Mengapa nabi yakub melarang nabi yusuf menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya

Mengapa nabi yakub melarang nabi yusuf menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya

Suaramuslim.net – Setiap orang tua senantiasa menginginkan buah hatinya tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter baik. Tak mudah memang, namun dengan kesungguhan dan komitmen yang tinggi dalam memahamkan dan membiasakan, anak-anak akan mudah diarahkan. Mari ajak anak bercermin kepada Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Kisah Nabi Allah yang diabadikan dalam satu surat khusus dalam Al Quran ini sangat layak […]

Mengapa nabi yakub melarang nabi yusuf menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya

Suaramuslim.net – Kisah ini dimulai ketika Yusuf menceritakan mimpi kepada ayahnya. Ia bermimpi melihat 11 bintang, bulan dan matahari bersujud padanya (QS Yusuf [12]: 4-5). Ya’qub melarang Yusuf menceritakan mimpinya, agar saudara-saudara lain tidak melakukan rencana negatif kepada dirinya. Rupanya, meski itu sudah dinasihatkan dan Yusuf pun juga tak bercerita, namun saudara-saudaranya masih menganggap Ya’qub pilih kasih […]

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Suatu ketika, saat datang musim kemarau. Setelah tujuh tahun mereka bercocok tanam dengan memanen hasil gandum yang sebanyak-banyaknya, makan secukupnya dan menyimpan sisanya. Akhirnya, nabi Yusuf ‘alaihissalam memberikan ide kepada sang raja. Beliau berpendapat bahwa lumbung hasil panen gandum kerajaan sangat banyak dan jumlah rakyatnya sedikit. Sedangkan orang-orang yang berada di sekeliling Mesir banyak yang kelaparan. Dan ide beliau adalah bagaimana jika hasil panen tersebut dijual kepada mereka, sehingga akan menambah perbendaharaan kerajaan. Maka, ide beliau disetujui oleh sang raja. Kemudian, dibuatlah pengumuman kepada orang-orang yang berada di sekitar Mesir bahwa bagi mereka yang lemah dan kekurangan bahan makanan untuk datang ke Mesir. Nabi Yusuf ‘alaihissalam berharap saudara-saudaranya yang dahulu telah melemparkannya ke dalam sumur akan datang ke Mesir untuk membeli gandum kepadanya. Ternyata benar, ketika musim kemarau datang, orang-orang sudah mulai merasakan lapar dan kekurangan bahan makanan. Setelah itu, saudara-saudara nabi Yusuf ‘alaihissalam datang ke Mesir. Allahﷻ berfirman,

وَجَاءَ إِخْوَةُ يُوسُفَ فَدَخَلُوا عَلَيْهِ فَعَرَفَهُمْ وَهُمْ لَهُ مُنْكِرُون

“Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka masuk ke (tempat)nya. Maka dia (Yusuf) mengenal mereka, sedang mereka tidak mengenalinya (lagi) kepadanya.” (QS. Yusuf: 58)

Semua saudara-saudara nabi Yusuf ‘alaihissalam yang berjumlah sepuluh orang datang ke Mesir, kecuali Binyamin. Binyamin adalah saudara seibu dengan nabi Yusuf ‘alaihissalam, ibunya bernama Rahil -menurut Injil Perjanjian lama-. Adapun saudara-saudaranya yang lain dari ibu yang berbeda-beda. Setelah mereka sampai pada kerajaan untuk membeli bahan makanan. Di antara persyaratannya adalah setiap satu orang tidak diperbolehkan untuk membeli dalam jumlah banyak, namun hanya diperbolehkan membeli satu sukatan yang bisa diangkut oleh seekor unta dan tidak boleh lebih dari pada itu. Itulah batas maksimal yang boleh dibeli oleh para penduduk sekitar Mesir, disebabkan jumlah mereka sangat banyak agar masing-masing dari mereka mampu mendapatkan bagiannya.

Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengetahui keberadaan saudara-saudaranya. Akan tetapi, mereka tidak mengenal beliau. Karena, telah berubah segala perawakan dan kondisi beliau sehingga keadaan beliau yang dahulu berbeda dengan keadaannya saat itu. Mereka telah lupa bahwasanya menteri yang berada di hadapan mereka adalah seorang anak kecil yang dahulu mereka lemparkan ke dalam sumur. ([1])

Allahﷻ berfirman,

وَلَمَّا جَهَّزَهُمْ بِجَهَازِهِمْ قَالَ ائْتُونِي بِأَخٍ لَكُمْ مِنْ أَبِيكُمْ أَلَا تَرَوْنَ أَنِّي أُوفِي الْكَيْلَ وَأَنَا خَيْرُ الْمُنْزِلِينَ

“Dan ketika dia (Yusuf) menyiapkan bahan makanan untuk mereka, dia berkata, “Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Binyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan takaran dan aku adalah penerima tamu yang terbaik?” (QS. Yusuf: 59)

Nabi Yusuf ‘alaihissalam telah menyiapkan sejumlah sukatan-sukatan bahan makanan untuk dijual kepada para penduduk. Kala itu, di hadapan sepuluh saudaranya tersebut, beliau menanyakan keadaan dan jumlah saudara-saudara mereka. Mereka pun menjawab bahwa mereka adalah dua belas orang saudara. Namun dua orang lainnya, yang seorang berada di rumah dan yang lainnya telah hilang. Maka, beliau pun meminta agar seorang saudara mereka -yaitu Binyamin- untuk dibawa ke Mesir. ([2])

Yusuf berkata kepada mereka,

فَإِنْ لَمْ تَأْتُونِي بِهِ فَلَا كَيْلَ لَكُمْ عِنْدِي وَلَا تَقْرَبُونِ

“Maka jika kamu tidak membawanya kepadaku, maka kamu tidak akan mendapat jatah (gandum) lagi dariku dan jangan kamu mendekatiku.” (QS. Yusuf: 60)

Nabi Yusuf ‘alaihissalam menekankan bahwa beliau melayani, menimbang dan memenuhi sukatan bahan makanan dengan baik. Apabila mereka tidak membawa saudara mereka tersebut, maka beliau lain kali enggan untuk menjual lagi bahan makanan kepada mereka. ([3])

Allahﷻ berfirman,

قَالُوا سَنُرَاوِدُ عَنْهُ أَبَاهُ وَإِنَّا لَفَاعِلُونَ

“Mereka berkata, “Kami akan membujuk ayahnya (untuk membawanya) dan kami benar-benar akan melaksanakannya.” (QS. Yusuf: 61)

Saudara-saudara nabi Yusuf ‘alaihissalam tahu bahwa semenjak beliau hilang, kecintaan ayah mereka berpindah kepada Binyamin. Hal ini menunjukkan kegagalan mereka, dimana harapan mereka adalah apabila nabi Yusuf ‘alaihissalam hilang, maka Nabi Ya’qub ‘alaihissalam akan sayang kepada mereka. Namun, ternyata ketika nabi Yusuf ‘alaihissalam hilang, rasa sayang Nabi Ya’qub ‘alaihissalam berpindah kepada adiknya, yaitu Binyamin. Oleh karena itulah, ketika mereka pergi ke Mesir, Binyamin ditahan oleh ayahnya, yaitu Nabi Ya’qub ‘alaihissalam.

Saudara-saudara nabi Yusuf ‘alaihissalam mengetahui bahwa bagi mereka untuk membawa Binyamin ke Mesir adalah perkara yang berat dan tidak mudah. Karena, ayah mereka sangat sayang kepada Binyamin. Mereka pun sudah merasa bersalah atas perbuatan mereka kepada saudaranya, yaitu nabi Yusuf ‘alaihissalam. Tidak mungkin bagi mereka untuk mengulangi perbuatan itu lagi kepada saudaranya yang lain. Akhirnya, mereka bertekad untuk merayu ayah mereka, yaitu nabi Ya’qub ‘alaihissalam.

