Sebutkan tugas pemerintah dalam mewujudkan good governance brainly

Home/Pendidikan/sebutkan tugas pemerintah dalam mewujudkan good governance

Sebutkan tugas pemerintah dalam mewujudkan good governance brainly

sebutkan tugas pemerintah dalam mewujudkan good governance

sebutkan tugas pemerintah dalam mewujudkan good governance

  • Pemerintah mendorong diberlakukannya transparansi dokumen dan kebijakan publik melalui UU Keterbukaan Informasi Publik.
  • Pemerintah mendorong dilakukannya audit keuangan BUMN melalui kantor akuntan publik,

Artikel Terkait:   salah satu ciri sensor fotografik adalah

Sebutkan tugas pemerintah dalam mewujudkan good governance brainly
Oleh :
Ridho Afrianedi, S.H.I., Lc., M.H.

DINAMIKA BIROKRASI INDONESIA DAN SISTEM PENGAWASAN
UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

Oleh: Ridho Afrianedy

Sebagai warga negara Indonesia, tentunya pernah bersinggungan langsung dengan alur birokrasi pemerintah dalam mengurus administrasi surat atau apapun. Mulai dari hal yang sifatnya individu misalkan pengurusan KTP, Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, SIM, NPWP, SIUP, sertifikat tanah dan lain-lain.

Berbagai komentar dan tanggapan warga dalam pengurusan administrasi bermunculan. Ada yang merasa puas karena pelayanannya baik, ada yang merasa kecewa dan kesal karena pelayanannya lambat dan berbelit-belit, ada yang marah dan makan hati karena harus melalui beberapa meja petugas apalagi petugas yang ditunjuk tidak ada atau sedang keluar bahkan ada petugas yang minta uang pelicin agar urusan bisa lancar dan cepat.

Permasalahan diatas mengenai dinamika birokrasi di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap pengurusan apapun di instansi pemerintah terkesan lamban, lama, berbelit-belit, birokrasi panjang, pungutan liar bahkan suap, sehingga muncul adagium negatif “kalau bisa di persulit kenapa harus dipermudah”.

Sebagai warga negara yang baik, tentunya mengikuti segala aturan dan sistem yang telah diberlakukan dalam pengurusan apapun mulai dari berkas-berkas yang diperlukan sebagai syarat akan tetapi karena kebutuhan akan surat resmi tersebut serta keinginan pengurusan agar lebih cepat tak jarang ada warga negara yang menyuap petugas.

Padahal tiap instansi pemerintah ada SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam melayani masyarakat. Akan tetapi SOP ini ditabrak karena ada kepentingan buruk untuk menyeleweng dan bisa mendapat penghasilan tambahan di luar gaji dan tunjangan yang diberikan oleh negara.

Sehingga pada bulan Mei tahun 2013 kemaren, Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo mengungkapkan ada 7 realita kebobrokan birokrasi di Indonesia, yaitu[1]:

  1. Pola pikir para birokrasi di Indonesia terlalu sesuai aturan.
  2. Orientasi budaya kerjanya lemah.
  3. Birokrasi di Indonesia secara organisasi terlalu gemuk.
  4. Peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis.
  5. Banyak seorang birokrasi ditempatkan di posisi yang tidak sesuai dengan kemampuannya.
  6. Soal kewenangan yang tumpang tindih atau overlapping sehingga ada kecenderungan penyalahgunaan kewenangan oleh birokrat.
  7. Pelayanan publik yang buruk.

Pernyataan diatas membuktikan reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah bahkan ada departemen khusus untuk menangani sistem birokrasi di Indonesia belum berhasil. Masih banyak celah-celah kelemahan yang masih kelihatan dan menjadi rahasia umum bahwa aparatur sipil negara tidak maksimal dalam mencurahkan kinerjanya dan memaksimalkan waktu yang tersedia untuk peningkatan pelayanan publik[1].

