Pengaruh Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di Indonesia, dalam Jurnal dua Bulanan Mimbar Hukum, No. 9, Tahun IV 1993. Abstrak Artikel ini membahas tentang Dinamika Pendidikan Islam Pada Masa Pendudukan Jepang Pendidikan Islam pada masa pendudukan Jepang digunakan sebagai alat bantu memperkuat posisi Pemerintahan Jepang di Nusantara dalam rangka menghadapi ancaman Sekutu. Awalnya, Jepang datang ke Nusantara disambut secara terbuka oleh masyarakat Indonesia. Jepang datang Indonesia dengan semangat kemerdekaan dan kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Belanda. Kedatangan Jepang dipermudah kelompok Islam anti-Belanda. Tapi belakangan ini itu hanya slogan Jepang untuk mendapatkan simpati Masyarakat Indonesia khususnya kelompok muslim. Kebijakan Pendidikan pemerintah kolonial Belanda adalah misi Kristenisasi, kemudian selama pendudukan Jepang terjadi pergeseran drastis karena titik tumpu Jepang bukanlah agama Kristen. Misi khas kebijakan pendidikan tidak lain adalah meniponisasi bangsa dan umat Islam dalam Indonesia Kata Kunci: dinamika, pendidikan islam, masa pendudukan jepang, meniponisasi. Abstrack Islamic education in the Japanese colonial period was used as a tool for strengthen the position of the Japanese Government in the Nusantara in order face an Allied threat. Initially, the Japanese came to the archipelago welcomed openly by the Indonesian people. Japan came to Indonesia with the spirit of independence and liberation from Dutch colonial rule. The arrival of Japan was made easy by anti-Dutch Islamic groups. But lately it is only a Japanese slogan to gain sympathy Indonesian society, especially the Muslim group. When policy Dutch colonial government education was a Christianization mission, then during the Japanese occupation there was a drastic shift due to the fulcrum Japan is not a Christian religion. The typical mission of policy education is none other than menipponisasi nation and Muslims in Indonesia Key Words: dynamics, Islamic education, during the Japanese occupation, meniponisasi
Jepang menjajah Indonesia dalam kurun waktu yang singkat dibandingkan dengan Belanda. Jepang hanya menjajah selama kurang lebih 3,5 tahun, terhitung dari tahun 1942-1945. Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Jepang setelah melalui proses yang cukup panjang. Pasukan Jepang memiliki sebuah cita-cita untuk membentuk imperium di Asia. Oleh karena itu, Jepang banyak melakukan intervensi ke berbagai wilayah. Pada tanggal 8 Desember 1941 Jepang mulai melakukan penyerbuan ke Asia Tenggara dan membom Pearl Harbour yang merupakan pangkalan terbesar Angkatan Laut Amerika di Pasifik. Penyerangan yang dilakukan Jepang, menyulut kemarahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer. Perang antara Belanda dan Jepang pun dimulai. Jepang mulai menyerang Indonesia dan berusaha untuk menguasai wilayah yang ada, seperti di Kalimantan dan Jawa. Perang antara Belanda dan Jepang berakhir dengan kesepakatan kedua belah pihak. Pihak Angkatan Perang Hindia Belanda melakukan kapitulasi[1] kepada Jepang. Sehingga berakhirlah pemerintahan Belanda dan digantikkan oleh kekuasaan Jepang. [2] Ketika Jepang berhasil menduduki Indonesia, Jepang mempunyai kebijakan yang berbeda dari Belanda. Khususnya