Dayak Dohoi Dusun Deyah merupakan beberapa bahasa daerah dari pulau

FOTO : ANGGRA DWINIVO / ARSIP

PERSAUDARAAN – Menurut filosofi suku Dayak Dohoi atau Ot Danum di Desa Tumbang Habangoi, menari Manasai merupakan sarana untuk mempererat tali persaudaraan dan perdamaian.

Penulis : ANGGRA DWINIVO

Masing-masing sub suku Dayak di Pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang begitu mirip. Hal itu berdasar kepada aspek sosiologi kemasyarakatan, adat istiadat, budaya, bahasa, maupun dialek yang khas. Contohnya Dayak Dohoi, suku asli Kalimantan Tengah yang masih bermukim di hulu Sungai Samba Kecamatan Petak Malai atau sebelah utara Kabupaten Katingan.

Atas dasar kesamaan sejarah, kepercayaan, budaya, bahasa, dan adat istiadatnya itulah, sejak masa kolonialisme Belanda dulu suku Dayak Dohoi dikelompokkan ke dalam sub suku Dayak Ot Danum. Menurut Gubernur Pertama Kalimantan Tengah yang juga pahlawan nasional kelahiran Kasongan Kabupaten Katingan, Tjilik Riwut. Rumpun Dayak Ot Danum terdiri atas 61 suku yang tersebar di hulu-hulu sungai, baik di Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, maupun Kalimantan Selatan. Suku ini hidup tersebar di kawasan pegunungan Muller-Schwaner, tepatnya di sekitar perbatasan antara empat provinsi tersebut. Selaras dengan etimologinya, yaitu Ot yang berarti “orang” atau “hulu”, dan kata Danum yang berarti “air” atau “hulu”. Sehingga disimpulkan, bahwa rumpun Dayak Ot Danum merupakan orang yang hidup di hulu-hulu sungai di pulau Kalimantan. Bagi masyarakat lokal, penamaan Ot Danum mempunyai filosofisnya sendiri, yaitu dianggap sebagai pusat atau sumber kehidupan. Sebab, air sungai yang selalu mengalir dari hulu ke hilir, dianggap sebagai watak suku Ot Danum yang dikenal suka merendah, sederhana, mudah beradaptasi, dan saling tolong menolong.

Populasi suku Dayak Dohoi di Desa Tumbang Habangoi Kabupaten Katingan, hingga kini masih terjaga. Mereka masih hidup dengan memegang erat kepercayaan, budaya, maupun adat istiadat para leluhurnya. Di sini, mayoritasnya penduduknya merupakan suku Dayak Dohoi. Meskipun status 40 persen diantaranya merupakan transmigran asal suku Dohoi yang sama dari Kabupaten Sintang dan Melawi Provinsi Kalimantan Barat. Dan sampai saat ini, mereka masih memegang teguh agama kepercayaan para leluhur, yakni Kaharingan.

Nama Dohoi sendiri, sebenarnya merupakan sebuah ungkapan atau ciri terhadap watak warga suku pedalaman tersebut. Pasalnya, mereka dikenal berkepribadian keras, tegas, lugas, serta pemberani. Dalam bahasa Dayak Dohoi, perilaku itu disebut sebagai logas, tohpas hohot, dan nyolung osak dahak ah. Logas berarti “mudah naik darah”. Tohpas Lohot berarti “tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan membunuh”, dan Nyolung Osak Dahak diterjemahkan sebagai “orang yang tidak mengenal rasa takut sedikit pun alias pemberani”. Pasalnya, beberapa referensi menyebut bahwa di masa lalu suku Dayak Dohoi memiliki perilaku sangat keras, dan mempunyai prinsip hidup yang jelas, yaitu sekali Ahpang (artinya mandau terhunus) maka pantang disarungkan. Sebelum senjata mandaunya memakan korban atau minum darah para musuhnya. Atas dasar wataknya itulah, oleh orang dayak dari rumpun lainnya menamakan mereka sebagai Dohoi. Sebagai ciri penegas, bahwa mereka adalah orang yang logas, tohpas lohot dan nyolung osak dahak ah.

