You're Reading a Free Preview
You're Reading a Free Preview
You're Reading a Free Preview 2.1.1. Pengertian Materialitas Adalah besarnya suatu penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang dipandang dari keadaan-keadaan yang melingkupinya, memungkinkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang yang mengandalkan pada informasi menjadi berubah atau dipengaruhi oleh penghilangan atau salah saji tersebut. Definisi mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan:
2.1.2. Pertimbangan Awal Materialitas Dalam merencanakan suatu audit, auditor harus mempertimbangkan materialitas pada dua tingkatan yaitu;
2.1.3. Materialitas Pada Tingkat Laporan Keuangan a. Meliputi besarnya salah saji minimum dalam suatu laporan keuangan yang cukup penting sehingga membuat laporan keuangan menjadi tidak disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Dalam membuat pertimbangan awal tentang materialitas, auditor menentukan tingkat materialitas awal keseluruhan untuk setiap jenis laporan keuangan, sebagai contoh, auditor menaksir bahwa kekeliruan sebesar Rp.1.000.000 untuk laporan rugi laba dan Rp.2.000.000 untuk neraca dipandang material. Dalam hal ini tidaklah tepat apabila auditor menggunakan materialitas neraca dalam perencanaan audit karena apabila salah saji neraca Rp. 2.000.000 mempengaruhi rugi-laba, maka laporan rugi-laba akan salah saji material. Untuk tujuan perencanaan, auditor harus menggunakan perimbangan awal mengenai tingkat materialitas dengan suatu cara yang diharapkan, dalam keterbatasan yang melekat pada proses audit, dapat memberikan bukti audit yang cukup untuk mencapai keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material. Auditor biasanya menggunakan salah saji terkecil yang dapat dianggap material untuk salah satu laporan keuangan. Aturan pengambilan keputusan ini dilakukan karena : (1). Laporan keuangan saling berhubungan. (2). Sebagaian besar prosedur audit berhubungan dengan lebih dari satu jenis laporan keuangan.b. Pedoman Kuantitatif yaitu pada saat ini ada standar akuntansi ataupun standar auditing yang berisi pedoman tentang pengukuran materialitas secara kuantitatif. Contoh: berikut ini adalah pedoman yang sering digunakan oleh kantor-kantor akuntan dalam praktik:
c. Pertimbangan Kualitatif yaitu berhubungan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara kuantitatif tidak material, bisa menjadi material secara kualitatif, misalnya: apabila suatu salah saji berhubungan dengan ketidakberesan atau tindakan melawan hukum oleh klien. Ditemukannya hal demikian dalam audit, akan berakibat auditor menarik kesimpulan bahwa terdapat risiko signifikan sebagai tambahan atas risiko untuk salah saji yang sama tetapi tidak berhubungan dengan ketidakberesan atau tindakan melawan hukum. 2.1.4. Materialitas Pada Tingkat Saldo Akun Materialitas saldo Akun adalah minimum salah saji yang bisa ada pada suatu saldo Akun yang dipandang sebagai salah saji material. Salah saji sampai tingkat tersebut salah saji bisa diterima. Konsep materialitas pada tingkat saldo Akun hendaknya tidak dicampuradukkan dengan istilah saldo Akun yang material. Perlu dipahami bahwa saldo Akun yang material menunjukkan besarnya saldo sebuah Akun yang tercatat dalam pembukuan, sedangkan konsep materialitas dengan jumlah salah saji yang bisa berpengaruh terhadap pengambilan keputusan oleh pemakai laporan keuangan. Pengalokasian Materialitas Laporan Keuangan ke Akun-akun Apabila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasi maka taksiran awal materialitas untuk setiap akun bisa diperoleh dengan cara mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke masing-masing akun rugi-laba juga berpengaruh terhadap neraca, dan karena akun neraca biasanya lebih sedikit, maka auditor umumnya melakukan alokasi berdasarkan akun-akun neraca. Contoh: Bagaimana auditor melakukan pengalokasian, Aktiva PT. ABC terdiri dari:
