Integrasi nasional artinya pembauran hingga menjadi satu kesatuan yang utuh atau bulat. Integrasi bisa terjadi secara horisontal dengan pihak yang sederajat, ataupun secara vertikal.
Home/Edukasi/Keberagaman Bangsa Indonesia Yang Menghiasi Proses Integrasi Nasional Adalah
Keberagaman Bangsa Indonesia Yang Menghiasi Proses Integrasi Nasional Adalah.
Proses Penjelasan-penjelasan ini memiliki aneka perbedaan titik tekan. Seluruh pendekatan yang tersedia kemudian boleh dipertimbangkan signifikansinya bak metode integrasi nasional Indonesia. NeopatrimonialismePertama ialah penjelasan David Brown mengenai metode integrasi Indonesia nan ditentukan elit.[1] Brown memperalat istilah Neo Patrimonialisme intern kasus integrasi nasional Indonesia. Bikin mencerna Neopatrimonialisme, minimal jelas dikontraskan dengan apa nan Max Weber harapan dengan Patrimonialisme, nan menurutnya: […] Intern patrimonialisme, sistem pemerintahan tercacak terlampau hubungan antara pimpinan pemerintah tertentu (ketua adat, pangeran, sultan) atau hamba allah berkarisma di mana ia diangkat ke dalam posisi tertentu di internal yuridiksi anak kunci. Sosok-orang ini n kepunyaan pengikut nan mengikutinya berdasarkan loyalitas personal. Jaringan-jaringan Negara patrimonial sebab itu merupakan puncak bermula suatu awam yang dikarakteristikkan oleh hubungan sponsor-klien tradisional. Negara patrimonial bergantung pada seberapa besar ketaatan rakyat pada penasihat lokalnya, dan loyalitas para bos lokal kepada pemerintah rahasia. Ia mengandalkan pengukuhan sistem politik tradisional etnis nan berkembang. Misalnya, disiplin rakyat Yogyakarta kepada Sunan Hamengkubuwono X dan kesetiaan Prabu Hamengkubowono kepada Pemerintah Muslihat Republik Indonesia. Ketaatan Sri paduka kepada arahan nasional agak runyam disebut kepatuhan dalam bentuk paternal. Patrimonialisme relatif mudah andaikata struktur zakiah umum tiap-tiap tungkai bangsa masih beroperasi. Patrimonialisme mengandalkan kuatnya aturan dan kebudayaan privat menjamin integrasi sosial. Atau, ketika ketokohan personal berdasarkan provinsi geografis, tungkai, ataupun agama masih awet. Lalu, segala apa nan menyingkirkan antara patrimonialisme dengan neopatrimonialisme? Perbedaan utamanya terletak pada pergantian jalinan antara penganut dan pemimpin. Kerumahtanggaan patrimonialisme, elit patrimonial menyatakan dirinya umpama kelas khas yang meletakkan dirinya sebagai monopol sendang pusat sewaktu distributor dominan privat hal kuasa dan kesejahteraan. Ini dapat terjadi andaikan pemimpin patrilineal mampu menjamin keamanan dan perawatan yang ia berikan kepada para pengikut. Efektivitas elit patrimonial dalam konteks struktur mahajana tradisional pas tinggi dan akan merendah tatkala struktur-struktur tersebut mengalami perubahan. N domestik neopatrimonialisme, kepadatan moral (kesopansantunan density) perubahan ikatan tradisional, meningkatnya pengerahan penduduk (vertikal, horisontal), dan tersebarnya harapan akan demokrasi, membuat para elit patrimonial kian sulit memelihara ikatan patron-klien terhadap massanya. Neopatrimonial ditandai hadirnya rencana-lembaga politik beradab nan memaksudkan impersonalitas. Namun, di Indonesia patrimonialisme sebenarnya masih berkembang di dalam perkakas-instrumen negara yang maju. Elit neopatrimonial kegelisahan dalam bertindak: Di suatu sisi mereka harus berputar dalam lingkup organisasi yang normal-makul, mempunyai serangkaian aturan jelas yang harus ditaati, serta harus bertanggung jawab secara profesional sesuai paparan wewenang, hanya di arah tak mereka – secara subyektif – menganggap organisasi tempatnya bekerja sebagai milik pribadi dan bisa mereka perlakukan sesuai kepentingan pribadinya pula. Terjadi konflik kepentingan dalam diri elit-elit neopatrimonial Indonesia dan ini hampir merata terjadi dari pemerintah siasat hingga lokal.
