Wujud politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif pada masa Demokrasi Terpimpin adalah

Pada masa Demokrasi Parlementer, pemerintah Indonesia ingin memperkuat eksistensi NKRI di kancah internasional melalui kebijakan-kebijakan politik luar negeri. Dimana, prioritas utama kebijakan tersebut pasca kemerdekaan hingga tahun 1950 an lebih ditunjukan untuk menentang dan melawan segala bentuk penjajahan, kolonialisme dan penindasan di dunia.

Era Demokrasi Parlementer adalah era ketika Presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlansung dari 17 Agustus 1950 (sejak pembubaran Republik Indonesia Serikat) sampai 5 Juli 1959 (keluarnya Dekret Presiden). Pada masa ini kehidupan negara dan masyarakat ditandai dengan berbagai kesulitan ekonomi dan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.

Namun, hal tersebut tidak menyurutkan keinginan pemerintah untuk eksis di kancah internasional dengan melakukan berbagai kebijakan politik luar negeri. Selain berusaha menghapuskan penjajahan di atas dunia sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea pertama, kebijakan politik luar negeri Indonesia juga mengangkat masalah jalannya dekolonisasi yang belum rampung di Indonesia, serta mendapatkan pengakuan kedaulatan dari dunia internasional.

(Baca juga: Kehidupan Ekonomi Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin)

Sementara itu, sejak pertengahan sampai tahun 1950an, Indonesia telah menjadi pemrakarsa sekaligus mengambil beberapa peran dari kebijakan politik luar negeri yang mempunyai arti monumental dan sangat penting bagi kelangsungan perdamaian dunia. Contoh dari peran Indonesia saat tahun itu adalah menjadi tuan rumah Konfrensi Asia Afrika di Bandung.

Konfrensi Asia Afrika bertujuan untuk menggalang persatuan dan kesatuan negara-negara di Asia dan Afrika demi tercapainya keselamatan dan kedamaian dunia. Konfrensi Asia Afrika adalah keberhasilan besar politik luar negeri Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer.

Disamping itu, pada tahun 1955 sebuah konsep politik luar negeri Indonesia telah menjadi pembantu bagi negara untuk mewujudkan perdamaian dunia. Salah satu contoh dari implementasinya adalah dimana Indonesia juga membentuk dan menciptakan solidaritas antar bangsa yang baru merdeka, sehingga negara yang baru merdeka itu bisa terbebas dari jeratan penjajahan dan kolonialisme. Forum tersebut dikenal dengan nama Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement/ NAM).

tirto.id - Politik luar negeri dibutuhkan setiap negara di dunia untuk membangun hubungan dengan negara lain. Politik luar negeri turut dilaksanakan oleh Indonesia sejak negara ini resmi berdiri.

Politik luar negeri sendiri merupakan seperangkat kebijakan yang diterapkan oleh suatu negara dalam hubungan dengan negara lain dengan maksud mencapai tujuan negara maupun kepentingan negara yang bersangkutan.

Menurut buku "Sejarah Indonesia" yang diterbitkan Kemendikbud, landasan utama politik luar negeri Indonesia adalah dasar negara yaitu Pancasila. Dalam menjalankan kegiatan politik dengan negara-negara lain di kancah internasional, Indonesia menganut paham politik "bebas aktif."

Dalam pasal 3 UU Nomor 37 tahun 1999, bebas aktif artinya adalah Indonesia bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional serta tidak mengikatkan diri secara a priori pada kekuatan dunia mana pun.

Secara bersamaan, Indonesia juga turut aktif berpartisipasi dalam menyelesaikan konflik, sengketa, serta permasalahan dunia lainnya sebagai tujuan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Sejarah politik luar negeri di Indonesia

Sejak Indonesia dinyatakan sebagai sebuah negara yang berdaulat, politik luar negeri Indonesia turut lahir sebagai pelengkap kebijakan untuk mengatur hubungannya di dunia internasional.

Jika landasan politik luar negeri Indonesia adalah Pancasila, maka landasan konstitusionalnya adalah Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 alinea keempat, yang berbunyi "....dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…."

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, dikeluarkan Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945. Maklumat tersebut mengatur poin-poin hubungan Indonesia dengan luar negeri, yaitu:

  • politik damai dan hidup berdampingan secara damai;
  • tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain;
  • politik bertetangga baik degan kerja sama dengan semua negara, baik bidang ekonomi, politik, dan sebagainya;
  • melakukan hubungan dengan negara lain dengan mengacu pada piagam PBB.

Wakil Presiden RI pertama Mohammad Hatta pada 2 September 1948 sempat menyatakan tujuan-tujuan politik luar negeri Indonesia. Menurut e-modul Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang diterbitkan Kemedikbud, tujuan-tujuan tersebut antara lain:

  • Mempertahankan kemerdekaan dan menjaga keselamatan bangsa juga negara Indonesia;
  • Memperoleh barang-barang dari luar negeri yang tidak atau belum dapat diproduksi sendiri sebagai upaya memperbesar kemakmuran rakyat Indonesia;
  • Meningkatkan persaudaraan antar bangsa;
  • Meningkatkan perdamaian dunia.

Kemudian, di tahun 1959 hingga 1965 pada masa Demokrasi terpimpin, landasan operasional politik luar negeri Indonesia adalah pembukaan UUD 1945 alinea pertama, pasal 11 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 UUD 1945, serta Amanat Presiden yang disebut dengan "Manifesto Politik Republik Indonesia."

Infografik SC Sejarah Landasan Utama Politik Luar Negeri Indonesia. tirto.id/Sabit

Amanat Presiden tersebut memuat tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek yaitu melanjutkan perjuangan anti imperialisme. Sementara, tujuan jangka panjang yaitu melenyapkan imperialsime.

Pada masa tersebut, pemerintah Indonesia meyakini bahwa walaupun Indonesia sudah merdeka negara-negara imperialis dan kolonialis, yaitu negara-negara barat, masih merupakan ancaman bagi kemerdekaan Indonesia. Manifesto Politik (Manipol) Indonesia ini merupakan cikal bakal munculnya doktrin dunia tanpa Blok Barat, Blok Timur, ataupun Blok ketiga (Asia/Afrika).

Setelahnya, pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS no. XII/ MPRS/1966. Ketetapan ini mempertegas kembali sejumlah peraturan formal dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.

Poin pertama yang dipertegas dalam Ketetapan MPRS tersebut adalah politik luar negeri Indonesia bebas aktif, anti imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apa pun. Indonesia turut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Poin kedua adalah politik luar negeri Indonesia mengabdi kepada kepentingan nasional serta amanat penderitaan rakyat.

Di tahun 1973, politik luar negeri Indonesia mulai difokuskan pada upaya pembangunan. Ini artinya lebih banyak kerja sama Indonesia di bidang ekonomi dan bidang lainnya dengan dunia internasional.

Kemudian setelah reformasi, yaitu pasca Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia diatur dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999. Kegiatan politik luar negeri pada masa ini lebih banyak menekankan pada faktor-faktor yang menyebabkan krisis ekonomi nasional yang terjadi kala itu.

Baca juga:

  • Debat Ke-4, Jokowi Tetap Jalankan Politik Luar Negeri Bebas Aktif
  • Apa Definisi, Prinsip & Tujuan Politik Luar Negeri Indonesia?

Baca juga artikel terkait POLITIK LUAR NEGERI atau tulisan menarik lainnya Yonada Nancy
(tirto.id - ynd/ale)


Penulis: Yonada Nancy
Editor: Alexander Haryanto
Kontributor: Yonada Nancy

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA