Apa saja potensi yang dimiliki manusia sehingga manusia itu sempurna dan berbeda dengan makhluk Allah SWT yang lainnya?

MANUSIA DAN AGAMA

Solehan Arif[1]

Abstrak: Manusia dapat dilihat dari berbagai disiplin ilmu dan sudut pandang berbeda. Diantaranya, manusia menurut ilmu antropologi, ilmu filosofi, ilmu sosiologi, ilmu psikologi, dan ilmu al-Qur’a>n. Dalam tulisan ini mengetengahkan tentang manusia menurut pandangan Islam. Dimana Islam berpandangan bahwa manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu unsur materi dan non materi. Ada empat kata yang digunakan al-Qur’a>n untuk menunjuk manusia. Yaitu menggunakan kata al-Basyar, al-Insa>n, al-Na>s, dan Bani Adam. Manusia merupakan makhluk yang paling mulia dan sangat unik. Manusia dianugerahi berbagai potensi dan petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat. Manusia memiliki potensi dasar yang pada hakikatnya sangat membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya, yaitu akal, qalbu, dan nafsu. Dalam hidup di dunia, manusia selain sebagai hamba Allah, manusia juga diberi tugas menjadi khalifah di bumi serta mengelola dan memelihara alam.

Kata kunci: manusia, fitrah, agama

Pendahuluan

Permasalahan tentang manusia telah memenuhi benak para pemikir Islam. Bahkan dalam sumber utama ajaran Islam, yakni al-Qur’a>n, banyak ayat yang membicarakan tentang manusia. Hal ini tidak hanya menyatakan secara tidak langsung betapa pentingnya persoalan ini, tapi juga betapa sulit atau betapa mungkinnya dilakukan pendekatan dari berbagai sudut pandang.[2] Konsep manusia berdasarkan al-Qur’a>n menunjukkan bahwa manusia terdiri atas dua unsur, yaitu unsur materi dan unsur nonmateri, tubuh manusia berasal dari tanah di bumi dan ruh berasal dari substansi nonmateri di alam ghaib. Al-Qur’a>n juga menjelaskan bahwa masuknya ruh ke dalam tubuh manusia sewaktu masih berbentuk janin di dalam kandungan ketika berumur empat bulan.

Setiap manusia yang lahir di dunia membawa fitrah, bakat, dan insting. Yang paling pertama dibawa oleh manusia ketika lahir adalah fitrah agama, yaitu unsur ketuhanan. Unsur ketuhanan ini di luar ciptaan akal budi manusia dan merupakan sifat kodrat manusia. Kejadian manusia sebagai makhluk ciptaan Allah telah dilengkapi dengan unsur-unsur kemanusiaan, keadilan, kebajikan, dan sebagainya. Hal pertama dan paling utama yang dipahami setiap Muslim mengenai manusia adalah bahwa Tuhan menyatakan Adam dan manusia sebagai khalifah di bumi, yaitu untuk membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini, sesuai dengan kehendak pencipta-Nya. Tugas kekhalifahan ini memang sangat berat. Oleh karena itu, manusia oleh Allah selain dibekali fitrah agama, manusia juga dibekali dengan berbagai macam potensi lainnya seperti, potensi naluriyah, inderawi, akal sehingga dengan potensi itu ia dapat mengembangkan dirinya dan menjalankan tugas kekhalifahan sesuai dengan yang diamanahkan Allah SWT. Dan dari potensi itu juga yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.

Manusia dan agama tampaknya merupakan hubungan yang bersifat kodrati. Agama itu sendiri menyatu dalam fitrah penciptaan manusia. Terwujud dalam bentuk ketundukan, kerinduan ibadah, serta sifat-sifat luhur. Manakala dalam menjalankan kehidupannya, manusia menyimpang dari nilai-nilai fitrahnya, maka secara psikologis ia akan merasa adanya semacam “hukuman moral”. Lalu spontan akan muncul rasa bersalah atau rasa berdosa.[3] Jika manusia dilihat dari hubungannya dengan agama, dapat dikatakan bahwa agama dapat membuat manusia menjadi orang beriman dan mampu menjalankan semua tanggung jawabnya sebagai manusia.

