Perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika tidak berkemih disebut

Perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika tidak berkemih disebut

ADAPTASI DIRI PADA LANSIA DI PANTI WERDHA MOJOPAHIT MOJOKERTO

Perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika tidak berkemih disebut

Gambaran Tingkat Kesepian pada Lansia di Panti Tresna Werdha Pandaan

Perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika tidak berkemih disebut

Gambaran kebahagiaan pada lansia yang memilih tinggal di panti werdha

  1. Terapi Konservatif7

    1. Non-farmakologis
      Perawatan konservatif awal termasuk modifikasi perilaku dan perubahan gaya hidup seperti mengurangi masukan cairan sebesar 25% selama pasien minum lebih dari 1 L / hari, berhenti merokok, mengurangi berat badan, dan menghindari minuman berkafein dan bersoda yang dapat mengiritasi kandung kemih. Pasien juga dilatih kandung kemih (bladder training) dan otot dasar panggul melalui senam Kegel. Perawatan ini perlu untuk diusahakan selama minimal 6 minggu untuk mendapatkan manfaat, dan mereka idealnya harus dicoba selama 3 bulan. Selain itu, terdapat juga pilihan terapi melalui stimulasi elektromagnetik. Penggunaan alat medis sebagai penampungan juga termasuk dalam opsi terapi konservatif. Penampung merupakan hal penting untuk orang dengan inkontinensia urin yang mana pengobatan aktif tidak dapat menyembuhkan, atau pengobatan tersebut tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan. Beberapa individu mungkin lebih menyukai penahanan daripada menjalani pengobatan aktif dengan risiko yang ada. Hal ini termasuk penggunaan popok, kateter urine, alat penampung eksternal, dan klem penis.
    2. Farmakologis
      Pilihan obat yang dapat diberikan pada pasien inkontinensia urin yaitu golongan antimuskarinik. Terdapat tujuh antimuskarinik yang beredar di pasaran Inggris Raya yaitu oxybutynin, tolterodine, fesoterodine, solifenacin, darifenacin, propiverine, dan trospium chloride. Apabila pasien tidak dapat mentoleransi antimuskarinik, dapat diberikan mirabegron yang merupakan beta agonist. Pilihan obat lainnya yaitu duloxetine dan pemberian estrogen pada pasien wanita dengan indikasi.

  2. Terapi Bedah/Operatif7

    Pembedahan juga mejadi salah satu pilihan terapi, terutama ketika tatalaksana konservatif tidak membuahkan hasil yang baik. Terapi pembedahan terbagi menjadi dua, yaitu:

    1. Minimal invasif: injeksi intravesika, sfingterektomi, dilatasi dengan balon, injeksi bulking agents (polytetrafluoroethylene, polymethylsiloxane, dectranomer hyaluronic acid copolymer), bladder neck incision, dan stent uretra.
    2. Operasi terbuka: urethral sling, augmentasi sistoplasti/diversi urine.

Sebagai kesimpulan, perlu dilakukan evaluasi agar diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dapat diberikan. Dokter akan menentukan terapi yang terbaik berdasarkan kebutuhan masing-masing pasien.