kebijakan Jepang untuk mengakomodasi dua kekuatan besar yang ada di Indonesia pada waktu itu, yaitu kaum Islam dan nasionalis sekuler. Jepang memahami bahwa Indonesia mayoritas beragama Islam, jadi ketika Jepang berhasil mengakomodasi kekuatan tersebut, maka akan mudah untuk melakukan kerja sama dengan para ulama yang memang memiliki pengaruh yang besar dikalangan masyarakat. Jepang banyak membentuk organisasi-organisasi dan membiarkan MIAI terus hidup. Umat Islam diperlakukan dengan layak dan diberi kebebasan menjalankan ibadah. Organisasi-organisasi yang ada kemudian berubah haluan dan melawan Jepang, khususnya umat Islam. Umat Islam senantiasa ikut serta dalam usaha-usaha kemerdekaan Indonesia. Masa Pendudukan Jepang di IndonesiaJepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942. Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda “Jepang Pemimpin Asia, Jepang saudara tua bangsa Indonesia”.[3] Serangan Jepang ke Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour memicu perang antara Belanda dan Jepang. Sebelumnya, Jepang telah menyerbu Cina dan Indocina. Selanjutnya ke Muangtai, Burma, Malaya, Filipina, dan Hindia Belanda (Indonesia). Jepang pun memperoleh kekuasaan di Indonesia setelah berhasil melawan Belanda.[4] Pemboman di Pearl HarbourJepang memperoleh keberhasilan dalam menaklukan wilayah yang ada di Indonesia. Pertama-tama, Jepang menduduki Tarakan, selanjutnya menguasai Balikpapan, Pontianak, Banjarmasin, Palermbang, Batavia (Jakarta), Bogor, Subang, dan Kalijati. Setelah berkuasa, Jepang membentuk pemerintahan militer Jepang di Indonesia yang terbagi atas tiga wilayah kekuasaan:[5]
Jepang melakukan pendekatan-pendekatan kepada kaum Islam dan nasionalis sekuler. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menarik perhatian dan dukungan. Sebelumnya, tepatnya pada bulan September 1939, Jepang juga melakukan aktivitas untuk menarik simpati bangsa-bangsa yang beragama Islam. Hal ini dibuktikan dengan diselenggarakannya pertemuan organisasi-organisasi Islam di Tokyo. Aktivitas tersebut merupakan pameran Islam yang diadakan di Tokyo dan Osaka pada tanggal 5-29 Nopember 1939.[6] Jepang membentuk lembaga-lembaga baru bagi golongan nasionalis sekuler dan Islam sebagai berikut:[7]
Gerakan 3 A Putera Cuo Sangi In Jawa Hokokai Pada 4 September 1942 MIAI bergerak, tetapi tidak memenuhi harapan Jepang. Hal ini dikarenakan, MIAI berusaha menolak Rancangan Undang-Undang Kolonial Belanda yang dalam beberapa hal bertentangan dengan hukum Islam serta menolak kolonialisme. Jepang khawatir semangat kolonialisme ini akan tumbuh. Disamping itu, MIAI memperkuat persaudaraan dengan Muslim luar negeri. Dikhawatirkan ide Pan-Islam akan terus berkembang dan mengancam ide Pan-Asia. MIAI berhenti sejenak dan kembali bergerak dengan program-program baru demi tercapainya tujuan sosio-religius. Perincian program ini yaitu:
Dalam pelaksanaannya, MIAI menjalankan tiga proyek, yaitu:
