Contoh kasus Pelanggaran etika teknologi informasi

Academia.edu no longer supports Internet Explorer.

To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.

KASUS PELANGGARAN IT YANG TERJADI 5 TAHUN TERAKHIR

ETIKA PROFESI TEKNOLOGI INFORMASI & KOMUNIKASI

Cybercrime & Cyberlaw

Contoh kasus Pelanggaran etika teknologi informasi

Diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan UAS mata kuliah Etika Profesi Teknologi Informasi & Komunikasi pada semester VI

Kelompok : 6 

  1. Helma Susanti                       11150414
  2. Tri Wulandari                         11152160
  3. Yerikho.G.Desmanoel       11151707
  4. Verone.R.Manaode            11150748

Program Studi Komputerisasi Akuntansi

AMIK BSI Jakarta

Jakarta

2018

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT sehingga penyusunan makalah yang bertema Cybercrime dan Cyberlaw dengan judul “Kasus Pelanggaran IT yang Terjadi 5 Tahun Terakhir” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Tujuan penulisan makalah ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah Etika Profesi Teknologi Informasi & Komunikasi (EPTIK) dan sebagai penganti UAS pada Semester Akhir.

Etika profesi adalah mata kuliah yang sangat perlu dikembangkan dan dipahami mengingat begitu besar peranannya dalam pendidikan, khususnya pada bidang IT dengan kode etiknya dan permasalahannya terutama masalah yang kami bahas mengenai kejahatan elektronik di dunia maya yang sedang marak terjadi akhir-akhir ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan-kekurangan, baik dalam penyusunan dan penyajiannya. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan penulisan makalah ini.

BAB I

PENDAHULUAN

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang cukup pesat sekarang ini sudah menjadi realita sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat ditawar lagi. Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan manusia yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman. perkembangan iptek, terutama teknologi informasi (Information Technology) seperti internet sangat menunjang setiap orang mencapai tujuan hidupnya dalam waktu singkat, baik legal maupun illegal dengan menghalalkan segala cara karena ingin memperoleh keuntungan secara “potong kompas”. Dampak buruk dari perkembangan “dunia maya” ini tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat modern saat ini dan masa depan.

Kemajuan teknologi informasi yang serba digital membawa orang ke dunia bisnis yang revolusioner (digital revolution era) karena dirasakan lebih mudah, murah, praktis dan dinamis berkomunikasi dan memperoleh informasi. Di sisi lain, berkembangnya teknologi informasi menimbulkan pula sisi rawan yang gelap sampai tahap mencemaskan dengan kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana di bidang teknologi informasi yang berhubungan dengan “cybercrime dan cyberlaw” atau kejahatan dunia maya.

Masalah kejahatan dunia maya ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Tindak pidana atau kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan modern dari masyarakat informasi akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya peristiwa kejahatan komputer, pornografi, terorisme digital, “perang” informasi sampah, bias informasi, hacker, cracker dan sebagainya.

Maksud dari tulisan ini adalah untuk mengetahui apa saja pelanggaran-pelanggaran hak cipta yang terjadi di dunia IT. Dan kekuatan hukum apa yang dapat menjerat para pelanggar hak cipta tersebut.

Tujuan penulisan ini adalah dapat bermanfaat kepada mahasiswa-mahasiwi lain untuk menambah pengetahuan tentang pelanggaran-pelanggaran hak cipta yang terjadi di dunia IT. Dan dapat memberikan masukan dan informasi bagi penulis lain yang akan melakukan penulisan dengan topik yang sama.

            Dalam mendukung penyusunan Makalah ini diadakan juga penelitian dengan mempelajari berbagai buku/katalog yang bersifat teoritis dan mempunyai tujuan langsung dengan objek penelitian dari metode tersebut diperoleh bahan dan data yang kemudian akan diolah dan dianalisa mengetahui kebenarannya.