Tokoh muda Desa Tumbang Habangoi, Yusup Roni Hunjun Huke menuturkan, sehari-hari masyarakat berbicara menggunakan bahasa Dohoi. Terkait dialek Dohoi sendiri, katanya, mempunyai banyak kesamaan dengan rumpun suku Dayak yang tinggal di hulu Sungai Barito, Kahayan, Kapuas, Seruyan, Lamandau, Mahakam, dan beberapa daerah lainnya. Total, bahasa Dohoi digunakan dihampir 40 buah suku, diantaranya seperti Dayak Tidori, Siang, Kohin, Katingan, Ngaju dan Murung di DAS Barito.

“Walau mempunyai banyak ragam serta sedikit perbedaan dialek, namun secara garis besar bahasa Dohoi diibaratkan sebagai bahasa persatuan. Sehingga tidak terlalu berpengaruh besar terhadap mereka saat berkomunikasi,” katanya.

Suku Dohoi, jelasnya, kadang juga disebut sebagai sub suku Dayak Ot Danum. Lantaran banyaknya kesamaan dari berbagai aspek, seperti sejarah, budaya, bahasa, dan lain sebagainya. Peradaban suku ini, cenderung menghuni wilayah-wilayah terpencil di pedalaman Kalimantan.

“Sehingga untuk mencapai perkampungan suku Dohoi, sanggup memakan waktu selama berhari-hari apabila menggunakan perahu melalui aliran sungai,” jelasnya.

Suku Dayak Dohoi dikenal dekat dengan kehidupan alam, serta sangat menghormati tradisi leluhur dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan alam sekitarnya. Secara fisik, warga suku Dayak Dohoi mempunyai kulit berwarna kuning langsat. Sama seperti suku Dayak pada umumnya. Hal ini menunjukkan, bahwa mereka merupakan ras keturunan mongoloid. Suku Dayak Dohoi atau Ot Danum sendiri, dikelompokkan ke dalam rumpun Proto Malayan cabang dari rumpun bangsa Austronesia, jika merujuk pada pelajaran sejarah.

“Suku Dayak Ot Danum ini juga memiliki kerabat dekat di Provinsi Kalimantan Barat yang disebut sebagai Dayak Uud Danum. Secara fisik, karakter, dan budaya bisa dikatakan mirip. Hanya saja dibedakan letak geografisnya,” ujar Yusup Roni.

Semenjak ajaran agama dari belahan bumi barat masuk puluhan tahun lalu, kini sebagian masyarakatnya beralih dan masuk ajaran Kristen. Sebagian kecil diantaranya, juga ada yang sudah memeluk agama Islam. Sedangkan, mayoritas warga lain masih mempertahankan kepercayaan leluhur, yaitu Kaharingan.

Dalam legenda suku Dayak Ot Danum atau Totok Tatum (Tetek Tatum) menceritakan, bahwa nenek moyang mereka berasal dari langit yang diturunkan ke dunia dengan wadah emas atau Palangka Bulou (Palangka Bulau). Wadah emas itu berupa balanga atau guci yang terbuat dari tembikar. Mukjizat itu diturunkan Ranying Hattala Langit (Tuhan YME) di empat lokasi berbeda secara bertahap tepat di jantung Kalimantan (kini lebih dikenal sebagai kawasan pegunungan Muller-Schwaner). Yang pertama diturunkan di kawasan Tantan Puruk Samatuan, suatu tempat di hulu Sungai Kahayan dan Barito, Kalimantan Tengah. Lalu di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting yang terletak di sekitar Bukit Raya, Kalimantan Tengah. Kemudian di Datah Tangkasing hulu Sungai Malahui di daerah Kalimantan Barat. Dan yang terakhir berada Puruk Kambang Tanah Siang atau suatu tempat di daerah hulu Sungai Barito, Kalimantan Tengah.

Di kawasan Tantan Puruk Samatuan inilah seorang manusia pertama yang menjadi nenek moyangnya suku Dayak diturunkan. Dia diberi nama Antang Bajela Bulau atau Tunggul Garing Janjahunan Laut.

“Singkat cerita, Antang Bajela Bulau mempunyai dua anak laki-laki yang gagah perkasa bernama Lambung atau Maharaja Bunu, serta Lanting atau Maharaja Sangen,” sebutnya.

Kemudian di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting (Bukit Kaminting) di Kawasan Bukit Raya, Ranying Hattala Langit menurunkan seorang yang maha sakti, bernama Kerangkang Amban Penyang atau dikenal sebagai Maharaja Sangiang.

Selanjutnya di lokasi Datah Takasiang atau di Hulu sungai Rakaui (Sungai Malahui Kalimantan Barat), Ranying Hattala Langit menciptakan empat orang manusia, diantaranya seorang anak laki-laki dan tiga perempuan. Pria gagah itu diberi nama Litih atau Tiung Layang Raca. Dia diberi anugerah kelebihan bisa menjelma menjadi Jata, dan tinggal di dalam tanah di negeri (gaib) yang bernama Tumbang Danum Dohong.

“Sedangkan ketiga orang puteri itu bernama Kamulung Tenek Bulau, Kameloh Buwoy Bulau, dan Nyai Lentar Katinei Bulau,” tuturnya.

Lokasi terakhir yaitu di Puruk Kambang Tanah Siang (hulu Sungai Barito), Ranying Hattala Langit lagi-lagi menciptakan seorang puteri cantik jelita bernama Sikan atau Nyai Sikan.

“Kami percaya bahwa Tambun dan Bungai itu juga leluhur kami. Karena mereka diketahui menggunakan dialek Dayak Ot Danum, sama seperti kami,” akunya.

Dari sisi sejarah ilmu pengetahuan, beberapa ahli sejarah memiliki versi yang berbeda tentang asal usul suku Dayak Ot Danum tersebut. Ada teori yang mengatakan bahwa suku Dayak Ot Danum berasal dari daratan mongolia, yang bermigrasi ke pulau Borneo/Kalimantan. Teori versi lain menyebutkan, suku Dayak Ot Danum berasal dari suatu pulau utama di Taiwan dan sejak 4.000 tahun lalu mulai mendiami pulau Kalimantan. Pasalnya, ditemukan adanya kemiripan budaya antara Dayak Ot Danum dengan wilayah yang berjarak ribuan kilometer tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adat suku Dayak Dohoi masih hidup berdampingan dan bergantung dengan hasil alam di hutan. Mereka secara arif bijaksana melakukan perburuan binatang liar, berladang bahkan memelihara ternak. Terbukanya akses sungai maupun darat, membawa generasi suku pedalaman ini mulai merantau ke luar daerah. Terutama untuk urusan pendidikan. Pasalnya, sampai detik ini Desa Tumbang Habangoi hanya memiliki sekolah dasar dan menengah pertama (SMP) saja. Biasanya, Kasongan dan Kota Palangka Raya menjadi tujuan untuk melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi.

Berbagai informasi tentang suku Dayak Dohoi di Kabupaten Katingan ini, merupakan satu dari sekian banyak kekayaan sejarah dan budaya yang dimiliki Indonesia. Keanekaragaman suku, bahasa, serta adat istiadat itu merupakan warisan yang tidak ternilai harganya.

“Sudah sepatutnya, kita sebagai generasi penerus bangsa untuk melestarikan warisan leluhur ini sebaik mungkin. Sehingga, jangan sampai menjadikan perbedaan dan keberagaman ini sebagai alat untuk memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI,” pungkasnya. (agg)

MENGENAL SUKU ASLI KALIMANTAN TENGAH

KAMI ULUN DAYAK!

Ketika mendengar kata Kalimantan, apa yang paling pertama muncul dipikiran anda? Saya akan menebak. Apakah gambaran orang dengan baju daerah dan hiasan kepala burung dikepala? Atau gambaran seorang wanita tua dengan telinga panjang? Atau mungkin primata khasnya yang ada diimajinasi anda? Saya pernah menanyakan hal yang sama kepada beberapa orang [bukan orang Kalimantan] secara lisan, dan mereka menjawab seperti hal di atas.