Allahﷻ berfirman,

فَلَمَّا رَجَعُوا إِلَى أَبِيهِمْ قَالُوا يَا أَبَانَا مُنِعَ مِنَّا الْكَيْلُ فَأَرْسِلْ مَعَنَا أَخَانَا نَكْتَلْ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Maka ketika mereka telah kembali kepada ayahnya (Yakub) mereka berkata, “Wahai ayah kami! Kami tidak akan mendapat jatah (gandum) lagi, (jika tidak membawa saudara kami), sebab itu biarkanlah saudara kami pergi bersama kami agar kami mendapat jatah, dan kami benar-benar akan menjaganya.” (QS. Yusuf: 63)

Tatkala mereka pulang dari Mesir mereka bercerita kepada ayah mereka bahwa mereka tidak akan lagi bisa untuk membeli gandum, kecuali dengan membawa saudara mereka, yaitu Binyamin. Setelah itu, nabi Ya’qub ‘alaihissalam menimpali perkataan mereka. Sebagaimana firman Allahﷻ,

قَالَ هَلْ آمَنُكُمْ عَلَيْهِ إِلَّا كَمَا أَمِنْتُكُمْ عَلَى أَخِيهِ مِنْ قَبْلُ فَاللَّهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“Dia (Yakub) berkata, “Bagaimana aku akan mempercayakannya (Binyamin) kepadamu, seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?” Maka Allah adalah penjaga yang terbaik dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS. Yusuf: 64)

Ayat ini merupakan dalil bahwasanya Ya’qub ‘alaihissalam adalah seorang nabi dan beliau tidak mengetahui hal-hal yang gaib([4]). Beliau tidak mengetahui keberadaan nabi Yusuf ‘alaihissalam. Setiap hari beliau menangis dan bersedih dengan hilangnya nabi Yusuf ‘alaihissalam, sedangkan beliau tidak mengetahui bahwa ternyata nabi Yusuf ‘alaihissalam telah menjadi menteri. Beliau pun tidak mengetahui bahwasanya Binyamin nanti akan ditahan lagi oleh saudaranya, nabi Yusuf ‘alaihissalam. Ini semua menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui ilmu gaib sama sekali. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengaku-ngaku mengetahui ilmu gaib, kejadian-kejadian tertentu, yakinlah bahwa orang tersebut adalah dukun, meskipun ngaku sebagai kiyai.

Allahﷻ berfirman,

وَلَمَّا فَتَحُوا مَتَاعَهُمْ وَجَدُوا بِضَاعَتَهُمْ رُدَّتْ إِلَيْهِمْ قَالُوا يَا أَبَانَا مَا نَبْغِي هَذِهِ بِضَاعَتُنَا رُدَّتْ إِلَيْنَا وَنَمِيرُ أَهْلَنَا وَنَحْفَظُ أَخَانَا وَنَزْدَادُ كَيْلَ بَعِيرٍ ذَلِكَ كَيْلٌ يَسِيرٌ

“Dan ketika mereka membuka barang-barangnya, mereka menemukan barang-barang (penukar) mereka dikembalikan kepada mereka. Mereka berkata, “Wahai ayah kami! Apalagi yang kita inginkan. Ini barang-barang kita dikembalikan kepada kita, dan kita akan dapat memberi makan keluarga kita, dan kami akan memelihara saudara kami, dan kita akan mendapat tambahan jatah (gandum) seberat beban seekor unta. Itu suatu hal yang mudah (bagi raja Mesir).” (QS. Yusuf: 65)

Ayat ini menjelaskan bahwa tatkala mereka telah menurunkan sukatan bahan makanan dan membukanya, ternyata barang (atau dinar/dirham) yang harus dibayarkan dan telah ditukar dengan gandum tersebut dikembalikan oleh sang menteri, yaitu nabi Yusuf ‘alaihissalam. Mereka terkejut dengan kebaikan menteri tersebut. Dengan itu, mereka meyakinkan kepada ayah mereka untuk membawa saudara mereka, Binyamin. Disamping itu, dengan membawa saudara mereka, maka mereka bisa menambah sukatan gandum yang lain, dari 10 sukatan menjadi 11 sukatan. Akhirnya, Nabi Ya’qub ‘alaihissalam mengambil janji kepada mereka. ([5])

Allahﷻ berfirman,

قَالَ لَنْ أُرْسِلَهُ مَعَكُمْ حَتَّى تُؤْتُونِ مَوْثِقًا مِنَ اللَّهِ لَتَأْتُنَّنِي بِهِ إِلَّا أَنْ يُحَاطَ بِكُمْ فَلَمَّا آتَوْهُ مَوْثِقَهُمْ قَالَ اللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ

“Dia (Yakub) berkata, “Aku tidak akan melepaskannya (pergi) bersama kamu, sebelum kamu bersumpah kepadaku atas (nama) Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung (musuh).” Setelah mereka mengucapkan sumpah, dia (Yakub) berkata, “Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan.” (QS. Yusuf: 66)

Nabi Ya’qub ‘alaihissalam menegaskan bahwa mereka tidak akan memberikan ijinnya, hingga mereka membuat perjanjian yang berat dengan membawa kembali saudara mereka, kecuali jika mereka dikepung sehingga tidak mampu berbuat apa pun, sebagaimana yang telah terjadi dengan nabi Yusuf ‘alaihissalam sebelumnya. Lalu, mereka pun mengambil janji bersama ayah mereka. Dan akhirnya, mereka pun bisa membawa Binyamin menuju ke negeri Mesir. ([6])

Allahﷻ berfirman mengisahkan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam berpesan kepada anak-anaknya,

وَقَالَ يَا بَنِيَّ لَا تَدْخُلُوا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَمَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ

Dan Ya´qub berkata: “Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri” (QS Yusuf : 67) ([7])

Nabi Ya’qub ‘alaihissalam berpesan kepada anak-anaknya yang berjumlah 11 orang yang besar dan gagah itu agar jangan memasuki kota Mesir dari satu pintu. Sebagaimana, diketahui bahwa untuk memasuki kota Mesir, orang-orang bisa melewati beberapa pintu. Karena, jika mereka yang berjumlah sebelas orang itu memasuki kota Mesir dari satu pintu saja, maka akan menjadi sorotan banyak orang dan bisa mengakibatkan mereka terkena ‘ain. Namun, hendaknya mereka memasuki kota Mesir dalam keadaan terpisah satu dengan yang lainnya([8]).

Atau Nabi Ya’qub melarang mereka untuk masuk dari satu pintu karena jumlah mereka yang 11 orang kakak beradik, dengan pakaian yang berbeda dari pakaian penduduk Mesir, disertai warna kulit yang berbeda (karena mereka dari suku yang berbeda) memancing perhatian penjahat atau pencuri atau para penjaga dan pengintai kerajaan yang mencurigai mereka, sehingga akan timbul permasalahan yang akhirnya menghalangi mereka untuk menunaikan tujuan mereka. ([9])

Di sini Nabi Ya’qub menyuruh anak-anaknya agar melakukan ikhtiar, yaitu dengan tidak beramai-ramai ketika masuk ke satu pintu, karena hal ini mengundang permasalahan. Akan tetapi setelah itu beliau mengingatkan agar mereka tidak berpatokan pada sebab (iktiyar) tersebut, akan tetapi hendaknya hati mereka bertumpu kepada Allah. Itulah tawakkal yang benar. Karenanya beliau berkata, “Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri”

Allah berfirman :

وَلَمَّا دَخَلُوا مِنْ حَيْثُ أَمَرَهُمْ أَبُوهُمْ مَا كَانَ يُغْنِي عَنْهُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا حَاجَةً فِي نَفْسِ يَعْقُوبَ قَضَاهَا وَإِنَّهُ لَذُو عِلْمٍ لِمَا عَلَّمْنَاهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Ya´qub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui (QS Yusuf : 68)

Setelah mereka masuk sesuai dengan nasehat ayah mereka (Ya’qub álaihis salam) maka tetap saja keputusan di tangan Allah, adik mereka Binyamin akhirnya toh tetap tertahan sebagaimana akan datang penjelasannya.

Adapun firman Allah إِلَّا حَاجَةً فِي نَفْسِ يَعْقُوبَ قَضَاهَا “akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Ya´qub yang telah ditetapkannya”, maksudnya Ya’qub menyampaikan seluruh nasihat yang tersimpan di hatinya untuk kebaikan anak-anaknya. Artinya beliau berusaha semaksimal mungkin untuk memberi pengarahan kepada anak-anaknya, setelah itu beliau tenang karena beliau sudah optimal dalam menasihati. Tidak ada satu nasihatpun yang bermanfaat bagi anak-anaknya kecuali telah beliau tunaikan dan sampaikan([10]). Namun Ya’qub sudah tahu bahwasanya semua usaha yang akan dilakukan oleh anak-anaknya tidak akan merubah keputusan Allah. Adapun apa yang terjadi setelah itu ternyata Binyamin tertahan maka itu bukan karena kurangnya ilmu Ya’qub álaihis salam dalam menasehati dan mengarahkan anak-anaknya. Oleh karenanya setelah itu Allah menepis persangkaan ini dengan memuji Ya’qub. Allah berfirman :

وَإِنَّهُ لَذُو عِلْمٍ لِمَا عَلَّمْنَاهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui (QS Yusuf : 68)

Ilmu yang dimiliki oleh Ya’qub álaihis salam diantaranya adalah menggabungkan antara ikhtiar (usaha) dan tawakkal (penyerahan hati) kepada Allah. Dan kebanyakan manusia tidak menggabungkan diantara kedua hal ini([11]), ada yang hanya memperhatikan sebab (ikhtiar) tanpa tawakkal dan ada yang sebaliknya hanya tawakkal akan tetapi ikhtiar tidak ada atau kurang berikhtiar.