REFERENSI

  1. Harding C, Lapitan M, Arlandis S, Bo K, Costantini E, Groen J, et al. EAU Guidelines on Management of Non-neurogenic Female Lower Urinary Tract Symptoms. EAU Guidelines. European Association of Urology; 2022.
  2. Chapple C, Milsom I. Urinary incontinence and pelvic prolapse: epidemiology and pathophysiology . In: Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology 10th Edition. 10th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. p. 1872–95.
  3. Shamliyan T, Wyman J, Bliss D, Kane R, Wilt T. Prevention of urinary and fecal incontinence in adults. Rockville; 2007. p. 1–379.
  4. Rahardjo H. Penelitian Inkontinensia Urin PERKINA 2020. 2020.
  5. Abrams P, Cardozo L, Fall M, Griffiths D, Rosier P, Ulmsten U, et al. The standardisation of terminology of lower urinary tract function: report from the Standardisation Sub-committee of the International Continence Society. Neurourol Urodyn [Internet]. 2002 [cited 2022 Apr 12];21(2):167–78. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11857671/
  6. Elstad EA, Taubenberger SP, Botelho EM, Tennstedt SL. Beyond incontinence: The stigma of other urinary symptoms. J Adv Nurs [Internet]. 2010 Nov [cited 2022 Apr 12];66(11):2460. Available from: /pmc/articles/PMC3032268/
  7. Perkumpulan Kontinensia Indonesia (PERKINA). Panduan Tata Laksana Inkontinensia Urine pada Dewasa. 2nd ed. Rahardjo HE, editor. Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia; 2018. 1–109 p.
  8. WFIPP. Survey: Despite high prevalence, urinary incontinence is still very much a taboo [Internet]. Arnhem: WFIPP; 2021 [cited 2022 Apr 12]. Available from: https://wfipp.org/survey-despite-high-prevalence-urinary-incontinence-is-still-very-much-a-taboo/
  9. Irwin DE, Milsom I, Hunskaar S, Reilly K, Kopp Z, Herschorn S, et al. Population-based survey of urinary incontinence, overactive bladder, and other lower urinary tract symptoms in five countries: results of the EPIC study. Eur Urol [Internet]. 2006 Dec [cited 2022 Apr 14];50(6):1306–15. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17049716/
  10. Fayyad AM, Hill SR, Jones G. Urine production and bladder diary measurements in women with type 2 diabetes mellitus and their relation to lower urinary tract symptoms and voiding dysfunction. Neurourol Urodyn [Internet]. 2010 Mar [cited 2022 Apr 14];29(3):354–8. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19760759/
  11. Women’s Health Specialists. Urinary Incontinence [Internet]. WHS. [cited 2022 Apr 12]. Available from: https://whsfl.com/urinary-incontinence/
  12. Resnick NM. Incontinence. Goldman’s Cecil Med Twenty Fourth Ed. 2012;1:110–4.
  13. NIDDK. Symptoms & Causes of Bladder Control Problems (Urinary Incontinence) [Internet]. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2021 [cited 2022 Apr 13]. Available from: https://www.niddk.nih.gov/health-information/urologic-diseases/bladder-control-problems/symptoms-causes
  14. Ching MC. Causes and Types of Urinary Incontinence. In: Ching MC, editor. Clinical Handbook on the Management Incontinence. 2nd ed. Singapore: Society for Continence; 2001. p. 13–6.
  15. Brandon RL. Physical Medicine & Rehabilitation fourth edition. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2011.
  16. Thüroff JW, Abrams P, Andersson KE, Artibani W, Chapple CR, Drake MJ, et al. EAU guidelines on urinary incontinence. Eur Urol [Internet]. 2011 Mar [cited 2022 Apr 13];59(3):387–400. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21130559/
  17. Shamliyan TA, Wyman JF, Ping R, Wilt TJ, Kane RL. Male Urinary Incontinence: Prevalence, Risk Factors, and Preventive Interventions. Rev Urol [Internet]. 2009 [cited 2022 Apr 13];11(3):145. Available from: /pmc/articles/PMC2777062/
  18. Brown JS, McNaughton KS, Wyman JF, Burgio KL, Harkaway R, Bergner D, et al. Measurement characteristics of a voiding diary for use by men and women with overactive bladder. Urology [Internet]. 2003 Apr 1 [cited 2022 Apr 13];61(4):802–9. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12670569/
  19. Hess R, Huang AJ, Richter HE, Ghetti CC, Sung VW, Barrett-Connor E, et al. Long-term efficacy and safety of questionnaire-based initiation of urgency urinary incontinence treatment. Am J Obstet Gynecol [Internet]. 2013 [cited 2022 Apr 13];209(3):244.e1-244.e9. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23659987/
  20. Wu CJ, Ting WH, Lin HH, Hsiao SM. Clinical and Urodynamic Predictors of the Q-Tip Test in Women With Lower Urinary Tract Symptoms. Int Neurourol J [Internet]. 2020 [cited 2022 Apr 13];24(1):52–8. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32252186/
  21. Tseng LH, Liang CC, Chang YL, Lee SJ, Lloyd LK, Chen CK. Postvoid residual urine in women with stress incontinence. Neurourol Urodyn [Internet]. 2008 [cited 2022 Apr 13];27(1):48–51. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17563112/
  22. Afraa T Al, Mahfouz W, Campeau L, Corcos J. Normal lower urinary tract assessment in women: I. Uroflowmetry and post-void residual, pad tests, and bladder diaries. Int Urogynecol J [Internet]. 2012 [cited 2022 Apr 13];23(6):681–5. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21935667/