Baitul Mal yang melibatkan para ulama dikhawatirkan Jepang diniatkan untuk mencari ridha Allah semata, bukan demi membantu kepentingan Jepang. Dengan begitu, akan memotong hubungan antara MIAI dengan Shumubu[8]. Pada tanggal 1 April, di setiap karesidenan di Jawa telah dibuka kantornya dengan nama Shumuka[9]. Kepalanya adalah ulama terkemuka di setiap wilayah karesidenan. Pada tanggal 1 Oktober 1943, Kolonel Horie digantikan oleh Husein Djajadiningrat. Ketika Husein tidak bisa bekerja dengan baik, maka digantikan oleh K.H Hasyim Asy’ari. Selain sebagai ketua Shumubu, ia juga sebagai ketua Lembaga Majelis Syuro Muslimin Indonesia, atau dikenal dengan Masyumi yang disahkan pada 22 Nopember 1943. Wakilnya, K.H Chasbullah dari NU dan K.H Mas Mansur dari Muhammadiyah. [10] Adapun dampak dari pendudukan Jepang di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sebagai berikut:[11]
Pandangan dan Politik Jepang terhadap umat Islam IndonesiaIslam mendapatkan perhatian yang khusus pada masa pendudukan Jepang. Hal ini dapat dilihat ketika Jepang melakukan pendekatan-pendekatan khusus. Pada tahun 1943, tepatnya tujuh bulan pertama, Jepang sibuk untuk memobilisasikan Islam Indonesia pada tingkat rakyat pedesaan. Jepang memperlakukan para kiai yang ada di desa dengan sopan, karena Jepang sadar betul betapa besarnya pengaruh para kiai. Jepang berhasil mendamaikan antara kaum bertahan (ulama yang berpegang teguh pada madzhab) dengan kaum maju (ulama yang menolak taqlid), antara ulama dependen (penghulu) dengan ulama independen (kiai). Elite Islam diberikan bagian yang tentu lebih besar daripada masa Hindia Belanda dalam urusan politik-administratif yang baru, khususnya di Shumubu dan di Shumuka. [12] Di beberapa wilayah di Indonesia, ulama menduduki posisi keagamaan, sosial dan juga politik. Salah satunya di Minangkabau, yang mana posisi Tuanku lebih tinggi daripada kaum adat. Posisi dan peranan ulama pedesaan di Indonesia yang lebih besar dari penguasa yang hanya berlandaskan nasionalisme sehingga Jepang berusaha menarik para ulama ke pihak mereka. Sebelum pendaratan Jepang ke Indonesia, Jepang melakukan penyiaran yang isinya menyatakan bahwa mereka akan datang untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan akan menghormati serta menjunjung tinggi Islam. Di Aceh, Jepang disambut dengan baik oleh PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang telah melakukan sabotase untuk memberi jalan bagi tentara Jepang yang lewat. Untuk meyakinkan umat Islam di Indonesia, Jepang mengambil tindakan keras terhadap gereja. Sekolah-sekolah dan rumah sakit yang dikelola oleh Belanda di tutup atau diletakkan dibawah pemerintahan Belanda. Berkaitan dengan upaya politik Jepang terhadap umat Islam di Indonesia, Jepang hendak menjadikan Indonesia seperti Mansyuria, Korea dan Formosa (sekarang Taiwan) sebelum Perang Dunia Kedua. Jepang berusaha me-niponisani Indonesia dengan cara membuat Jepang dominan dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Kebudayaan Indonesia digantikan dengan kebudayaan Jepang. Hal ini dapat kita lihat dalam contoh berikut:
a). mempunyai pengaruh yang luas, b).berpengetahuan luas, c). berposisi social yang baik, d). berkarakter tidak tercela. Kiai diwajibkan untuk berseikeirei, mereka juga tidak boleh berhubungan dengan publik selama mengikuti penataran. Mereka harus hidup dalam suasana, kebiasaan dan ideologi Jepang. Menurut Clifford Geertz (1960) beberapa orang ulama yang berusia muda dikrim ke Bragang untuk diajarkan bagaimana supaya berani mati seperti pasukan Kamikase yang berjuang demi kejayaan Dai Nippon dan Tenno Heika.
