Apa alasan mengapa pemerintah menurunkan PPh UMKM?

Apa alasan mengapa pemerintah menurunkan PPh UMKM?
Foto: Ari Saputra

Jakarta - Pemerintah memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM dari 1% menjadi 0,5%. Menurut Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Kementerian Keuangan, Yon Arsal, pemangkasan tarif tersebut dilakukan karena keluhan dari pelaku UMKM.Yon memaparkan keluhan tersebut berkaitan dengan besaran tarif yang ditetapkan, yakni 1%."Sejak 2013, diperkenalkan namanya PPh final tarifnya masih 1%. Dalam perjalanannya banyak yang komplain 1% kegedean. Sehingga dengan masukan dari berbagai dunia usaha kita turunkan pajak dari 1% jadi 0,5%," katanya di dalam Forum Merdeka Barat 9, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Jumat (6/7/2018).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penurunan tersebut untuk mendorong masyarakat kontribusi ke kegiatan ekonomi formal. Dengan begitu ia berharap insentif tersebut mampu mendorong penerimaan pajak lebih besar."Kita memberi kesempatan berkontribusi (pelaku UMKM) bagi negara, pengetahuan tentang manfaat bagi masyarakat manfaat pajak. Pemerintah berharap dengan fasilitas wajib pajak ini semakin banyak orang sadar akan wajib pajak ini," terangnya."Seribu, dua ribu perak sangat bermanfaat. Ada tukang jamu dengan bangga mereka membayar pajak. Tukang bakso banyak yang bangga membayar pajak. Karena semakin dia bayar pajak semakin besar maka usahanya maju. Mereka memandang perspektif berbeda," lanjut Yon.

Sebagai informasi, aturan tersebut telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 berlaku efektif untuk peredaran usaha UMKM di Juli, dan pajaknya dibayarkan di Agustus dengan tarif 0,5%. (hns/hns)

Apa alasan mengapa pemerintah menurunkan PPh UMKM?
Mulai tanggal 1 Juli 2018 lalu, pemerintah menurunkan PPh Final UMKM dari 1% menjadi 0,5% lho. Hal ini dituangkan dalam PP Nomor 23 Tahun 2018.


JAKARTA –  Mulai 1 Juli 2018, pemerintah menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) final Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dari 1 persen menjadi 0,5 persen. Aturan baru ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang merupakan revisi dari PP No. 46 Tahun 2013.

Penurunan tarif PPh final UMKM menjadi 0,5 persen ini dilakukan dengan tujuan mendorong peran serta masyarakat dalam kegiatan ekonomi formal; memberikan rasa keadilan; kemudahan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan; memberikan kesempatan berkontribusi bagi negara; pengetahuan tentang  manfaat pajak bagi masyarakat meningkat.

Subjek pajak yang terkena PPh final 0,5% adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Usaha berbentuk PT, CV, Firma dan Koperasi yang memiliki penghasilan bruto (omzet) dari usaha tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun. Omzet tersebut  ditotal dari seluruh gerai/outlet baik pusat atau cabang. Usaha yang dimaksud antara lain usaha  dagang, industri, dan jasa, seperti toko/kios/los kelontong, pakaian, elektronik, bengkel, penjahit, warung/rumah makan, salon dan usaha lainnya.

Jangka waktu pengenaan PPh final 0,5 persen ini adalah selama tujuh tahun  bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan selama empat tahun bagi Wajib Pajak berbentuk Koperasi, CV, Firma. Sedangkan bagi Wajib Pajak Perseroan Terbatas (PT) berlaku jangka waktu tiga tahun.

Dalam melakukan pelunasan, Wajib Pajak dapat melakukan penyetoran sendiri yang wajib dilakukan setiap bulan atau  dapat dipotong/dipungut  dengan cara mengajukan surat permohonan ke Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pajak Pratama.