Paragraf Seputar Integrasi Nasional Sumber Foto: https://www.aplustopper.com/wp-content/uploads/2020/07/Paragraph-on-National-Integration.png Dalam konteks neopatrimonial, superior massa nan semula (secara Pemimpin-kepala baru ini mengklaim punya massa tertentu dan bersedia membela mereka baik secara material maupun politik: Reward yang diberikan oleh elit neopatrimonial bukan perawatan melainkan resouces material nan sumbernya – sayangnya – kini bukan terbit pemilikan pribadi melainkan kepunyaan negara (publik). Akibatnya, unjuk gejala l’etat c’est moi (negara adalah saya): Birokrasi-birokrasi negara yang dikelola elit politik dianggap kepunyaan pribadi dan seperti inilah watak awam dari elit neopatrimonial di Indonesia. Ketaatan massa kepada elit neopatrimonial ada sejauh para elit berharta memberi Impersonalitas ini membuat massa mulai tidak peduli kepada personal mana mereka taat melainkan kepada efek-efek impersonal yang kaya mereka berikan sama dengan kesejahteraan, keamanan, ataupun keadilan. Integrasi nasional nan dilandaskan sreg neo-patrimonialisme ini rentan terhadap konflik.Elit neo-paternal dapat dengan mudah memanfaatkan agregat-nya demi kepentingannya sendiri. Baca Juga: Go Food Adalah Salah Satu Bentuk Dari Iptek Dalam Bidang Integrasi nasional Indonesia bersumber masa kemerdekaan sebatas pasca kemandirian (bahkan boleh disebut setakat masa kini) memperlihatkan ideal integrasi Patrimonial dan NeoPatrimonial ini. Dalam masyarakat kolektif Indonesia, sulit dipungkiri peran elit strategi dalam mengintegrasikan massa mereka dan, buruknya, dalam bercanggah bangsa ini. Pil elit politik-lah nan banyak memunculkan peristiwa-peristiwa pemberontakan tatkala Indonesia baru kabur. Ketika elit patrimonial mulai memudar, pula elit neopatrimonial (biasanya pengusaha atau otak-tokoh umum) menjeput peran. Integrasi Indonesia tidak lebih sebagai integrasi dari para elit neopatrimonial ini. Pola integrasi nasional bercorak neopatrimonial tentu sekadar invalid segak karena mendorong sentimen antarkelompok sesuai garis yang diperkenankan maka dari itu sendirisendiri elit. Indonesia akan rentan perpecahan jika konstan mengandalkan integrasinya plong ketokohan seorang elit neopatrimonial. Sahaja, terwalak suatu harapan bahwa elit neopatrimonial menghadap berangsur kehilangan klien. Semakin banyak bermunculan elit-elit neopatrimonial baru menunda mereka saling berkompetisi suatu seimbang enggak dan klien akan memonten bahwa kekuatan dan mata air gerendel seorang elit tidaklah tetap. Peristiwa ini akan mendorong munculnya sikap kritis berbunga para klien bakal bukan lagi fanatik dalam mendukung seorang elit. Klien dapat secara mudah melakukan swing-support dan kemudian, sekadar elit-elit nan subur memuaskan kebutuhan klien sajalah yang akan beroleh dukungan secara relatif taat. Teori DimensiChristine Drake mengutarakan tesis adapun Matra ini sudah secara luas dijabarkan privat gapura-bab terdahulu. Dimensi historis-politis interaksi antar partikel komunitas politik nusantara silam memerosokkan sejumlah elit cak bagi mewujudkan nasion Indonesia. Perlu diakui bahwa terbentuknya Indonesia adalah konsensus elit, tak sebuah referendum. Namun, elit-elit tersebut kemudian mendiseminasi kesatuan hati mereka kepada masing-masing klien mereka (massa masing-masing). Hal ini lazim saja karena gaya integrasi elit ini bukan tetapi terjadi di Indonesia melainkan di banyak negara bukan semisal Malaysia atau Irak. Sehubungan dengan dimensi historis-kebijakan, integrasi nan muncul pra kemerdekaan 1945 adalah bukan subordinasi melainkan kesetaraan. Saban komunitas garis haluan (daerah-daerah) memiliki derajat otonomi (khususnya dalam hal budaya dan ekonomi) yang tingkatan. Ketika negara Indonesia coba mengerjakan subordinasi atas kedua elemen tersebut, isu separatisme kemudian muncul. Kini, Indonesia memiliki peranti Undang-undang di sumber akar Konstitusi yang mengatur secara jelas kewenangan pemerintah ki akal dan pemerintah daerah. Jika dilihat secara mendasar, maka pembagian kewenangan tersebut mirip dengan situasi pra kolonial di mana kemerdekaan peguyuban-peguyuban politik, khususnya di bidang ekonomi, sangatlah tinggi. Kedua, format sosiokultural yang termasuk atribut-atribut budaya yang sama, bahasa yang setimbang, agama yang sama, dan kemudian membimbing puas susunan bersama cak bagi bersatu di dalam Indonesia. Bahasa Indonesia yang kini menjadi bahasa resmi Indonesia lain muncul sekonyong-konyong. Bahasa ini bersumber mulai sejak bahasa Melayu. Bahasa Melayu yaitu lingua franca yang menjadi bahasa pengantar hubungan penduduk antar pulau-pulau nusantara. Bahasa Jawi sendiri, seperti telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, menyerap sejumlah unsur budaya yang gayutan berkembang di Indonesia yaitu tamadun India dan Selam. Dengan demikian, Bahasa Indonesia adalah sebuah bahasa yang penggunaannya tidak up to bottom melainkan bottom to up. Bahasa Indonesia disusun secara induktif, tak deduktif. Sehingga bisa dinyatakan Bahasa Indonesia adalah milik semua orang Indonesia, bukan hanya hak orang Sumatera, Papua, atau Jawa hanya. Kejadian baiknya dalam konteks integrasi nasional, Indonesia belum perikatan mengalami persengketaan cak bertanya bahasa nasional ini begitu juga nan menimpa Malaysia, Pakistan, ataupun Filipina. Mengenai masalah agama, Islam adalah salah suatu elemen kunci lem. Islam yaitu agama mayoritas penduduk Indonesia dan Selam hingga masa ini telah menjalankan perannya sebagai basis kohesi bangsa. Peristiwa ini harus disebutkan karena keburukan agama belalah menjadi basis perceraian sebuah nasion seperti terjadi di India (sebelum bermula menjadi India, Pakistan, dan Bangladesh), Inggris dan Irlandia (protestan dan katolik), ataupun Lebanon (perpecahan antarsekte dan antaragama). Islam di dalam ajarannya tidak lantas menegasikan begitu saja agama dan ajudan yang berkembang di luarnya lewat pernyataan untukmu agamamu dan untukku agamaku. Situasi ini yakni pernyataan tegas dogma toleransi antarumat beragama dan salah suatu saham terbesar keutuhan Indonesia nan agama dan kepercayaan penduduknya selayaknya sejajar dengan pernyataan Islam ini. Integrasi kebangsaan tidak akan bertahan jika suatu budaya, yang karena punya pendukung terbesar, lantas menegasikan nan boncel. Peristiwa ini habis krusial bikin Indonesia nan n kepunyaan ratusan tulangtulangan budaya lokal partikular. Masing-masing budaya menjurus mempertahankan eksistensinya dan menyikapi upaya standardisasi budaya sebagai bentuk agresi. Indonesia tidak akan berseregang lama sekiranya bentuk-bentuk agresi budaya dibiarkan terjadi. Dalam konteks ini pula, ideal awam majemuk teradat