Surat dari Pangeran Diponegoro yang ditemukan di arsip militer, Breda, Belanda dikembalikan oleh Peter Carey kepada Museum Sejarah Jakarta pada Selasa (5/3/2014) KOMPAS.com- Sosok Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pahlawan legendaris. Ceritanya menyebar luas di berbagai catatan sejarah dan cerita rakyat. Tak hanya sebagai pahlawan, Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai tokoh spiritual yang memegang teguh ajaran agama. Perang Jawa yang dikobarkan Pangeran Diponegoro pada tahun 1825-1830 membuat Belanda kehilangan ribuan tenatara dan biaya. Berikut biografi Pangeran Diponegoro dan kisah hidupnya yang menarik: Dikenal sebagai Raden Mas OntowirjoDilansir dari Encyclopaedia Britannica dalam artikelnya Diponegoro Javanese Leader, disebutkan Diponegoro punya nama Raden Mas Ontowirjo. Ia lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785. Pangeran Diponegoro merupakan putra tertua Sultan Hamengkubuwono III. Ia tumbuh menjadi sosok yang religius. Baca juga: Tapak Tilas Jejak Dakwah Pangeran Diponegoro di Masjid Langgar Agung Menoreh Nama Pangeran Diponegoro melegenda karena menjadi memimpin Jawa dalam Perang Jawa atau kini dikenal sebagai Perang Diponegoro (1825-1830). Perang Jawa sendiri dipicu oleh reformasi tanah yang dilakukan Belanda untuk melemahkan perekonomian para bangsawan Jawa. Perang dengan BelandaDikutip dari berita Kompas.com, Perang Diponegoro dimulai ketika Belanda memasang tanda di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Geram dengan aksi tersebut, sang Pangeran kemudian menantang Belanda. Perang Diponegoro menyebar luas hingga ke Pacitan dan Kedu. Beberapa tokoh saat itu juga bergabung. Seperti Kyai Maja, tokoh agama di Surakarta, kemudian SISKS Pakubuwono VI, dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya. Mengapa kebutuhan sekunder di penuhi setelah kebutuhan primer terpenuhi rangkuman singkat tentang kerajaan hindu budha di indonesia 10. Contoh penerapan IPTEK dalam kegiatan produksi adalah.... a. Penggunaan mesin pembajak sawah b.Menawarkan barang dan jasa secara langsung assalamu'alaikumbagaimana bunyinya hukum penawaran, dan hukum permintaanno copasnote : nyontek ghavin Perhatikan keterangan-keterangan berikut! 1) Dibangun sekitar abad ke 16 2) Menaranya mirip mercusuar dibangun Hendrik Lucozoon Cardeel. oleh 3) Salah … Sepeninggal Sultan Trenggana, Kesianan Demak mengalami kemunduran karena.. A. Terjadi perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan B. Banyak daerah ke … Sejak Malaka dikuasi Portugis, para pedagang Muslim menghindari Selat Malaka dan bealih menyusuri pesisir barat Sumatera. Kondis ini berpengaruh kepad … A. 4, 2, dan 3B. 1, 2, dan 4C. 3, 2, dan 4D. 4, 1, dan 3 Kerajaan Mataram Kuno di perintah oleh dua dinasti, yaitu dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan dinasti Sailendra yang beragama Budha. Mereka dapat … Airlangga menyerahkan kekuasaannya pada putrinya yang bernama Sanggramawijaya Tunggadewi. Namun, putrinya menolak dan memilih untuk menjadi seorang pe … Gua Selarong (bahasa Jawa: ꦒꦸꦮꦱꦺꦭꦫꦺꦴꦁ, translit. Guwa Selarong) atau bisa disebut Gua Diponegoro, adalah gua bersejarah sekaligus tempat wisata alam dan religi yang terletak di Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada tanggal 21 Juli 1825, pasukan Belanda pimpinan asisten Residen Chevallier mengepung rumah Pangeran Diponegoro di Tegalrejo untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Akan tetapi Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri dan menuju ke Selarong. Di tempat tersebut secara diam-diam telah dipersiapkan untuk dijadikan markas besar. Selarong sendiri merupakan desa strategis yang terletak di kaki bukit kapur, berjarak sekitar enam pal (sekitar 9 km) dari Kota Yogyakarta. Setelah Peristiwa di Tegalrejo sampai ke Kraton, banyak kaum bangsawan yang meninggalkan istana dan bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Mereka adalah anak cucu dari Sultan Hamengkubuwono I, Hamengkubuwono II, dan Hamengkubuwono III yang berjumlah tidak kurang dari 77 orang dan ditambah pengikutnya.
Dengan demikian pada akhir Juli 1825 di Selarong telah berkumpul bangsawan-bangsawan yang nantinya menjadi panglima dalam pasukan Pangeran Diponegoro. Mereka adalah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Adinegoro, Pangeran Panular, Adiwinoto Suryodipuro, Blitar, Kyai Modjo, Pangeran Ronggo, Ngabei Mangunharjo, dan Pangeran Surenglogo.
Pangeran Diponegoro juga memerintahkan Joyomenggolo, Bahuyudo, dan Honggowikromo untuk memobilisasi penduduk desa sekitar Selarong dan bersiap melakukan perang. Di tempat ini juga disusun strategi dan langkah-langkah untuk memastikan sasaran yang akan diserang. Pada tanggal 31 Juli 1825 Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi menulis surat kepada masyarakat Kedu agar bersiap melakukan perang. Dalam surat itu dia mengatakan bahwa sudah saatnya Kedu kembali ke wilayah Kasultanan Yogyakarta setelah dirampas oleh Belanda.
Di Selarong dibentuk beberapa batalyon yang dipimpin oleh Ing Ngabei Joyokusumo, Pangeran Prabu Wiromenggolo, dan Sentot Prawirodirjo dengan pakaian dan atribut yang berbeda. Sepanjang bulan Juli 1825 hampir seluruh pinggiran kota diduduki oleh pasukan Diponegoro. Markas besar Pangeran Diponegoro di Selarong dipimpin oleh lima serangkai yang terdiri dari Pangeran Diponegoro sebagai ketua markas, Pangeran Mangkubumi merupakan anggota tertua sebagai penasihat dan pengurus rumah tangga, Pangeran Angabei Jayakusuma sebagai panglima pengatur siasat dan penasihat di medan perang Alibasah Sentot Prawirodirjo yang sejak kecil dididik di Istana dan setelah perang Diponegoro bergabung dengan Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo sebagai penasihat rohani pasukan Pangeran Diponegoro.
Pada tanggal 7 Agustus 1825 Pasukan Diponegoro dengan kekuatan sekitar 6.000 orang menyerbu Negara Yogyakarta dan berhasil menguasainya. Meski demikian Pangeran Diponegoro tidak menduduki kota Yogyakarta dan Sultan Hamengkubuwono V berhasil diselamatkan dan diamankan di Benteng Vredeburg dengan pengawalan ketat dari Keraton. Peristiwa 21 Juli 1825 di Yogyakarta sampai kepada Komisaris Jenderal van Der Capellen pada tanggal 24 Juli 1825. Selanjutnya diputuskan untuk mengangkat Letnan Jenderal De Kock sebagai komisaris pemerintah untuk Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang diberikan hak istimewa di bidang militer maupun sipil. Berbagai upaya dilakukan oleh Jenderal De Kock antara lain menulis surat kepada Pangeran Diponegoro yang isinya mengajak Pangeran Diponegoro untuk berdamai. Tetapi ajakan berunding tersebut ditolak secara tegas oleh Pangeran Diponegoro. Dengan penolakan tersebut maka Jenderal De Kock memerintahkan untuk menyerbu Selarong. Akan tetapi ketika pasukan Belanda tiba di Selarong, desa itu sepi karena pasukan Pangeran Diponegoro sudah berpencar di berbagai arah. Menurut babad, selanjutnya Pangeran Diponegoro mendirikan markas di Dekso yang berlangsung kurang lebih 10 bulan dari tanggal 4 November 1825 sampai dengan 4 Agustus 1826. Selama bermarkas di Selarong pasukan Belanda telah melakukan penyerangan tiga kali Serangan pertama pada tanggal 25 Juli 1825 yang dipimpin oleh Kapten Bouwes. Serangan ini merupakan aksi perlawanan Pangeran Diponegoro di Logorok dekat Pisangan Yogyakarta, yang mengakibatkan 215 pasukan Belanda menyerah. Serangan kedua pada bulan September 1825 di bawah pimpinan Mayor Sellwinj dan Letnan Kolonel Achenbac dan serangan ketiga tanggal 4 November 1825. Setiap pasukan Belanda menyerang Selarong maka Pasukan Pangeran Diponegoro menghilang di goa-goa sekitar Selarong.
|