Maka tak heran dalam survei Doing Business 2009 yang dibuat oleh International Finance Corporation (IFC) di 181 negara, Indonesia berada pada urutan 129. Posisi Indonesia berada jauh di bawah thailand yang menduduki peringkat 13, Malaysia di urutan 20 dan Vietnam posisi ke-92, Indonesia hanya sedikit diatas Kamboja dengan peringkat 135 dan Filipina dengan urutan 140, ASEAN perlu berbangga karena negeri jiran Singapura mempertahankan posisinya di peringkat pertama disusul urutan berikutnya Selandia Baru, AS, Hongkong dan Denmark[2].     

Kalau kita membandingkan dengan negara-negara yang mana birokrasi pemerintahannya telah berjalan dengan baik disertai adanya indikasi rasa kepuasan dari masyarakatnya dalam menerima pelayanan dari pemerintahnya, ada beberapa hal yang bisa menjadi tolak ukur kita dalam mencapai good governance tersebut. Diantaranya dengan the right man on the right place, adanya analisis jabatan dalam penempatan seseorang dalam suatu jabatan. Kesesuaian jabatan dengan kemampuan aparatur tersebut akan memudahkannya dalam menerjemahkan isi kebijakan yang telah dibuat dan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan serta kebijakan atasannya demi mewujudkan pelayanan publik yang prima dan jangan sampai terjadi pemerintah hanya bisa membuat peraturan saja namun tidak bisa melaksanakannya dengan baik.

Akan tetapi, dalam menjalankan roda pemerintahan, ada suatu hal yang sangat dijaga oleh para birokrat Indonesia dan sudah menjadi rahasia umum juga yaitu menutup aib sesama antar birokrat. Budaya kerja seperti ini akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa dalam mewujudkan good governance bahkan menjadi hambatan utama dalam reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah.     

Sedangkan dalam perusahaan swasta ada konsep yang dikenal yaitu good corporate governance (GCG), di Indonesia, konsep GCG resmi diterapkan di lingkungan perusahaan BUMN melalui keputusan Kepmeneg BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik GCG pada BUMN. Konsep GCG itu ada lima yaitu transparency, independency, accountability, responsibility dan fariness[3].

Besar kemungkinan konsep GCG bisa diterapkan diadopsi ke instansi-instansi pemerintah agar bisa memiliki daya saing dalam hal non profit akan tetapi dalam hal peningkatan pelayanan prima untuk masyarakat agar stigma negatif terhadap birokrasi pemerintahan bisa berubah kearah yang positif.

Sehingga ada perubahan besar di dunia dalam bidang birokrasi pemerintahan ini. Semua kebijakan yang diambil oleh para birokrasi pemerintahan berbagai negara telah mengacu pada pasar, sebagaimana yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dalam melayani pangsa pasarnya. Dalam hal ini tentu pasar birokrasi adalah masyarakat sehingga dalam hal pelayanan bisa maksimal diberikan kepada masyarakat dengan orientasi kepuasan masyarakat dalam menerima pelayanan dari birokrasi pemerintah.

Namun bagi kebanyakan orang, menjadi seorang aparatur negara berarti telah memiliki suatu kekuasaan sesuai dengan tugas pokoknya. Sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk menyelewengkan kekuasaannya tersebut bisa jadi terjadi baik dari sisi internal pribadinya seperti kurang inisiaatif dalam bekerja, terlalu banyak formalitas, lamban dan tidak totalitas dalam bekerja maupun dari sisi eksternal berupa godaan suap, uang dan lain-lain.

Sikap mental seperti ini akan menimbulkan dampak buruk dalam jalannya birokrasi pemerintahan, akan banyak pencapaian-pencapaian yang tidak sesuai dengan target, kemudian menurunnya dukungan publik akan program-program yang dibuat oleh pemerintah dan hal ini akan menjadi problem tersendiri kedepannya.