Objek pajak yang dikecualikan dari PPh final 0,5 persen adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, misalnya dokter, advokat/pengacara, akuntan, notaries, PPAT, arsitek, pemain musik, pembawa acara dan lainnya.  Disamping itu, dikecualikan juga penghasilan di luar negeri, penghasilan yang dikenai PPh Final, misalnya sewa rumah, jasa kontruksi, PPh Usaha Migas dan lainnya yang diatur berdasarkan PP dan penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Wajib Pajak tidak mendapat fasilitas PPh Final 0,5 persen jika Wajib Pajak memilih untuk dikenai PPh Pasal 17 sesuai UU PPh No. 36 Tahun 2008. Untuk itu, wajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan ke  KPP  dan pada Tahun Pajak berikutnya  terus menggunakan tarif PPh Pasal 17. Selain itu, Wajib Pajak Badan yang memperoleh fasilitas PPh Pasal 31A UU PPh atau PP 94 Tahun 2010, berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT). Wajib Pajak Badan berbentuk  CV atau Firma yang dibentuk oleh beberapa orang Wajib Pajak Orang Pribadi  yang memiliki keahlian khusus dan menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, juga tidak mendapat fasilitas PPh Final 0,5 persen.

#PPhUMKMSetengahPersen  

Humas Kementerian Koperasi dan UKM bersama Tim Komunikasi Pemerintah Kemkominfo

Apa alasan mengapa pemerintah menurunkan PPh UMKM?

Tangan Dokter Marsia cekatan memompa aneroid, alat pengukur tekanan darah, pada lengan tangan pasien di Puskesmas Distrik Ilaga, Kabupaten P Selengkapnya

Apa alasan mengapa pemerintah menurunkan PPh UMKM?

Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH) akan memasuki babak baru. Mulai 17 Oktober 2019, JPH akan mulai diselenggarakan oleh pemerintah, Selengkapnya

Apa alasan mengapa pemerintah menurunkan PPh UMKM?

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menegaskan, fokus dunia pendidikan saat ini adalah untuk memberikan keterampilan kerja bagi generasi Selengkapnya

Apa alasan mengapa pemerintah menurunkan PPh UMKM?

Hari Raya Idul Adha 1439 H akan jatuh pada 22 Agustus 2018. Semangat ummat muslim untuk beribadah dengan memperingati hari raya Iedul Adha Selengkapnya

Merdeka.com - Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama menyebut bahwa aturan tarif baru pajak penghasilan (PPh) final bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) 0,5 persen yang tertuang dalam aturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2018 adalah bertujuan untuk meringankan beban pajak bagi seluruh pelaku UMKM.

Dia mengatakan, penurunan ini juga dimaksudkan untuk mendorong pelaku UMKM agar lebih berperan aktif dalam kegiatan ekonomi. Dia berharap, adanya penurunan ini dapat menambah penerimaan pajak.

"Yang kita harapkan adalah memang dengan adanya skema kebijakan seperti ini, ke depannya jangka menengah panjang itu UMKM yang merupakan penopang perekonomian negeri ini sekitar 60 persen lebih dari Gross Domestic Product (GDP) kita, kita harap perannya bisa meningkat terus dalam menopang penerimaan pajak fiskal kita," ungkapnya dalam acara kongkow bisnis PASFM Radio Bisnis Jakarta, di Hotel Ibis Harmoni, Jakarta, Rabu (27/6)

Selain mendorong penerimaan pajak, kebijakan tersebut juga berperan dalam menggerakkan roda perekonomian masyarakat. Terlebih akan membuat seluruh para pelaku UMKM ke depan jauh lebih berkembang.

"Jadi sustainable, UMKM semakin meningkat peranannya dalam fiskal tapi juga dalam skema penurunan tarif ini juga akan mendorong kepada UMKM supaya lebih berkembang lagi. Karena bayar pajaknya lebih murah. Dan bahkan bagi kalangan masyarakat yang saat ini belum berusaha misal anda, ketika tahu pajak UMKM diturunin jangan-jangan maunya jadi UMKM," jelasnya.

Dia optimis, dengan adanya penurunan PPh ini juga akan menambah tax payer atau pembayar pajak. "Kami optimis. kita siapkan skema sosialisasi. Kami juga ada UMKM binaan di daerah, kerja sama dengan asosiasi, perbankan, himbara, mereka juga menyiapkan sosialisasi," tutup dia.

Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau isingkat UMKM merupakan usaha produktif yang dimiliki perorangan maupun badan usaha yang telah memenuhi kriteria sebagai usaha mikro. 

Seperti diatur dalam undang-undang No. 20 tahun 2008, kriteria UMKM dibedakan secara masing-masing meliputi usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah. Tidak dapat dipungkiri bahwa usaha mikro kecil dan menengah ini memiliki kontribusi besar bagi perekonomian negara kita. 