Dalam penyusunan makalah ini, kami membahas Cyberlaw dan Cybercrime, yang kami batasi dalam “Hak Cipta”, dan kasus pelanggaran yang pernah terjadi dalam dunia IT. Bagaimana pelanggaran itu dapat terjadi, apa penyebab dan apa yang menjadi unsur pelanggaran itu dilakukan. Dan penyusun akan membahas undang-undang hak cipta.

Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari 3 (Tiga) Bab dengan urutan sebagai berikut:

BAB I              PENDAHULUAN

BAB II            PEMBAHASAN TEMA DAN KASUS

BAB III          PENUTUP

BAB II

PEMBAHASAN TEMA

Cybercrime adalah tindakan kriminal yang dilakukan dengan menggunakan teknologi computer sebagai alat kejahatan utama.

Cybercrime merupakan kejahatan yang memanfaatkan perkembangan teknologi komputer khususnya internet. Cybercrime atau kejahatan dunia maya dapat didefenisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan komunikasi. Andi Hamzah dalam bukunya “Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer” (1989) mengartikan cybercrime sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal.

Berdasarkan jenis aktifitas yang dilakukannya, cybercrime dapat digolongkan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:

1. Unauthorized Access

Merupakan kejahatan yang terjadi ketika seseorang memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Probing dan port merupakan contoh kejahatan ini.

2. Illegal Contents

Merupakan kejahatan yang dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau menggangu ketertiban umum, contohnya adalah penyebaran pornografi.

3. Penyebaran virus secara sengaja

Penyebaran virus pada umumnya dilakukan dengan menggunakan email. Sering kali orang yang sistem emailnya terkena virus tidak menyadari hal ini. Virus ini kemudian dikirimkan ke tempat lain melalui emailnya.

4. Data Forgery

Kejahatan jenis ini dilakukan dengan tujuan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang ada di internet. Dokumen-dokumen ini biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga yang memiliki situs berbasis web database.

5. Carding

Carding merupakan kejahatan yang dilakukan untuk mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan di internet.

6. Hacking dan Cracker

Istilah hacker biasanya mengacu pada seseorang yang punya minat besar untuk mempelajari sistem komputer secara detail dan bagaimana meningkatkan kapabilitasnya. Adapun mereka yang sering melakukan aksi-aksi perusakan di internet lazimnya disebut cracker. Boleh dibilang cracker ini sebenarnya adalah hacker yang memanfaatkan kemampuannya untuk hal-hal yang negatif. Aktivitas cracking di internet memiliki lingkup yang sangat luas, mulai dari pembajakan account milik orang lain, pembajakan situs web, probing, menyebarkan virus, hingga pelumpuhan target sasaran. Tindakan yang terakhir disebut sebagai DoS (Denial Of Service). Dos attack merupakan serangan yang bertujuan melumpuhkan target (hang, crash) sehingga tidak dapat memberikan layanan.

  • Pelanggaran Hukum Dalam Dunia Maya (Cybercrime)

Munculnya revolusi teknologi informasi dewasa ini dan masa depan tidak hanya membawa dampak pada perkembangan teknologi itu sendiri, akan tetapi juga akan mempengaruhi aspek kehidupan lain seperti agama, kebudayaan, sosial, politik, kehidupan pribadi, masyarakat bahkan bangsa dan negara. Jaringan informasi global atau internet saat ini telah menjadi salah satu sarana untuk melakukan kejahatan baik domestik maupun internasional. Internet menjadi medium bagi pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan dengan sifatnya yang mondial, internasional dan melampaui batas ataupun kedaulatan suatu negara. Semua ini menjadi motif dan modus operasi yang amat menarik bagi para penjahat digital.

                     2.  CYBER LAW

Cyber Law adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyber law merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya.

Cyber law merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu negara tertentu, dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat negara tersebut. Jadi, setiap negara mempunyai cyber law tersendiri.

Istilah hukum cyber diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan TI. Istilah lain yang juga digunakan adalah Hukum TI (LAW of Information Teknologi), Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara. Secara akademis, terminologi “cyber law” belum menjadi terminologi yang umum. Terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The Law of The Internet, Law and The Information Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya.

Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati. Dimana istilah yang dimaksud sebagai terjemahan dari “cyber law”, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika). Secara yuridis, cyber law tidak sama lagi dengan ukuran dan kualifikasi hukum tradisional. Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.

Menurut Indonesian Defense University, definisi cyber law adalah hukum terkait dengan proses dan resiko teknologi pada cyber space. Dari perspektif teknologi, cyber law digunakan untuk membedakan mana cyber activity yang bersifat legal dan mana yang tergolong tindak kejahatan dunia maya (cyber crime) atau pelanggaran kebijakan (policy violation). Cyber law dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah “ruang dan waktu”. Sementara itu, internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu.

Saat ini Indonesia memiliki satu regulasi terkait dengan transaksi elektronik yaitu UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tetapi dikalangan peminat dan pemerhati, masalah hukum yang berkaitan dengan internet di Indonesia masih menggunakan istilah “cyber law”. Dimana hukum yang sudah mapan seperti kedaulatan dan yuridiksi tidak mampu lagi merespon persoalan-persoalan dan karakteristik dari internet dimana para pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan internet tidak lagi tunduk pada batasan kewarganegaraan dan kedaulatan suatru negara.

Cyber law sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, atau pun penanganan tindak pidana. Cyber law akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan  hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme.

Pembahasan mengenai ruang lingkup “cyber law” dimaksudkan sebagai inventarisasi atas persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan dengan pemanfaatan internet. Secara garis besar ruang lingkup “cyber law” ini berkaitan dengan persoalan-persoalan atau aspek hukum dari :

  • e-commerce
  • Trademark/Domain Names
  • Privacy and security on the Internet
  • Copyright
  • Defamation
  • Content Regulation
  • Disptle Settlement, dan sebagainya.

Secara garis besar ada lima topik dari cyber law di setiap negara yaitu :

– Information Security

Menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui Internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.

– On-line Transaction

Meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.

– Right in Electronic Information

Soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.

– Regulation Information Content

Sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.

– Regulation On-line Contact

Tata krama dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.

  • Komponen-Kompnen Cyber Law
  • Tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen ini menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan diterapkan di dalam dunia maya itu.
  • Tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tanggung jawab dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa pendidikan melalui jaringan internet.
  • Tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang patent, merk dagang, merk dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia cyber.
  • Tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan.
  • Tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap pengguna internet.
  • Tentang ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat dihitung sesuai denga prinsip-prinsip keuangan atau akuntansi.
  • Tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atau internet sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.

Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :

  1. Subjective Territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
  2. Objective Territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat rugi bagi negara yang bersangkutan.
  3. Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
  4. Passive Nationality, yang menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
  5. Protective Principle, yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.
  6. Universality, asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”.

Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.

Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :

– The Theory of the Uploader and the Donwloader

Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya.

– The Theory of Law of the Server

Pendekatan ini memperlakukan server dimana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik.

– The Theory of International Spaces

Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni Sovereignless Quality.

  • Latar Belakang Undang-Undang ITE (Informasi Transaksi Elektronik)

Harus diakui bahwa Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan dunia maya seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan dunia maya yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.

Untuk itu diperlukan suatu perangkat UU yang dapat mengatasi masalah ini seperti yang sekarang telah adanya perangkat hukum yang satu ini berhasil digolkan, yaitu Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di Indonesia yang secara khusus mengatur tindak pidana cyber. Berdasarkan Surat Presiden RI.No.R./70/Pres/9/2005 tanggal 5 September 2005, naskah UU ITE secara resmi disampaikan kepada DPR RI. Pada tanggal 21 April 2008, Undang-undang ini di sahkan.

  • Undang-Undang ITE (Informasi Transaksi Elektronik)

Pasal 27 ayat 1 UU ITE : tentang pornografi

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

Pasal 27 ayat 2 UU ITE : tentang perjudian

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian”.

Pasal 27 ayat 3 UU ITE : tentang pencemaran nama baik

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Pasal 27 ayat 4 UU ITE : tentang pemerasan/pengancaman

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasaan dan/atau pengancaman”.

