Apa yang dimaksud dengan Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil alamin

Apa yang dimaksud dengan Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil alamin

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. “(Surat Al-Anbiya : 107).

Pengertian rahmatan lil a’lamin

Apa yang dimaksud dengan Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil alamin
engertian Nabi Muhammad saw sebagai rahmatan lil ‘ alamin adalah beliau diutus oleh Allah SWT yang membawa ajaran Islam yang membawa kedamaian, kerukunan dan kesejahteraan bagi manusia dan memberi keteladanan lewat akhlaqul karimah yang indahnya tiada banding.

Namun demikian rahmat adalah milik Allah dan hakikatnya tiada mahkluk yang memiliki sifat itu. Allahlah yang mengaruniakan sifat itu kepada hambanya. Begitu juga Muhammad saw juga sebagai makhluk ciptaanNya, seorang hamba Allah, bukan Tuhan dan bukan pula penjelmaan Tuhan.

Rahmat Allah erat kaitannya dengan ruh Muhammad Saw. Membicarakan perkara ruh yang umum saja sudah teramat sulit apalagi terkait dengan ruh Muhammad Saw, karena itu sejatinya adalah urusan Allah.

Sesuai Firman Allah : Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Al Isra 85)

Rahmat adalah kasih sayang sebagai perwujudan sifat Allah yang maha rahman dan maha rahim. Rahmat adalah milik Allah dan wujudnya berupa nikmat. Sementara lawan nikmat adalah azab.

Terkait awalin dan akhirin manusia yang juga berawal dari ruh, beberapa riwayat menyatakan keistimewaan Muhammad saw sebagai ruh pada saat di arasy.

Pada Alam ruh ini Muhammad saw telah mendapatkan kenabian dan jelas kepemimpinannya atas semua nabi sebagaimana hadis diriwayatkan Al Irbadh ibn Sariya, berkata bahwa Nabi saw bersabda, “Menurut Allah, aku sudah menjadi Penutup Para Nabi, ketika Adam masih dalam bentuk tanah liat.

Allah kemudian  menghembuskan ruh Muhammad saw diperut pasangan manusia yang dipilihNya yaitu Siti Aminah dan ayahnya Abdullah dari kaum Bani Hasyim Quraish.

Kehendak dan kuasa Allahlah yang menetapkan Nabi Saw terlahir tidak diawal tetapi di akhir dari semua nabi untuk menyempurnakan semuanya dan menjadi penutup. Seorang nabi yang terlahir sebagai manusia biasa yang sederhana, yang bekerja dan berdagang, berkeluarga, bermasyarakat dan menjadi pemimpin sehingga  menjadi mudah untuk diikuti umatnya dan menjadi Al Quran berjalan karena keluhuran akhlaqnya

Kalangan ulama menilai keistimewaan ruh Muhammad saat di arasy yang bahkan namanya bergandengan dengan Allah Swt telah dilihat Adam As saat penciptaannya, itulah kemudian disebut Nur Muhammad (sebagian ulama menyebutnya hakikat Muhammad).

Nur Muhammad dan penciptaan alam semesta

Allah berfirman bahwa Muhammad adalah hamba yang sangat dicintainya atau kekasih Allah. Selanjutnya dengan nur Muhammad diciptakanlah seluruh alam sebagaimana

Firman Allah : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al anbiya : 107)

Hal ini dikuatkan dalam hadis Qudsi: Kalau tidak engkau hai Muhammad, kalau tidak engkau hai Muhammad tidaklah kujadikan segala sesuatu.

Karena itu Nur Muhammad saw diciptakan Allah adalah sebagai rahmat Allah yang diberikan kepada semua ciptaannya termasuk manusia. Dan Rahmat yang diturunkan Allah dengan Nur Muhammad bila demikian kejadiannya adalah berdimensi dahulu, kini dan akan datang yaitu sejak awal kejadian semua ciptaan termasuk penciptaan Adam As hingga hari pembalasan.

Ibnu Araby menyatakan : dia (Muhammad) adalah awal kejadian dan dia pula akhir kenabian, Muhammad saw bukan Tuhan dan bukan pula penjelmaan Tuhan dan dia makhluk ciptaan Tuhan, namun dia awal kejadian.

Sabda nabi kepada Jabir : Yang mula-mula diciptakan adalah nur nabimu, hai jabir (alhadis).

Sekali lagi dengan Nur Muhammad adalah berawal ciptaan Allah dan dengan Nur Muhammadlah rahmat kemudian diberikan oleh Allah kepada seluruh alam dan manusia sehingga tersingkaplah tabir rahasianya mengapa segala permohonan dan doa harus berwasilah kepada Muhammad Saw.

(Tulisan di ilhami dari blog http://smzblog.wordpress.com/perundangan-islam/kisah-penciptaan-ruh-rasulullah).

Wallahu ‘alam bishowab.

Sedari awal Islam mengajarkan kepada pemeluknya perihal pentingnya menjalin hubungan yang ramah dalam bingkai toleransi antarumat beragama. Hal ini tidak lain selain sebagai bukti bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw merupakan ajaran rahmat bagi alam semesta.

Untuk menumbuhkan nilai-nilai toleransi, yang harus dipahami pertama kali adalah kesadaran bahwa perbedaan dalam agama merupakan hal niscaya yang memang tidak bisa dihindari, bahkan Al-Qur’an juga mengafirmasi perihal kebebasan tersebut. Allah swt berfirman,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Artinya, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS Al-Kafirun [109]: 6).

