Menurut ir. soekarno, negara merdeka perlu suatu weltanschauung, makna dari weltanschauung adalah

Di dalam Pidato Bung karno, 75 tahun lalu, beliau membicarakan mengenai “’Dasar (Beginsel) Negara Kita’, sebagai penjelmaan daripada angan-angannya, seperti yang dikutip oleh mantan Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 di dalam sidang BPUPKI tersebut bermaksud untuk menjawab pertanyaan bangsa pada saat itu yang masih dibawah kekuasaan Jepang, “Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?”

Dalam kesempatan ini Bung Karno menyampaikan 5 prinsip dasar negara yakni: 1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan; 3. Mufakat atau demokrasi; 4. Kesejahteraan sosial; dan prinsip yang ke-5 yang Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Salah satu prinsip yang kemudian ditekankan Bung Karno adalah prinsip kemanusiaanyang adil dan beradab. Prinsip Perikemanusiaan (Menselijkheid) menurut Bung Karno adalah jiwa yang merasakan bahwa antara manusia dan manusia lainnya ada hubungannya; jiwa yang hendak mengangkat/membedakan jiwa manusia itu lebih tinggi daripada jiwa binatang. Perikemanusiaan adalah hasil perkembangan rohani, budaya, dan masyarakat dari tingkat rendah ke tingkat tinggi.

Untuk mengukur sejauh mana prinsip itu ditanamkan, maka Indonesia bisa merujuk kebijakan pidananya, sebab, dalam konteks kebijakan pidana, salah satu tujuan utama dan paling mendasarnya adalah keadilan.

Kebijakan pidana yang kita punya di Indonesia rasanya belum menggambarkan jiwa bangsa dan semangat perikemanusiaan yang diinginkan pendiri bangsa. Pemerintah sebagai tulang bangsa dalam 75 tahun ini masih belum bisa sepenuhnya menghadirkan hukum pidana yang berdasarkan dan mencerminkan prinsip-prinsip negara untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Salah satu pidana yang jelas bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab itu adalah hukuman mati.

Selama hukuman mati masih menjadi satu bentuk sanksi dalam hukum pidana kita, maka Indonesia masih jauh dari cita-cita luhur pendiri bangsa yang terkandung dalam Pancasila. Hukuman mati hadir dalam sistem hukum di Indonesia karena alasan rasial dan stigma penjajahan terhadap bangsa Indonesia, saat itu bangsa Indonesia dianggap tidak dapat diatur dan merupakan bangsa yang tidak bisa dipercaya sehingga perlu tetap diberlakukan hukuman mati. Saat ini, Indonesia negara yang merdeka, segala kebijakan berbasis stigma seperti hukuman mati, harusnya dihapuskan.

Hukuman mati yang diturunkan oleh penjajah jelasa juga tidak menggambarkan kemajuan secara nasional ataupun internasional. Indonesia sekarang duduk sebagai salah satu dari hanya sedikit negara di dunia yang masih mempraktikkan hukuman mati di dalam kebijakan pidanananya, sedangkan 142 negara sudah menghapus total hukuman mati.

Data olahan tim ICJR dari data Ditjen Pemasyarakatan (2019) dan Database ICJR mengenai hukuman Mati di Indonesia (2020) menunjukkan ada sekitar 274 terpidana mati dalam Lapas, dengan 60 orang yang sudah duduk di dalam deret tunggu eksekusi mati selama lebih dari 10 tahun, tanpa kejelasan hidup dalam ketakutan, jauh dari kemanusiaan yang adil dan beradab.

ICJR mengajak Pemerintah dan jajarannya untuk maju dan berkembang secara rohani, budaya, dan masyarakat, sesuai Sila ke-2 Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” dengan memastikan; pertama, Pemerintah termasuk DPR melahirkan kebijakan pidana yang berdasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab, salah satunya dapat dimulai dengan Rancangan Kitab Perundang-undangan Hukum Pidana (RKUHP), penghapusan hukuman mati harus kembali diwacanakan. Kedua, mempertahankan moratorium pidana mati bukan hanya dalam hal eksekusi tetapi juga dalam penjatuhan pidana dalam tahap yudisial/peradilan pidana. Ketiga, memberikan komutasi/pengubahan hukuman bagi mereka yang sudah  dalam deret tunggu eksekusi mati lebih dari 10 tahun demi alasan kemanusiaan.