Pasal 28 ayat 1 berbunyi : tentang berita bohong

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”.

Pasal 28 ayat 2 yaitu : tentang profokasi

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.

Pasal 38 ayat 1 yaitu

“Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian”.

Pasal 38 ayat 2 yaitu

“Masyarakat dapat mengjukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyeleggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundng-undagan”.

Ketentuan undang-undang No. 3 tahun 2011 tentang transfer dana

Pasal 85

“setiap orang yang dengan segaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

KASUS: CYBER SABOTAGE AND EXTORTION

Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program computer atau system jaringan computer yang terhubung dengan internet.

Ini Modus Pembobolan Rekening Nasabah Melalui “e-Banking”

Contoh kasus Pelanggaran etika teknologi informasi

Gamabar:         Ilustrasi peretas. (Shutterstock)

JAKARTA, KOMPAS.com

Penyidik Bareskrim Polri saat ini sedang mengusut pembobolan beberapa dana nasabah di tiga bank besar di Indonesia dengan modus menggunakan software internet banking. Modus kejahatan ini diklaim telah menimbulkan kerugian mencapai Rp 130 miliar.

Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Komjen Budi Waseso ketika dihubungi Kontan membenarkan informasi ini. Ia menuturkan polisi telah berhasil mengendus dugaan pembobolan dana nasabah tiga bank yang dilakukan oleh sindikat kejahatan duni  maya. Menurutnya, pelaku menggunakan malwar  untuk muncuri data nasabah bank yang ditanamkan melalui jaringan internet.

“Pada Senin (13/4/2015) kemarin kami telah berhasil membongkar sindikat pembobolan uang nasabah dengan menggunakan internet. Saat ini kasus masih didalami oleh penyidik,” ujar Budi, Selasa, (14/4/2015).

Modus dari pencurian dana nasabah ini menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri, Brigjen Victor Simanjuntak adalah dengan membajak akun internet banking milik nasabah bank sehingga ketika nasabah akan menyetorkan uang ke rekeningnya, aliran uang tersebut akan dibelokkan ke rekening pelaku. Ia menjelaskan pelaku utama bukanlah warga Negara Indonesia karena berdasarkan penyelidikan Bareskrim ternyata aliran dana tersebut menuju ke sebuah rekening di Negara Ukraina.

“Pelaku bukan warga Negara Indonesia. Ia menggunakan jasa kurir yang merupakan WNI. Sehingga dana nasabah dibelokkan masuk ke rekening kurir, kemudian langsung diteruskan ke rekening pelaku,” ujar Victor ketika dihubungi Kontan. Modus kejahatan ini bermula saat pelaku menawarkan perangkat aplikasi antivirus melalui pesan layanan di internet kepada korban pengguna e–banking.

Setelah korban mengunduh software palsu tersebut, malware akan secara otomatis masuk ke computer dan memanipulasi tampilan laman internet banking  seolah-olah laman tersebut merupakan milik bank. Dengan begitu, pelaku dapat dengan mudah mengendalikan akun e–banking nasabah setelah mengetahui password korban.

“Namun, pelaku tidak menguras rekening korban, hanya membelokkan ke rekening kurir jika korban melakukan transaksi keuangan melalui e-banking,” tutur Victor. Dalam aksi kejahatannya tersebut, pelaku merekrut WNI sebagai kurir dengan kedok kerjasama bisnis sehingga kurir sendiri tidak mengetahui bahwa uang yang masuk ke rekening mereka merupakan hasil pembobolan. Victor menjelaskan pelaku menjanjikan kurir dapat mengambil 10 persen dari dana yang masuk dan sisanya dikirimkan ke rekening di Ukraina melalui Western Union. Perekrutan kurir ini dilakukan secara acak dengan mengaku kerjasama bisnis perdagangan seperti kayu, kain, dan mesin.

“Pelaku menjalin kerjasama dengan kurir di Indonesia. Pelaku mengatakan kalau dirinya akan berusaha di Indonesia tapi tidak memiliki rekening untuk menerima pembayaran dalam bentuk rupiah. Para kurir Cuma diminta membuka rekening dan mentrasferkan uang yang masuk ke rekeningnya tersebut,” jelas Victor.