diganti dengan paradigma multikultural. Abstrak masyarakat bineka mengandung bias kolonialisme Barat nan awalnya dimaksudkan demi memecah publik jajahan beralaskan garis budaya. Paradigma publik bervariasi wajib diganti dengan paradigma multikultural yang di Indonesia sesungguhnya mutakadim diwakili semboyan bhinneka tunggal ika. Baca Juga: Organisasi Yang Merintis Pergerakan Nasional Indonesia Adalah Ketiga, format interaktif, yaitu tingkat rangkaian nan terbangun antara cucu adam-basyar yang bungkam di area nan kini menjadi Indonesia, di mana mereka suatu proporsional lain silih berkomunikasi lewat perdagangan, transportasi, telepon, migrasi, dan televisi. Sebagai halnya pun telah dipaparkan dalam bab-bab terdepan, teladan eksodus penduduk di Indonesia mutakadim sedemikian canggih dalam arti hampir di setiap wilayah Indonesia tidak pun terwalak monoetnis. Kejadian ini memurukkan interaksi antaretnis nan lebih intens dan diharapkan akan mendorong terciptanya kondisi saling paham antaretnis. Tentu saja, masing-masing kedaerahan akan konstan semaksimal mungkin memelihara rasam dan kebiasaan tiap-tiap. Namun, sekiranya kejadian tersebut ditunjang oleh perkembangan serupa di sisi kamil multikultural maka pemeliharan identitas etnis di kewedanan domisili kesukuan lain tidak akan menjadi permasalahan sensitif. Justru, sendirisendiri etnis n kepunyaan kesempatan cak bagi mempelajari cara-kaidah hidup yang makin baik pecah etnis satu dan lainnya untuk perkembangan individualitas mereka masing-masing. Keempat, ukuran ekonomi, merupakan kesalingtergantungan ekonomi antar region-region yang terserah di Indonesia. Dimensi keempat ini telah lagi dilalui bangsa Indonesia detik zaman bazar rempah-rempah di kepulauan nusantara.[4] Setelah Indonesia berdiri, kesalingtergantungan tersebut justru memperoleh kesempatan untuk diregulasi kembali secara bertambah baik. Pemerintah pusat bisa bertindak selaku regulator dan distributor sumber taktik selit belit dan mengalihkannya berpangkal satu area yang berlebih kepada wilayah bukan yang kekurangan. Derajat keuntungan Indonesia sebagai sebuah kewedanan ahadiat bertambah pangkat tinimbang terpecah-pecah ke n domestik negara-negara katai nan berdiri koteng. Biaya ekonomi perpindahan sendang daya dari daerah suatu ke daerah enggak akan selalu lebih tekor jika provinsi-negeri tersebut masih bergabung ke dalam satu negara daripada berdiri koteng-sendiri. Teori Proses IndustriAnthony Harold Birch coba berburu jawaban bagaimana kelompok etnik dan budaya yang saling farik menggerutu diri ke kerumahtanggaan sebuah masyarakat kebangsaan dan mendirikan negara nasional.[5] Bagaikan proses, integrasi nasional merupakan produk dari kebijakan pemerintah (atau elit) yang disengaja. Teori proses pabrik memandang integrasi nasional awalnya bukan direncanakan lewat mobilisasi sosial. Integrasi enggak sengaja ini intinya ialah hasil mulai sejak bagaimana industrialisasi menjemput pekerja meninggalkan desa bawah kerjakan cari kerja di kawasan pabrik plonco. Perpindahan ini menggerogoti komunitas-komunitas sosial nirmala di area pedesaan dan memobilisasi pegiat untuk terserap di masyarakat nasional yang lebih raksasa. Hubungan kedaerahan menjadi lemah, bahasa dan dialek domestik kian samar, untuk kemudian digantikan bahasa kewarganegaraan. Budaya lokal dan resan turun-temurun kehilangan pendukungnya. Alat transportasi, juga menyumbang poin dalam integrasi nasional. Perkenalan awal jalan membuat wilayah-wilayah dan penduduk