Inkontinensia urine merupakan kondisi hilangnya kontrol kandung kemih. Kondisi ini umum terjadi dan sering kali membuat pengidapnya merasa malu. Tingkat keparahannya berkisar dari sering buang air kecil saat batuk atau bersin, hingga keinginan untuk buang air kecil yang begitu tiba-tiba dan kuat. Alhasil, pengidpanya tidak bisa ke toilet tepat waktu. 

Meskipun sering terjadi seiring bertambahnya usia, inkontinensia urine bukanlah konsekuensi penuaan yang tidak terhindarkan. Jika inkontinensia urine mempengaruhi aktivitas sehari-hari, maka jangan ragu untuk mengunjungi dokter. Biasanya, penyesuaian gaya hidup dan perubahan pola makan atau bahkan perawatan medis tertentu dapat mengobati gejala inkontinensia urine. 

Penyebab Inkontinensia Urine

Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh kondisi yang terkait saluran kemih bagian bawah maupun kondisi yang tidak terkait saluran kemih bagian bawah. Jika terkait saluran kemih bagian bawah, kondisi ini lebih diakibatkan karena aktivitas otot dinding kandung kemih yang berlebihan. Hal tersebut bisa dipengaruhi oleh penyakit saraf, sumbatan di saluran kemih, batu di kandung kemih atau pun kanker kandung kemih.

Namun, inkontinensia urine juga dapat terjadi meski saluran kemih normal. Kondisi tersebut biasanya terjadi pada lanjut usia dan terkait dengan kondisi mobilitas juga kognitif.  

Penyebab inkontinensia sementara atau jangka pendek dapat mencakup:

Infeksi di dalam saluran kemih (uretra, ureter, kandung kemih dan ginjal) dapat menyebabkan rasa sakit dan meningkatkan kebutuhan untuk buang air kecil 

Selama kehamilan, rahim memberi tekanan ekstra pada kandung kemih saat mengembang. Sebagian besar wanita yang mengalami inkontinensia selama kehamilan menyadari bahwa inkontinensia akan hilang dalam beberapa minggu setelah melahirkan.

Inkontinensia dapat menjadi efek samping dari obat-obatan tertentu, termasuk diuretik dan antidepresan. 

Mengonsumsi minuman tertentu, seperti kopi dan alkohol, dapat membuat seseorang perlu buang air kecil lebih sering. Jika kamu berhenti mengonsumsi minuman ini, kebutuhan untuk sering buang air kecil pun akan menurun.

Sembelit kronis (tinja yang keras dan kering) dapat menyebabkan seseorang memiliki masalah kontrol kandung kemih. 