Apalagi pada era reformasi ini, dengan ditandai dengan pemilihan kepala daerah secara langsung baik ditingkat gubernur, walikota/bupati, anggota DPRD I dan anggota DPRD II tiap 5 tahun sekali adalah sesuatu yang positif, akan tetapi pasca pemilihan dan telah terpilihnya gubernur yang baru, walikota/bupati yang baru serta anggota dewan yang baru menimbulkan gejolak di tingkat birokrasinya, karena sudah menjadi rahasia umum apabila gubernur telah berganti, walikota/bupati berganti maka kepala dinas, kabid, kasie, kepala sekolah, camat, lurah juga akan berganti.

Perbedaan pandangan politik telah memasuki dunia birokrasi di pemerintahan. Siapa birokrat yang mendukung pemenang pemilihan maka yang bersangkutan pasti akan mendapat posisi yang strategis nantinya, siapa yang tidak mendukung maka otomatis siap-siap di mutasi ke posisi yang kurang strategis walaupun kinerjanya bagus dan ini terjadi merata di setiap daerah.

Hal ini tentu berdampak negatif terhadap kinerja para birokrat yang harusnya mengedepankan profesionalitas, integritas dan akuntabilitas serta berorientasi pada pelayanan prima pada publik akan berubah menjadi orientasi pada keuntungan dan kesenangan para politisi, seluruh kebijakan yang sifatnya politis akan diterapkan ke jajaran birokrasi dibawahnya, siapa yang membantah dan membangkang maka siap-siap di mutasi.

Ancaman mutasi dari para birokrat yang berafiliasi pada partai tertentu akan merugikan jalannya pemerintahan dan mengganggu proses administrasi pemerintahan. Para birokrat tidak akan nyaman bekerja apabila ada kebijakannya yang merugikan partai pemimpin daerahnya.

Dengan adanya kebijakan reformasi birokrasi serta telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menegaskan dalam Pasal 5 UU ini bahwa aparatur negara bebas dari intervensi partai politik.

            Dengan dicanangkan program reformasi birokrasi diharapkan ada perubahan mind set dalam pola pikir serta budaya kerja untuk melayani publik, dan reformasi birokrasi telah masuk dalam nomenklatur kementerian yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, sehingga birokrasi yang terkesan bermasalah di sistem pemerintahan Indonesia bisa berubah kearah yang lebih baik.

            Kredibilitas dan transparansi adalah norma utama yang menjadi tuntutan publik atas lembaga-lembaga pelayanan umum yang ada. Transparansi memberikan pemaparan yang jelas bagi publik terhadap segala hal yang ingin diketahui dari lembaga umum yang merupakan wujud haknya sebagai warga negara. Transparansi menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap institusi[4].      

Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas akan menjadikan salah satu tolak ukur dalam upaya peningkatan pelayanan publik yang prima bagi seluruh masyarakat, walaupun begitu harus ada sistem pengawasan yang berjalan didalam sistem birokrasi pemerintahan agar kinerja birokrasi pemerintahan tetap berada pada jalur yang sesuai dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengawasan atas suatu kinerja merupakan suatu hal mesti ada pada zaman sekarang ini dalam setiap instansi baik pemerintah maupun swasta. Hal ini menjadi penentu apakah kinerja berjalan dengan sesuai aturan atau tidak?, apakah petugasnya melampaui tugas dan wewenangnya atau tidak?.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 19 Tahun 1996 menyebutkan pengawasan adalah seluruh proses kegiatan penilaian terhadap objek pengawasan dan atau kegiatan tertentu dengan tujuan untuk memastikan apakah pelaksanaan tugas dan fungsi dari objek pengawasan tersebut telah sesuai dengan yang ditetapkan[5].

Sudibyo Triatmodjo mendefinisikan pengawasan sebagai berikut: pengawasan adalah suatu bentuk pengamatan yang pada umumnya dilakukan secara menyeluruh dengan jalan mengadakan perbandingan antara kenyataan yang dilaksanakan dengan yang seharusnya dilaksanakan atau terjadi[6].