Kajian ini akan mengurai bagaimana hakikat, martabat, dan tanggung jawab manusia menurut pandangan Islam, khususnya berdasarkan al-Qur’a>n. Di samping itu, kajian ini juga akan menganalisis keterkaitan antara manusia dengan agama dan sejauh manakah manusia membutuhkan agama serta tantangan yang dihadapi dalam menjalankan agama, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

Hakikat Manusia

Secara sederhana hakikat sering disamakan sebagai sesuatu yang mendasar, suatu esensi, yang substansial, yang hakiki, yang penting, yang diutamakan dan berbagai makna sepadan dengan pengertian itu.[4] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hakikat adalah inti sari atau dasar; kenyataan yang sebenarnya (sesungguhnya) sedangkan manusia adalah makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan.[5] Manusia merupakan jenis makhluk ciptaan Allah yang bukan tercipta secara kebetulan. Manusia digambarkan dengan menggunakan berbagai penyifatan: mulai dari makhluk terbaik dan mulia, berakal dan kreatif, hingga makhluk lemah tetapi sombong, serta ceroboh sekaligus juga bodoh.[6]

Memahami hakikat seperti itu, maka kemudian dapat ditegaskan apa sesungguhnya yang menjadi hakikat manusia? Dalam kalimat lain, apa itu manusia? Pertanyaan singkat ini sesungguhnya telah sejak lama menarik perhatian manusia. Ini adalah sebuah pertanyaan besar yang jawabannya setelah diupayakan perumusan beratus bahkan beribu tahun silam. Namun, sampai sekarang tetap penting dan menarik perhatian banyak orang untuk menelaah manusia. Apalagi jika pertanyaan itu divariasikan, untuk apa, dari mana, dan hendak kemana arus sejarah manusia.[7] Manusia juga merupakan makhluk yang unik. Oleh karena itu, ia telah menjadi sasaran studi sejak dahulu, kini dan kemudian hari. Hampir semua lembaga pendidikan tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Para ahli telah mengkaji manusia menurut bidang studinya masing-masing, tetapi sampai sekarang para ahli masih belum mencapai kata sepakat tentang manusia. Ini terbukti dari banyaknya penamaan manusia, misalnya homo sapien (manusia berakal), homo economicus (manusia ekonomi) yang kadangkala disebut economic animal (binatang ekonomi), dan sebagainya.[8]

Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi (substansi = unsur asal sesuatu yang ada) dua-duanya adalah substansi alam. Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.[9] Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’a>n Surah al-Mu’minu>n (12-14). Allah berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلاِنْسَانَ مِنْ سُللَةٍ مِّنْ طِيْنٍ. ثُمَّ جَعَلْنهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ. ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظمًا فَكَسَوْنَا الْعِظمَ لَحْمًا ثُمَّ اَنْشَأْنهُ خَلْقًا اخَرَ‘ فَتَبَارَكَ اللّهُ اَحْسَنُ الْخالِقِيْنَ.

Artinya: “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air Mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (Rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu lalu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang berbentuk lain. Maha suci Allah, pencipta yang paling baik.[10]

Kemudian Nabi Muhammad SAW., mengulas ayat suci tersebut dengan sabdanya:

اِنَّ اَحَدَكُمْ يَجْمَعُ خَلْقَهُ فِى بَطْنِ اُمِّهِ اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلُ ذلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلُ ذلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللّهُ مَلَكًا وَيُؤْمَرُ بِاَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اُكْتُبْ عَمَلُهُ وَرَزَقَهُ وَاَجَلَهُ وَشَقِيٌّ اَوْسَعِيْدٌ ثُمَّ يُنفَخُ فِيْهِ الرُّوْحُ (أخرجه البخاري)

Artinya: Sesungguhnya seseorang terkumpul kejadiannya dalam perut ibunya empat puluh hari berupa mani, kemudian berupa segumpal darah selama itu juga, kemudian berubah berupa segumpal daging selama itu juga, kemudian Allah mengutus malaikat yang diperintah mencatat empat kalimat dan diperintah: tulislah amalnya, rezikinya, ajalnya dan nasib baik atau sial (celaka), kemudian ditiup ruh kepadanya…(Bukha>ri, Muslim).[11]

Bagaimana bentuk dan pola peran seseorang, secara garis besarnya dapat dilihat dari kedudukan yang ditempatinya. Untuk mengetahui hal itu, perlu dirujuk kepada penamaan yang disandangnya. Demikian pula akan halnya manusia. Peran ini dapat dirujuk antara lain dari berbagai sebutan yang diberikan kepada manusia. Selaku makhluk ciptaan, manusia dianugerahi pencipta-Nya dengan sejumlah nama atau sebutan.[12]

Setidaknya ada empat kata yang digunakan al-Qur’a>n untuk menunjuk makna manusia, yaitu: al-Basyar, al-Insa>n, al-na>s, dan Bani Adam. Meskipun kata tersebut menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda.[13] Perbedaan berikut dapat dilihat pada uraian berikut:

1. Kata al-Basyar (البشر)

Kata al-Basyar dinyatakan dalam al-Qur’a>n sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 Surah. Secara etimologi, al-Basyar berarti kulit kepala, wajah atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Menurut Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang.[14] Di bagian lain dari al-Qur’a>n disebutkan bahwa kata basyar digunakan untuk menunjukkan proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap hingga mencapai kedewasaan.[15]

Berdasarkan konsep al-Basyar, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembangbiak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan dan kedewasaan. Manusia memerlukan makanan dan minuman untuk hidup, dan juga memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan proses pelanjut keturunannya.[16] Sebagai makhluk biologis, manusia juga mengalami proses akhir secara fisik, yaitu mati. Mati merupakan tahap akhir dari proses pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai makhluk biologis.

