Jelaskan bagaimana perilaku seseorang apabila tidak memiliki sifat malu

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska Riau

Sifat malu sebagian dari akhlak Islam. Malu juga bagian dari iman, dan sifat malu juga predikat yang agung dari sikap ihsan. Rasulullah SAW menyatakan, rasa malu adalah sebagian dari iman (hadis riwayat Imam al-Bukhari).

Kenyataannya, puasa itu rahasia antara hamba dengan Allah SWT. Atas dasar iman, saat melaksanakan ibadah puasa, orang tersebut merasakan hidupnya dalam pengawasan (muraqabah) Allah SWT. Lalu, dia pun merasa malu kepada Allah SWT dalam melakukan perkara yang merusak puasanya. Atau perkara yang bisa mengurangi pahala puasanya.Nah, berarti puasa Ramadan itu merupakan di antara ibadah yang menanamkan rasa malu pada pribadi orang yang berpuasa.

Sifat malu ini yang sudah terkikis pada sebagian besar bangsa ini. Kita lihat kenyataannya, seperti para pelaku tindak pidana korupsi dengan tersenyum riang tampil di televisi. Kita lihat pula berita di negara Jepang, baru diduga saja terlibat tindak pidana korupsi, langsung saja menteri bersangkutan mengundurkan diri. Dan tak mustahil pada akhirnya bunuh diri, karena tak sanggup menanggung malu.

Perlu diketahui, rasa malu itu merupakan akhlak kepribadian Rasulullah SAW. Abu Sa’id al-Khudrimengatakan, Rasulullah SAW itu punya rasa malu yang lebih tinggi dari rasa malu yang dimiliki para gadis.

Rasa malu bisa dipergunakan untuk mengetahui kualitas keimanan dan akhlak seseorang.

Ketika seseorang merasa berdosa setelah melakukan perbuatan yang tidak pantas, atau roman muka seseorang memerah karena malu setelah berbuat sesuatu yang tidak layak, bisa dipastikan hati nurani orang tersebut masih hidup dan memiliki sifat yang baik. Namun, kalau seseorang itu bermuka tebal dan tidak peduli lagi terhadap apa yang dia perbuat, orang tersebut merupakan orang yang tidak berkepribadian baik. Sebab dia tidak lagi punya rasa malu yang mampu mengendalikan dirinya dari perbuatan dosa dan hina.

Bahkan, Islam menjadikan rasa malu itu sebagai salah satu ciri khas misi ajarannya. Rasulullah SAW menegaskan, setiap agama itu memiliki ciri khas akhlaknya, dan akhlak yang menjadi ciri khas agama Islam adalah rasa malu. (HR. Imam Malik).

Bukan hanya itu, Rasulullah SAW juga menyatakan, rasa malu dan keimanan merupakan dua teman karib. Apabila salah satunya telah sirna, maka yang lainnya juga akan ikut sirna. (HR. Imam al-Hakim).

Rasa malu yang paling mulia tingkatannya adalah rasa malu kepada Allah SWT. Karena Allah SWT telah memberikan kepada seseorang itu rezeki untuk memenuhi keperluan hidupnya, memberinya udara untuk bernapas, memberinya bumi untuk tempat tinggal,dan memberi langit sebagai tempat bernaung. Betapa kerdilnya seorang hamba bila dihadapkan kepada nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh sang Khalik.Tidak layak seseorang melakukan keburukan di hadapan Allah yang Maha Melihat dan Maha Mendengar.

Bagaimana mungkin seseorang tidak merasa malu kepada Tuhannya yang memberikan kenikmatan dan kebaikan yang tidak terhingga banyaknya lalu membalasnya dengan melakukan keburukan? Rasa malu kepada Allah SWT ini merupakan ruh syariat Islam. Begitu kata Syaikh Muhammad al-Ghazali dalambukunya Khuluq al-Muslim.

Menutup Aurat
Allah SWT menurunkan risalah Islam dengan berbagai aturanuntuk kemaslahatan hamba-Nya. Dalam Islam, ada aturan tentang menutup aurat (anggota tubuh yang tidak boleh dibuka di hadapan orang lain). Menutup aurat merupakan kewajiban terhadap laki-laki dan perempuan.

Namun, di era penjajahan modern dengan label globalisasi ini, sebagian orang sudah terkontaminasi dengan berbagai budaya tanpa batas yang cenderung menyesatkan. Dengan dalih kebebasan berekspresi dan atas nama seni, para wanita yang mabuk dengan budaya barat itu tidak lagi mengindahkan aturan syariat yang dibuat oleh sang penciptanya.
Bahkan, seorang penyiar di salah satu televisi swasta yang juga merupakan anak seorang ulama Tanah Air tanpa rasa malu, auratnya yang mesti tertutup itu dipertontonkan di khalayak ramai.

Imandan rasa malu sekarang ini telah dipetieskan dan bahkan sirnaditerpa oleh tsunami globalisasi. Sebagian orang yang hidup di era berperadaban maju ini ingin lagi kembali kepada era primitif dengan peradaban hutan yang dihuni oleh sekawanan binatang-binatang buas yang tidak mengenal batas-batas aurat. Ingin bebas, tanpa terikat dengan aturan Tuhan, dan ingin berekspresi tanpa mengenal rambu-rambu agama.