Ayat ini menjadi bukti bahwa fakta adanya agama lain tidak bisa dibantah. Memang, umat Islam mesti meyakini bahwa hanya ajaran agamanya yang paling benar. Namun, dalam konteks relasi bermasyarakat, klaim itu tidak boleh sampai mengganggu, apalagi menegasikan, penganut agama-agama lain untuk hidup dengan aman.

Selain itu, ayat ini juga menjadi sebuah pesan tentang kebebasan beragama, bahwa Islam tidak mengajarkan pemaksaan. Keragaman agama adalah sebuah fakta yang niscaya, dan Islam mendorong umatnya untuk hidup berdampingan secara damai dengan umat-umat lainnya, tanpa saling menjelekkan. Rasulullah juga menerapkan nilai-nilai toleransi ini, dan jejak yang paling kentara adalah saat dirumuskannya Piagam Madinah.

Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa sikap toleransi antarumat beragama seharusnya menjadi kesadaran bagi semua umat manusia. Sebab, dengan toleransi, kerukunan bisa terjalin, kedamaian bisa tercipta di mana-mana, hingga bisa meminimalisasi perilaku kontraproduktif terhadap kerukunan antaragama. Selain itu, persatuan antarmanusia juga akan tercipta tanpa memandang latar belakang agama mereka masing-masing (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir fil Aqidah wasy Syariah wal Manhaj, [Damaskus, Bairut, Darul Fikr, cetakan kedua: 2000], juz I, h. 298).

Selain penafsiran di atas, ada ayat lain yang justru menjadi dalil paling pokok perihal spirit diutusnya Rasulullah saw, yaitu:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107).

Pada ayat di atas, Allah hendak menegaskan kembali bahwa di antara tujuan diutusnya Nabi Muhammad adalah untuk menanamkan kasih sayang kepada semua umat manusia, bahkan kepada seluruh alam, tanpa memandang latar belakangnya.

Selain itu, yang dimaksud rahmat pada ayat di atas adalah tidak menjadikan ilmu pengetahuan tentang agama Islam sebagai media propaganda dan pemecah belah umat. Sebab, persatuan merupakan salah satu sendi-sendi Islam dan kekuatan paling solid sebagai agama yang menjunjung nilai-nilai persatuan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Jabir bin Musa bin Abu Bakar al-Jazairi dalam kitab tafsirnya, bahwa tidak sepatutnya ilmu pengetahuan dijadikan sebuah legitimasi propaganda dan perpecahan,

فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ الْعِلْمُ وَالْمَعْرِفَةُ بِشَرَائِعِ اللهِ سَبَبًا فِيْ الفُرْقَةِ وَالْخِلَافِ

Artinya, “Maka tidak sepatutnya, ilmu dan pengetahuan perihal syariat-syariat Allah, dijadikan sebagai media propaganda dan perpecahan.” (Al-Jazairi, Aisarut Tafasir li Kalamil Kabir, [Maktabah Ulum wal Hikmah, cetekan empat: 2003], juz 1, halaman 357).

Untuk menciptakan persatuan antarumat beragama, tidak ada cara paling tepat selain berlaku toleran, ramah, dan penuh kasih sayang kepada mereka. Oleh karenanya, toleransi menempati posisi sangat penting dalam ajaran Islam itu sendiri.

Syekh Sulaiman al-Jamal dalam salah satu kitabnya juga memberikan penjelasan perihal kata rahmat pada frase rahmatan lil 'alamin dalam ayat di atas. Beliau mengatakan,

اَلْمُرَادُ بِالرَّحْمَةِ الرَحِيْمُ. وَهُوَ كاَنَ رَحِيْمًا بِالْكَافِرِيْنَ. أَلَا تَرَى أَنَّهُمْ لَمَّا شَجُّوْهُ وَكَسَرُوْا رَبَاعِيَتَهُ حَتَّى خَرَّ مُغْشِيًّا عَلَيْهِ. قَالَ بَعْدَ اِفَاقَتِهِ اللهم اهْدِ قَوْمِى فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Artinya, “Yang dimaksud dengan rahmat adalah ar-rahim (bersifat penyayang). Nabi Muhammad saw adalah orang yang bersifat penyayang kepada orang kafir. Tidakkah Anda lihat, ketika orang kafir melukai Nabi dan mematahkan beberapa giginya, hingga ia terjatuh dan pingsan, kemudian ketika sadar ia berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah! Berilah hidayah untuk kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui’,” (Sulaiman al-Jamal, al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqaiqil Khafiah, [Lebanon, Bairut, Darul Kutub Ilmiah] juz V, h. 176).

Pada keadaan yang sangat genting, bahkan nyawa hampir terancam, justru Rasulullah menampakkan kasih sayangnya yang sangat tinggi. Beliau tetap ramah kepada mereka yang bukan hanya menolak risalah beliau, melainkan juga hendak membunuh Nabi.

Jika dalam keadaan seperti itu saja Rasulullah bersikap toleran kepada pemeluk agama lain, maka sudah menjadi kewajiban dalam keadaan damai, seperti di Indonesia, toleransi menjadi sikap yang harus dipedomani semua umat beragama.

Oleh karenanya, dalam konteks masyarakat yang majemuk, setiap pemeluk agama harus menyadari bahwa perbedaan agama adalah realitas kehidupan dan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Dengan menyadari hal tersebut, kita semua berinteraksi dengan baik kepada siapa saja selama itu mendorong terwujudnya kehidupan yang adil dan damai.

__________

Artikel ini adalah hasil kerja sama NU Online dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Sunnatullah