Dan akhirnya, mereka memasuki kota Mesir dan bertemu nabi Yusuf ‘alaihissalam. Allahﷻ berfirman,

وَلَمَّا دَخَلُوا عَلَى يُوسُفَ آوَى إِلَيْهِ أَخَاهُ قَالَ إِنِّي أَنَا أَخُوكَ فَلَا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, dia menempatkan saudaranya (Binyamin) di tempatnya, dia (Yusuf) berkata, “Sesungguhnya aku adalah saudaramu, jangan engkau bersedih hati terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Yusuf: 69)

Ketika mereka bertemu nabi Yusuf ‘alaihissalam. Beliau memanggil saudaranya, Binyamin dan menjelaskan bahwasanya beliau adalah Yusuf. Setelah itu, nabi Yusuf ‘alaihissalam membuat semacam trik untuk saudara-saudaranya, agar saudaranya, yaitu Binyamin, tidak bisa pulang dan mereka akan kembali lagi ke Mesir pada beberapa waktu ke depannya.

Allahﷻ berfirman,

فَلَمَّا جَهَّزَهُمْ بِجَهَازِهِمْ جَعَلَ السِّقَايَةَ فِي رَحْلِ أَخِيهِ ثُمَّ أَذَّنَ مُؤَذِّنٌ أَيَّتُهَا الْعِيرُ إِنَّكُمْ لَسَارِقُونَ

Maka ketika telah disiapkan bahan makanan untuk mereka, dia (Yusuf) memasukkan piala ke dalam karung saudaranya. Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan, “Wahai kafilah! Sesungguhnya kamu pasti pencuri.” (QS. Yusuf: 70)

Ketika nabi Yusuf ‘alaihissalam menyiapkan 11 sukatan untuk 11 saudaranya, beliau juga memasukkan sejenis piala emas ke dalam sukatan Binyamin. Piala itu adalah semacam bejana yang digunakan oleh raja untuk minum. Setelah itu, ketika telah berjalan menuju pulang dari kota Mesir, salah satu anggota kerajaan menahan mereka dan menuduh mereka telah mencuri. ([12])

Allahﷻ berfirman,

قَالُوا وَأَقْبَلُوا عَلَيْهِمْ مَاذَا تَفْقِدُونَ

“Mereka bertanya, sambil menghadap kepada mereka (yang menuduh), “Kamu kehilangan apa?” (QS. Yusuf: 71)

Kemudian mereka kembali lagi dan menanyakan apa yang telah terjadi atau apakah mereka telah kehilangan sesuatu? Saudara-saudara nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak merasa ketakutan maupun gemetar, karena mereka merasa tidak bersalah dan tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Allahﷻ berfirman,

قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ. قَالُوا تَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمْتُمْ مَا جِئْنَا لِنُفْسِدَ فِي الْأَرْضِ وَمَا كُنَّا سَارِقِينَ. قَالُوا فَمَا جَزَاؤُهُ إِنْ كُنْتُمْ كَاذِبِينَ. قَالُوا جَزَاؤُهُ مَنْ وُجِدَ فِي رَحْلِهِ فَهُوَ جَزَاؤُهُ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِين

“Mereka menjawab, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu. Mereka (saudara-saudara Yusuf) menjawab, “Demi Allah, sungguh, kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk berbuat kerusakan di negeri ini dan kami bukanlah para pencuri. Mereka berkata, “Tetapi apa hukumannya jika kamu dusta? Mereka menjawab, “Hukumannya ialah pada siapa ditemukan dalam karungnya (barang yang hilang itu), maka dia sendirilah menerima hukumannya. Demikianlah kami memberi hukuman kepada orang-orang zalim.” (QS. Yusuf: 72-75)

Allahﷻ berfirman,

فَبَدَأَ بِأَوْعِيَتِهِمْ قَبْلَ وِعَاءِ أَخِيهِ ثُمَّ اسْتَخْرَجَهَا مِنْ وِعَاءِ أَخِيهِ كَذَلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ. قَالُوا إِنْ يَسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ أَخٌ لَهُ مِنْ قَبْلُ فَأَسَرَّهَا يُوسُفُ فِي نَفْسِهِ وَلَمْ يُبْدِهَا لَهُمْ قَالَ أَنْتُمْ شَرٌّ مَكَانًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَصِفُونَ

“Maka mulailah dia (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan (piala raja) itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami mengatur (rencana) untuk Yusuf. Dia tidak dapat menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui. Mereka berkata, “Jika dia mencuri, maka sungguh sebelum itu saudaranya pun pernah pula mencuri.” Maka Yusuf menyembunyikan (kejengkelan) dalam hatinya dan tidak ditampakkannya kepada mereka. Dia berkata (dalam hatinya), “Kedudukanmu justru lebih buruk. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu terangkan.” (QS. Yusuf: 76-77)

Setelah itu, mereka mulai diperiksa satu per satu. Nabi Yusuf ‘alaihissalam mulai memeriksa sukatan dari saudara-saudaranya yang paling besar hingga sukatan yang dibawa oleh Binyamin. Ternyata, ditemukan bahwa piala raja berada pada sukatan Binyamin.

Allah menyatakan bahwa كَذَلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ “Demikianlah Kami mengatur (trik) untuk Yusuf”. Adapun “trik” Allah tersebut nampak pada hal-hal berikut :

Pertama : Yusuf tidak langsung menyuruh pegawai kerajaan untuk memberi pengumuman bawa piala raja hilang, akan tetapi Yusuf memberi jeda sebentar, yaitu setelah kakak-kakaknya meninggalkan lokasi lalu berjalan menuju ke Mesir baru kemudian ada pengumuman kehilangan. Hal ini agar trik ini terlihat seakan-akan alami. Seandainya pengumuman langsung diumumkan sementara kakak-kakaknya belum beranjak sama sekali maka mereka akan menduga bahwa ini adalah jebakan.

Kedua : Pengumuman juga dilakukan secara umum di kota Mesir, sehingga untuk semakin memperkuat bahwa seakan-akan ini adalah kejadian alami. Dan kakak-kakaknya berhak untuk dituduh karena mereka adalah orang asing, dan sebelum mereka datang tidaklah terjadi pencurian.

Ketiga : Ketika petugas kerajaan mengadakan pemeriksaanpun yang diperiksa tidak langsung suketannya Binyamin akan tetapi diakhirkan pemeriksaannya, agar semakin memperkuat bahwa kejadian seakan-akan natural tanpa direncanakan.

Keempat : Sebelum petugas kerajaan mengadakan pemeriksaan mereka berdialog dengan kakak-kakaknya Yusuf, tentang apa hukuman bagi orang yang ketahuan mencuri. Maka kakak-kakaknya menjawab sesuai dengan ajaran agama mereka yaitu ajaran Ya’qub ‘alaihis salam, bahwasanya barang siapa yang mencuri maka balasannya sang pencuri akan dijadikan budak bagi orang yang dicuri. Hal ini berbeda dengan aturan di kerajaan Mesir, yang barang siapa yang mencuri tidaklah dijadikan budak akan tetapi disuruh membayar berkali lipat. Sementara maksud Yusuf adalah untuk menahan adiknya Binyamin, sehingga jika Binyamin dihukum dengan aturan kerajaan maka Binyamin tetap akan pulang ke Palestina dan hanya disuruh membayar saja.

Kelima : Selain itu dengan cara menyerahkan jenis hukuman kepada kakak-kakak nya menunjukan bahwasanya Yusuf tidak dzolim sama sekali.