Ramadan di penghujung bulannya ini mengajarkan kepada umat Islam agar bersikap malu kepada Allah SWT dengan konsisten melaksanakan aturan agama Allah SWT. Jika tidak lagi memiliki rasa malu, maka lakukanlah apa saja yang kamu suka. (HR. al-Bukhari). Nauzubillah.

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

DIkutip dari Riau Pos Edisi Jumat (1/07/2016)

Malu merupakan salah satu sifat terpuji yang bisa mengendalikan orang yang memilikinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin Hushain)

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ قَالَ أَوْ قَالَ الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ

Rasulullah bersabda, “Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya atau rasa malu seluruhnya adalah kebaikan.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Iman itu terdiri dari 70 sekian atau 60 sekian cabang. Cabang iman yang paling utama adalah ucapan la ilaha illalloh. Sedangkan cabang iman yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari tempat berlalu lalang. Rasa malu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Suatu ketika Nabi menjumpai seorang yang sedang mencela saudaranya karena dia sangat pemalu, Nabi lantas bersabda, “Biarkan dia karena rasa malu itu bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut penuturan Imam Ibnul Qoyyim, alhaya’ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat (kehidupan). Sehingga kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan sehat atau tidaknya hati seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda dari matinya hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat suatu hati maka akan makin sempurna rasa malunya.

Hakikat rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak.

Rasa malu itu ada dua macam. Yang pertama adalah rasa malu kepada Allah. Artinya seorang hamba merasa malu jika Allah melihatnya sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintah-Nya. Yang kedua adalah rasa malu dengan sesama manusia.

Untuk rasa malu dengan kategori pertama, Nabi jelaskan dalam sabdanya, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya”. “Kami sudah malu duhai Rasulullah”, jawab para sahabat. Nabi bersabda,

لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

“Bukan demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi dll, dinilai hasan karena adanya riwayat-riwayat lain yang menguatkannya oleh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 935)

Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, mengingat kematian, tidak panjang angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat serta larut dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.

Rasa malu yang kedua adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.

Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.

Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.

Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak. Nabi bersabda, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan memandang Allah. Jika tidak bisa seakan memandang-Nya maka dengan meyakini bahwa Allah melihatnya.” (HR Bukhari).

Orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.

Rasa takut kepada Allah mencegah kerusakan sisi batin seseorang. Sedangkan rasa malu dengan sesama berfungsi menjaga sisi lahiriah agar tidak melakukan tindakan buruk dan akhlak yang tercela. Karena itu orang yang tidak punya rasa malu itu seakan tidak memiliki iman. Nabi bersabda, “Di antara perkataan para Nabi terdahulu yang masih diketahui banyak orang pada saat ini adalah jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu maka berbuatlah sesuka hatimu.” (HR. Bukhari)

Makna hadits, jika orang itu sudah tidak lagi memiliki rasa malu maka dia akan berbagai perilaku buruk yang dia inginkan. Ini dikarenakan rasa malu yang merupakan faktor penghalang berbagai tindakan buruk tidak lagi terdapat pada diri orang tersebut. Siapa yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu akan tenggelam dalam berbagai perbuatan keji dan kemungkaran.

Nabi bersabda,

الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر

“Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar dengan penilaian ‘shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim. Penilaian beliau ini disetuju oleh Dzahabi. Juga dinilai shahih oleh al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir, no. 1603)

Salman al Farisi mengatakan,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ

“Sungguh jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut. Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tersebut. Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”

kata-kata di atas ada yang menganggapnya sebagai sabda Nabi karena jika dinisbatkan kepada Nabi maka berstatus sebagai hadits palsu, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar. Lihat Silsilah Dhaifah karya al Albani no. 3044.

Ibnu Abbas mengatakan,

الحياء والإيمان في قرن ، فإذا سلب أحدهما اتبعه الآخر

“Rasa malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti oleh yang lain.” (Diriwayatkan dalam Mu’jam Ausath secara marfu’ dari Ibnu Abbas no. 8548. Namun riwayat yang marfu’ ini dinilai sebagai hadits palsu oleh al Albani dalam Dhaif Jami’ no 1435)

Hadits dan perkataan dua orang sahabat Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak lagi memiliki rasa malu itu tidak memiliki faktor pencegah untuk melakukan keburukan. Dia tidak akan sungkan-sungkan untuk melakukan yang haram dan sudah tidak takut dengan dosa. Lisannya juga tidak berat untuk mengucapkan kata-kata yang buruk.

Oleh karena itu di zaman ini, suatu zaman yang rasa malu sudah berkurang bahkan hilang bagi sebagian orang, kemungkaran merajalela, hal-hal yang memalukan dilakukan dengan terang-terangan bahkan keburukan dinilai sebagai sebuah kebaikan. Bahkan sebagian orang merasa bangga dengan perbuatan tercela dan hina sebagaimana artis yang suka buka-bukaan atau sexy dancer. Wal’iyadu billah…

***

Penulis: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

🔍 Padang Mahsyar Adalah, Nasehat Nabi, Arti Rezeki, Doa Ibadah Umroh