Jelaskan hukum seorang Muslim bersentuhan dengan seorang non Muslim

Bagi sementara orang, terlebih lagi mereka yang tinggal di perkotaan, bersalaman atau berjabat tangan antara laki-laki dan wanita bukanlah sesuatu yang asing atau tabu lagi.

Bersalaman adalah prosesi yang hampir sering terjadi di antara lawan jenis itu dalam setiap kegiatan. Jual beli, pertemuan, kesepakatan, perjanjian, bahkan sekedar perkenalan dan juga basa basi.

Dan itu semua, bisa jadi adalah hal-hal yang tidak mungkin mereka hindari, karena memang pencahariannya ada di situ. Serta tigas dan pekerjaan yang digeluti memang membuatnya tidak mungkin untuk tidak berjabat tangan dengan lawan jenis yang memang bukan mahramnya.

Di sisi lain, bukan sesuatu yang baru jika kita mendapati beberapa pemuka agama Islam yang memberikan keterangan bahwa syariat melarang jabatan tangan antara laki-laki dan wanita dewasa. Janganlan bersalaman, melihatnya saja pun bukan sesuatu yang baik bagi sementara ulama.

Karenanya, diperlukan pendekatan yang lebih ramah kepada muslim perkotaan dalam membahas masalah ini. tentu dengan tidak keluar dari jalur koridor syariah yang sudah mnejadi ketetapan baku.

1. Kesepakatan

Sebelum membahas lebih jauh maalah bersalaman tangan antara muslim dan muslimah non-Mahram. Akan sangat baik sekali jika kita dahulukan pembahasan bahwa ada garis yang disepakati oleh ulama dalam masalah ini.

a. Disepakati Halal

Bersalaman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya itu disepakati halal oleh ulama dan tidak ada perselisihan di dalamnya; yakni ketika bersalam di lakukan dalam satu kondisi; yakni dalam kondisi darurat.

Darurat didefinisikan oleh Ali al-Jurjani (w. 816 H) dalam kitabnya al-Ta’rifat, adalah:

Sesuatu yang datang dan tidak bisa dicegah.

al-Zarkasyi (w. 794 H) dalam kitabnya al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah (2/319) menjelaskan definisi darurat:

Darurat adalah sampainya seseorang pada kondisi dimana jika ia tidak melakukan hal tersebut (yang diharamkan), ia akan hancur (mati) atau mendekati kematian. Seperti orang yang terdesak untuk makan atau berpakaian, yang mana jika ia tetap kelaparan atau tetap telanjang, ia akan wafat, atau bisa saja menyebabkan hilang atau juga disfungsi salah satu anggota tubuhnya. Dalam kondisi ini, ia boleh melakukan sesuatu yang diharamkan. 

Darurat dalam masalah ini berarti bahwa bersalaman atau juga bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu mnejadi sesuatu yang sangat harus dilakukan, dan tidak boleh tidak. Sangat mendesak untuk dikerjakan. Karena kalau tidak, itu berakibat fatal bagi keselematan badan dan jiwanya.

Seperti orang yang hanyut terbawa banjir, yang tidak mungkin bisa menyelamatkan diri kecuali ia harus berpegang kepada laki-laki di dekatnya yang bukan mahram.

Begitu juga laki-laki petugas pemadam api yang tidak mungkin bisa menyelamatkan korban kebakaran kecuali harus ia gotong korban tersebut yang merupakan wanita yang bukan mahramnya.

Termasuk darurat jika memang ada wanita yang harus diberikan penanangan medis segera, namum tidak ada ahli  yang bisa mampu menanganinya kecuali ahli media berjenis kelamin laki-laki. Maka dalam hal ini tidak mengapa bersentuhan.

Tentu sentuhan yang dibolehkan adalah sentuhan yang wajar. Sentuhan yang cukup untuk menghilangkan kemudharatan yang ada. Tidak lebih dari itu. Hanya sekedar menyelematkannya dari bahaya yang menimpa.

b. Disepakati Haram

Di sisi lain, ulama juga bersepakat bahwa bersalaman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu hukumnya haram, tak lagi bisa ditawar, jika memang di dalamnya ada fitnah dan juga dibarengi dorongan syahwat dari keduanya atau dari salah satu di antara keduanya.

2 poin ini; fitnah dan juga syahwat yang timbul menjadi garis dan batasan. Di mana jika keduanya atau salah satunya ada, haramlah jadinya hukum bersalaman antara laki-laki dan wnaita yang bukan mahramnya.

Timbulnya Fitnah

Fitnah dalam banyak teks syariah sering muncul dengan makna yang berbeda-beda. Terkadang fitnah itu berarti musibah dan terkadang berarti juga sebagai ujian. Bahkan dalam satu ayat al-Quran (al-Anfal 39) fitnah itu berarti kekafiran.

Dalam masalah ini, kami melihat makna yang cocok dalam masalah ini dan itu juga yang dipakai ulama adalah fitnah yang berarti keburukan, yang dalam bahasa Arab disebut al-Fadhihah. Makna ini juga disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 41:   وَمَنْ ي ردِ الَّلَّ  فتْ ن ته  فَ لنْ تََلكَ له  مِنَ الَّلَِّ شَيْ ئا

Dan sesiapa yang dikehendaki Allah keburukan, sedikitpun engkau tidak akan bisa mneolaknya.

Dan keburukan yang paling buruk bagi seorang muslim adalah jatuhnya ia ke dalam dosa dan maksiat kepada Allah. Itu berarti bahwa yang dikatakan bersalaman dan menimbulkan fitnah itu jika salamannya atau jabatannya bisa melahirkan dosa; seperti karena sebab bersalam jadi berlamalama saling berpandangan.