Auditor menduga terdapat sedikit salah saji dalam kas dan aktiva tetap dan sejumlah salah saji dalam piutang dagang dan persediaan. Berdasarkan pengalaman dimasa lalu dengan klien, Dengan asumsi bahwa taksiran awal materialitas laporan keuangan adalah 1 % dari Total aktiva atau Rp.100.000,-. maka auditor bisa membuat rencana pengalokasikan sebagai berikut:
2.1.5. Hubungan Antara Materialitas dengan Bukti Audit Materialitas adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertimbangan auditor tentang kecukupan (jumlah yang dibutuhkan) bukti audit. Dalam melakukan generalitas tentang hubungan ini, perbedaan antara pengertian materialitas dengan saldo Akun material. 2.2. Menentukan dan Menggunakan Materialitas Dalam Audit Materialitas adalah dasar untuk penilaian risiko (risk assessments) dan penentuan luasnya prosedur audit. Materialitas akan digunakan antara lain untuk :
Materialitas pada tingkat ini terdiri dari :
Materialitas Keseluruhan didasarkan atas apa yang layaknya diharapkan berdampak terhadap terhadap keputusan yang dibuat pengguna laporan keuangan. Jika auditor memperoleh informasi yang menyebabkan ia menentukan angka materialitas yang berbeda dari yang ditetapkannya semula, angka materialitas semula seharusnya direvisi.
Overall performance materiality ditetapkan lebih rendah dari overall materiality. Performance materiality memungkinkan auditor menanggapi penilaian risiko tertentu (tanpa mengubah overall materiality) dan menurunkan ke tingkat rendah yang tepat (appropriately low level) probabilitas salah saji yang tidak dikoreksi dan salah saji yang tidak terdeteksi secara agregat (aggregate of uncorrected and undetected misstatement) melampaui overall materiality. Performance materiality perlu diubah berdasarkan temuan audit.
Account balance, class of transactions and disclosures level dibagi menjadi 2 : Specific materiality untuk jenis transaksi, saldo akun atau disclosures tertentu dimana jumlah salah sajinya akan lebih rendah dari overall materiality.
Specific performance materiality ditetapkan lebih rendah dari specific materiality. Hal ini memungkinkan auditor menanggapi penilaian risiko tertentu dan memperhitungkan kemungkinan adanya salah saji yang tidak terdeteksi dan salah saji yang tidak material, yang secara agregat dapat berjumlah material. 2.2.1. Overall Materiality Materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan (overall materiality) didasarkan pada kearifan professional auditor mengenai jumlah terbesar salah saji dalam laporan keuangan tanpa mempengaruhi keputusan ekonomis pemakai laporan keuangan. Jika jumlah salah saji yang tidak dikoreksi (amount of uncorrected misstatement), terpisah atau digabungkan, lebih besar dari overall materiality yang ditetapkan untuk penugasan tersebut, maka laporan keuangan disalahsajikan secara material. Menurut SA 320, par 10, pada saat menetapkan strategi audit secara keseluruhan, auditor harus menentukan materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan. Adapun beberapa contoh overall materiality yaitu:
Ilustrasi Penghitungan Materialitas Pada Tingkat Laporan Keuangan Secara Keseluruhan Kebijakan KAP, materialitas pada tingkat laporan keuangan dihitung 2% dari jumlah asset:
Misalkan, jumlah aset PT. Sumber Rezeki, Tbk IDR 907 miliar Opsi 1 Materialitas pada tingkat laporan keuangan = 2% x IDR 907 miliar = IDR 18,14 miliar Opsi 2 Materialitas pada tingkat laporan keuangan: Jenjang 1 = IDR 200 miliar x 1% = IDR 2 miliar; ditambah Jenjang 2 = IDR 300 miliar x 0,6% = IDR 1,8 miliar; ditambah Jenjang 3 = IDR 407 [907 – 500] miliar x 0,4% = IDR 1,63 miliar. Maka materialitas pada tingkat laporan keuangan adalah: IDR [2+1,8+1,63] miliar = IDR 5,43 miliar. Opsi 3 Materialitas pada tingkat laporan keuangan: Jenjang 1 = IDR 200 miliar x 1% = IDR 2 miliar; ditambah Jenjang 2 = IDR 300 miliar x 1,5% = IDR 4,5 miliar; ditambah Jenjang 3 = IDR 407 miliar x 2% = IDR 8,14 miliar. Maka materialitas pada tingkat laporan keuangan adalah: IDR [2+4,5+8,14] miliar = IDR 14,64 miliar. 2.2.2. Performance Materiality Performance materiality (materialitas yang digunakan dalam pelaksaan audit atau disingkat “materialitas pelaksanaan”) digunakan auditor untuk menekan risiko sampai ke titik rendah yang dapat diterima (appropriately low level). Yang ditekan adalah risiko besarnya salah saji melampaui angka materialitas. Dalam hal ini salah saji yang dimaksud adalah akumulasi salah saji yang tidak dikoreksi entitas dan salah saji yang tidak teridentifikasi oleh auditor (accumulation of uncorrected and unidentified misstatement). Menurut SA 320, par A.12, penentuan materialitas pelaksanaan bukan merupakan suatu perhitungan mekanis yang sederhana dan membutuhkan adanya pertimbangan (kearifan) professional. Penentuan ini dipengaruhi oleh:
Menurut SA 320, par 11, materialitas pelaksanaan digunakan untuk sebagai berikut:
Contoh menentukan performance materiality adalah sebagai berikut:
Performance materiality dapat ditetapkan menjadi :
Contoh dengan pemakaian satu performance materiality adalah sebagai berikut:
Contoh dengan pemakaian lebih dari satu performance materiality adalah sebagai berikut:
Ilustrasi penghitungan performance materiality adalah sebagai berikut: Asumsi materialitas pada tingkat laporan keuangan secara keseluruhan pada PT. Sumber Rezeki, Tbk yang digunakan adalah IDR 18,14 miliar. Contoh dengan pemakaian satu performance materiality :
Contoh dengan pemakaian lebih dari satu performance materiality:
Ketiga performance materiality ini akan diterapkan pada setiap area audit, tergantung pada hasil penilaian risiko kesalahan penyajian material. Ada beberapa hal dimana salah saji yang lebih kecil dari angka materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan dapat diperkirakan secara layak, akan mempengaruhi pengambil keputusan oleh pemakai laporan keuangan, diantaranya:
2.2.3. Specific Performance Materiality Ini serupa dengan performance materiality yang dibahas diatas, kecuali dalam hal ini performance materiality-nya berhubungan dengan penetapan angka materialitas yang spesifik. Specific performance materiality ditetapkan lebih rendah dari angka specific materiality, untuk memastikan pekerjaan audit yang cukup, dilaksanakan untuk mengurangi ke tingkat rendah yang tepat, probabilitas salah saji yang tidak dikoreksi dan yang tidak terdeteksi melebihi specific materiality. Karena angka materialitas ditentukan berdasar kearifan professional (professional judgment), sangatlah penting faktor-faktor dan angka- angka yang digunakan dalam materialitas pada berbagai tingkat, didokumentasikan dengan baik. Dokumentasi ini terjadi selama:
2.3. Salah Saji Yang Dapat Ditoleransi