Akhirnya, saudara-saudaranya terkejut dan menimpali bahwa memang Binyamin memiliki kebiasaan mencuri, dahulu saudaranya -seibu- (maksudnya adalah nabi Yusuf ‘alaihissalam) juga adalah seorang pencuri. Setelah nabi Yusuf ‘alaihissalam mendengar penuturan mereka, beliau merasa sesak, namun hanya di dalam hati. Beliau tetap tenang dan tidak mengungkapkan kekesalannya di depan mereka. Beliau bergumam di dalam hati bahwa “Kedudukan kalian justru lebih buruk Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu terangkan.” ([13]) Diantara akhlak mulia adalah mampu meredam amarah dalam hati. Karenanya tidak semua kejengkelan dalam hati harus serta merta kita ungkapkan di status, di instagram, dan di medsos.

Allahﷻ berfirman,

قَالُوا يَا أَيُّهَا الْعَزِيزُ إِنَّ لَهُ أَبًا شَيْخًا كَبِيرًا فَخُذْ أَحَدَنَا مَكَانَهُ إِنَّا نَرَاكَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ. قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ نَأْخُذَ إِلَّا مَنْ وَجَدْنَا مَتَاعَنَا عِنْدَهُ إِنَّا إِذًا لَظَالِمُون

“Mereka berkata, “Wahai Al-Aziz! Dia mempunyai ayah yang sudah lanjut usia, karena itu ambillah salah seorang di antara kami sebagai gantinya, sesungguhnya kami melihat engkau termasuk orang-orang yang berbuat baik. Dia (Yusuf) berkata, “Aku memohon perlindungan kepada Allah dari menahan (seseorang), kecuali orang yang kami temukan harta kami padanya, jika kami (berbuat) demikian, berarti kami orang yang zalim.” (QS. Yusuf: 78-79)

Mereka sadar bahwa saudara mereka, Binyamin, tertahan di dalam kerajaan. Sedangkan mereka telah berjanji dengan ayah mereka akan menjaganya dan tidak membiarkannya tertangkap. Setelah itu, mereka merayu nabi Yusuf ‘alaihissalam. Lalu nabi Yusuf ‘alaihissalam menanggapi rayuan mereka bahwa beliau tidak mungkin menahan orang yang tidak melakukan kejahatan. Akan tetapi, beliau akan menahan orang yang ketahuan mencuri piala sang raja.

Allahﷻ berfirman,

فَلَمَّا اسْتَيْأَسُوا مِنْهُ خَلَصُوا نَجِيًّا قَالَ كَبِيرُهُمْ أَلَمْ تَعْلَمُوا أَنَّ أَبَاكُمْ قَدْ أَخَذَ عَلَيْكُمْ مَوْثِقًا مِنَ اللَّهِ وَمِنْ قَبْلُ مَا فَرَّطْتُمْ فِي يُوسُفَ فَلَنْ أَبْرَحَ الْأَرْضَ حَتَّى يَأْذَنَ لِي أَبِي أَوْ يَحْكُمَ اللَّهُ لِي وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ

“Maka ketika mereka berputus asa darinya (putusan Yusuf) mereka menyendiri (sambil berunding) dengan berbisik-bisik. Yang tertua di antara mereka berkata, “Tidakkah kamu ketahui bahwa ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan (nama) Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf? Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri ini (Mesir), sampai ayahku mengizinkan (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah hakim yang terbaik.” (QS. Yusuf: 80)

Setelah mereka bersusah payah merayu nabi Yusuf ‘alaihissalam dan tidak berhasil, hal itu membuat mereka merasa putus asa. Akhirnya, mereka berunding. Saudara mereka yang paling tua mengingatkan bahwa ayah mereka telah mengambil perjanjian dengan mereka untuk menjaga Binyamin dan dahulu mereka juga telah melakukan kesalahan terhadap Yusuf ‘alaihissalam. Dia bertekad untuk tidak pulang hingga ayah mereka mengijinkannya untuk pulang, karena dia sudah terlanjur malu untuk bertemu dengan ayahnya atas kejadian tersebut. ([14])

Ia berkata :

ارْجِعُوا إِلَى أَبِيكُمْ فَقُولُوا يَا أَبَانَا إِنَّ ابْنَكَ سَرَقَ وَمَا شَهِدْنَا إِلَّا بِمَا عَلِمْنَا وَمَا كُنَّا لِلْغَيْبِ حَافِظِين. وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا وَإِنَّا لَصَادِقُونَ

“Kembalilah kepada ayahmu dan katakanlah, “Wahai ayah kami! Sesungguhnya anakmu telah mencuri dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui dan kami tidak mengetahui apa yang di balik itu. Dan tanyalah (penduduk) negeri tempat kami berada, dan kafilah yang datang bersama kami. Dan kami adalah orang yang benar.” (QS. Yusuf: 81-82)

Kemudian, saudara yang paling tua memerintahkan kepada saudara-saudaranya yang lain untuk pulang menemui ayah mereka dan menjelaskan bahwa saudara mereka telah mencuri. Selain itu, mereka juga menegaskan kepada ayah mereka untuk menanyakan penduduk kota Mesir atau kafilah dagang yang pulang dari kota itu, karena mereka tahu bahwa kasus Binyamin yang telah mencuri piala sang raja adalah kejadian yang besar. ([15])

Allahﷻ berfirman,

قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ

“Dia (Yakub) berkata, “Sebenarnya hanya dirimu sendiri yang memandang baik urusan (yang buruk) itu. Maka (kesabaranku) adalah kesabaran yang baik.” (QS. Yusuf: 83)

Nabi Ya’qub ‘alaihissalam tidak percaya dengan mereka, karena mereka telah dikuasai hawa nafsu mereka. Beliau hanya bisa bersabar dengan kesabaran yang baik, artinya tidak mengeluh kepada manusia sama sekali.

عَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَنِي بِهِمْ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

“Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sungguh, Dialah Yang Maha Mengetahui, Maha bijaksana.” (QS. Yusuf: 83)

Subhanallah, nabi Ya’qub ‘alaihissalam semakin bertawakal kepada Allahﷻ dan berdoa semoga Allahﷻ mendatangkan mereka semua, yaitu Binyamin, saudaranya yang paling tua dan nabi Yusuf ‘alaihissalam([16]). Nabi Ya’qub ‘alaihissalam berdoa seperti ini tatkala beliau benar-benar terdesak. Begitulah seharusnya keadaan orang yang beriman. Semakin dia terdesak, maka dia semakin berserah diri kepada Allahﷻ. Semua yang terjadi pasti di atas ilmu Allahﷻ dan menyimpan hikmah.

Allahﷻ berfirman,

وَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَا أَسَفَا عَلَى يُوسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ

“Dan dia (Yakub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, “Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf,” dan kedua matanya menjadi putih (buta) karena sedih. Dia diam menahan amarah (terhadap anak-anaknya).” (QS. Yusuf: 84)

Lalu, nabi Ya’qub ‘alaihissalam berpaling dari anak-anaknya. Dia teringat lagi dengan apa yang terjadi dengan nabi Yusuf ‘alaihissalam, bersedih dan tak kuasa untuk menahan tangisan. Beliau selalu menangis hingga matanya menjadi putih dan hilang bagian matanya yang hitam yang mengakibatkan beliau mengalami kebutaan.

Ya’qub selain bersedih beliau juga menahan kemarahan terhadap anak-anaknya yang membuatnya jengkel. Kemarahan tersebut beliau pendam dan tidak beliau ungkapkan, padahal betapa durhaka anak-anak beliau yang telah memisahkan beliau dari Yusuf bertahun-tahun, yang begitu tega membuang adik mereka sendiri Yusuf. Belum lagi mereka menggerutu dan mengata-ngatain Ya’qub ketika Ya’qub menyebut-nyebut Yusuf kembali. Allahﷻ berfirman,

قَالُوا تَاللَّهِ تَفْتَأُ تَذْكُرُ يُوسُفَ حَتَّى تَكُونَ حَرَضًا أَوْ تَكُونَ مِنَ الْهَالِكِينَ

“Mereka berkata, “Demi Allah, engkau tidak henti-hentinya mengingat Yusuf, sehingga engkau (mengidap) penyakit berat atau engkau termasuk orang-orang yang akan binasa.” (QS. Yusuf: 85)

Mereka merasa khawatir, kesal dan cemburu karena ayah mereka senantiasa mengingat nabi Yusuf ‘alaihissalam, meskipun telah tiada. Sehingga, dengan sebab itu membuat beliau menjadi buta. ([17])

وَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَا أَسَفَى عَلَى يُوسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ كظِيمٌ، قَالُوا تَاللَّهِ تَفْتَأُ تَذْكُرُ يُوسُفَ حَتَّى تَكُونَ حَرَضًا أَوْ تَكُونَ مِنَ الْهَالِكِينَ، قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Dan Ya´qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). Mereka berkata: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa”. Ya´qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya” (QS Yusuf : 84-86)

البَثُّ adalah puncak kesedihan dengan memikirkan tentang suatu yang buruk, adapun الحُزْنُ adalah kesedihan terhadap musibah yang telah lalu. Dan keduanya terkumpul pada Ya’qub, dimana beliau terus memikirkan kesulitan-kesulitan yang akan menimpa Yusuf karena hidup dalam keasingan serta tidak ada yang memperhatikannya dan itulah البَثُّ, adapun الحُزْنُ karena beliau bersedih akan musibah yang lampau dengan terpisahnya beliau dari Yusuf([18]). Sebagian ulama berpendapat bahwa البَثُّ adalah الحُزْنُ الْعَظِيْمُ kesedihan yang berat. Sehingga maksud dari perkataan Nabi Ya’qub adalah beliau mengeluhkan segala jenis kesedihannya baik kesedihan yang berat maupun yang ringan hanya kepada Allah([19]).