2. Kata al-Insa>n (الإنسان)

Islam sebagai agama samawi paling belakangan muncul juga menawarkan pandangan tentang manusia. Manusia dalam bahasa Arab disebut an-Na>s atau al-Insa>n. Kata ini dalam al-Qur’a>n (insa>n) disebut sebanyak 60 kali.[17] Kata al-Insa>n berasal dari kata al-Uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Dalam al-Qur’a>n kata Insa>n sering juga dihadapkan dengan kata Jin atau Jan, yaitu makhluk yang tidak tampak. Kata Insa>n dalam al-Qur’a>n digunakan untuk menunjuk manusia sebagai totalitas (jiwa dan raga).[18] Potensi tersebut antara lain berupa potensi untuk bertumbuh dan berkembang secara fisik dan secara mental spiritual.

Perkembangan tersebut antara lain, meliputi kemampuan untuk berbicara.[19] Menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu, dengan mengajarkan manusia dengan kalam (baca tulis), dan segala apa yang tidak diketahui.[20] Kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal di dalam ruh, dalam bentuk kesaksian.[21] Potensi untuk mengembangkan diri ini (yang positif) memberi peluang bagi manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya insaninya.[22] Integritas ini akan tergambar pada nilai iman dan bentuk amaliyahnya. Dengan kemampuan ini, manusia akan mampu mengemban amanah Allah di muka bumi secara utuh. Namun demikian, manusia sering lalai bahkan melupakan nilai insaniyah yang dimilikinya dengan berbuat kerusakan di bumi.

3. Kata al-Na>s (النّاس)

Kata al-Na>s dinyatakan dalam al-Qur’a>n sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 Surah. Kata al-Na>s menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya. Dilihat dari kandungan maknanya, kata ini lebih bersifat umum dibandingkan dengan kata al-Insa>n.[23]

Dalam al-Qur’a>n kosa kata al-Na>s umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita, kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling mengenal.[24] Kata al-Na>s juga dijelaskan oleh Allah untuk menunjuk kepada manusia bahwa ada sebagian yang beriman dan ada juga yang munafik.[25]

Adapun secara umum, penggunaan kata al-Na>s memiliki arti peringatan dari Allah kepada semua manusia untuk selalu menjaga perbuatannya karena semua itu pasti ada konsekuensinya, seperti jangan terlampau hemat memakai harta bendanya atau pelit,[26] jangan sombong, bangga karena telah berbuat baik dan jangan menjadikan syaitan sebagai temannya karena syaitan merupakan seburuk-buruk teman,[27] jangan takut kepada manusia tetapi takutlah kepada-Nya.[28] Kemampuan untuk memerankan diri dalam kehidupan sosial, sehingga dapat mendatangkan manfaat, merupakan usaha yang sangat dianjurkan. Dengan demikian konsep al-Na>s, mengacu kepada peran dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk sosial dalam statusnya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT.[29]

4. Kata Bani Adam (بنى أدم)

Dalam al-Qur’a>n kata Bani Adam dijumpai sebanyak 7 kali dan tersebar dalam 3 Surah. Secara etimologi kata Bani Adam menunjukkan arti pada keturunan Nabi Adam.[30] Namun yang jelas, menurut al-Qur’a>n pada hakikatnya manusia berasal dari nenek moyang yang sama, yakni Adam dan Siti Hawa. Berdasarkan asal usul yang sama ini, berarti manusia masih memiliki hubungan darah, serta pertalian kekerabatan. Dari ras manapun dia berasal. Atas kesamaan ini sudah semestinya manusia mampu menempatkan dirinya dalam komunitas persaudaraan umat sejagat. Persaudaraan antar sesama manusia dengan merujuk kepada kesamaan asal usul dan keturunan.[31]

Dalam konteks ayat-ayat yang mengandung konsep Bani Adam, manusia diingatkan Allah agar tidak tergoda syaitan, menyuruh manusia memakai pakaian yang bagus ketika beribadah dan mencegah dari makan minum secara berlebih-lebihan, bertakwa dan mengadakan perbaikan, kesaksian manusia terhadap Tuhan-Nya,[32] dan terakhir peringatan agar manusia menyadari bahwa syaitan itu merupakan musuh yang nyata.[33]

Dengan demikian bahwa pemaknaan kata Bani Adam lebih ditekankan pada aspek amaliyah manusia sekaligus pemberi arah kemana dan dalam bentuk apa aktifitas itu dilakukan. Di sini terlihat demikian demokratisnya Allah terhadap manusia. Hukum sebab-akibat tersebut memungkinkan Allah SWT untuk meminta pertanggungjawaban pada manusia terhadap semua perbuatan yang dilakukannya.