Jadi pengawasan tidak hanya bermaksud mencari-cari kesalahan dari lembaga yang diawasi tetapi mengandung pengertian yang lebih luas yaitu melakukan pengamatan serta pengukuran dan penilaian dalam rangka menjamin terlaksananya kegiatan organisasi sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah digariskan dalam rencana kegiatan sebelumnya[7].

Dalam tataran pelaksanaannya, pengawasan yang dilakukan terhadap birokrat pemerintahan bisa dilakukan oleh pihak internal sendiri maupun dari pihak eksternal. Pihak eksternal bisa lewat kerjasama dengan pihak lain atau pihak lain yang memang punya kepentingan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja birokrasi pemerintahan.

Menurut P. De Haan, ada lima motif pengawasan, yaitu motif untuk menjaga kebijaksanaan, motof koordinasi, menjaga kualitas, motif keuangan dan untuk memberikan perlindungan hukum serta perlindungan warga negara[8].

Pengawasan menjadi elemen penting dalam jalannya roda birokrasi pemerintahan agar bisa terawasi dengan baik apalagi dengan kondisi zaman yang transparan pada era reformasi ini, segala tindakan, sikap, perilaku birokrasi pemerintahan akan cepat disorot oleh media, baik media massa cetak maupun elektronik bahkan media sosial seperti tweeter, facebook dan lain-lain.

Semuanya ini dengan harapan SDM birokrasi di pemerintahan semakin tinggi etos kerjanya serta masyarakat puas dengan pelayanan publik yang diberikan oleh birokrat pemerintahan ini dalam berbagai bidang.

Kesimpulan

            Dari pembahasan ini, penulis dapat simpulkan sebagai berikut:

  1. Reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah bahkan ada departemen khusus untuk menangani sistem birokrasi di Indonesia ini masih ditemukan banyak celah-celah kelemahan yang masih kelihatan dan menjadi rahasia umum bahwa aparatur sipil negara tidak maksimal dalam mencurahkan kinerjanya dan memaksimalkan waktu yang tersedia untuk peningkatan pelayanan publik.
  2. Pengawasan menjadi elemen penting dalam jalannya roda birokrasi pemerintahan dan demi terwujudnya good governance agar bisa terawasi dengan baik apalagi dengan kondisi zaman yang transparan pada era reformasi ini, segala tindakan, sikap, perilaku birokrasi pemerintahan akan cepat disorot oleh media, baik media massa cetak maupun elektronik bahkan media sosial seperti tweeter, facebook dan lain-lain.

Saran

Pemerintah diharapkan terus melakukan evaluasi kinerja para birokratnya agar pencapaian kinerja berdasarkan tugas serta fungsi birokrasi itu sendiri bisa maksimal dalam peningkatan pelayanan publik serta ada peran aktif masyarakat dalam bidang pengawasan.

[1] finance.detik.com/read/2013/05/16/105049/2247520/4/wamenpan-ungkap-7-kebobrokan-birokrasi-di-indonesia, diakses pada tanggal 17 Nopember 2014.
[2] swamandiri.wordpress.com/2010/12/27/permasalahan-birokrasi-indonesia/, diakses pada tanggal 17 Nopember 2014.
[3] Samsul Bahri, 2014, ‘Good Court Governance’, Varia Peradilan: Majalah Hukum Tahun XXIX No. 341 April 2014, hlm 121.
[4] Ahmad Satiri, 2014, ‘Internalisasi Nilai-Nilai Organisasi Peradilan Menuju Terwujudnya Peradilan Yang Agung’, Varia Peradilan: Majalah Hukum Tahun XXIX No. 338 Januari 2014, hlm 104.
[5] Amran Suadi, 2011, Manajemen Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, Cetakan ke-1, Rejeki Agung, Jakarta, hlm 38.
[6] Ibid. hlm. 39-40.
[7] Ibid. hlm. 42.
[8] Ridwan, 2009, Hukum Administrasi di Daerah, Cetakan ke-1, UII Press, Yokyakarta, hlm. 126.