terlebur, berinteraksi, saling pengaruh. Apalagi, wahana massa kemudian unjuk memberikan informasi-manifesto yunior harian kepada spektator yang dapat dicapainya. Anggota-anggota awam nan tadinya berasal dari budaya atau peradaban spesial secara gradual timbrung ke dalam terminologi mahajana yang lebih luas. Integrasi Nasional IndonesiaBerdasarkan ketiga teori akan halnya integrasi nasional, maka empat argumentasi dapat diajukan internal menguraikan proses integrasi kewarganegaraan Indonesia. Mula-mula, dalam terminologi keniscayaan memori. Dalam pandangan Hegel, masa depan umat basyar terletak n domestik organisasi nan disebut negara. Negara merupakan bentuk tertinggi organisasi sosial yang ada di tengah publik. Negara merarai molekul-zarah nan farik di level masyarakat ke dalam elemen bersama dan sifatnya lebih tinggi. Namun, terminologi Hegel mengenai negara sebagai tulangtulangan tertinggi dalam proses album rentan diselewengkan. Pemikiran Hegel kerap menjadi alasan pembenar bagi absolutisme negara. Di internal Indonesia, konsep Hegel dapat dimanfaatkan dalam konteks negara sebagai regulator tertinggi. Negara Indonesia memainkan ritme hubungan antardaerah sehingga tercipta model aliansi antardaerah yang saling melengkapi. Jika Indonesia berusul maka bagaimana kondisi kawasan-daerah yang miskin sendang pokok duaja? Berdasarkan rekaman kembali, komunitas-komunitas politik telah terhubung lewat mekanisme perdagangan nusantara. Komunitas-komunitas garis haluan Region-region (kewedanan) n domestik konsep Negara Keekaan Republik Indonesia agar makmur secara ekonomi. Kemakmuran inilah sendang legitimasi sahih dan jarang ditentang. Papua seharusnya gemuk, Nusa Tenggara Timur seharusnya makmur, seperti halnya Kepulauan Riau dan Bali yang berpunya. Pemerintah adalah the solely distributor karena dengan otoritas nan dimilikinya mampu melalukan ekstraksi mata air daya ekonomi dari suatu wilayah ke distrik lain atau dari suatu penduduk ke penduduk lain. Apakah cak semau legitimasi yang kian tinggi dari suatu proses integrasi selain kemampuan negara menyejahterakan seluruh wilayah dan penduduknya? Negara umpama bentuk tertinggi proses sejarah Hegel hanya dapat diterima jika organisasi ini mampu menjamin kemakmuran kerjakan wilayahnya secara nonblok dan berimbang. Tanpa catatan ekonomi ini, kehadiran Negara Ketunggalan Republik Indonesia akan belalah dapat dipertanyakan. Kedua, pandangan integrasi kebangsaan sebagai gambar asimilasi sosial. Integrasi nasional ialah terasimilasinya budaya-budaya yang lebih minor kepada budaya yang lebih mayor. Misalnya, etnis Cina di Indonesia mau tidak mau harus mengasimilasi seluruh atau sebagian dari kultur yang berkembang di Indonesia umumnya seyogiannya dapat terintegrasi baik di paruh Negara Indonesia. Demikian sekali lagi kesukuan-etnis Arab, agar bisa diterima di Indonesia harus mengasimilasi budaya masyarakat yang berkembang di masyarakat Indonesia. Disintegrasi nasional muncul akibat fotosintesis gagal dilakukan. Namun, asimilasi bukanlah satu-satunya lengkap kekeluargaan mayoritas-minoritas budaya. Baca Juga: Contoh Berita Kebakaran Hutan 5w 1h Seperti mutakadim dikemukakan di bagian-putaran semula buku, konsep-konsep sebagaimana ras dan etnis sebenarnya delutif. Konsep ini sesungguhnya menyesatkan karena tak menunjukkan satu hal yang definitif dan karuan. Ironisnya, konsep ras dan etnis sering digunakan secara serampangan semata-mata demi menciptakan kambing-hitam terpuruknya sebuah negara. Dengan demikian, asimilasi sosial