Tapi tahukah anda, terkadang beberapa orang yang tidak tahu akan perbedaan Dayak yang ada di Kalimantan akan menjawab “gambaran seorang wanita tua dengan telinga panjang”. Ini juga merupakan salah satu kekayaan yang ada di Kalimantan, tapi tidak di Kalimantan Tengah. Budaya ini di miliki oleh Dayak Kenyah, yang ada di Kalimantan Timur. Jadi untuk mengurangi kekeliruan ini, saya akan mengupas suku Dayak yang ada di Kalimantan Tengah dengan tajam, setajam silet *abaikan.

Dayak Ngaju atau di kenal juga dengan Biaju sekarang telah menjadi bahasa resmi Kalimantan Tengah. Ngaju berarti udik. Secara ontologis merupakan bentuk kolokial dari bi dan aju yang artinya ”dari hulu” atau ”dari udik”. Suku Ngaju kebanyakan mendiami daerah aliran sungai Kapuas, Kahayan, Rungan Manuhing, Barito dan Katingan. Dalam sejarahnya leluhur Dayak Ngaju diyakini berasal dari kerajaan yang terletak di lembah pegunungan Yunan bagian Selatan, tepatnya di Cina Barat Laut berbatasan dengan Vietnam sekarang. Mereka bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia [Provinsi Yunan, Cina Selatan] sekitar 3000-1500 SM.

Berdasarkan daerah aliran sungai, Biaju terbagi menjadi, Batang Biaju Besar – Sungai Biaju besar dan Batang Biaju Kecil – Sungai Biaju kecil.

Berdasarkan rumpun bahasa, suku Dayak Ngaju [Biaju] terbagi menjadi, Suku Dayak Ngaju [Ngaju Kapuas], Suku Dayak Kahayan [Ngaju Kahayan], Suku Dayak Katingan [Ngaju Katingan], Suku Dayak Mendawai [Kalimantan Tengah], Suku Dayak Bakumpai [Kalimantan Selatan], Suku Dayak Mengkatip [Kalimantan Tengah], Suku Dayak Berangas [Kalimantan Selatan], tahun 2010 dinyatakan punah beserta bahasanya karena melebur ke dalam mainstream orang Banjar Kuala, dan Suku Dayak Beraki [Bara-ki] [sudah punah].

Motto Kalimantan Tengah “Isen Mulang” yang berarti “Pantang Mundur” juga merupakan bahasa Dayak Ngaju. Sebuah lagu yang di ciptakan oleh bapak Dr. [H.C.] Agustin Teras Narang, SH [Gubernur Kalimantan Tengah] yang berjudul “Mamangun Mahaga Lewu” juga menggunakan bahasa Dayak Ngaju.

Dayak Maanyan dikenal juga dengan olon Maanjan. Mendiami bagian timur Kalimantan Tengah yaitu disekitar Barito Selatan dan Barito Timur. Berdasarkan keterangan dari beberapa tokoh adat, Maanyan berasal dari kata Ma dan Anyan yang masing – masing berarti “ke” dan “tanah”. Bahasa Maanyan sering kali di anggap memiliki kemiripan dengan bahasa di Madagascar, Filipina. Hal ini di perkuat dengan tulisan Rolland Oliver dan Brian M. Fagan dalam bukunya “Africa in the Iron Age” tahun 1978, yang mengatakan bahwa orang Maanyan datang dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun 945 – 946 M, berlayar langsung melalui Samudera Hindia dengan 1000 buah perahu bercadik.

Suku ini terbagi menjadi beberapa subetnis, di antaranya, Maanyan Paku, Maanyan Paju Epat/Maanyan Siong [kode: mhy-sih], Maanyan Dayu Lasi Muda, Maanyan Paju Sapuluh/Kampung Sapuluh [ada pengaruh Banjar], Maanyan Banua Lima/Paju Dime [ada pengaruh Banjar], Maanyan Warukin [ada pengaruh Banjar], Maanyan Jangkung [sudah punah, ada pengaruh Banjar]

Keunikan Dayak Maanyan, antara lain mereka mempraktikkan ritus pertanian, upacara kematian yang rumit, serta memanggil balian untuk mengobati penyakit mereka. Tapi ini sudah menjadi budaya dan hanya di lakukan untuk melestarikannya, karena sekarang banyak orang Dayak Maanyan yang sudah menjadi manusia modern [contohnya penulis, penulis adalah keturunan Dayak Maanyan, ASLI]. Beberapa lagu daerah yang di buat dalam bahasa Maanyan adalah Tumpi Wayu dan Andri Arai Atei.