Atau mungkin saja, karena terjadinya jabat tangan antar mereka berdua, menimbulkan omongan negative dari orang-orang yang melihatnya. Dan itu terlarang dalam syariah. Bukankah kita harus menghindari orang lain membicarakan kita.

Timbulnya Syahwat

Syahwat tentu tidak perlu diartikan terlalu dalam, karena semua orang tahu bahwa syahwat adalah kata untuk mengungkapkan keinginan besar yang memuncak pada diri seseorang terhadap sesuatu yang menyenangkan. Salah satunya adalah wanita.

Itu berarti jika bersalaman yang terjadi didorong oleh nafsu pemenuhan syahwat ingin meraih dan menyentuh wanita yang diidamkan tersebut, tentu haramlah hukumnya.

Atau bisa jadi, dorongan awalnya tanpa nafsu tapi dengan sentuhan itulah kemudian timbul syahwat dalam dirinya. Karena memang pasti berbeda, antara melihat saja dengan memegang dan menyentuh. Jika memang begitu, maka bersalaman menjadi haram. Dan itu kesepakatan.

2. Perselisihan

Bersalaman antara laki-laki dan wnaita yang bukan mahram menjadi diperselisihkan hukumnya jika memang salaman tersebut terbebas dari 3 hal yang sudah disebutkan di atas.

  1. Sentuhan dilakukan dalam kondisi darurat,
  2. Salamannya menimbulkan fitnah, dan
  3. Jabat tangan itu didorong oleh syahwat atau menimbulkan syahwat.

Jika bebas dari ketigal tersebut, di sini hukum bersalamn menjadi bias; bisa dikatakan haram. Tapi juga sangat mungkin dikatakan halal. Tergantung dari pandangan siapa yang melihat masalah tersebut.

Sumber: Ahmad Zarkasih, Benarkah Bersalaman Dengan Non-Mahram Itu Haram?, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019

Bermuamalah dengan non muslim dalam urusan dunia dibolehkan seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai-menggadai, dan lain-lain.

Penjelasan

Dalam kehidupan yang majemuk tentu tidak bisa dilepaskan dari hubungan antar kelompok. Termasuk di dalamnya kelompok muslim berhubungan dengan non muslim, baik dalam urusan bisnis, keluarga, hubungan kerja, ketetanggaan, dan lain-lain. Satu hal yang tidak dapat dihindari adalah hubungan dalam muamalah (bisnis atau pekerjaan) di tengah keragaman keyakinan dalam masyarakat.

Di dalam hidupnya, Rasulullah saw banyak sekali berhubungan secara sosial (bermuamalah) dengan non muslim, baik dengan orang kafir, musyrik, Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lainnya dalam berbisnis, hidup bertetangga atau usaha-usaha tertentu. Hubungan tersebut lebih karena ada keterkaitan sosial sebagai makhluk sosial. Dalam konteks ini, muamalah Rasulullah SAW yang tidak berhubungan dengan urusan agama (ritual).

Salah satu contoh adalah ketika Nabi SAW masih berjuang pada awal dakwah di Mekkah, orang-orang kafir Quraisy yang memusuhinya justru banyak yang menitipkan harta mereka di tangan Rasulullah SAW karena dianggap orang yang jujur dan amanah (al-Amin) sejak kecil. Posisinya sebagai orang yang dikenal sangat jujur, gelar sejak kecil tidak pernah dicabut meski Rasulullah saw. diangkat menjadi utusan Allah SWT. dan mendapat tantangan dan dimusuhi oleh masyarakatnya sendiri. Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, di tangan beliau masih banyak harta titipan milik orang-orang kafir yang harus dikembalikan terlebih dahulu. Suatu sikap yang mungkin sulit terjadi bagi orang biasa, dimusuhi oleh mereka yang titip harta, tetapi Rasulullah SAW tetpi memegang amanah.

Demikian juga dalam perjalanan hijrah pun, Rasulullah SAW tetap berhubungan dengan orang non-muslim yang dipercayainya. Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang guide profesional untuk mengantarkan mereka berdua hingga tiba ke arah Madinah, Abdullah bin Uraiqidz, yang nota bene bukan muslim. Terkait dengan ini, keputusan Rasulullah yang mempercayakan penunjuk jalan kepada orang non muslim sebenarnya sangat beresiko, tetapi apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah mempercayai seseorang yang amanah, tanpa melihat latar belakang agama.

Hal lain juga Rasulullah SAW di Madinah bertetangga dengan orang yang beragama Yahudi. Satu hal yang pernah dicatat oleh sejarah adalah peristiwa Nabi pernah menggadaikan baju besinya kepada tetangga Yahudi ketika kehabisan makanan untuk mendapatkan pinjaman. Dan masih banyak lagi bagaimana contoh muamalah Rasulullah SAW secara ekonomi dengan pihak non muslim, yang tidak terkait dengan urusan agama. Mencermati data-data sejarah tersebut memperlihatkan sikap dan tindakan Rasulullah SAW telah mempraktikkan bermuamalah dengan non muslim. Artinya tidak ada larangan apapun berhubungan secara sosial selama dalam koridor mampu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Hanya saja prinsip-prinsip hubungan (muamalah) harus terpenuhi, seperti kesetaraan, kejujuran, kepercayaan, keadilan, transaksi pada hal yang di bolehkan dalam Islam, dan lain-lain.