2.4. Tipe Risiko 2.4.1. Risiko Deteksi Terencana Risiko deteksi terencana (planned detection risk) merupakan ukuran risiko bahwa bukti audit atas segmen tertentu akan gagal mendeteksi keberadaan salah saji yang melebihi suatu nilai salah saji yang masih dapat ditoleransi, andaikan salah saji semacam itu ada. Terdapat dua poin utama tentang risiko deteksi terencana ini yaitu sebagai berikut :
2.4.2. Risiko inheren Risiko inheren (inheren risiko) merupakan suatu ukuran yang dipergunakan oleh auditor dalam menilai adanya kemungkinan bahwa terdapat sejumlah salah saji yang material (kekeliruan atau kecurangan) dalam suatu segmen sebelum ia mempertimbangkan keefektifan dan pengendalian intern yang ada. Dengan mengasumsikan tiadanya pengendalian intern, maka risiko inheren ini dapat dinyatakan sebagai kerentanan laporan keuangan terhadap timbulnya salah saji yang material. Jika auditor, dengan mengabaikan pengendalian intern, menyimpulkan bahwa terdapat suatu kecenderungan yang tinggi atas keberadaan sejumlah salah saji, maka auditor akan menyimpulkan bahwa tingkat risiko inherennya tinggi. Pengendalian intern diabaikan dalam menetapkan dalam menetapkan nilai risiko inheren karena pengendalian intern ini dipertimbangkan secara terpisah dalam model risiko audit sebagai risiko pengendalian. Penilaian ini cenderung didasarkan atas sejumlah diskusi yang telah dilakukan dengan pihak manajemen, pemahaman yang dimiliki akan perusahaan, serta hasil- hasil yang diperoleh dari tahun-tahun sebelumnya. Hubungan antara risiko dengan risiko deteksi terencana serta dengan bukti audit yang direncanakan adalah sebagai berikut : risiko inheren saling berlawanan dengan risiko deteksi terencana serta memiliki hubungan yang searah dengan bukti audit. Selain semakin meningkatnya bukti audit yang diperlukan untuk suatu tingkat risiko inheren yang lebih tinggi dalam suatu area audit tertentu, merupakan hal yang umum dilakukan pula untuk menugaskan staf yang telah memiliki lebih banyak pengalaman untuk melakukan audit pada area tersebut serta melakukan riview yang lebih mendalam pada kertas kerja yang telah selesai dibuat. Sebagai contoh: jika risiko inheren atas keusangan persediaan sanagt tinggi, maka sangatlah masuk akal bila kantor akuntan publik memilih staf yang berpengalaman untuk melakukan sejumlah tes yang lebih mendalam atas keusangan persediaan ini dan melakukan review yang lebih cermat atas hasil-hasil yang diperoleh dari audit ini. 2.4.3. Resiko pengendalian Resiko pengendalian (control risk) merupakan ukuran yang digunakan oleh auditor untuk menilai adanya kemungkina bahwa terdapat sejumlah salah saji material yang melebihi nilai salah saji yang masi dapat ditoleransi atas segmen tertentu akan tidak terhadang atau tidak terdeteksi oleh pengendalian intern yang dimiliki klien. Resiko pengendalian ini memperhatikan 2 hal berikut:
Model resiko audit menunjukan hubungan yang erat antara resiko inheren dan resiko pengendalian. Sama dengan yang terjadi pada resiko inheren, hubungan antara resiko pengendalian dan resiko deteksi terencana adalah saling berlawanan, sementara hubungan antara resiko pengendalian dan bukti substantif merupakan hubungan yang searah. Sebagai contoh, jika auditor menyimpulkan bahwa pengendalian intern bersifat efektif, maka nilai resiko deteksi terencana dapat meningkat sehingga jumlah bukti audit yang direncanakan akan dikumpulkan akan turun. Auditor dapat meningkatkan resiko deteksi terencana pada saat pengendalian intern bersifat efektif karena pengendalian intern yang efektif akan mengurangi kemungkinan hadirnya salah saji dalam laporan keuangan. Sebelum auditor dapat menetapkan nilai resiko pengendalian kurang dari 100 persen, auditor harus memahami pengendalian intern yang ada, dan berdasarkan pemahaman itu, auditor melakukan evaluasi tentang bagaimana seharusnya fungsi pengendalian intern tersebut, serta melakukan uji atas efektifitas pengendalian intern tersebut. Hal pertama dari semua ini adalah keharusan untuk memahami semua jenis audit. Dua hal terakhir adalah langkah-langkah penilaian resiko pengendalian yang diperlukan jika auditor memilih untuk memberikan nilai atas resiko pengendalian supaya berada di bawah nilai maksimum. 