Dayak Ot Danum atau Dayak Dohoi adalah suku asli Kalimantan Tengah yang terdapat di hulu-hulu sungai sebelah utara provinsi ini. Suku Dayak Ot Danum, hidup tersebar di pegunungan Muller-Schwaner, sungai Mandai di Ulu Ai’ dan di sepanjang aliran sungai Miri, cabang sungai Kahayan di provinsi Kalimantan Tengah. Populasi diperkirakan sebesar 78.800 orang pada tahun 2007 yang berarti sangat dekat dengan kepunahan.

Kata ot berarti “orang” atau “hulu”, sedangkan danum berarti “air”, dan Ot Danum berarti “orang air” atau “orang yang hidup di hulu sungai”. Suku Dayak Ot Danum dekat dengan kehidupan alam dan sangat menghormati tradisi leluhur untuk menjaga keseimbangan manusia dan alam sekitarnya. Perawakan suku Dayak Ot Danum berkulit kuning menunjukkan bahwa mereka adalah ras mongoloid. Dayak Ot Danum memiliki kerabat dekat dengan Dayak Uud Danum yang ada di Kaliamantan Barat.

Dayak Lawangan disebut juga Luangan. Selain berada di Kalimantan Tengah, Dayak Lawangan juga ada di Kutai Barat provinsi Kalimantan Timur dan di kabupaten Tabalong provinsi Kalimantan selatan. Kata Lawangan berasal dari kata lobang. Ini memberi petunjuk bahwa nenek moyang orang Lawangan dahulu tinggal di gua-gua di kaki gunung yang bernama Gunung Luang.

Subetnis suku Dayak Lawangan adalah, Suku Dayak Banuaq, Suku Dayak Bentian, Suku Dayak Bawo, Suku Dayak Tunjung, Suku Dayak Kutai [ Beradat Melayu ], Suku Dayak Paser, Suku Taboyan [kedekatan bahasa 77%], Suku Dusun Deyah [kedekatan bahasa 53%].

Suku Dayak Tawoyan atau Dayak Taboyan merupakan salah satu sub Suku Dayak di Kalimantan Tengah yang mendiami Kabupaten Barito Utara. Suku Dayak Taboyan pada umumnya mendiami sepanjangan tepian aliran Sungai Teweh, yakni dari Kota Muara Teweh sampai Desa Berong. Suku Taboyan merupakan suku dominan di Kecamatan Gunung Purei. Bahasa Taboyan memiliki kesamaan leksikal dengan bahasa Dayak Lawangan kurang lebih 77% dan Bahasa Dayak Dusun Deyah kurang lebih 52%.

Selain 5 suku Dayak diatas ada beberapa suku Dayak lagi yang ada di Kalimantan Tengah, yaitu Suku Dayak Bakumpai, Suku Dayak Dusun, Suku Dayak Siang Murung, Suku Dayak Punan, Suku Dayak Sampit, Suku Dayak Kotawaringin Barat, Suku Dayak Katingan, Suku Dayak Bawo, Suku Dayak Mangkatip, dan menurut seorang tokoh adat masih banyak lagi yang populasinya sudah sedikit dan bahkan sudah tidak ada lagi.