Martabat Manusia

Martabat manusia sesungguhnya adalah sesuatu yang diwariskan pada waktu penciptaannya. Yang banyak dibicarakan oleh al-Qur’a>n tentang manusia adalah sifat-sifat dan potensinya.[34] Potensi-potensi itu dalam bahasa agama disebut fitrah. Dalam sebuah hadits sahih Bukha>ri dan Muslim disebutkan bahwa setiap anak lahir dalan keadaan fitrah; kedua orang tuanyalah yang memungkinkan ia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Hadits ini mengisyaratkan bahwa sejak lahir, manusia telah dibekali potensi-potensi kodrati yang harus dikembangkan demi kesempurnaan hidup.[35]

Allah juga menciptakan manusia sebagai penerima dan pelaksana ajaran-Nya dan karena itu manusia ditempatkan pada kedudukan yang mulia baik dilihat dari biologis maupun dari segi psikologisnya.[36] Dari segi biologis atau jasmani manusia itu bisa mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium, daya gerak, dan sebagainya. Adapun dari segi psikologis atau yang biasa disebut al-Nafs mempunyai tiga kelebihan ketimbang makhluk Allah yang lain, yaitu:

Pertama, daya pikir atau akal yang berpusat dikepala. Dalam ajaran Islam daya pikir atau akal ini bisa dipertajam melalui perenungan alam semesta dan kejadian-kejadian yang ada di alam ini.[37] Al-Qur’a>n memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan akal dalam berpikir.[38] Dalam al-Qur’a>n menjelaskan bahwa penggunaan akal memungkinkan diri manusia untuk terus ingat (dzikir) dan memikirkan atau merenungkan ciptaan-Nya.[39] Dan penggunaan akal memungkinkan manusia mengetahui tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah serta mengambil pelajaran dari padanya.[40]

Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memisahkan antara yang benar dari yang salah.[41] Pikiran dapat dirasakan dan diyakini kebenarannya. Hasil kerja pikiran dapat memberikan rasa kenikmatan dan ini merupakan nikmat Allah yang paling besar, dan ini pula yang menjadikan manusia mulia dan istimewa jika dibandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya.[42]

Kedua, daya rasa pada qalbu yang berpusat di dada. Rasa ini bisa dipertajam melalui ibadah (shalat, puasa, zakat, dan haji). Hal ini berarti intisari dari semua ibadah dalam Islam adalah mendekatkan diri kepada Allah Yang Mahasuci.[43] Qalbu ini termasuk alat ma’rifah (pengetahuan) yang digunakan manusia untuk dapat mencapai ilmu, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hajj: 46. Qalbu ini juga mempunyai kedudukan khusus dalam ma’rifah ilahiyah, dengan qalbu manusia dapat meraih berbagai ilmu serta ma’rifah yang diserap dari sumber Ilahi. Dan wahyu itu sendiri diturunkan dalam qalbu Nabi Muhammad Saw sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Syu’raa’: 192-194.[44]

Ketiga, daya nafsu yang berpusat di perut. Nafsu ini akan meningkat kekuatannya bila nafsu itu diikuti dengan kemauan. Manusia yang mengikuti hawa nafsu yang demikian, akan jatuh derajatnya lebih rendah daripada binatang. Sebaliknya, manusia yang daya nafsunya mendapat bimbingan dari hati nuraninya melalui keimanannya atau manusia yang bisa mengendalikan hawa nafsunya akan menjadi lebih tinggi derajatnya dari makhluk lainnya termasuk malaikat karena malaikat tidak mempunyai hawa nafsu sehingga tidak membangkang dan selalu taat kepada perintah dan larangan Allah SWT.