Pemerintah telah menerbitkan kebijakan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final menjadi 0,5% bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Aturan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagai pengganti atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, yang diberlakukan secara efektif per 1 Juli 2018. 

Hal ini dilakukan karena banyak pelaku UMKM mengeluhkan tingginya tarif pajak saat itu. PP 23 Tahun 2018 pada dasarnya mengatur pengenaan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto (omzet) sampai dengan Rp4,8 Miliar dalam satu tahun pajak. PP tersebut mencabut PP Nomor 46 Tahun 2013 yang telah berlaku selama lima tahun sejak pemberlakuannya 1 Juli 2013. 

Tarif 0,5% tentunya jauh lebih rendah dari tarif yang pernah berlaku yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 sebesar 1% dari omzet.

Nah, lalu apakah problematika dari penurunan tarif pajak ini? 

Penurunan tarif pajak ini mengakibatkan potensi kehilangan penerimaan negara Rp2,5 triliun per tahun. Tentunya potensi kehilangan penerimaan tersebut harus dilakukan karena penurunan pajak ini dimaksudkan agar mendorong peran masyarakat dalam kegiatan ekonomi formal. Sehingga nantinya akan memberikan keadilan dan kemudahan dalam melaksanakan kewajiban pajak bagi pelaku UMKM. 

Adanya penurunan tarif pajak ini akan mendorong penerimaan pajak lebih besar. Selain itu juga medorong UMKM agar dapat mengembangkan usahanya dan memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, lebih memberikan keadilan kepada wajib pajak serta memberikan kesempatan kepada pelaku UMKM untuk dapat berkontribusi kepada negara. 

Saat ini kontribusi pajak UMKM masih sangat kecil dari total penerimaan negara. Namun potensi penerimaan pajak dari UMKM masih sangat besar karena pelaku UMKM masih sangat banyak tersebar di Indonesia.

Pada saat pengusaha mikro kecil dan menengah mengadakan pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Negara sejumlah pengusaha menyampaikan usulan tentang perlunya revisi UU No 20 tahun 2008 tentang UMKM. Penurunan tarif ini tidak secara langsung membuat pelaku UMKM merasa senang. 

Mengapa demikian? 

Buktinya pengusaha mikro kecil dan menengah yang bertemu dengan presiden mengungkapkan bahwa penurunan tarif pajak menjadi 0,5% dirasa masih berat. Pengusaha mikro kecil dan menengah meminta kepada Presiden Jokowi untuk menurunkan pajak lagi menjadi 0% atau dapat dikatakan tidak dikenakan pajak.

Pajak yang sudah diturunkan dari 1% menjadi 0,5% dari sisi omzet terasa masih terlalu berat bagi pelaku pengusaha usaha mikro kecil dan menengah dari keuntungan yang diperoleh pengusaha. Maka dari itu, pengusaha meminta agar tarifnya tersebut 0%. 

Adapun saran dari pengusaha mikro kecil dan menengah agar Indonesia mengikuti Cina di tahun 2020 yaitu dengan pengenaan tarif pajak 0% bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah.

Hal ini sangat sulit dilakukan, karena jika pemerintah menurunkan pajak lagi menjadi 0% maka akan menurunkan penerimaan pajak. Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki kontribusi yang besar dalam menyumbangkan pajaknya kepada negara. 

Menurut pemerintah bahwa dengan penurunan tarif pajak menjadi 0,5 % ini telah meringankan bagi pelaku UMKM untuk membayar pajak. Diharapkan dengan adanya penurunan pajak bagi pelaku UMKM semakin banyak yang membayar pajak dan taat akan pajak karena ini tidak hanya untuk kepentingan negara tetapi juga untuk kepentingan umum dan masyarakat.

Disclaimer:

Artikel ini merupakan karya peserta pelatihan simulasi pajak hasil kerjasama Politeknik Negeri Bali dengan PT Mitra Pajakku. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. 

Informasi ini BUKAN merupakan saran atau konsultasi perpajakan. Segala aturan yang terkutip dalam artikel ini sangat mungkin ada pembaharuan dari otoritas terkait. Pajakku tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat adanya keterlambatan atau kesalahan dalam memperbarui informasi dalam artikel ini.