Sebagian ulama berkata :

البَثُّ أَشَدُّ الْحُزْنِ، إِنَّمَا سُمِّيَ الْحُزْنِ الْبَثَّ، لِأَنَّ صَاحِبَهُ لاَ يَصْبِرُ عَلَيْهِ، حَتَّى يَبُثَّهُ أَيْ: يَفْشُوْهُ

البَثُّ adalah puncak kesedihan. Dinamakan kesedihan dengan البَثُّ karena orang yang mengalaminya tidak sabar menghadapinya hingga akhirnya ia menceritakannya, yaitu menyebarkannya (kepada orang lain dengan mengeluh/curhat)” ([20])

Al-Hasan Al-Bashri berkata :

كَانَ مُنْذُ فَارَقَ يُوسُفُ يَعْقُوبَ إِلَى أن التقيا، ثمانون سنة، لم يفارق في الْحُزْنُ قَلْبَهُ، وَدُمُوعُهُ تَجْرِي عَلَى خَدَّيْهِ، وَمَا عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ عَبَدٌ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ يَعْقُوبَ

“Sejak Yusuf berpisah dengan Ya’qub hingga mereka berdua bertemu kembali adalah 80 tahun, maka semenjak itu pula kesedihan tidak pernah terlepas dari hati Ya’qub, air matanya mengalir di kedua pipinya. Padahal tidak ada hamba di atas muka bumi yang paling dicintai oleh Allah dari pada Nabi Ya’qub” ([21])

Karenanya jika seseorang sering mengalami kesedihan, janganlah ia berburuk sangka kepada Allah, siapa tahu dia dicintai oleh Allah. Jangan pula ia berputus asa bagaimanapun juga, sebagaimana Nabi Ya’qub yang selalu berharap agar Allah mengembalikan Nabi Yusuf kepadanya, akhirnya setelah 80 tahun Allah pun mengabulkan dan mempertmukan mereka kembali.

Setelah itu Ya’qub ‘alaihis salam berkata kepada anak-anaknya :

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS. Yusuf: 86-87)

Ayat ini menjelaskan bahwa tatkala kondisi semakin genting nabi Ya’qub ‘alaihissalam memerintahkan anak-anaknya untuk pergi lagi menuju Mesir untuk mencari kabar tentang nabi Yusuf ‘alaihissalam. Padahal, selama bertahun-tahun sebelumnya beliau sama sekali tidak pernah menyebutkan masalah Yusuf ‘alaihissalam. Nabi Ya’qub ‘alaihissalam juga berpesan kepada mereka agar jangan berputus asa dari rahmat Allahﷻ. ([22])

Allahﷻ berfirman,

فَلَمَّا دَخَلُوا عَلَيْهِ قَالُوا يَا أَيُّهَا الْعَزِيزُ مَسَّنَا وَأَهْلَنَا الضُّرُّ وَجِئْنَا بِبِضَاعَةٍ مُزْجَاةٍ فَأَوْفِ لَنَا الْكَيْلَ وَتَصَدَّقْ عَلَيْنَا إِنَّ اللَّهَ يَجْزِي الْمُتَصَدِّقِينَ

“Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, mereka berkata, “Wahai Al-Aziz! Kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tidak berharga, maka penuhilah jatah (gandum) untuk kami, dan bersedekahlah kepada kami. Sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang yang bersedekah.” (QS. Yusuf: 88)

Setelah itu, saudara-saudara nabi Yusuf ‘alaihissalam pergi ke kota Mesir. Dan tatkala mereka bertemu dengan beliau, mereka berkata bahwa mereka dan keluarga mereka di Palestina telah ditimpa penderitaan. Subhanallah, setelah nabi Yusuf ‘alaihissalam mendengar perkataan mereka, beliau menjadi teringat dengan ayah, ibu dan keluarga beliau di dalam penderitaan. Saudara-saudaranya tidak mempunya harta yang cukup untuk ditukar dan membeli sukatan gandum. Mereka berharap agar nabi Yusuf ‘alaihissalam memberikan sukatan gandum seperti biasanya, meskipun dengan bayaran (dinar/dirham/barteran) yang sedikit.

Mereka berkata kepada Yusuf :

إِنَّ اللَّهَ يَجْزِي الْمُتَصَدِّقِينَ

Sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang yang bersedekah.” (QS. Yusuf: 88)

Yaitu mereka memotivasi Yusuf untuk berbuat baik kapada mereka dengan pahala orang bersedekah. Ini menunjukan bahwa yang namanya sedekah bukan hanya memberikan hadiah berupa harta secara total, bahkan mengurangi harga barang juga merupakan sedekah kepada pembeli([23]). Demikian juga sebaliknya jika seseorang membeli barang dengan tanpa menawar (padahal ia mampu untuk menawar dan biasanya harga akan diturunkan) dalam rangka untuk membantu penjual maka ini termasuk sedekah. Bahkan sebagian ulama menjelaskan diantara bentuk bersedakah dengan bersembunyi-sembunyi dan tangan kiri tidak mengetahui adalah bersedekah dengan tidak menawar harga barang yang ia beli.

Ini juga isyarat bahwa orang yang berbuat baik akan diberi ganjaran sempurna oleh Allah meskipun yang berhutang budi tidak membalas kebaikannya. Ini juga isyarat tentang keikhlasan dalam bersedekah yaitu tidak berharap dari orang yang dibaiki dan dibantu, akan tetapi berharap kepada Allah semata.

Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak tega melihat kondisi tersebut. Dan akhirnya, beliau sebagai menteri menjelaskan jati diri beliau yang sebenarnya.

Allahﷻ berfirman,

قَالَ هَلْ عَلِمْتُمْ مَا فَعَلْتُمْ بِيُوسُفَ وَأَخِيهِ إِذْ أَنْتُمْ جَاهِلُونَ

“Dia (Yusuf) berkata, “Tahukah kamu (kejelekan) apa yang telah kamu perbuat terhadap Yusuf dan saudaranya karena kamu tidak menyadari (akibat) perbuatanmu itu?” (QS. Yusuf: 89)

Ayat ini menjelaskan bahwa ketika nabi Yusuf ‘alaihissalam menegur mereka pun dengan kata-kata yang lembut. Dan seakan-akan beliau memberikan uzur bagi mereka, tidak ada dendam sama sekali di dalam hati beliau. Yaitu seakan-akan udzur mereka ketika medzalimi Yusuf dan Binyamin adalah dahulu ketika mereka masih jahil, masih muda, dan belum mengerti([24]). Mereka terkejut dengan menteri tersebut yang tiba-tiba menyinggung dan mengetahui perkara saudara mereka, nabi Yusuf ‘alaihissalam. ([25])

Allahﷻ berfirman,

قَالُوا أَ إِنَّكَ لَأَنْتَ يُوسُفُ قَالَ أَنَا يُوسُفُ وَهَذَا أَخِي قَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا إِنَّهُ مَنْ يَتَّقِ وَيَصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

“Mereka berkata, “Apakah engkau benar-benar Yusuf?” Dia (Yusuf) menjawab, “Aku Yusuf dan ini saudaraku. Sungguh, Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami. Sesungguhnya barang siapa bertakwa dan bersabar, maka Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 90)

Akhirnya, mereka mencoba menebak apakah benar bahwa menteri yang ada di hadapan mereka adalah saudara mereka, nabi Yusuf ‘alaihissalam? Kemudian, menteri tersebut mengakui bahwa beliau memang benar-benar Yusuf ‘alaihissalam, saudara mereka dan Binyamin yang berada di sisinya.

