Saat sebuah konflik telah mencapai puncaknya dan tidak dapat dihindari dalam sebuah cerita disebut

Alur merupakan rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Dalam pengertian, suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik di dalamnya. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana tokoh-tokoh yang digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu semua terikat dalam satu kesatuan waktu (Semi, 1993:43).

Alur atau plot adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Plot adalah urutan peristiwa atau kejadian yang dihubungkan oleh hubungan sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan

peristiwa yang lainnya (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995:119). Forster menambahkan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi merupakan penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Sifat hierarkis ini menunjukkan bahwa antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya tidak sama kepentingannya, keutamaannya, dan fungsionalitasnya. Unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah alur cerita adalah peristiwa, konflik, dan klimaks (Nurgiyantoro, 1995:116). Roland Barthes membagi golongan peristiwa (menurut kepentingannya) menjadi dua, yaitu peristiwa utama (major events) dan peristiwa pelengkap (minor events) (dalam Nurgiyantoro,1995:120). Pengertian ini hampir senada dengan ungkapan Luxemburg yang mengatakan bahwa pengembangan plot dalam peristiwa dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu peristiwa fungsional, peristiwa kaitan, dan peristiwa acuan.

a. Perisiwa fungsional, adalah peristiwa yang menentukan perkembangan plot. Urutan-urutan peristiwa fungsional merupakan inti cerita sebuah karya fiksi bersangkutan.

b. Peristiwa kaitan, adalah peristiwa yang berfungsi mengaitkan

peristiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian plot. Peristiwa kaitan ini berbeda dengan peristiwa fungsional, sehingga tidak mempengaruhi perkembangan plot. Peristiwa kaitan ini hanyalah sebagai perantara di antara peristiwa-peristiwa penting.

c. Peristiwa acuan, adalah peristiwa yang mengacu pada unsur lain, misalnya berhubungan dengan permasalahan perwatakan atau suasana batin seorang tokoh (dalam Nurgiyantoro, 1995: 118-119).

Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek dan Warren, 1989:285). Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang jika tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya (Meredith dan Fitzgerald dalam Nurgiyantoro, 1995:122).

Konflik dalam cerita biasanya dibedakan menjadi tiga jenis:

a. Konflik dalam diri seseorang (tokoh). Konflik jenis ini sering disebut

psychological conflict ‘konflik kejiwaan’, yang biasanya berupa perjuangan seorang tokoh dalam melawan dirinya sendiri, sehingga dapat mengatasi dan menentukan apa yang akan dilakukannya.

b. Konflik antara orang-orang atau seseorang dan masyarakat. Konflik jenis ini sering disebut social conflict ‘konflik sosial’, yang biasanya berupa konflik tokoh, dalam kaitannya dengan permasalahan-permasalahan sosial. Konflik ini timbul dari sikap individu terhadap lingkungan sosial mengenai berbagai masalah, misalnya pertentangan ideologi, pemerkosaan hak, dan lain-lainnya. Itulah sebabnya, dikenal dengan konflik ideologis, konflik keluarga, konflik sosial dan sebagainya.

c. Konflik antarmanusia dan alam. Konflik jenis ini sering disebut sebagai physical or element conflict ‘konflik alamiah’, yang biasanya muncul tatkala tokoh tidak dapat menguasai dan atau memanfaatkan serta membudayakan alam sekitar sebagaimana mestinya (Sayuti, 2000:42).

Konflik dalam sebuah karya sastra bila telah mencapai puncak menyebabkan terjadinya klimaks. Klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan cerita, peristiwa dan saat itu memang harus terjadi, tidak boleh tidak. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal (keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan. Secara lebih ekstrem, barangkali, boleh dikatakan bahwa dalam klimaks “nasib” (dalam perngertian yang luas) tokoh utama cerita akan ditentukan (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995:127).

Dalam menganalisis alur, Muchtar Lubis membedakan tahapan alur menjadi lima bagian :

a. Tahap situation (tahap penyituasian) merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

b. Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik) merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

c. Tahap rising action (tahap peningkatan konflik) merupkan tahap di mana konflik yang muncul mulai berkembang. Konflik-konflik yang terjadi, baik

internal, eksternal ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan,

benturan-benturan antar kepentingan, masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.

d. Tahap climax (tahap klimaks). Konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks.

e. Tahap denoument (tahap penyelesaian). Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada juga diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri (dalam Nurgiyantoro, 1995:149).