Ketiga kelebihan di atas, yaitu daya pikir yang berpusat di kepala bila dilatih dengan baik akan mempertajam penalaran. Daya rasa di dada yang berpusat di qalbu bila diasah dengan baik akan mempertajam hati nurani. Daya nafsu di perut bila mendapat bimbingan dari hati nurani melalui keimanan akan menjadi makhluk yang termulia, tetapi bila tidak mendapatkan bimbingan keimanan akan menjadi makhluk terhina di dunia ini.[45]

Kebutuhan Manusia Terhadap Agama

Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak sekali. Adanya kebutuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut.[46] Begitu pula kebutuhan manusia terhadap agama. Berdasarkan sudut pandang kebahasaan-Bahasa Indonesia pada umumnya “agama” dianggap kata yang berasal dari bahasa Sansakerta yang artinya “tidak kacau”. Agama diambil dari dua akar suku kata, yaitu a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “kacau”. Hal ini mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau.[47] Dalam bahasa Arab disebut “din”, berarti “ajaran tentang ketaatan absolut (kepada Tuhan, Allah)”, pemahaman ini benar-benar sesuai dengan konsep “Islam”, yang berarti “ ketundukan penuh (kepada Tuhan)”.[48] Menurut para salafus shaleh sebagaimana yang dikutip oleh Atiqullah agama adalah suatu keimanan manusia akan adanya Allah SWT yang ditetapkan kebenarannya melalui perasaan iman (qalbu), diucapkan dengan kata-kata (lisan), dan melaksanakan dengan perbuatan.[49]

Dalam pandangan positivism atau materialism, jika sains dan teknologi sudah maju, masyarakat tidak membutuhkan agama lagi sebab semua kebutuhan dan keinginan mereka sudah terpenuhi oleh sains dan teknologi. Sepintas pernyataan tersebut ada benarnya, tetapi ketika direnungkan lebih dalam timbul persoalan. Apakah keinginan manusia betul-betul mampu dipenuhi oleh sains dan teknologi?[50] Bagaimana ia mampu memenuhi keinginan yang tidak terbatas, seperti dia tidak ingin mati. Apakah teknologi yang sangat canggih itu mampu mengatasi persoalan tersebut? Kalau memang ada teknologi yang mampu mengatasi persoalan tersebut akan dipastikan semua orang akan menganut faham ini. Ternyata pandangan materialism tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan karena alur pikirannya tidak logis.

Para ahli studi keagamaan, pada umumnya sepakat bahwa agama sebagai sumber nilai, sumber etika, dan pandangan hidup yang dapat diperankan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.[51] Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Alasan-alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Fitrah beragama

Fitrah ini merupakan potensi bawaan yang memberikan kemampuan kepada manusia untuk selalu tunduk, taat melaksanakan perintah Tuhan sebagai pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta.[52] Dalam al-Qur’a>n dinyatakan bahwa fitrah beragama sudah tertanam ke dalam jiwa manusia semenjak dari alam arwah dahulu, yaitu sewaktu ruh manusia belum ditiupkan oleh Allah ke dalam jasmaninya. Pada waktu itu, Allah bertanya kepada ruh-ruh manusia: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” kemudian ruh-ruh manusia itu menjawab: benar, kami telah menyaksikan.”[53]

Hubungan manusia dan agama tampaknya merupakan hubungan yang bersifat kodrati. Agama itu sendiri menyatu dalam fitrah penciptaan manusia. Terwujud dalam bentuk ketundukan, kerinduan ibadah, serta sifat-sifat luhur. Manakala dalam menjalankan kehidupannya, manusia menyimpang dari nilai-nilai fitrahnya, maka secara psikologis ia akan merasa adanya semacam “hukuman moral”. Lalu spontan akan muncul rasa bersalah atau rasa berdosa.[54]

2. Kemampuan manusia terbatas

Dalam masyarakat sederhana banyak peristiwa yang terjadi dan berlangsung di sekitar manusia dan di dalam manusia, tetapi tidak dipahami oleh mereka yang tidak dipahami itu dimasukkan ke dalam kategori ghaib. Karena banyak hal atau peristiwa ghaib ini menurut pendapat mereka, mereka merasakan hidup dan kehidupan penuh dengan keghaiban. Menghadapi peristiwa ghaib ini mereka merasa lemah tidak berdaya. Untuk menguatkan diri, mereka mencari perlindungan pada kekuatan yang menurut mereka menguasai alam ghaib yaitu Dewa atau Tuhan.[55] Atas dasar itulah, manusia sangat memerlukan agama. Karena dengan agama manusia dapat mengetahui dan memahami sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran yang dimiliki manusia. Karena di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan manusia juga memiliki kekurangan.