Ayat ini menjelaskan bahwa takwa dan sabar adalah dua hal yang harus digabungkan antara keduanya. Terkadang di temukan sebagian orang yang bertakwa, namun dia tidak bersabar. Atau sebaliknya, sebagian orang telah bersabar, namun dia tidak bertakwa kepada Allahﷻ. Yusuf álaihis salam telam menyempurnkan tingkatan-tingkatan kesabaran. Ia telah sabar dengan الصَّبْرُ الاِخْتِيَارِيُّ sabar ikhtiyari (pilihan) dan الصَّبْرُ الاِضْطِرَارِيُّ sabar idtirori (sabar terpaksa). Sabar pilihan ketika beliau bersabar atas rayuan sang wanita dengan godaan yang begitu berat. Demikian juga beliau bersabar untuk tidak membalas keburukan kakak-kakaknya bahkan memaafkan mereka dan berkata-kata halus kepada mereka. Sabar terpaksa ketika beliau dilemparkan di dalam sumur, dijual jadi budak, dipenjarakan, dan juga bersabar terpisah dari ayahnya yang sangat ia cintai puluhan tahun.

Sebagaimana telah lalu bahwasanya orang yang berbuat baik, tidak hanya mendapatkan kebaikan di akhirat saja, bahkan dia juga mendapatkan kebaikan di dunia. Barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka Allahﷻ tidak akan menyia-nyiakan ganjaran bagi orang yang berbuat kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana nabi Yusuf ‘alaihissalam, dimana beliau diberikan kemuliaan di dunia oleh Allahﷻ.

Ayat ini juga menjelaskan boleh bagi seseorang menyebutkan tentang nikmat yang ia perloleh karena kesabaran dan ketakwaan, tentunya bukan karena újub tapi karena التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ menceritakan nikmat yang Allah berikan([26]).

Allahﷻ berfirman,

قَالُوا تَاللَّهِ لَقَدْ آثَرَكَ اللَّهُ عَلَيْنَا وَإِنْ كُنَّا لَخَاطِئِينَ. قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“Mereka berkata, “Demi Allah, sungguh Allah telah melebihkan engkau di atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah (berdosa).” Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS. Yusuf: 91-92)

Ayat ini menjelaskan bahwasanya nabi Yusuf ‘alaihissalam sama sekali tidak merasa dendam kepada saudara-saudaranya. Meskipun mereka telah berbuat kesalahan kepada beliau pada masa lalu. Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak mencerca dan mengungkit kesalahan-kesalahan mereka kepada beliau. Bahkan, beliau mendoakan saudara-saudaranya agar Allahﷻ mengampuni mereka. ([27])

Ayat ini juga menunjukan bahwa yang menjadi patokan adalah penghujung. Jika melihat kondisi awal maka kakak-kakaknya Yusuf dalam kondisi mulia sementara Yusuf dalam kondisi menderita, akan tetapi endingnya berbalik, Yusuf yang mulia. Karenanya seseorang jangan terpedaya dengan kondisi saat ini, yang menentukan adalah kondisi akhir seseorang.

Allahﷻ berfirman,

اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا وَأْتُونِي بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِينَ

“Pergilah kamu dengan membawa bajuku ini, lalu usapkan ke wajah ayahku, nanti dia akan melihat kembali; dan bawalah seluruh keluargamu kepadaku.” (QS. Yusuf: 93)

Allahﷻ menjelaskan tentang mukjizat lain yang diberikan kepada nabi Yusuf ‘alaihissalam. Nabi Yusuf ‘alaihissalam memerintahkan saudara-saudaranya agar membawa jubah beliau dan melemparkannya kepada wajah Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, maka beliau akan bisa melihat kembali, karena nabi Yusuf ‘alaihissalam mengetahui bahwa ayah beliau buta. Setelah itu, nabi Yusuf ‘alaihissalam juga berpesan kepada mereka agar membawa semua keluarga mereka -yakni Bani Israil- ke kota Mesir agar Yusuf menyambung silaturahmi dengan mereka seluruhnya.([28])

Allah bisa saja menyembuhkan kebutaan Ya’qub tanpa harus dengan baju Yusuf álaihis salam, akan tetapi Allah mentaqdirkan dengan kesembuhan tersebut dengan sebab bajunya Nabi Yusuf álaihis salam. Hal ini tentu untuk memuliakan Yusuf álaihis salam.

Allahﷻ berfirman,

وَلَمَّا فَصَلَتِ الْعِيرُ قَالَ أَبُوهُمْ إِنِّي لَأَجِدُ رِيحَ يُوسُفَ لَوْلَا أَنْ تُفَنِّدُونِ

“Dan ketika kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir), ayah mereka berkata, “Sesungguhnya Aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku).” (QS. Yusuf: 95)

Tatkala saudara-saudara nabi Yusuf ‘alaihissalam pulang dari kota Mesir dan datang menuju kota Palestina, dari beberapa jarak yang jauh, angin sudah membawa aroma jubah nabi Yusuf ‘alaihissalam kepada nabi Ya’qub ‘alaihissalam. Demikian juga yang dialami oleh nabi Ya’qub ‘alaihissalam bahwa beliau mencium aroma jubah nabi Yusuf ‘alaihissalam, akan tetapi keluarga([29]) nabi Yusuf ‘alaihissalam tetap saja mengejek ayah mereka. Mereka berkata,

قَالُوا تَاللَّهِ إِنَّكَ لَفِي ضَلَالِكَ الْقَدِيمِ

“Mereka (keluarganya) berkata, “Demi Allah, sesungguhnya engkau masih dalam kekeliruanmu yang dahulu.” (QS. Yusuf: 95)

Allahﷻ berfirman,

فَلَمَّا أَنْ جَاءَ الْبَشِيرُ أَلْقَاهُ عَلَى وَجْهِهِ فَارْتَدَّ بَصِيرًا قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ. قَالُوا يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ

“Maka ketika telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diusapkannya (baju itu) ke wajahnya (Yakub), lalu dia dapat melihat kembali. Dia (Yakub) berkata, “Bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui. Mereka berkata, “Wahai ayah kami! Mohonkanlah ampunan untuk kami atas dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah (berdosa).” (QS. Yusuf: 96-97)

Lalu, Nabi Ya’qub ‘alaihissalam berkata,

قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Dia (Yakub) berkata, “Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sungguh, Dia Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 98)

Sebagian ulama menyebutkan bahwa Ya’qub menunda permohonan ampunan anak-anaknya karena beberapa sebab, diantaranya :

  • Nabi Ya’qub ‘alaihissalam akan memohonkan ampunan untuk mereka pada waktu sahur. Karena waktu istighfar terbaik adalah pada waktu sahur. ([30])
  • Ya’qub adalah seorang murobbi (pendidik) anak-anaknya, maka beliau ingin menjadikan anak-anaknya merasa bahwa dosa dan kesalahan yang mereka lakukan adalah kesalahan besar yang mengakibatkan penderitaan yang begitu lama hingga puluhan tahun. Jika Ya’qub langsung memaafkan dikawatirkan mereka merasa bahwa kesalahan mereka ringan
  • Bisa jadi Ya’qub tidak tahu bahwa Yusuf sudah memaafkan mereka, sementara dosa mereka tidak hanya berkaitan dengan Ya’qub akan tetapi lebih berkaitan dengan Yusuf, sehingga Ya’qub ingin memastikan dulu apakah Yusuf sudah memaafkan mereka atau belum([31]).