Sumber. //den-mpuh.blogspot.com/2013/06/sejarah-awal-adanya-suku-dayak-di.html//putratunggaldayak1.wordpress.com/sejarah-perjuangan-suku-dayak///www.indonesiakaya.com/kanal/detail/dayak-kuping-panjang//suarasangkakala.blogspot.com/2013/11/mengenal-suku-dayak-maanyan-kalimantan_5322.html//id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Maanyan//dayakmaanyan-anbti.blogspot.com///id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak//id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Ngaju//borneonews-borneoku.blogspot.com/2012/03/burung-khas-kaliantan.html//www.facebook.com/notes/ian-ardyan/burung-enggang-lambang-kehidupan-suku-dayak/237606456334062//id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah//id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Ot_Danum//melayuonline.com/ind/culture/dig/2534/pohon-batang-garing-dunia-dalam-pengetahuan-suku-dayak-ngaju-kalimantan-tengah//archive.kaskus.co.id/thread/1556234/60//lewu-katingan.blogspot.com/2010/08/sekilas-makna-batang-garing.html//www.apakabardunia.com/2011/05/makna-tato-bagi-suku-dayak-kalimantan.html//id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Lawangan//suku-dunia.blogspot.com/2014/11/sejarah-suku-lawangan-di-kalimantan.html//www.sabda.org/misi/profilo_isi.php?id=18//protomalayans.blogspot.com/2012/06/suku-dayak-ot-danum.html//id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Taboyan//taboyan.blogspot.com/2011/07/tuturial-cvcakrawala.html//palangkaraya.bkipm.kkp.go.id/Kalimantan_Tengah.html//galaxiigasmada.wordpress.com/2008/11/15/kalimantan-tengah///muhteladan.wordpress.com/2014/06/11/budaya-makanan-ciri-khas-kalimantan-tengah///geraldir14.blogspot.com/2012/11/makanan-makanan-khas-dayak-kalimantan.html//sukudayaksbarito.blogspot.com///anjarmugiarti19.blogspot.com/2013/11/seni-dan-budaya-kalimantan-tengah.html//makalah-perpustakaan.blogspot.com/2013/04/jenis-jenis-tari-kalimantan-tengah.html//www.tradisikita.my.id/2015/01/14-tari-tradisional-dari-kalimantan.html//jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2010/11/03/apa-arti-isen-mulang///kominfo.net84.net/lambangpemkot.php//www.facebook.com/ForumPemudaAdatDayakKalimantanTengah/posts/500044160054915//widicaroline.blogspot.com/2013/04/arti-lambang-daerah-provinsi-kalteng.html//nurlailareila.blogspot.com/2012/09/karungutkesenian-khas-dayak-kalimantan.html//id.wikipedia.org/wiki/Karungut//urangkapuas.blogspot.com/2010/03/sejarah-singkat-kalimantan-tengah.html//radhytcom.blogspot.com/2012/05/sejarah-singkat-provinsi-kalimantan.html//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sukamara//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kotawaringin_barat//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lamandau//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kotawaringin_Timur//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Katingan//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Barito_Timur//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Barito_Utara//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Murung_Raya//id.wikipedia.org/wiki/Kota_Palangka_Raya//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Barito_Selatan//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kapuas//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Pulang_Pisau//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Gunung_Mas//id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Seruyan//pde.kotawaringinbaratkab.go.id/?page_id=260

Suku Dayak Ot Danum [juga dikenal sebagai Dohoi, Malahoi, Uud Danum atau Uut Danum] adalah subetnis dari suku Dayak yang tinggal di hulu Sungai Kapuas selatan, dan di sepanjang pegunungan Schwaner, berbatasan dengan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Indonesia.[2] Mereka adalah kelompok terpenting di hulu Sungai Melawi dan secara budaya dan bahasa paling berbeda dari suku Melayu.[3] Selain itu, suku Melayu, suku Dayak Ot Danum juga secara bahasa berbeda dengan suku Dayak Ngaju yang tinggal di sepanjang bagian tengah sungai-sungai besar Kalimantan Tengah dan secara numerik dan bahasa merupakan kelompok masyarakat Dayak yang dominan di daerah tersebut.[4] Seperti kebanyakan suku Dayak, mayoritas masyarakat Ot Danum juga menganut agama Kaharingan.[5]

Suku Dayak Ot Danum, hidup tersebar di pegunungan Muller-Schwaner, sungai Mandai di Ulu Ai' dan di sepanjang aliran sungai Miri, cabang sungai Kahayan di provinsi Kalimantan Tengah. Populasi diperkirakan sebesar 78.800 orang pada tahun 2007.