Jacomijn C. van der Kooij,  Doret de Ruyter, Siebren Miedema (2013), “ Worldview”: the Meaning of the Concept and the Impact on Religious Education; https://www.researchgate.net/publication/263198006_Worldview_the_Meaning_of_the_Concept_and_the_Impact_on_Religious_Education

Pancasila telah disepakati oleh bangsa Indonesia sebagai dasar falsafi kenegaraan bagi Republik Indonesia. Hal ini mengacu kepada kata-kata Sukarno dalam Pidato 1 Juni 1945 yang menyatakan bahwa Pancasila adalah sebuah philosophiesche grondslag. Belakangan, kelima poin pemikiran filosofis itu disebut sebagai dasar negara di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) yang disepakati pada 18 Agustus 1945.

 

Apakah sebetulnya makna dari ungkapan bahwa Pancasila adalah sebuah philosophiesche grondslag? Apa yang dimaksud dengan falsafah kenegaraan Pancasila? Apakah dengan demikian Pancasila  layak disebut sebagai suatu filsafat politik? Secara lebih umum, dapatkah kita berbicara tentang filsafat Pancasila?

 

Tulisan ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi ulasan tentang filsafat Pancasila, atau jawaban atas pertanyaan dalam pengertian seperti apa Pancasila itu layak disebut wacana filsafat. Bagian kedua berfokus pada pembahasan Pancasila sebagai filsafat politik, meskipun bahan dasarnya berasal dari dunia-kehidupan dan pandangan-dunia non-politis. Bagian ketiga mengulas pengertian Pancasila sebagai philosophische grondslag atau dasar falsafi kenegaraan.

 

Pancasila sebagai Wacana Filosofis

 

Apakah Pancasila adalah suatu filsafat? Jika kita hendak menempatkan Pancasila dalam kerangka filsafat, kita perlu menjadikan Pancasila sebagai sebuah diskursus yang bersifat rasional. Artinya, kita tidak menempatkan Pancasila sebagai dogma yang diterima begitu saja, melainkan mengulasnya melalui proses refleksi. Di sini, Pancasila bukan kepercayaan yang tak boleh dibantah atau dipertanyakan, tapi justru merupakan wacana yang bersifat terbuka, dialogis dan kritis.

 

Selain itu, perspektif filosofis dalam membaca Pancasila juga menuntut kita untuk berfokus pada aspek-aspek yang paling mendasar dari Pancasila, bukan aspek-aspeknya yang bersifat artifisial. Misalnya, jika dikatakan bahwa Pancasila adalah philosophische grondslag, maka kita akan mengarahkan telaah hanya pada wilayah moralitas politik, bukan moralitas individual warga negara, bukan pula pada soal sopan-santun perilaku manusia. Di sini, kita tidak akan berbicara tentang cara duduk atau makan yang Pancasilais, melainkan tentang bagaimana kekuasaan negara sejatinya dikelola.

 

Dengan pengertian filsafat sebagai diskursus yang bersifat rasional dan mendasar tersebut, lima rumusan dasar negara yang disampaikan oleh Sukarno pada 1 Juni 1945 memang cukup layak untuk disebut sebagai wacana filosofis. Sebab, lima rumusan pemikiran Sukarno itu dikemukakan dengan didukung oleh argumentasi yang bersifat rasional. Karenanya, kelima rumusan Sukarno itu cukup terbuka untuk didiskusikan dan ditanggapi secara kritis. Selain itu, rumusan pemikiran yang dikemukakan Sukarno tersebut juga menyangkut suatu masalah yang sangat mendasar, yaitu: dasar negara.

 

Jika Pancasila itu adalah diskursus rasional tentang landasan kehidupan bernegara, persoalannya kemudian adalah dari mana datangnya masing-masing sila dari Pancasila tersebut? Apakah kelima sila itu diturunkan dari premis-premis lain yang lebih tinggi melalui penalaran yang bersifat deduktif? Atau, kelima sila itu merupakan hasil abstraksi dari pengalaman atau sejarah kongkret melalui penalaran yang bersifat induktif? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait dengan metode filsafat yang dipakai untuk merumuskan Pancasila.

 

Berdasarkan pengakuan Sukarno, kelima sila dari Pancasila tersebut digali dari lapisan-lapisan kepribadian bangsa. Adapun lapisan-lapisan itu terbentuk dalam waktu di sepanjang perjalanan sejarah para penduduk yang tinggal di kepulauan Nusantara, dari masa yang paling purba hingga masa paling akhir. Bagi Sukarno, kelima sila itu memang telah lama ada dalam berbagai pandangan hidup masyarakat. Karenanya, apa yang perlu dilakukan oleh Sukarno adalah tinggal menggalinya, bukan menciptakannya.