Dari segi urutan pengisahan, alur terdiri dari dua jenis, yaitu alur dengan urutan kronologis dan alur dengan urutan nonkronologis.

a. Alur kronologis (alamiah) adalah alur yang mempunyai urutan dari awal hingga akhir secara alamiah. Dengan kata lain alur bergerak dari A --- Z secara berurutan.

b. Alur nonkronologis adalah alur yang tidak menurut pada urutan alamiah. Dengan kata lain alur tidak bergerak dari A—Z secara berurutan, namun bisa dari tengah bahkan akhir peristiwa kemudian berjalan ke depan. Dalam alur nonkronologis terdapat beberapa jenis penahapan plot, yaitu :

1) Pola sorot balik (flash back) adalah urutan kejadian cerita dimulai dari tahap tengah atau akhir cerita sebagai awal cerita dikisahkan kemudian berjalan ke depan kemudian kembali ke belakang sebagai akhir cerita. Alur ini dalam struktur skema dapat terlihat sebagai berikut : D1-A-B-C-D2-E.

2) Plot campuran (gabungan) adalah penahapan plot yang sulit ditetapkan penahapan yang pasti, karena peristiwa-peristiwa yang terjadi meloncat

berganti-ganti dan perkembangannya lebih tidak kronologis. Misalnya diagram novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang berupa

E-C-D-A-B-F-G-H-I. Cerita dimulai dari pertengahan peristiwa (E)

kemudian baru dilanjutkan pada bab IV (F). Bab II (C) sampai dengan bab V (B) disebut sorot balik, tentang masa kecil tokoh-tokohnya (Mido,1994).

Dengan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa yang ada dalam cerita yang berurutan dan membangun tulang punggung cerita baik secara lurus, balik, ataupun keduannya. Dalam pengembangan sebuah alur, unsur yang amat esensial adalah peristiwa, konflik, dan klimaks.

2. Penokohan

Dalam suatu karya sastra, masalah penokohan merupakan satu hal yang kehadirannya amat penting dan bahkan menentukan, karena tidak akan mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan. Suatu karya fiksi tidak akan mungkin ada tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita (Semi, 1993:36)

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgiyantoro, 1995:165). Penokohan berarti cara pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak tokoh-tokoh, dan bagaimana pengarang menggambarkan watak tokoh-tokoh itu (Nurgiyantoro, 1995:165).

Tokoh memiliki sifat dan karakteristik yang dapat dirumuskan ke dalam tiga dimensi. Tiga dimensi yang dimaksud adalah :

a Dimensi fisik (fisiologis), ialah ciri-ciri badan. Misalnya :

1) Usia (tingkat kedewasaan)

2) Jenis kelamin

3) Keadaan tubuh

4) Ciri-ciri muka

5) Ciri khas yang spesifik

b. Dimensi sosial (sosiologis), ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat. Misalnya : 1) Status sosial

2) Pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat

3) Tingkat pendidikan

4) Pandangan hidup, kepercayaan, agama, ideologi

5) Aktivitas sosial, organisasi, dan kesenangan 6) Suku, bangsa, dan keturunan

c. Dimensi psikologis (psikis), ialah latar belakang kejiwaan, sifat, dan karakternya. Misalnya :

1) Mentalitas, ukuran moral, dan kecerdasan

2) Temperamen, keinginan, dan perasaan pribadi

3) Kecakapan dan keahlian khusus (Waluyo, 1994:171).

Ketiga dimensi tokoh tersebut dalam suatu karya fiksi tampil bersama-sama, artinya tokoh yang muncul selain digambarkan secara fisik juga secara psikis dan sosiologis.

Berdasarkan fungsinya tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh yang memegang peranan pimpinan disebut

tokoh utama atau sentral. Adapun yang disebut tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Berdasarkan pembangun konflik cerita, terdapat tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis mewakili yang baik dan terpuji oleh karena itu biasanya menarik simpati pembaca, sedang tokoh antagonis mewakili pihak yang jahat atau yang salah. Di samping itu terdapat juga tokoh wirawan dan anti wirawan yang biasanya menggeser kedudukan tokoh protagonis dan antagonis (Sudjiman, 1988:19).

Dilihat dari perwatakannya, tokoh dibagi menjadi dua jenis, yaitu tokoh sederhana (simple/flat character) dan tokoh kompleks (complex/round characters). a. Tokoh sederhana atau tokoh datar (simple/flat character) adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisinya saja. Yang termasuk dalam kategori tokoh sederhana atau datar adalah semua tipe tokoh yang sudah biasa, yang sudah familiar, atau yang stereotip dalam fiksi.

b. Tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex/round character) ialah tokoh yang dapat dilihat semua sisi kehidupannya. Dibandingkan dengan tokoh datar, tokoh bulat memiliki sifat lifelike karena tokoh itu tidak hanya menunjukkan gabungan sikap dan obsesi yang tunggal (Sayuti, 2000:78).

Atar Semi berpendapat bahwa ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dalam fiksi :

1. Secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya.

2. Secara dramatik, yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan secara langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui :

a. Pilihan nama tokoh

b. Penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya.

c. Dialog, yaitu dialog tokoh yang bersangkutan dalan interaksinya dengan tokoh-tokoh lain (Semi, 1993:40).

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kehadiran tokoh dalam suatu fiksi sangatlah penting karena dengan keberadaan tokoh-tokohnyalah yang akhirnya dapat membentuk alur cerita.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA