Sebutkan Parameter fisik yang digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran suatu daerah

Indonesia di tengah perkembangan industri 4.0 tentu saja tidak terlepas dari peran lingkungan sebagai penunjang kebutuhan sumber daya alam. Namun ditengah kemajuan ini, nyatanya lingkungan Indonesia berada di kondisi yang memprihatinkan karena beragamnya pencemaran lingkungan. Lalu, apa saja indikator atau parameter pencemaran lingkungan?

Indikator atau Parameter Pencemaran Lingkungan Berdasarkan Bentuk

Dalam mengukur tingkat pencemaran lingkungan diperlukan adanya beberapa indikator atau parameter pencemaran lingkungan. Parameter-parameter tersebut secara umum terbagi menjadi tiga, yaitu:

Parameter Fisik

Parameter pencemaran lingkungan yang dapat diidentifikasi dari keadaan fisik, dimana dapat dilihat secara kasat mata atau visual seperti warna, bau, rasa, kekeruhan, suhu, dan sebagainya.

Parameter Kimia

Parameter pencemaran lingkungan ini menyatakan kuantitas suatu senyawa kimia yang terkandung seperti logam berat, derajat keasaman (pH), bahan organik seperti BOD, COD, dan TOC, kesadahan, dan sebagainya.

Parameter Biologi

Paramater ini terdiri dari beragam mikroorganisme seperti virus, bentos, bakteri e.coli, dan sebagainya.

Indikator atau Parameter Pencemaran Air, Tanah, dan Udara

Untuk lebih dalamnya terkait parameter dan contoh-contoh parameter pencemaran lingkungan berdasarkan komponen lingkungannya (air, tanah, udara) dapat dilihat dibawah ini:

Parameter Pencemaran Lingkungan Air

Dalam mengidentifikasikan tingkat pencemaran air diperlukan acuan untuk mengklasifikasikan apakah suatu perairan termasuk dalam kelas 1,2,3, atau 4. Dimana kriteria mutu air berdasarkan kelas terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 terdiri dari 5 (lima) parameter.

  • Fisika, terdiri dari Temperatur (oC), Residu terlarut (mg/L), dan Residu tersuspensi (mg/L)
  • Kimia Anorganik, teridiri dari pH, BOD, COD, DO, P Total Fosfat sebagai P, NO3 sebagai N, NH3-N, Arsen, kobalt, Barium, Boron, Selenium, Kadmium, Khrom (VI), Tembaga, Besi, Timbal, Mangan, Air Raksa, Seng, Klorida, Sulfat, Fluorida, Nitrit sebagai N, Belerang sebagai H2S.
  • Mikrobiologi, terdiri dari Fecal Coliform dan Total Coliform
  • Radioaktivitas, terdiri dari Gross- A dan Gross- B
  • Kimia Organik, terdiri dari minyak dan lemak, detergen sebagai MBAS, Senyawa Fenol, BHC, DDT, Aldrin/Dieldrin, Heptachlor dan Heptachlor epoxide, Lindane, Methoxychlor, Endrin, dan Toxaphene.

Parameter Pencemaran Lingkungan Tanah

Berdasarkan Petunjuk Teknis Edisi 2 yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Tanah Tahun 2009 untuk parameter kimia tanah terdiri dari kadar air kering mutlak, pH tanah, Kemasaman dapat ditukar, tekstur 3 fraksi, Kandungan P dan K, karbon organik, nitrogen, susunan kation, dan kapasitas tukar kation.

Sedangkan untuk parameter biologi berdasarkan Buku Metode Analisis Biologi Tanah Tahun 2007 yang diterbitkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian yaitu kandungan mikroba tanah dan parameter fisik berdasarkan buku yang berjudul Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya Tahun 2006 yang diterbitkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian terdiri dari berat volume tanah, berat jenis partikel tanah, tekstur tanah, potensi air tanah, kadar air tanah, kadar air optimum untuk pengolahan tanah, retensi air tanah, konduktivitas hidrolik dalam keadaan jenuh, konduktivitas hidrolik tanah tidak jenuh, dan suhu.