 

Dalam istilah yang bersifat teknis, upaya penggalian yang dilakukan oleh Sukarno adalah sebuah proses untuk membuat eksplisit hal-hal yang sebelumnya bersifat implisit melalui refleksi filosofis. Hal-hal implisit di sini terdiri dari lingkungan hidup, nilai-nilai, kepercayaan, kebiasaan, cara pandang dan lain sebagainya. Kemudian, hal-hal implisit itu dirumuskan, ditematisasi, dan diteoritisasi menjadi rumusan falsafi yang bersifat eksplisit.

 

Karena bahan-bahan dasar yang diabstraksikan bukan kenyataan-kenyataan alamiah seperti elemen-elemen, mineral, tumbuhan, hewan dan manusia sebagai realitas fisik, melainkan bentuk-bentuk laku hidup manusia, maka hasil dari proses abstraksi itu adalah norma-norma kehidupan. Dengan kata lain, refleksi filosofis yang dilakukan oleh Sukarno adalah menyangkut dimensi praxis, bukan theoria. Karenanya, sebagai wacana filosofis, Pancasila termasuk kategori filsafat praktis (etika), bukan filsafat teoritis (ilmu).

 

Filsafat Politik Pancasila

 

Meskipun berasal dari dunia-kehidupan (lebenswelt) dan pandangan-dunia (weltanschauung) yang bersifat implisit dan dibuat eksplisit menjadi norma-norma kehidupan melalui refleksi filosofis, kelima sila dalam Pancasila itu sudah menjadi diskursus rasional tentang dimensi politis dari kehidupan bersama bangsa Indonesia. Karenanya, meski berasal dari pandangan kebudayaan, etnisitas, agama, dan lain-lain, Pancasila telah melampaui pandangan-pandangan privat itu dan menjadi sebuah filsafat politik atau falsafah Kenegaraan. Intinya, Pancasila bukan lagi wacana keagamaan atau kebudayaan, melainkan wacana politis.

 

Dalam konteks ini, ketika Sukarno menyatakan bahwa Pancasila adalah sebuah weltanschauung, apa yang dimaksudkannya itu bukan lagi pandangan-dunia relijius atau etno-kultural, melainkan weltanschauung yang bersifat politis, yang sepadan dengan istilah filsafat politik atau philosophische grondslag. Jika pandang-dunia religius atau etno-kultural biasanya diterimanya secara taken for granted oleh anggota-anggota komunitas yang bersangkutan, weltanschauung politis justru bisa didiskusikan oleh siapa saja yang menjadi bagian dari warga komunitas politis itu. Karenanya, Sukarno tidak merasa keberatan jika Pancasila 1 Juni yang dirumuskannya kemudian diperdebatkan melalui deliberasi publik dalam BPUPK dan PPKI.

 

Misalnya, meskipun mungkin berasal dari pandangan-dunia relijius tertentu, sila Ketuhanan dalam Pancasila adalah bagian dari konstruksi filsafat politik, bukan wacana agama. Dalam wacana keagamaan, Tuhan dipahami sebagai jalan dan sumber keselamatan. Sementara itu, sila Ketuhanan dalam Pancasila tidak ada hubungannya sama sekali dengan jalan keselamatan. Dalam Pancasila, sila Ketuhanan bermakna pengakuan negara terhadap eksistensi berbagai tradisi agama, kepercayaan dan spiritualitas di Indonesia.

 

Karenanya, dalam kerangka Pancasila sebagai filsafat politik, keberadaan sila Ketuhanan tidak lantas membuat Indonesia serta-merta menjadi sebuah negara agama atau negara teokratis. Dalam negara agama (teokrasi), negara menjadi pelayan bagi ajaran atau komunitas agama tertentu. Atau, sebaliknya, otoritas agama menjadi pemberi legitimasi bagi kekuasaan negara. Sementara itu, sila Ketuhanan dalam Pancasila hanya menunjukkan bahwa negara tidak memusuhi agama, kepercayaan atau tradisi spiritualitas. Sebaliknya, dimensi publik agama diterjemahkan ke dalam keutamaan-keutamaan publik melalui negara.

 

Contoh lain adalah tentang musyawarah atau mufakat. Praktik musyawarah bisa jadi sudah menjadi tradisi hidup dalam bentuk urun-rembuk di dalam berbagai komunitas desa, adat dan suku yang ada dalam masyarakat Nusantara. Atau, musyawarah juga bisa saja merupakan ajaran yang terkandung dalam tradisi keagamaan tertentu yang ada di negeri ini. Namun demikian, sila musyawarah atau mufakat dalam Pancasila tidak sama persis dengan praktik dan ajaran tentang musyawarah dalam dunia-kehidupan atau pandangan-dunia komunitas religius atau etno-kultural yang bersangkutan. Sebab, musyawarah atau mufakat dalam Pancasila adalah hasil abstraksi dari semua itu dan telah menjadi filsafat politik atau falsafah kenegaraan.