Berbeda dengan Yusuf yang langsung memaafkan, karena kondisinya Yusuf adalah penguasa yang sangat mampu untuk membalas kakak-kakaknya dengan begitu mudah dan dengan apa yang ia inginkan. Tentu hal ini menjadikan kakak-kakaknya terus dalam kekawatiran jika Yusuf belum memaafkan mereka, karenanya Yusuf menyegerakan untuk memaafkan mereka, selain Yusuf sendiri adalah orang yang sangat pemaaf. Terlebih lagi Yusuf memafkan tatkala bisa membalas dendam. Rasulullah shallallahu álaihi wasallam bersabda :

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللَّهُ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، حَتَّى يُخَيِّرَهُ فِي أَيِّ الْحُورِ شَاءَ

“Barangsiapa mampu menahan amarahnya sedangkan ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk pada hari Kiamat hingga Dia memberinya (kebebasan) memilih bidadari yang ia suka.” ([32])

Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkan Abu Sufyan dan bahkan memuliakannya dengan memberikan jaminan keamanan jika seseorang bersembunyi di rumah Abu Sufyan, padahal dia telah berulang-ulang ingin membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam Mekkah, seharusnya waktu itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas dendamnya kepada Abu Sufyan. Akan tetapi yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah masuk ke dalam Kabbah dan melaksanakan shalat, setelah itu beliau keluar menemui orang-orang kafir Quraisy yang telah berkumpul dan berkata,

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، مَا تَظُنُّوْنَ أَنِّي فَاعِلٌ بِكُمْ؟ قاَلُوا خَيْرًا؛ أَخٌ كَرِيْمٌ وَابْنُ أَخٍ كَرِيْمِ (وَفِي رِوَايَةٍ : وَقَدْ قَدِرْتَ)، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْيَوْمَ أَقُوْلُ لَكُمْ مَا قَالَ أَخِي يُوْسُفُ مِنْ قَبْلَ: {لاَ تَثْرَيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ} اِذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ

“Wahai orang-orang Quraisy, menurut kalian apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Orang Quraisy berkata, ‘Menurut kami yang akan kau lakukan adalah kebaikan. Engkau adalah seorang yang mulia, dan anak dari seorang yang mulia, (dalam riwayat lain) sedangkan engkau telah mampu membalas.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘“ada hari ini aku mengatakan kepada kalian sebagaimana perkataan saudaraku Yusuf, ‘Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang’ [QS. Yusuf : 92], Pergilah! Sekarang kalian bebas.” ([33])

Allahﷻ berfirman,

فَلَمَّا دَخَلُوا عَلَى يُوسُفَ آوَى إِلَيْهِ أَبَوَيْهِ وَقَالَ ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ. وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا

“Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, dia merangkul (dan menyiapkan tempat untuk) kedua orang tuanya seraya berkata, “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.” Dan dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana. Dan mereka (semua) tunduk bersujud kepadanya (Yusuf).” (QS. Yusuf: 99-100)

Semua keluarga nabi Ya’qub ‘alaihissalam atau yang disebut dengan bani Israil pergi berangkat menuju kota Mesir untuk bertemu nabi Yusuf ‘alaihissalam. Tatkala mereka sampai di tempat nabi Yusuf ‘alaihissalam, maka beliau pun mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam kerajaan dan mengayomi kedua orang tua beliau. Nabi Yusuf ‘alaihissalam meletakkan kedua orang tuanya di singgasananya. Mereka pun ruku’ kepada beliau. Artinya adalah bahwa ini merupakan bentuk penghormatan kepada nabi Yusuf ‘alaihissalam. Di antara syariat pada zaman bani Israil adalah diperbolehkan bagi mereka untuk ruku’ kepada manusia sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Demikianlah yang dilakukan oleh bani Israil kepada nabi Yusuf ‘alaihissalam. ([34])

Allahﷻ berfirman,

وَقَالَ يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا

“Dan dia (Yusuf) berkata, “Wahai ayahku! Inilah takwil mimpiku yang dahulu itu. Dan sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan.” (QS. Yusuf: 100)

Saat itulah nabi Yusuf ‘alaihissalam memberitahukan kepada nabi Ya’qub ‘alaihissalam bahwa apa yang terjadi merupakan tafsir mimpi yang beliau ceritakan kepadanya pada masa lalu dan Allahﷻ menjadikan mimpi tersebut menjadi kenyataan.

Nabi Yusuf ‘alaihissalam kala itu bermimpi melihat matahari, bulan dan sebelas bintang sujud kepada beliau. Artinya adalah ayah beliau, yaitu nabi Ya’qub ‘alaihissalam, ibu dan sebelas saudaranya ruku’ di hadapan beliau. Hal itu sebagai bentuk penghormatan kepada nabi Yusuf ‘alaihissalam. ([35])

Allahﷻ berfirman,

وَقَدْ أَحْسَنَ بِي إِذْ أَخْرَجَنِي مِنَ السِّجْنِ وَجَاءَ بِكُمْ مِنَ الْبَدْوِ مِنْ بَعْدِ أَنْ نَزَغَ الشَّيْطَانُ بَيْنِي وَبَيْنَ إِخْوَتِي

“Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari penjara dan ketika membawa kamu dari dusun, setelah setan merusak (hubungan) antara aku dengan saudara-saudaraku.” (QS. Yusuf: 100)

Ayat ini bercerita bahwa tentu nabi Ya’qub ‘alaihissalam ingin mengetahui bagaimana Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjadi menteri. Kemudian nabi Yusuf ‘alaihissalam mulai bercerita tentang kisahnya yang menjadi sebab beliau bisa dalam kondisi sedemikian rupa. Nabi Yusuf ‘alaihissalam sudah berjanji untuk tidak mencela saudara-saudaranya, oleh karena itu beliau tidak bercerita tentang kesalahan saudara-saudaranya yang telah melemparkan beliau ke dasar sumur. Namun, nabi Yusuf ‘alaihissalam langsung bercerita bagaimana beliau bisa berada di dalam penjara lalu dikeluarkan oleh Allah dari penjara.

Di antara kenikmatan lain yang Allahﷻ berikan kepada nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah Allahﷻ mendatangkan saudara-saudaranya bani Israil dari kota kampung/pedesaan di negeri Syam di Palestina menuju kota Mesir untuk mempertemukan mereka dengan nabi Yusuf ‘alaihissalam, setelah setan mengadu domba antara beliau dengan saudara-saudaranya.

Adapun permasalahan antara Yusuf dan saudara-saudaranya, bagaimana kecemburuan saudara-saudaranya kepada Yusuf, tentu diketahui oleh Ya’qub. Maka hal ini tidak perlu Yusuf sembunyikan dari ayahnya dan dari kakak-kakaknya. Yang menakjubkan adalah Yusuf menungkapkan permasalahan tersebut dengan menyandarkan kesalahan bukan kepada kakak-kakaknya akan tetapi kepada syaitan([36]).

Nabi Ya’qub ‘alaihissalam mengetahui bahwa kesalahan adalah pada saudara-saudara Yausuf karena cemburu kepada nabi Yusuf ‘alaihissalam. Akan tetapi, nabi Yusuf ‘alaihissalam mengungkapkan pertikaian antara ia dan saudara-saudaranya tersebut dengan cara tidak membela dirinya dan tidak menyalahkan saudara-saudaranya. Tetapi, nabi Yusuf ‘alaihissalam mengungkapkan bahwa kesalahan yang terjadi adalah karena setan yang telah mengadu domba di antara mereka. Nabi Yusuf ‘alaihissalam sama sekali tidak ingin untuk mencela saudara-saudaranya. Ini merupakan bentuk pemaafan yang luar biasa dan bentuk komitmen terhadap perkataannya kepada saudara-saudaranya. ([37])

Nabi Yusuf menyebutkan kondisi-kondisi sulitnya ketika sedang dalam kondisi nyaman, ini menunjukan bahwa seseorang tatkala dalam kondisi nyaman hendaknya mengingat kondisi-kondisi sulit di masa lalunya agar ia lebih bersyukur([38]).

Ayat ini juga menunjukan bahwa berpindah dari pedesaan kepada perkotaan adalah kenikmatan, hal ini karena di kota kebutuhan banyak mudah terpenuhi([39]).

Allahﷻ berfirman,

إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

“Sungguh, Tuhanku Maha lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Yang Maha Mengetahui, Maha bijaksana.” (QS. Yusuf: 100)

Demikianlah bahwa Allahﷻ Maha Lembut. Allahﷻ mengantarkan kebaikan kepada seseorang tanpa dia sadari atau menjauhkan keburukan dari seseorang tanpa dia sadari. Betapa banyak orang yang keadaannya seperti ini, yaitu Allahﷻ mengangkat derajatnya tanpa disadari, dengan halus Allahﷻ mengantarkannya kepada tempat yang semakin mulia, sebagaimana yang telah dialami oleh nabi Yusuf ‘alaihissalam. Demikian juga diantara makna kelembutan Allah adalah Allah menghindarkan keburukan dari seorang hamba dengan cara-cara yang tidak disadari oleh sang hamba. Nama Allah Al-Lathiif (maha lembut) juga menunjukan Allah mengetahui perkara-perkara yang detail dan halus.

Allahﷻ berfirman,

رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ

“Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang saleh.” (QS. Yusuf: 101)

Ini menunjukan akan pentingnya berdoa kepada Allah agar wafat dalam kondisi husnul khotimah, yaitu wafat dalam kondisi Islam.