Parameter Pencemaran Lingkungan Udara

Sebutkan Parameter fisik yang digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran suatu daerah

Polusi udara memiliki beberapa parameter untuk mengukur tingkat pencemarannya

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara terdapat baku mutu yang mengatur ukuran batasan suatu zat atau komponen yang seharusnya berada di udara ambien. Hal ini dilakukan guna mengurangi pencemaran lingkungan. Adapun beberapa parameter pencemaran lingkungan yang dapat mengindikasikan bahwa udara telah tercemar atau tidak sesuai peraturan diatas.

  • Sulfur Dioksida (SO2), Batasan dalam kurun waktu 1 jam, 24 jam, dan 1 tahun yaitu 900 ug/Nm3, 365 ug/Nm3, dan 60 ug/Nm3
  • Karbon Monoksida (CO), Batasan dalam kurun waktu 1 jam dan 24 jam sebesar 30000 ug/Nm3
    dan 10000 ug/Nm3
  • Nitrogen Dioksida (NO2), Batasan dalam kurun waktu 1 jam, 24 jam, dan 1 tahun yaitu 400 ug/Nm3, 150 ug/Nm3, dan 100 ug/Nm3
  • Oksidan (O3), Batasan dalam kurun waktu 1 jam dan 1 tahun sebesar 235 ug/Nm3 dan 50 ug/Nm3
  • Hidro Karbon, Batasan dalam kurun waktu 3 jam sebesar 160 ug/Nm3
  • PM10 (Partikel < 10 um), Batasan dalam kurun waktu 24 jam sebesar 150 ug/Nm3
  • PM2,5 (Partikel < 2,5 um), Batasan dalam kurun waktu 24 jam dan 1 tahun sebesar 65 ug/Nm3 dan 15 ug/Nm3
  • Debu (TSP), Batasan dalam kurun waktu 24 jam dan 1 tahun sebesar 230 ug/Nm3 dan 90 ug/Nm3
  • Timah Hitam (Pb), Batasan dalam kurun waktu 24 jam dan 1 tahun sebesar 2 ug/Nm3 dan 1 ug/Nm3
  • Dustfall (Debu Jatuh) , Batasan dalam kurun waktu 30 hari sebesar 10 Ton/km2/Bulan untuk pemukiman dan 20 Ton/km2/Bulan untuk industri
  • Fluor Indeks, Batasan dalam kurun waktu 30 hari sebesar 40 ug/100 cm2 dari kertas limed filter
  • Klorin dan Klorin Dioksida, Batasan dalam kurun waktu 24 jam sebesar 150 ug/Nm3
  • Sulphate indeks, Batasan dalam kurun waktu 30 hari sebesar 1 mg SO3/100 cm3 dari Lead Peroksida

Oleh: Hasan Sitorus. Perkembangan jum­lah penduduk yang dibarengi de­ngan pertumbuhan industri yang pesat dewasa ini telah me­nyebabkan meningkatkan volume limbah domestik dan limbah indutsri yang mema­suki lingkungan perairan.  Tercemarnya lingkungan perairan dapat dilihat dari indikator fisik, kimia mau­pun biologi yang sangat di­perlukan dalam upaya pe­ngendalian pencemaran per­airan.

Tidak dapat dipungki bah­wa lingkungan perairan ada­lah tem­pat yang paling ba­nyak menerima buangan dari aktivitas manusia maupun industri.  Di negara berkem­bang seperti Indonesia, pen­cemaran lingkungan perairan seperti sungai, danau dan laut dominan disebabkan limbah domestik, sedangkan di ne­ga­ra maju dominan dise­bab­kan limbah industri.

Oleh sebab itu pada ling­kungan perairan di negara berkem­bang, jenis limbah yang memasuki lingkungan perairan dominan mengan­dung limbah organik yang si­fatnya dapat terurai secara biologis di alam (biodegradable matter), namun menim­bulkan dampak negatif terha­dap kualitas air dan sistem kehidupan akuatik serta pe­menuhan kebutuhan air bagi manusia.