2.4.4. Resiko akseptibilitas audit Resiko akseptibilitas audit (acceptable audit risk) merupakan ukuran atas tingkat kesediaan auditor untuk menerima kenyataan bahwa laporan keuangan mungkin masih mengandung salah saji yang material setelah audit selesai dilaksanakan serta suatu laporan audit wajar tanpa syarat telah diterbitkan. Ketika auditor memutuskan untuk menetapkan suatu tingkat resiko akseptibilitas audit yang lebih rendah, hal tersbut berarti bahwa auditor ingin memperoleh tingkat keyakinan yang lebih tinggi bahwa laporan keuangan tidak mengandung salah saji yang material. Resiko nol berarti yakin sekali, dan suatu tingkat resiko sebesar 100 persen berarti benar-benar tidak yakin. Dalam audit terdapat istilah audit assurance atau tingkat keyakinan, yaitu merupakan pelengkap dari resiko akseptibilitas audit. Audit assurance dihitung dengan perhitungan satu dikurangi resiko akseptibilitas audit. Sebagai contoh, tingkat resiko akseptibilitas audit sebesar 2 persen sama dengan tingkat audit assurance sebesar 98 persen. Dengan mempergunakan model audit, akan terlihat adanya hubungan yang searah antara resiko akseptibilitas audit dan resiko deteksi terencana, serta hubungan yang saling berlawanan antara resiko akseptibilitas audit dan bukti audit yang direncanakan. Sebagai contoh, jika auditor memutuskan akan mengurangi nilai resiko akseptibilitas audit, maka akan mengurangi pula resiko deteksi terencana serta bukti audit yang direncanakan akan dikumpulkan harus ditingkatkan. Auditor pun seringkali harus menugaskan staf yang lebih berpengalaman atau mereview kertas kerja dengan lebih cermat bagi klien dengan tingkat resiko akseptibilitas audit yang lebih rendah. 2.4.5. Resiko kecurangan Resiko kecurangan merupakan resiko selain 4 resiko di atas dan resiko ini biasanya di perhitungkan di luar dari model resiko audit. Karena resiko kecurangan secara konsep dan praktek sangat sulit untuk dipisahkan faktor-faktornya ke dalam 4 jenis resiko di atas. Kecurangan sendiri memiliki arti kesalahan penyajian yang dilakukan secara sengaja dalam bentuk penggelapan aktiva dan kecurangan pelaporan keuangan. Untuk menilai resiko kecurangan, auditor mengumpulkan informasi untuk menentukan luasnya keberadaan kondisi kecurangan. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya resiko kecurangan antara lain tekanan yang diterima manajemen baik kelompok maupun individual, kesempatan yang tercipta, dan perilaku manajemen untuk membiarkan terjadinya tindakan ketidakjujuran tersebut. 2.5. Evaluasi Resiko Setelah auditor merencanakan penugasan dan mengumpulkan bukti audit, hasil-hasilnya dapat diyatakan dalam versi evaluasi model resiko audit. SAS 107 menyatakan model resiko audit untuk mengevaluasi hasil-hasil audit sebagai berikut, di mana:
Ukuran risiko yang sudah diambil auditor bahwa suatu akun dalam laporan disalahsajikan secara material setelah auditor mengumpulkan bukti audit.
Faktor risiko inheren yang sama yang dibahas dalam perencanaan kecuali sudah direvisi karena ada informasi baru.