Sementara itu, penyebab inkontinensia kronis atau jangka panjang dapat meliputi:

  • Gangguan Dasar Panggul. Ketika seseorang memiliki masalah dengan otot-otot dasar panggul, maka dapat memengaruhi fungsi organ, termasuk kandung kemih.
  • Stroke. Kondisi ini dapat menyebabkan seseorang mengalami masalah dengan kontrol otot. Hal ini mencakup otot-otot yang mengontrol sistem kemih.
  • Diabetes. Ketika mengidap diabetes, tubuh memproduksi lebih banyak urine. Peningkatan jumlah urine dapat menyebabkan masalah kebocoran. Selain itu, neuropati perifer dapat mempengaruhi fungsi kandung kemih. 
  • Menopause. Ketika tubuh wanita mengalami perubahan kadar hormon dengan cepat, otot-otot dasar panggul juga bisa menjadi lebih lemah. Hal ini bisa terjadi seiring bertambahnya usia.
  • Multiple Sclerosis. Jika seseorang mengidap kondisi ini, mungkin akan mengalami kehilangan kontrol dengan kandung kemih, yang menyebabkan masalah kebocoran. 
  • Pembesaran Prostat. Ketika prostat lebih besar dari biasanya, dapat menyebabkan beberapa masalah kontrol kandung kemih. Kondisi ini juga disebut sebagai benign prostatic hyperplasia.
  • Pasca Pengobatan Kanker Prostat. Selama operasi kanker prostat, otot sfingter terkadang dapat rusak yang menyebabkan inkontinensia stres. 

Jenis-Jenis Inkontinensia Urine

Jenis inkontinensia urin biasanya berkaitan dengan penyebabnya. Termasuk:

  • Inkontinensia Stres. Urine bocor saat batuk, tertawa, atau melakukan aktivitas tertentu.
  • Inkontinensia Urge. Ada dorongan tiba-tiba dan kuat untuk buang air kecil dan urine bocor pada saat yang sama atau setelahnya. 
  • Inkontinensia Overflow. Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih sepenuhnya dapat menyebabkan kebocoran.
  • Inkontinensia Total. Kandung kemih tidak dapat menyimpan urine.
  • Inkontinensia Fungsional. Urine keluar karena seseorang tidak dapat ke toilet tepat waktu (masalah mobilitas).
  • Inkontinensia Campuran. Kombinasi berbagai jenis inkontinensia urine.

Faktor Risiko Inkontinensia Urine

Seiring bertambahnya usia, risiko seseorang mengalami inkontinensia urine semakin meningkat. Selain itu, ada juga faktor lain yang bisa memicu terjadinya kondisi tersebut, yaitu:

  • Jenis Kelamin. Wanita lebih sering mengalami inkontinensia stres. Sedangkan pria yang memiliki masalah kelenjar prostat berada pada peningkatan risiko jenis inkontenesia urge dan overflow incontinence.
  • Usia. Seiring bertambahnya usia, otot-otot kandung kemih dan uretra kehilangan sebagian kekuatannya. 
  • Kelebihan Berat Badan. Berat badan berlebih meningkatkan tekanan pada kandung kemih dan otot-otot di sekitarnya, yang melemahkannya. Sehingga memungkinkan urine bocor saat seseorang batuk atau bersin.
  • Merokok. Penggunaan tembakau dapat meningkatkan risiko inkontinensia urine.
  • Riwayat Keluarga. Jika terdapat anggota keluarga dekat mengalami inkontinensia urine, maka risiko kamu mengalami kondisi tersebut lebih tinggi.
  • Mengidap Penyakit Tertentu. Misalnya penyakit saraf atau diabetes dapat meningkatkan risiko inkontinensia urine. 

Gejala Inkontinensia Urine

Berdasarkan jenisnya, berikut adalah beberapa gejala inkontinensia urine uang bisa terjadi: 

  • Inkontinensia Stres. Urine bocor keluar di saat terjadi tekanan di kandung kemih, misalnya saat batuk, bersin, atau tertawa.
  • Inkontinensia Urge. Pengidap memiliki keinginan yang kuat untuk tiba-tiba buang air kecil diikuti dengan keluarnya urine yang tidak sengaja (mengompol). Pengidap bisa buang air kecil hingga lebih dari 8 kali dalam sehari, termasuk di malam hari.
  • Inkontinensia Overflow. Pengidap sering mengompol dalam jumlah urine yang sedikit-sedikit karena kandung kemih tidak sepenuhnya kosong.