 

Dalam kerangka filsafat politik, sila musyawarah atau mufakat bertitik-tolak dari nilai kesetaraan antar-individu sebagai warga negara. Prinsip kesetaraan antar-individu inilah yang besar kemungkinan tidak ada dalam praktek urun-rembuk pada masyarakat tradisional atau praktek konsultasi dalam tradisi agama tertentu. Sebab, urun-rembuk atau konsultasi dalam komunitas etno-kultural atau relijius biasanya tetap mengandaikan adanya hirarki sosial yang menjadi dasar pembentuk komunitas tersebut. Karenanya, kesetaraan dalam musyawarah menjadi pembeda dalam filsafat politik Pancasila.

 

Pada intinya, sebagai filsafat politik, Pancasila memiliki karakter publik. Karakter publik ini tidak ada pada berbagai ajaran, kebiasaan, kepercayaan, tradisi, nilai-nilai atau cara pandang yang termasuk kategori dunia-kehidupan atau pandangan-dunia dalam komunitas religius atau komunitas etno-kultural tertentu. Karakter publik yang melekat pada Pancasila ini juga yang membuat sila-sila dalam Pancasila bisa disebut sebagai keutamaan-keutamaan publik (public virtues).

 

Pancasila Sebagai Philosophiesche Grondslag

 

Sebagai catatan penutup, saya ingin kembali kepada ungkapan Sukarno yang menyatakan bahwa Pancasila adalah philosophische grondslag. Berdasarkan ulasan di atas, kita bisa memahami dengan baik apa maksud yang sesungguhnya dari ungkapan tersebut, yaitu: Pancasila adalah filsafat politik. Dengan kata lain, Pancasila adalah diskursus rasional tentang dasar-dasar kehidupan politis bangsa Indonesia. Di sini, Sukarno sangat mengerti perbedaan antara dimensi kehidupan politis dan dimensi kehidupan non-politis bangsa Indonesia.

 

Sebagai philosophische grondslag, Pancasila mengikat dan menentukan pada bagaimana kekuasaan negara dijalankan dan dikelola. Siapapun nanti yang memegang kursi kekuasaan, ia tidak akan diperkenankan untuk melewati batasan minimal, yaitu: lima sila dalam Pancasila. Jika ada salah satu sila saja yang tidak diindahkan oleh seorang penguasa di Indonesia, maka ia telah menghancurkan bangunan politis bangsa ini. Karenanya, Sukarno juga menyebut Pancasila dengan istilah meja statis.

 

Bagaimana dengan kebiasaan, ajaran, kepercayaan, nilai-nilai dan sebagainya yang ada dalam dunia-kehidupan dan pandangan-dunia yang bersifat non-politis? Apakah itu semua masih bisa berjalan seperti biasa meskipun Indonesia telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara? Jawabannya: tentu saja bisa. Dalam kegiatan sehari-hari, kita tidak perlu repot-repot memikirkan cara berjalan kaki atau cara berpakaian yang bersifat Pancasilais. Kita bisa mengikuti norma-norma non-politis untuk menjadi panduan kehidupan kita, baik yang berasal dari ajaran agama, nilai-nilai etno-kultural atau ajaran-ajaran moral yang bersifat filosofis. Sebab, Pancasila itu adalah falsafah kenegaraan, bukan etiket atau aturan sopan-santun yang mengatur urusan-urusan privat dan perilaku individual.

Apa yang dimaksud dengan Weltanschauung?

2. Weltanschauung adalah mahkota dari Filsafat. Menurut model ini, Weltanschauung adalah manifestasi tertinggi dari filsafat. Tujuan filsafat adalah menjelaskan arti kehidupan dan nilai yang dianut.

Apa isi dari pidato Ir Soekarno?

Tidak ada suatu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita! Negara merdeka, negara republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi. Insyaa Allah Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.

Apa saja prinsip dan pandangan hidup suatu bangsa menurut Soekarno?

Dalam kesempatan ini Bung Karno menyampaikan 5 prinsip dasar negara yakni: 1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan; 3. Mufakat atau demokrasi; 4. Kesejahteraan sosial; dan prinsip yang ke-5 yang Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Apakah isi pidato Ir Soekarno pada sidang pertama?

Sidang pertama membahas tentang dasar negara. Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno tampil sebagai pembicara. Pidato beliau yang mengemukakan dasar negara Indonesia merdeka tersebut kemudian menjadi sejarah lahirnya Pancasila.