Perjuangan Umat Islam Pada Masa Pendudukan JepangKerja paksa pada jaman Jepang dinamakan Romusha. Banyak rakyat dipekerjakan secara paksa demi kepentingan perang Jepang. Selain itu, ada pula yang samapi dikirim jauh, dan hanya beberapa orang saja yang kembali. Gadis-gadis Indonesia dikerahkan hanya untuk menghibur tentara Jepang. Pada awalnya, mereka diberi embel-embel akan diberi pendidikan yang layak, tapi semua itu palsu. [15] Untuk melepaskan diri dari cengkraman Jepang, maka berbagai upaya perlawanan pun dilakukan, baik melalui perjuangan di bawah tanah maupun perjuangan bersenjata. Perjuangan bawah tanah terdiri dari para pegawai yang diam-diam menghimpun kerkuatan untuk mempersatukan rakyat berjuang mencapai kemerdekaan. Perjuangan bawah tanah dilakukan di berbagai daerah, salah satunya adalah di Jakarta:[16]
Perlakuan Jepang yang semakin menyengsarakan rakyat membuat mereka melakukan perlawanan dan menentang Jepang, bahkan dengan perlawanan bersenjata. Perlawanan tersebut juga terjadi di berbagai daerah:
Jepang terdesak dalam perang pasifik, sehingga menjanjikan kemerdekaan dalam waktu dekat, maka dibentuklah BPUPKI yang dilantik 28 Mei 1945. BPUPKI memiliki arti penting karena untuk pertama kalinya dalam sejarah, para pemimpin Indonesia berkumpul dalam suatu wadah membicarakan persiapan kemerdekaan bangsa. Dalam BPUPKI terdapat dua ideologi yang berbeda antara Islam dan nasionalis sekuler. Sidang BPUPKIPada 9 Agustus dibentuklah PPKI. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat dan kosong kekuasaan, hal ini dimanfaatkan pemimpin bangsa untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah proklamasi kemerdekaan datanglah utusan dari Indonesia Timur, ada yang mengatakan seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) datang menemui bung Hatta, menyampaikan bahwa wakil-wakil dari agama Protestan dan agama Katolik dalam daerah yang dikuasai angkatan laut Jepang merasa keberatan dengan adanya sila pertama yang berbunyi ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sidang PPKIUsulan yang diterima bung Hatta kemudian disampaikan dalam sidang PPKI, bung hatta juga menemui beberapa pemimpin Islam untuk membicarakan hal tersebut, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, dan Teuku Muhammad Hasan. Akhirnya golongan Islam menerima perubahan Piagam Jakarta , keputusan yang diambil oleh beberapa pemimpin Islam dalam waktu yang sangat singkat itu , sungguh mencerminkan sikap kenegarawaan dan komitmen terhadap persatuan dan kesatuan bangsa yang tiada bandingnya dalam sejarah Republik Indonesia. Adapun alasan golongan Islam adalah:
DAFTAR PUSTAKABenda. Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj Daniel Dhakidae. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1958. Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma Offset, 2010. Listiyani, Dwi Ari. Sejarah. Jakarta: Pusat Perbukuan , Departemen Pendidikan Nasional, 2009. Notosusanto, Marwati Djoened & Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1984. Shiddiqi, Nourouzzaman. Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik Metodologis. Jakarta: PT Djaya Pirusa, 1984. Suryanegra, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995. [1]Kapitulasi adalah penyerahan kekuasaan sebagai akibat kekalahan dalam peperangan kepada pihak yang menang. [2]Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1984), hlm. 1-5. [3]Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma Offset, 2010), hlm. 35. [4]Dwi Ari Listiyani, Sejarah (Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2009), hlm. 174. [5]Ibid, 174-175. [6]Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj Daniel Dhakidae (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1958), hlm. 134. [7] Dwi Ari, Sejarah, hlm. 176. [8]Shumubu adalah Departemen Agama pusat buatan Jepang. Dibentuk pada bulan Maret, yang mana tugasnya dibebankan pada tiga orang haji Jepang, yaitu: Haji Abdul Muniam Inada, Haji Abdul Hamid Ono dan Haji Muhammad Saleh Suzuki. Mereka didaratkan ke Indonesia dipimpin oleh Kolonel Horie, seorang Jepang non Muslim. [9] Shumuka adalah Departemen Agama di tingkat karesidenan. [10] Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik Metodologis (Jakarta: PT Djaya Pirusa, 1984), hal. 111-119. [11] Dwi Ari, Sejarah,, 179-183. [12] Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik Metodologis, hlm. 94-95 [13] Ahmad Mansur Suryanegra, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), hal. 258. [14] Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik Metodologis, hal. 91-111 [15] Ibid, hal. 124. [16]Dwi Ari, Sejarah,hlm. 176-179. Similar Posts:
|