Terj­adinya pencemaran air tentunya dapat diamati atau diukur dari perubahan kuali­tas air secara fisik, kimiawi dan biologi.  Oleh sebab itu, indikator fisik, kimia dan biologi dapat digunakan un­tuk memperkirakan atau memberikan gambaran ting­kat pen­cemaran perairan, dan langkah-langkah yang diper­lu­kan dalam pengendalian pencemaran.

• Indikator Fisik

Perairan yang meng­alami pencemaran, beberapa parameter fisik yang dapat di­gunakan secara praktis untuk mengetahui tingkat pence­maran perairan adalah parameter kekeruhan (turbi­dity), bau (odors) dan warna (colours).

Perubahan sifat fisik air menjadi keruh atau sangat keruh dipas­tikan sudah terja­di pencemaran air akibat par­tikel tersuspensi atau terlarut dalam air. Perubahan keke­ruh­an air sangat mudah di­a­mati pada perairan sungai aki­bat aktivitas manusia di se­panjang daerah aliran su­ngai ataupun faktor hidro­me­teorologi.  Kekeruhan air yang tinggi jelas berpenga­ruh negatif terhadap kehi­dup­an biota perairan, dan ter­ganggunya penggunaan air untuk kebutuhan manusia.

Demikian juga timbulnya bau dari air khususnya bau telur busuk (belerang) meru­pakan indikator sudah terja­dinya pengu­raian bahan or­ga­nik dalam air dalam kon­disi anaerobik, karena sudah dihasilkan gas hidrogen sul­fida (H2S). 

Oleh sebab itu, bila kita me­lintas di sekitar lingkung­an perairan dan tercium bau belerang, sudah dapat dipas­ti­kan bahwa perairan ter­sebut telah mengalami pencemaran berat dan sudah ber­kembang mikroba pengurai tanpa ok­si­gen.

Parameter fisik lainnya yak­ni warna air juga dapat digunakan sebagai indikator pencemaran perairan.  Bila air berubah warna­nya menja­di merah, hijau atau kuning, sudah dapat dipastikan bah­­wa perairan sudah meng­alami pencemaran akibat lim­bah in­dustri yang mengan­dung zat warana atau akibat limbah domestik dan limbah pertanian yang mengandung limbah organik yang menye­babkan penyuburan yang berlebihan (Eutrophication), sehi­ngga terjadi ledakan po­pulasi fitoplankton jenis ter­tentu (blooming algae) yang menyebabkan perubahan war­na air.

Bila yang mengalami le­dak­an populasi (blooming) adalah jenis alga hijau (Chlo­rophyceae) maka warna air akan berubah men­jadi hijau, dan bila yang blooming ada­lah alga merah (Rhodophy­ceae) maka warna air menja­di merah seperti darah, dan bi­la yang blooming adalah alga keemasan (Chrysophy­ceae) maka warna air menja­di kuning.

Perubahan warna air aki­bat zat warna tidak berlang­sung laama ha­nya hitungan jam karena zat warna tersebut segera hanyut ke daerah hilir.  Berbeda dengan perubahan warna air akibat blooming al­gae, akan terjadi dalam be­berapa hari hingga populasi fitoplankton mati sesuai siklus hidupnya. 

• Indikator Kimia

Berbeda dengan indikator fisik dan biologi yang dapat diamati secara visual, maka indikator kimia harus  dila­ku­kan pengukuran. Para­me­ter kimia yang praktis digu­nakan untuk menentukan ter­cemar tidaknya atau berat ti­daknya tingkat pencemaran per­airan adalah tingkat ke­asaman air (pH), kadar oksi­gen terlarut (DO), dan beban bahan organik (BOD).

Tingkat keasaman (pH) air yang normal atau air ber­sih adalah sekitar 7, sehingga bila hasil pengukuran pH me­ter dibawah 7 (kondisi asam) atau di atas nilai 7 (kon­disi basa) berarti sudah terjadi pencemaran air akibat bahan-bahan kimia atau ga­ram yang merubah pH air. 

