Tri sandhya adalah bentuk yajna yang dilaksanakan setiap hari. Dalam waktu ( pagi hari, siang hari, sore hari ).
Mesaiban atau ngejot adalah yajna yang dilakuna kehadapan tuhan setelah memasak atau sebeleum menikamati makanan.
Untuk mewujudkan pelaksanaan yajna yang sattwika, ada 7 syarat yang wajib untuk dilaksanakan sebagai berikut :
Rama berjumpa dengan Surgiva, seorang raja kera yang kerajaan serta istrinya direbut oleh saudaranya sendiri yang bernama Walin. Rama bersekutu dengan Surgiva untuk memperoleh kerajaan dan istrinya dan sebaliknya Surgiva akan membantu Rama untuk mendapatkan Sita dari negeri Alengka.Khiskinda di gempur. Walin terbunuh oleh panah Rama. Surgiva kembali menjadi raja Khiskinda dan Anggada, anak Walin dijadikan putra mahkota. Tentara kera berangkat ke Alengka. Ditepi pantai selat yang memisahkan Alengka dari daratan India, tentara itu berhenti. Dicarilah akal untuk menyebrangi lautan.
Dalam bagian ini diceritakan bahwa kepada Rama terdengar desas desus bahwa rakyat menyangsingkan kesucian Sita. Maka untuk memberi contoh yang sempurna kepada rakyat diusirlah Sita dari istana. Tibalah Sita dipertapaan Valmiki, yang kemudian merubah riwayat Sita itu wiracerita Ramayana. Dipertapaan itu Sita melahirkan dua anak laki-laki kembar, Kusa dan Lava. Kedua anak ini dibesarkan oleh Valmiki. Waktu Rama mengadakan Aswamedha, Kusa dan Lava hadir di istana. Segeralah Rama mengetahui, bahwa laki-laki itu adalah anaknya sendiri. Maka dipanggilah Valmiki untuk mengantarkan kembali Sita ke Istana.Setiba di istana, Sita bersumpah, janganlah hendaknya raganya diterima di bumi seandainya ia memang tidak suci. Seketika itu belahlah dan muncul Dewi Pertiwi diatas singgasana emas yang didukung oleh ular-ular naga. Sita dipeluknya dan dibawanya lenyap ke dalam bumi. Rama sangat sedih dan menyesal, tetapi tidak dapat memperoleh istrinya kembali. Ia menyerahkan mahkotanya kepada kedua anaknya, dan kembali ia ke khayangan sebagai Visnu.
Dewa yadnya adalah yadnya yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa beserta seluruh manifestasinya. Dalam cerita Ramayana banyak terurai hakikat dewa yadnya dalam perjalanan kisahnya. Seperti pelaksanaan Homa Yadnya (agnihotra) yang dilaksanakan oleh prabu Dasaratha. Upacara ini dimaknai sebagai upaya penyucian melalui perantara dewa agni. Jika istadewatanya bukan dewa agni, sesuai dengan tujuan yajamana, maka upacara ini dinamai homa yadnya. Istilah lainnya Hawana dan Huta mengingat para dewa diyakini sebagai penghuni svahloka, maka sudah selayaknya yadnya yang dilakukan umat manusia melibatkan sirkulasi langit dan bumi. Upacara ini bertujuan untuk menghormati dan memuja leluhur. Kata pitra bersinonim dengan Pita yang artinya ayah atau dalam pengertian yang lebih luas yaitu orang tua. Sebagai umat manusia yang beradab, hendaknya selalu berbakti kepada orang tua, karena menurut agama hindu hal ini adalah salah satu bentuk yadnya yang utama. Betapa durhakanya seseorang apabila berani dan tidak bisa menunjukkan rasa baktinya kepada orang tua sebagai pitra. Seperti dalam Ramayana, dimana sri rama sebagai tokoh utama dengan segenap kebijaksanaan, kepintaran dan kegagahan tetap menunjukkan rasa bakti yang tinggi terhadap orang tuanya. Dari kutipan lontar tersebut tampak jelas nilai pitra yadnya yang termuat dalam epos Ramayana demi memenuhi janji orang tuanya (Raja Dasaratha), sri rama Laksmana dan dewi Sita mau menerima perintah dari sang Raja Dsaratha untuk pergi hidup di hutan meninggalkan kekuasaannya sebagai raja di Ayodhya. Walaupun itu bukan merupakan keinginan Raja Dasaratha dan hanya sebagai bentuk janji seorang raja terhadap istrinya Dewi Kaikeyi, Sri Rama secara tulus dan ikhlas menjalankan perintah orang tuanya tersebut. Bersana istri dan adiknya Laksmana hidup mengembara di hutan selama bertahun-tahun.V Betapa kuat , pintar dan gagahnya sorang anak hendaknya selalu mampu menunjukkan sujud baktinya kepada orang tua atas jasnya telah memelihara dan menghidupi anak tersebut. Dalam rumusan kitab suci veda dan sastra Hindu lainnya, Manusa Yadnya atau Nara Yadnya itu adalah memberi makan pada masyarakat (maweh apangan ring Kraman) dan melayani tamu dalam upacara (athiti puja). Namun dalam penerapannya di Bali, upacara Manusa yadnya tergolong sarira samskara. Inti sarira samskara adalah peningkatan kualitas manusia. Manusa yadnya di Bali dilakukan sejak bayi masih berada dalam kandungan upacara pawiwahan atau upacara perkawinan. Pada cerita Ramayana juga tampak jelas bagaimana nilai Manusa Yadnya yang termuat di dalam uraian kisahnya. Hal ini dapat dilihat pada kisah yang menceritakan Sri Rama mempersunting Dewi Sita. Rsi Yadnya adalah menghormati dan memuja Rsi atau pendeta. Dalam lontar Agastya Parwa disebutkan, Rsi Yadnya ngaranya kapujan ring pandeta sang wruh ring kalingganing dadi wang, artinya Rsi yadnya adalah berbakti pada pendeta dan pada orang yang tahu hakikat diri menjadi manusia. Dengan demikian melayani pendeta sehari-hari maupun saat-saat beliau memimpin upacara tergolong Rsi Yadnya. Pada kisah Ramayana, nilai-nilai Rsi Yadnya dapat dijumpai pada beberapa bagian dimana para tokoh dalam alur ceritanya sangat menghormati para Rsi sebagai pemimpin keagamaan, penasehat kerajaan, dan guru kerohanian. Upacara ini lebih diarahkan pada tujuan untuk nyomia butha kala atau berbagai kekuatan negative yang dipandang dapat mengganggu kehidupan manusia. Bhuta yadnya pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan butha kala menjadi butha hita. Butha hita artinya menyejahterakan dan melestarikan alam lingkungan (sarwaprani) upacara butha yadnya yang lebih cenderung untuk nyomia atau mendamaikan atau menetralisir kekuatan-kekuatan negative agar tidak mengganggu kehidupan umat manusia dan bahkan diharapkan membantu umat manusia. Nilai-nilai bhuta yadnya juga Nampak jelas pada uraian kisah epos Ramayana, hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan Homa Yadnya sebagai yadnya yang utama juga diiringi dengan ritual Bhuta Yadnya untuk menetralisir kekuatan negative sehingga alam lingkungan menjadi sejahtera. |