Tantangan Manusia Beragama

Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

Pertama, tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan syaitan.[56] Mengacu pada latar belakang sejarah penciptaannya, tampaknya manusia selaku Bani Adam, memang termasuk makhluk yang bermasalah. Bani Adam memiliki peluang untuk digoda syaitan. Karena itu dalam statusnya selaku makhluk yang diciptakan untuk jadi “khalifah”, maka manusia selalu diperingatkan oleh Allah agar selalu berhati-hati terhadap godaan syaitan.[57] Syaitan selalu ada, siap untuk menggodanya agar melakukan kejahatan yang akan membuatnya gagal dalam cobaan. Dalam cerita Adam dan syaitan, al-Qur’a>n menceritakan bahwa iblis meminta kepada Allah untuk ditangguhkan siksanya sampai waktu mereka dibangkitkan. Dalam waktu penangguhan inilah syaitan akan menjerumuskan manusia untuk berpaling dari jalan yang lurus dan mendatangi manusia dari depan, belakang, kiri dan kanan sehingga kebanyakan dari mereka tidak bersyukur.[58]

Menurut Fazlur Rahman, kehidupan manusia adalah “suatu perjuangan moral yang tiada henti”. Jika dia mengabaikan perjuangan ini sesaat saja, dia dapat dengan mudah terperangkap oleh syaitan.[59] Hal ini dikarenakan manusia sebagai makhluk biologis yang berasal dari tanah dia cenderung terbujuk oleh godaan kehidupan keduniaan dan mengikutinya. Kehidupan spiritual adalah sesuatu yang sulit baginya, dan dia harus mengatasi daya tarik nafsu dan godaan-godaan duniawi yang lain.

Kedua, tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan. Sebagaimana firman Allah dalan al-Qur’a>n yang artinya “Sesungguhnya orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah”.[60]

Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunakan agar orang mengikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obat terlarang dan lain sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu, upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, saat ini semakin meningkat, sehingga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.[61]

Tanggung Jawab Manusia

Manusia, dalam perjalanan hidup dan kehidupannya, pada dasarnya mengemban amanah atau tugas-tugas kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan Allah kepada manusia agar dipenuhi, dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya.[62] Maka manusia juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap apa-apa yang telah dilakukan di atas dunia ini kelak di akhirat.[63] Di dalam al-Qur’a>n juga dinyatakan bahwa manusia termasuk makhluk yang siap dan mampu mengemban amanah tersebut ketika ditawari oleh Allah, sebaliknya makhluk lain justru enggan menerimanya atau tidak siap dan tidak mampu mengemban amanah tersebut.[64]

1. Manusia sebagai Khalifah di Muka Bumi

Sebelum manusia diciptakan, Allah telah mengemukakan rencana penciptaan tersebut kepada para malaikat pernyataan Allah ini terangkum dalam ayat 30 Surah al-Baqa>rah yang maknanya sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Untuk melakukan tugas-tugas ke khalifahan itu, Allah tidak membiarkan makhluk ciptaan-Nya itu dalam keadaan kosong. Manusia dilengkapi Tuhan dengan berbagai potensi, antara lain: bekal pengetahuan.[65]

Sebagai konsekuensi Allah memberikan kedudukan dan alat kelengkapan yang diperlukan manusia, maka manusia juga dituntut untuk bertanggung jawab, apakah sebagai individu, pemimpin rumah tangga, pemimpin masyarakat, organisasi dan bahkan sampai kepada kepemimpinan dalam arti luas sekali pun terhadap apa yang telah dan pernah dilakukan manusia.[66] Tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi antara lain:

a. Menuntut ilmu pengetahuan.[67]

b. Menjaga dan memelihara diri dan keluarga dari segala sesuatu yang menimbulkan bahaya dan kesengsaraan.[68]

c. Menghiasi diri dengan akhlak yang mulia.

d. Saling tolong menolong dalam menegakkan kebenaran dan kesabaran.[69]

e. Memakmurkan bumi dan segala isinya. Memakmurkan bumi artinya mensejahterakan kehidupan di dunia ini. Untuk itu manusia wajib bekerja, beramal shaleh serta menjaga keseimbangan alam dan bumi yang di diaminya sesuai dengan tuntunan yang diberikan Allah melalui agama.[70]

f. Berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah seperti para fakir dan miskin serta kepada anak yatim sehingga tidak terjadi deskriminasi dengan lapisan masyarakat lainnya.[71]

2. Manusia sebagai Hamba Allah

Al-Qur’a>n juga menamakan manusia dengan Abd Allah yang berarti abdi atau hamba Allah.[72] Tujuan Allah mengadakan dan menjadikan manusia di muka bumi ini ialah agar manusia itu mengabdi kepada Allah atau menjadi pengabdi Allah. Mengabdi kepada Allah berarti menurut apa saja yang dikehendaki-Nya dengan kata lain melaksanakan apa yang diperintah Allah dan menjahui apa-apa yang dilarang-Nya. Itulah pandangan Islam mengenai manusia sebagaimana pemberitahuan Allah di dalam al-Qur’a>n Surah al-Dza>riyah (51): 56.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونَ.

Artinya: “Dan tidak Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.[73]

Mengabdi kepada Allah dapat dilakukan manusia melalui dua jalur, jalur khusus dan jalur umum. Pengabdian melalui jalur khusus dilaksanakan dengan melakukan ibadah khusus, yaitu segala upacara pengabdian langsung kepada Allah yang cara dan waktunya telah ditentukan oleh Allah sendiri dengan rinciannya dijelaskan oleh Rasul-Nya, seperti ibadah sha>lat, zakat, shaum dan haji. Pengabdian melalui jalur umum dapat diwujudkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang disebut amal shaleh yaitu segala perbuatan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat, dengan ikhlas untuk mencari keridhaan Allah.[74]

Dalam pandangan Ja’far al-Shadiq sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin, ibadah kepada Allah baru dapat terwujud bila seseorang dapat memenuhi tiga hal. Pertama, menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dimilikinya termasuk dirinya sendiri adalah milik Allah dan berada di bawah kekuasaan-Nya, kepada Dzat tempat seorang hamba mengabdi. Kedua, menjadikan segala bentuk sikap dan aktivitasnya senantiasa mengarah pada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan menjahui segala bentuk perbuatan yang dilarang-Nya. Ketiga, dalam mengambil suatu keputusan senantiasa mengaitkannya dengan restu dan ijin Allah, tempat ia menghamba diri.[75]

Penutup

Konsep manusia berdasarkan al-Qur’a>n menunjukkan bahwa manusia terdiri atas dua unsur, yaitu unsur materi dan unsur nonmateri, tubuh manusia berasal dari tanah di bumi dan ruh berasal dari substansi nonmateri di alam ghaib. Di dalam al-Qur’a>n setidaknya ada empat kata yang menunjuk makna manusia, yaitu: Kata al-basyar yang dapat diartikan sebagai makhluk biologis yang membutuhkan makanan dan minuman seperti halnya makhluk lainnya, kata al-Insa>n digunakan untuk menunjuk manusia sebagai totalitas yang terdiri dari jiwa dan raga yang merupakan potensi untuk bertumbuh dan berkembang secara fisik dan secara mental spritual, kata al-Na>s menunjuk manusia sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupannya sangat membutuhkan orang lain, dan kata Bani Adam menunjuk bahwa manusia berasal dari keturunan Adam.

Manusia dalam perspektif Islam merupakan makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Ini terbukti banyaknya potensi-potensi yang dimiliki manusia, yaitu daya pikir yang berpusat di kepala bila dilatih dengan baik akan mempertajam penalaran. Daya rasa di dada yang berpusat di qalbu bila diasah dengan baik akan mempertajam hati nurani. Daya nafsu di perut bila mendapat bimbingan dari hati nurani melalui keimanan akan menjadi makhluk yang termulia, tetapi bila tidak mendapatkan bimbingan keimanan akan menjadi makhluk terhina di dunia ini.

Manusia sebagai Hamba Allah dan sebagai khalifah di muka bumi berfungsi untuk mengatur dan mengelola alam sehingga tercapai kesejahteraan kehidupan manusia itu sendiri dalam masyarakat dengan tetap tunduk dan patuh kepada aturan yang dibuat pencipta-Nya. Rasa agama dan perilaku keagamaan (agama dan kehidupan beragama) merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau dengan istilah lain merupakan “fitrah” manusia. Manusia tidak pernah lepas dari agama karena dalam diri manusia ada fitrah. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Faktor lain yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan, dan Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun, untuk menutupi dan menghilangkan dorongan dan rasa keagamaan tampaknya sulit dilakukan. Manusia ternyata memiliki unsur batin yang cederung mendorongnya untuk tunduk kepada Dzat yang ghaib.

Daftar Pustaka

Al-Habra. 2008. Al-Qur’an Terjemahan dan Transliterasi. Bandung: Fajar Utama Madani.

Ali, Muhammad Daud. 2013. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Ali, Zainuddin. 2012. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Atiqullah. 2013. Psikologi Agama. Surabaya: Pena Salsabila.

Bahtiar, Amsal. 2012. Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Baqi, Muhammad Fu’ad Abdul. 2005. Mutiara Hadits Shahih Bukhari Muslim. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djumransjah, HM. Pendidikan Islam Menggali “Tradisi”, Mengukuhkan Eksistensi. Malang: UIN-Malang Press.

Hanafi, Hasan. 2007. Islam dan Humanisme Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jalaluddin. 2010. Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sejarah dan Pemikirannya. Jakarta: Kalam Mulia.