Perlu diperhatikan, air ta­war seperti massa air sungai dan danau lebih sensitif meng­alami perubahan pH di­banding air laut, karena mas­sa air tawar memiliki kapasi­tas penyangga yang ren­dah terhadap asam dan basa.  Bila pH sangat rendah misalnya 3 – 5 atau sangat besar 10 – 12 maka dapat dipastikan per­airan terse­but sudah meng­alami pencemaran berat aki­bat limbah kimia, dan perlu segera dilaporkan ke instansi terkait untuk pengendali­an­nya.

Demikian juga parameter kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) juga sering digunakan untuk me­nentukan apakah per­airan su­dah tercemar berat atau tidak.  Bila kadar DO peraian su­dah lebih kecil dari  3 mg/l, maka dapat dipastikan perairan itu sudah tercemar berat oleh lim­bah organik.  Kadar DO < 3 mg/l merupakan kadar kritis terjadinya kematian massal ikan atau biota dalam perairan.  Kadar DO normal pa­da suhu 25 – 27 oC adalah 5 – 7 mg/l.

Parameter BOD (Biological Oxygen Demand) yang mengin­dikasikan beban ba­han organik dalam perairan juga dapat diguna­kan untuk menentukan level pencemar­an perairan.  Air bersih atau air tawar normal mempunyai BOD sebesar 0 – 7 mg/l, dan bi­la perairan mengalami pen­cemaran sedang maka kadar BOD berkisar 7 – 15 mg/l, dan pencemaran berat bila kadar BOD sudah lebih dari 15 mg/l. Nilai BOD dapat di­peroleh dengan mengguna­kan BOD meter dan hasilnya dapat dibandingkan dengan Baku Mutu Kualitas Air.

• Indikator Biologi

Kehadiran beberapa jenis  hewan makro dan mikro da­lam air dapat digunakan se­bagai bioindikator pencemar­an air.  Dite­mu­kannya Ca­cing Sutera (Tubifex), dan lin­tah di suatu perairan su­dah dapat dipastikan terjadi­nya pencemaran perairan dari limbah organik. 

Hewan makro air jenis Cacing Sutera menunjukkan perairan sudah tercemar berat limbah organik, sedangkan kehadiran Lintah dalam air menunjukkan terjadinya pen­cemaran air dalam level se­dang. Oleh sebab itu, dite­mu­kannya lintah di perairan Danau Toba sudah dapat di­pastikan bahwa Danau Toba sudah meng­alami pencemar­an limbah organik pada ting­kat sedang, yang kemung­kin­an besar berasal dari limbah domestik, limbah kegiatan per­ikanan, peternakan dan in­dustri pariwisata sekitar Danau Toba.

Oleh sebab itu, perlu per­hatian serius dari seluruh pe­mangku kepentingan (stakeholders) pengembangan ka­wasan Danau Toba sebagai destinasi wisata internasional untuk mengendalikan sum­ber limbah organik ke per­airan danau tersebut.

Selain hewan makro, jenis organisme mikro khususnya Coli­form juga dapat diguna­kan sebagai bioindikator pen­cemaran air akibat kotoran manusia dan hewan. Keha­dir­an bakteri Eschericia coli dalam air memastikan bahwa perairan itu sudah dimasuki tinja atau fekal manusia dan hewan.

Kehadiran mikroba ini se­lain dapat menimbulkan ber­bagai penyakit yang berhu­bungan dengan air, juga dapat memicu ber­kembangnya je­nis patogen lain dalam air yang berbahaya bagi manu­­sia. Oleh sebab itu, perlu ke­waspadaan bagi setiap ang­go­ta ma­syarakat bila sudah mengetahui adanya informa­si bioindikator ini dalam penggunaan air baik untuk kebutuhan MCK maupun untuk rekreasi.

(Penulis dosen tetap di Uni­versitas HKBP Nommen­sen Medan dan pemerhati masalah lingkungan).