Kata Ot berarti "orang" atau "hulu", sedangkan Danum berarti "air", dan Ot Danum berarti "orang air" atau "orang yang hidup di hulu sungai".[6] Suku Dayak Ot Danum dekat dengan kehidupan alam dan sangat menghormati tradisi leluhur untuk menjaga keseimbangan manusia dan alam sekitarnya. Perawakan suku Dayak Ot Danum berkulit kuning menunjukkan bahwa mereka adalah ras mongoloid. Suku Dayak Ot Danum ini memiliki kerabat dekat di provinsi Kalimantan Barat yang disebut suku Dayak Uud Danum. Secara fisik, karakter dan budaya bisa dikatakan mirip, hanya saja dibedakan karena perbedaan letak geografis. Suku Dayak Ot Danum ini dikelompokkan ke dalam rumpun Proto Malayan cabang dari rumpun bangsa Austronesia.

Suku Dayak Ot Danum memiliki bahasa sendiri yang disebut sebagai bahasa Ot Danum. Bahasa Ot Danum berkerabat dengan bahasa Dayak Siang yang memiliki kesamaan sebesar 70%, dengan bahasa Dayak Kohin memiliki kemiripan sebesar 65%, dengan bahasa Dayak Katingan kemiripan sebesar 60%, sedangkan dengan bahasa Dayak Ngaju memiliki kemiripan sebesar 50%.

Masyarakat suku Dayak Ot Danum adalah mayoritas beragama Kristen, sebagian tetap mempertahankan agama Kaharingan dan sebagian kecil memeluk agama Islam.

Dalam legenda suku Dayak Ot Danum, nenek moyang mereka berasal dari langit yang diturunkan ke dunia dengan wadah emas di 4 tempat, salah satunya di puncak bukit Pamatuan, suatu dataran tinggi antara hulu sungai Kahayan dan sungai Barito. Lambung adalah manusia nenek moyang pertama yang diciptakan, dari si Lambung inilah semua keturunannya menyebar di perhuluan sungai-sungai besar seperti sungai Barito, sungai Kahayan, sungai Kapuas dan sungai Katingan yang disebut suku Dayak Ot Danum.

Beberapa Ahli Sejarah memiliki versi yang berbeda mengenai asal usul suku Dayak Ot Danum ini, ada yang mengatakan bahwa suku Dayak Ot Danum ini berasal dari daratan mongolia, yang bermigrasi ke pulau Borneo. Tetapi versi lain menyebutkan bahwa suku Dayak Ot Danum ini berasal dari Formosa dan sudah sejak ada di pulau Kalimantan sejak 4000 tahun yang lalu, karena di Formosa Taiwan terdapat budaya yang mirip dengan suku Dayak Ot Danum ini.

Dalam kesehariannya suku Dayak Ot Danum ini sebagian besar masih dekat dengan kehidupan alam di hutan, dan melakukan perburuan binatang liar, serta bertani berladang juga mereka lakukan dan memelihara ternak seperti ayam dan babi. Kegiatan lain seperti ikut dalam penambangan emas di sungai-sungai yang mengandung emas, sehingga banyak dari mereka yang menjadi kaya di pedalaman dari hasil menambang emas. Selain itu tidak sedikit yang telah bekerja di luar wilayah mereka, seperti di Palangkaraya, Kuala Kapuas, Muara Teweh dan lain-lain sebagai pekerja di sektor pemerintahan maupun di sektor swasta.

Rujukan

  1. ^ "Dohoi Ot Danum in Indonesia". Joshua Project. Diakses tanggal 2014-09-27. 
  2. ^ "Ot Danum". Ethnologue. Diakses tanggal 2014-09-27. 
  3. ^ Borneo Research Council [Williamsburg, Va.] [1986]. Borneo Research Bulletin, Volumes 18-20. Borneo Research Council. 
  4. ^ John F. McCarthy [2001]. Decentralisation and Forest Management in Kapuas District, Central Kalimantan. CIFOR. ISBN 979-8764-80-3. 
  5. ^ Rosana Waterson [2009]. Paths and Rivers: Sa'dan Toraja Society in Transformation. BRILL. ISBN 90-04-25385-8. 
  6. ^ Frank M. LeBar & George N. Appell [1972]. Ethnic Groups of Insular Southeast Asia: Indonesia, Andaman Islands, and Madagascar. Human Relations Area Files Press. ISBN 978-0-87536-403-2. 

Video yang berhubungan