Jalaluddin. 2012. Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Kahmad, Dadang. 2009. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Latief, Juraid Abdul. 2012. Manusia, Filsafat, dan sejarah. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Nata, Abuddin. 2012. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Nata, Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Rahman, Cf Fazlur. Major Themes of the Qur’an Minneapolis & Chicago Bibliotheca

Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’a>n Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Siswanto. 2013. Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filosofis. Malang: Keben Perdana.

Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tafsir, Ahmad. 2012. Filsafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Wiyani, Novan Ardy. 2013. Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Alfabeta.

Yunus, Mahmud. 2002. Tafsir Qur’an Karim. Jakarta: PT Hidakarya Agung.

Zuhairini. 2012. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.

.

[1]Penulis adalah mahasiswa Program Magister PAI Pascasarjana STAIN Pamekasan.

[2]Hasan Hanafi dkk, Islam dan Humanisme Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 58.

[3]Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), 159.

[4]Juraid Abdul Latief, Manusia, Filsafat, dan sejarah (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), 14.

[5]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 293.

[6]Siswanto, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis (Malang: Keben Perdana, 2013), 16.

[7]Ibid, 15.

[8]Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013), 10.

[9]Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), 75.

[10]Al-Hambra, Al-Qur’an Terjemahan dan Transliterasi (Bandung: Fajar Utama Madani, 2008), 635.

[11]Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara Hadits Shahih Bukhari Muslim (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2005), 944.

[12]H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2003), 19.

[13]Siswanto, Pendidikan, 17.

[14]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’a>n Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 275.

[15]Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 20-21.

[16]Jalaluddin, Teologi, 20.

[17]Juraid, Manusia, 17.

[18]Ahmad, Filsafat, 20.

[19]Lihat QS. Al- Rahman (55): 4.

[20]Lihat QS. Al-‘Alaq (96): 4-5.

[21]Lihat QS. Al-A’raf (7): 172.

[22]Jalaluddin, Teologi, 21.

[23]Siswanto, Pendidikan, 21.

[24]Lihat QS. Al-Hujurat (49): 13.

[25]Lihat QS. Al-Baqarah (2): 13, 44

[26]Lihat QS. Al-Nisa>’ (4): 37.

[27]Lihat QS. Al-Nisa>’ (4): 38.

[28]Lihat QS. Al-Maidah (5): 44.

[29]Jalaluddin, Teologi, 25.

[30]Novan Ardy Wiyani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan Karakter (Bandung: Alfabeta, 2013), 14.

[31]Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sejarah dan Pemikirannya (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), 82.

[32]Lihat QS. Al-A’raf (7): 26-27, 31, 35, 172.

[33]Lihat QS. Yasin (36): 60.

[34]Quraish, Wawasan, 278-279.

[35]Siswanto, Pendidikan, 23.

[36]HM. Djumransjah, Pendidikan Islam Menggali “Tradisi”, Mengukuhkan Eksistensi (Malang: UIN-Malang Press, 2007), 28.

[37]Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 18.

[38]Lihat QS. Ali ‘Imran (3): 191.

[39]Lihat QS. Al-Ra’d (13): 19.

[40]Muhaimin, Paradigma, 13.

[41]Jalaluddin, Teologi, 35.

[42]Ibid, 29-30.

[43]Zainuddin, Pendidikan, 19.

[44]Muhaimin, Paradigma, 13.

[45]Zainuddin, Pendidikan, 19.

[46]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), 261.

[47]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), 13.

[48]Hasan, Islam, 23.

[49]Atiqullah, Psikologi Agama (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), 3.

[50]Amsal Bahtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), 251-252.

[51]Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), 37.

[52]Siswanto, Pendidikan, 24.

[53]Muhaimin, Paradigma, 282.

[54]Jalaluddin, Psikologi, 159.

[55]Mohammad, Pendidikan, 40.

[56]Lihat QS. Yusuf (15): 5.

[57]Jalaluddin, Teologi, 27.

[58]Lihat QS. Al-A’raf (7): 14-17.

[59]Cf. Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis & Chicago Bibliotheca, 1980), 18.

[60]Lihat QS. Al-Anfal (8): 36.

[61]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), 24-25.

[62]Muhaimin, Paradigma, 19.

[63]Zuhairini, Filsafat, 89.

[64]Lihat QS. Al-Ahzab (33): 72.

[65]Jalaluddin, Teologi, 30.

[66]HM. Djumransjah, Pendidikan, 38.

[67]Lihat QS. Al-Nahl (16): 43.

[68]Lihat QS. Al-Tamrin (66): 6.

[69]Lihat QS. Al-‘Asr (103): 3.

[70]Mohammad, Pendidikan, 15-16.

[71]Lihat QS. Al-Taubah (9): 60.

[72]Jalaluddin, Teologi, 29.

[73]Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 2002), 777.

[74]Mohammad, Pendidikan, 14.

[75]Jalaluddin, Teologi, 29-30.