Kemudian, di akhir kisah nabi Yusuf ‘alaihissalam, Allahﷻ berfirman kepada Nabiﷺ,

ذَلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ أَجْمَعُوا أَمْرَهُمْ وَهُمْ يَمْكُرُونَ. وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِيْنَ

“Itulah sebagian berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal engkau tidak berada di samping mereka, ketika mereka bersepakat mengatur tipu muslihat (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur).” (QS. Yusuf: 102)

Allahﷻ menjelaskan bahwa kisah nabi Yusuf ‘alaihissalam merupakan kisah gaib yang diwahyukan kepada Nabiﷺ. Beliauﷺ juga tidak hadir tatkala saudara-saudara nabi Yusuf ‘alaihissalam melemparkannya ke dalam sumur. Akan tetapi, Nabiﷺ mampu bercerita tentang kisah bani Israil. Hal itu karena Allahﷻ telah mengabarkannya kepada Nabiﷺ. Demikianlah kisah nabi Yusuf ‘alaihissalam. Akhirnya, bani Israil yang dahulu tinggal di kota Palestina berpindah ke kota Mesir. ([40])

Nabi Yusuf di Bible :

Secara umum kisah Yusuf di Bible mirip dengan kisah Yusuf di al-Qur’an, hanya saja ada beberapa perbedaan. Diantaranya :

Pertama : Versi Bible tidak disebutkan sama sekali bagaimana Yusuf berdakwah kepada kedua penghuni penjara. Padahal ini merupakan poin yang sangat penting mengingat dalam kisah tersebut bagaimana perhatian Yusuf dalam mendakwahkan tauhid dan juga metode yang indah dalam berdakwah. Akan tetapi justru Yusuf yang mendatangi kedua penghuni penjara tersebut lalu bertanya tentang mimpi mereka berdua (lihat Kejadian 40 :6)

Kedua : Juga tidak disebutkan mukjizat Nabi Yusuf dimana bajunya menyebabkan sembuhnya ayahnya Ya’qub, yang tadinya buta menjadi melihat kembali.

Ketiga : Yusuf menceritakan mimpinya kepada kakak-kakaknya sehingga mereka semakin benci kepada Yusuf (Kejadian 37 : 8)

Keempat : Ayahnya (Ya’qub ‘alaihis salam) yang menyuruh yusuf mengikuti kakak-kakaknya mengembala (Lihat Kejadian 37 : 12-14)

Kelima : Jika versi al-Qur’an baju Yusuf terkoyak di bagian belakang dan Yusuf tetap memakainya, adapun versi Bible Yusuf meninggalkan bajunya di kamar sang wanita (lihat Kejaidan 39 : 13).

Keenam : versi al-Qur’an, ketika Yusuf dan sang wanita ketahuan oleh suami sang wanita maka Yusuf segera membela diri, dan akhirnya sang suamipun tahu kalau istrinya yang salah dan Yusuf dibebaskan. Adapun versi Bible Yusuf ketika diinterogasi oleh suami sang wanita maka Yusuf tidak membela diri dan akhirnya langsung di penjara. (Lihat Kejadian 39 : 20)

Ketujuh : Karenanya dalam versi Bible tidak ada kisah para wanita berkumpul lantas terpesona dengan ketampanan Yusuf sehingga memotong tangan-tangan mereka. Adapun dalam versi al-Qur’an Yusuf dipenjara setelah kejadian tersebut.

Kedelapan : Versi al-Qur’an Ya’qub tidak pernah menduga Yusuf telah mati, karena ia tahu Yusuf masih hidup berdasarkan mimpi Yusuf, sehingga ia selalu bersedih. Adapun versi Bible Ya’qub ‘alaihis salam menyatakan bahwa putranya Yusuf telah meninggal (Lihat Kejadian 42 : 38)

Kesembilan : Versi al-Qur’an, Ya’qub ‘alaihis salam tidak pernah mengeluhkan penderitaannya kepada manusia, sementera versi Bible Ya’qub mengeluh tentang kehidupannya yang buruk (lihat Kejadian 47 : 9)

Dan masih ada perbedaan-perbedaan yang lain.

([1]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/397

([2]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/398

([3]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/398

([4]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/399

([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 9/224

([6]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/399

([7]) As-Samáani berkata :

أَكْثَرُ الْمُفَسِّرِيْنَ عَلَى أَنَّهُ خَافَ الْعَيْنَ

“Mayoritas ahli tafsir berpendapat bahwasanya (washiat Ya’qub tersebut) karena beliau kahwatir áin” (Tafsir as-Samáni 3/47)

Beliau khawatir áin karena anak-anaknya 11 orang lelaki semua bersaudara dari satu ayah (Lihat Tafsir al-Qurthubi 9/227)

([8]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/400

([9]) Lihat At-Tahriir wa at-Tanwiir 13/20-21

([10]) Lihat: At-Tahrir wa at-Tanwir 13/24

([11]) Lihat: At-Tahrir wa at-Tanwir 13/25

([12]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/400-401

([13]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/402-403

([14]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/403-404

([15]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/404

([16]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/404

([17]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/405

([18]) Lihat At-Tahrir wa at-Tanwir 13/45

([19]) Lihat Fathul Qodiir, Asy-Syaukani 3/59

([20]) Lihat Bahrul Úluum, As-Samarqondi 2/207

Asy-Syaukani berkata :

وَقَدْ ذَكَرَ الْمُفَسِّرُونَ أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا قَدَرَ عَلَى كَتْمِ مَا نَزَلَ بِهِ مِنَ الْمَصَائِبِ كَانَ ذَلِكَ حُزْنًا، وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى كَتْمِهِ كَانَ ذَلِكَ بَثًّا، فَالْبَثُّ عَلَى هَذَا: أَعْظَمُ الْحُزْنِ وَأَصْعَبُهُ

“Para ahli tafsir menyebutkan bahwasanya seseorang jika mampu untuk menyembunyikan musibah yang menimpanya maka itu disebut الْحُزْن, namun jika tidak mampu untuk menyembunyikannya maka itu disebut dengan الْبَثُّ. Dengan demikian maka adalah kesedihan yang terbesar dan terberat” (Fathul Qodiir 3/59)

([21]) Tafsir Ibn Katsiir 4/413

([22]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/406

([23]) Lihat: al-Basiith, al-Wahidi 12/230

([24]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal 404

([25]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/408

([26]) Lihat Fawaid Mustanbathoh min Qisshot Yusuf álaihis salam hal 40

([27]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/409

([28]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/409

([29]) Yang dimaksud dengan keluarga Yusuf di disini bukanlah kakak-kakak Yusuf, karena tentu kakak-kakak Yusuf sedang dalam perjalanan dari Mesir menuju Palestina. Keluarga ini tentu kerabat Yusuf yang dekat dengan Ya’qub akan tetapi bukanlah anak-anak Ya’qub.

([30]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/410

([31]) Lihat Tafsir al-Maroghi 13/40

([32]) HR. Ibnu Majah 2/1400 no. 4186

([33]) Hadits ini meskipun mashyur dalam kitab-kitab sirah Nabi akan tetapi secara sanad adalah dhoíf. (Lihat Ad-Dhaoífah, Al-Albani no 1163). Adapun penamaan kaum musyrikin yang dibebaskan oleh Nabi ketika Fathu Makka dengan nama الطُّلَقَاءُ (Yang dibebaskan) telah datang dalam banyak hadits yang shahih. (silahkan lihat risalah disertasi penulis yang berjudul نَقْضُ اسْتِدْلاَلاَتِ دُعَاةِ التَّعَدُّدِيَّةِ الدِّيْنِيَّةِ بِالنُّصُوْصِ الشَّرْعِيَّةِ – أَنْدُوْنِيْسِيَا أَنْمُوْذَجًا- hal 386)

([34]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/411-412

([35]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/412

([36]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal 405 dan Madarijus Salikin, Ibnul Qoyyim 2/360

([37]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 9/267

([38]) Lihat Fawaid Mustanbathoh min Qisshot Yusuf, As-Sa’di hal 40. Karenanya diantara doa Uwais al-Qoroni adalah beliau disembuhkan dari penyakit baros akan tetapi agar Allah tetap menyisakan seukuran dirham di tubuhnya agar ia selalu bersyukur kepada Allah.

([39]) Lihat Tafsir al-Qosimi 6/222

([40]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 9/271