merupakan metode bukan berpokok integrasi kebangsaan yang cukup terdepan, demikian kembali multikulturalisme. Hal yang penting dicatat merupakan takdirnya memang asimilasi yang dikehendaki sira bukan dipaksakan semisal etnis Cina yang harus mengganti namanya menjadi Indonesia atau khalayak keturunan Arab yang harus memakai menggambar. Proses penggantian harus dilandasi kesadaran sosial mereka seorang: Kehendak baik lakukan sedikit berangsur-angsur minus menghapus gantar sosial nan tidak utama demi integrasi kebangsaan nan lebih besar. Kawin harmonis boleh dibangun lewat multikulturalisme: Saban penganut kebudayaan dipersilakan mempraktekkan budaya partikular tiap-tiap dengan patuh bersetia dalam komunitas politik Indonesia. Posisi etnis Cina dan Proses integrasi sosial menghendaki hadirnya negara secara bebas, profesional, dan meyakinkan. Negara (khususnya pemerintah) harus menerima bahwa penghasilan mereka dari pajak perusahaan sebagian diperoleh berusul perusahaan-perusahaan warga negara baka Cina dan Ketiga, integrasi nasional muncul akibat pemerintah dibentuk bersendikan atas pikiran kesatuan nasional. Integrasi nasional lain akan tercipta jika pikiran tersebut belumlah terbina. Bakal itu, penyakit bahasa persatuan, ideologi nasional, merupakan suku cadang berarti di internal integrasi kewarganegaraan. Pemerintah memiliki tugas menjamin hal-keadaan tersebut telah tersosialisasi, baik secara teori maupun praktik. Tidak boleh diabaikan begitu saja yakni masalah simbolik kerumahtanggaan terminologi kesatuan kewarganegaraan. Namun tetap sahaja tanpa terciptanya (atau kesungguhan kerjakan menciptakan) kemakmuran dari pemerintah alegori kesatuan nasional, ideologi kebangsaan hanya akan menjadi pepesan kosong Pancasila adalah suatu konsep yang bagus dalam rangka menciptakan rasa persatuan dan perikatan antar elemen pembentuk bangsa yang berbeda. Namun, Pancasila hanyalah pepesan kosong tatkala pemerintah dan publik sipil tidak gemuk mewujudkannya sebagai praksis politik. Pembangunan ekonomi dan perputaran kesejahteraan merupakan salah satu nilai Pancasila yang layak krusial untuk digarap dan sepanjang ini pahit lidah lain menjadi fokus utama setiap pemerintahan Indonesia. Simbolisme jargon doang boleh bertahan jika kenyataan sudah lalu menunjukkan situasi yang serupa dengan jargon tersebut. Keempat, integrasi kewarganegaraan berhubungan dengan masalah Puak-puak politik utamanya mengambil peran n domestik integrasi nasional yang berhubungan dengan masalah ini. Indonesia kini sudah lalu melangkah di kempang yang benar dengan menjangkitkan bobot otoritas politik ke tingkat provinsi. Harapannya adalah, pemerintah-pemerintah negeri dapat secara langsung meningkatkan kemakmuran di wilayahnya. Namun, bak regulator utama, pemerintah siasat harus berharta berposisi perumpamaan Tulisan Kaki [1] David Brown, The State and Ethnic Politics in SouthEast Asia (CRC Press, 2004) p.78. [2] ibid., h.79. [3] Christine Drake sebagai halnya tercantum dalam Danilyn Rutherford, Raiding the Land of the Foreigners: The Limits of the Nation on An Indonesian Frontier (Princeton University Press, 2002) p.4-5. [4] Telah diuraikan n domestik bagian genealogi masyarakat Indonesia. [5] Anthony Harold Birch, Nationalism and National Integration (London: Routledge, 1989) p.36-42.tags: proses integrasi nasional indonesia metode integrasi kebangsaan indonesia neopatrimonialisme teori proses industri Source: http://www.setabasri.com/2012/04/proses-integrasi-nasional-indonesia.html |