Risiko pegendalian yang sama yang telah dibahas sebelumnya kecuali sudah direvisi selama audit.
Ukuran risiko bahawa bukti audit untuk suatu segmen tidak mendeteksi salah saji yang melampaui salah saji yang dapat ditoleransi, jika salah saji semacam itu memang ada. Auditor dapat mengurangi risiko deteksi yang dicapai ini hanya dengan mengumpulkan bukti. Berdasarkan riset, tidak tepat menggunakan rumus evaluasi ini untuk benar-benar menghitung risiko audit yang dicapai sebagai mana yang dinyatakan rumus di atas. Riset menununjukkan bahwa penggunaan rumus ini dapat mengakibatkan risiko audit yang dicapai kurang saji. Namun, hubungan yang ada dalam rumus itu valid dan harus digunakan dalam praktik. Rumus tersebut menunjukkan tiga cara untuk mengurangi risiko audit yang dicapai ke tingkat yang dapat diterima:
Penggabungan ketiga faktor tersebut secara subjektif untuk mencapai tingkat risiko audit yang cukup rendah membutuhkan pertimbangan profesional yang matang. Model risiko audit merupakan model perencanaan, sehingga penggunaannya terbatas pada mengevaluasi hasil audit saja. Meskipun tidak ada kesulitan yang dihadapi oleh auditor dalam mengumpulkan bukti yang direncanakan dan menyimpulkan bahwa penilaian setiap risiko sudah wajar atau lebih baik daripada yang diduga semula, auditor tetap harus sangat hati-hati dalam mengambil keputusan. Penilaian awal atas risiko pengendalian atau risiko inheren dapat ditetapkan terlalu rendah atau risiko audit yang dapat diterima ditetapkan terlalu tinggi. Dalam keadaan seperti itu, auditor harus mengikuti pendekatan dua langkah:
2.6. Pengujian Pengendalian Fungsi utama dari pemahaman auditor terhadap pengendalian intern adalah untuk memperkirakan risiko pengendalian dalam setiap tujuan audit berkait transaksi. Contohnya adalah memperkirakan tujuan ketepatan untuk transaksi pendapatan adalah lemah dan untuk tujuan eksistensi adalah sedang. Pengujian pengendalian dilakukan untuk menentukan kelayakan dari rancangan dan efektifitas operasi dari pengendalian intern khusus. Pengendalian intern ini dapat dengan cara manual atau terotomatisasi. Pengujian pengendalian mencakup prosedur-prosedur audit dibawah ini:
2.7. Pengujian Substantif Pengujian substantif adalah prosedur-prosedur audit yang didesain untuk menguji kesalahan dalam nilai rupiah yang mempengaruhi langsung kebenaran dari saldo-saldo dalam laporan keuangan. Salah saji (monetary misstatement) seperti itu adalah indikasi yang jelas dari salah saji dari akunakun. Terdapat 3 (tiga) macam pengujian substantif yaitu :
2.7.1. Pengujian substantif atas transaksi Tujuan dari pengujian substantif atas transaksi adalah untuk menentukan apakah semua tujuan audit berkaitan dengan transaksi (transaction-related audit objectives) telah terpenuhi untuk setiap kelas transaksi. Sebagai contoh auditor melakukan pengujian substantif atas transaksi untuk menguji apakah transaksi yang dicatat benar-benar ada dan transaksi yang ada semua telah dicatat. Auditor juga melakukan pengujian ini untuk menentukan apakah transaksi belanja telah dicatat dengan benar, transaksi belanja telah dicatat pada periode laporan yang tepat, belanja telah diklasifikasikan dengan benar dalam neraca, dan apakah belanja telah diikhtisarkan dan diposting dengan benar ke buku besar. Jika auditor merasa yakin bahwa transaksi-transaksi telah dicatat dan diposting dengan benar, auditor dapat meyakini bahwa jumlah dalam buku besar juga benar. Please follow and like us:
|