Diagnosis Inkontinensia Urine

Dokter akan melakukan pemeriksaan terkait kondisi inkontinensia urine, tipe, waktu saat terjadi, obat yang sedang dikonsumsi, gejala lainnya untuk menilai kemungkinan penyebab inkontinensia urine.

Pada pemeriksaan fisik, dokter mengidentifikasi adanya gangguan lain yang menyertai, pemeriksaan kandung kemih dan panggul, kondisi saraf, juga pemeriksaan colok dubur jika perlu (misalnya untuk deteksi pembesaran  prostat pada laki-laki lanjut usia).

Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa disarankan di antaranya pemeriksaan urine, sistogram, USG, pemeriksaan urodinamik, dan sistoskopi.

Pengobatan Inkontinensia Urine

Menentukan penyebab, jenis, dan tingkat keparahan inkontinensia urine sangat penting, agar dokter bisa memberikan pengobatan yang tepat. Pengobatan inkontinensia urine meliputi:

  • Terapi Perilaku. Untuk mengurangi inkontinensia urine dengan edukasi, pemantauan kebiasaan berkemih, penyesuaian asupan cairan dan kafein,  penurunan berat badan untuk wanita yang kelebihan berat badan, penggunaan alat bantu (misalnya, tempat berkemih di samping tempat tidur), dan berbagai jenis pelatihan kandung kemih dan saluran uretra (misalnya, meningkatkan jarak waktu berkemih dan latihan otot panggul).
  • Terapi Obat. Dilakukan untuk merelaksasikan kandung kemih. Obat yang digunakan merupakan obat golongan antikolinergik yang dapat memiliki efek samping diantaranya mulut kering, sulit BAB, penglihatan buram dan rasa seperti kebingungan.
  • Keteter. Pada beberapa kasus dapat dilakukan tindakan berupa pemasangan kateter.
  • Pembedahan. Ini dapat dilakukan terutama pada kasus inkontinensia urine karena sumbatan di saluran kemih atau pemasangan sfingter buatan (otot berbentuk cincin untuk mencegah aliran urine dari kandung kemih ke uretra). 

Komplikasi Inkontinensia Urine

Beberapa komplikasi yang bisa terjadi akibat inkontinensia urine kronis, antara lain:

  • Masalah Kulit. seperti ruam, infeksi kulit dan luka.
  • Infeksi Saluran Kemih. Inkontinensia bisa meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih berulang.
  • Mengganggu Kehidupan Sosial. Inkontinensia urine merupakan masalah yang memalukan, sehingga bisa memengaruhi hubungan sosial, pekerjaan, dan hubungan pribadi pengidapnya. 
  • Prolaps. Bagian dari vagina, kandung kemih, dan terkadang uretra dapat jatuh ke pintu masuk vagina. Hal ini biasanya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul.

Pencegahan Inkontinensia Urine

Inkontinensia urine di antaranya dapat dicegah dengan:

  • Menjaga berat badan tetap ideal.
  • Latihan otot panggul ( senam kegel).
  • Membatasi mengonsumsi minuman yang bersifat diuretic, seperti teh dan kopi.

Kapan Harus ke Dokter?

Jika gejala inkontinensia urine sudah mengganggu kehidupan sosial atau menyebabkan ketidaknyamanan (rasa sakit, demam, iritasi kulit karena air kencing), segera periksa ke dokter untuk dapat ditangani dengan tepat. Kamu juga bisa membuat jadwal kunjungan dokter di rumah sakit melalui aplikasi Halodoc. Yuk, download aplikasi Halodoc sekarang juga!

Referensi:
Mayo Clinic. Diakses pada 2022. Urinary incontinence – Symptoms and causes.
Medical News Today. Diakses pada 2022. Urinary incontinence: Treatment, causes, types, and symptoms.
Cleveland Clinic. Diakses pada 2022. Urinary Incontinence.
Diperbarui pada 11 Mei 2022.