Saat ini Bareskrim Polri tengah mendalami kasus ini dengan memeriksa keterangan dari enam orang kurir yang telah ditahan sebagai saksi. Penyidik, ujar Victor, telah mengantongi identitas pelaku dan akan bekerja sama dengan Interpol untuk mengungkap jaringan sindikat pencurian uang nasabah ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, jumlah kurir diduga berjumlah ratusan orang yang tersebar diseluruh penjuru tanah air. “Pelaku adalah penjahat professional yang memahami betul IT. Semua kurir yang telah diperiksa sama sekali tidak menyadari jika mereka terlibat dalam pembobolan bank. Pelaku ada di luar negeri, kami telah mengontak Interpol untuk membantu kami,” tutur Victor.

Namun, Victor  enggan menyebutkan nama maupun inisial dari tiga bank tersebut karena masih dalam penyelidikan oleh Polri. Ia hanya menyebutkan ketiga bank tersebut ada yang berasal dari BUMN dan swasta. Ia mengungkapkan terdapat sekitar 300 nasabah dari ketiga bank tersebut yang menjadi korban dengan total kerugian mencapai Rp 130 miliar yang berhasil dicuri pelaku. “Nanti bank akan kita panggil untuk melengkapi laporan. Karena ada pihak bank yang telah mengembalikan uang nasabahnya ada yang belum,” ujarnya.

Menurutnya, Indonesia dengan salah satu jumlah pengguna internet terbesar di dunia akan menjadi sasaran empuk dari tindak kejahatan dengan media online, terutama banyak masyarakat yang masih menggunakan software palsu sehingga rentan diretas.

Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Irwan Lubis, mengaku pihaknya belum menerima laporan dari pihak bank, Bareskrim Polri, maupun institusi lainnya terkait kasus pembobolan dana nasabah di tiga bank ini. Meskipun begitu, Ia menegaskan bahwa OJK telah meminta kepada bank untuk meningkatkan pengamanan teknologi informasi pada system internet banking.

“OJK belum menerima laporan baik dari bank maupun dari pihak atau intitusi lain. Pada 9 Maret 2015 yang lalu, OJK sudah meminta kewaspadaan bank dan meningkatkan IT security pada layanan internet banking mereka,” tuturnya kepada Kontan.

Selain meminta kepada pihak bank, Irwan juga menekankan kepada para nasabah untuk selalu berhati-hati dan waspada dalam bertransaksi dengan menggunakan internet banking terutama dengan menggunakan computer yang rentan terserang virus. Ia memberi saran kepada para nasabah jika terdapat instruksi yang tidak lazim dan meragukan pada saat transaksi harap segera menghubungi call center bank masing-masing.

“Nasabah juga diminta untuk selalu waspada dalam bertransaksi via internet. Kalau ada istruksi yang tidak lazim segera hubungi call center bank,” ujar Irwan.

Sesuai dengan Undang-undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK merupakan lembaga Negara yang memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap individual bank (mikroprudensial). OJK diberikan kewenangan memberikan izin, mengatur, mengenakan sanksi, dan mengawasi setiap aktivitas perbankan di Indonesia.

(Benedictus Bina Naratama)

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/04/15/113500326/Ini.Modus.Pembobolan.Rekening.Nasabah.Melalui.e-Banking.

BAB III

PENUTUP

3.1.      KESIMPULAN

Dengan Meningkatnya tindak kejahatan di dunia maya selain pengesahan UU tentang pemanfaatan teknologi informasi, dan pemerintah juga harus lebih meningkatkan pengawasannya dari berbagai aspek agar UU dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga dapat meminimalisir korban tindakan Cybercrime. 

3.2.     SARAN

  1. Para nasabah harus berhati-hati dan waspada dalam bertransaksi dengan menggunakan internet banking.
  2. pihak bank harus meningkatkan pengamanan teknologi informasi pada system internet banking.