Bagaimana pandangan dalam agama islam tentang orang memiliki banyak harta dan orang yang sedikit

Bagaimana pandangan dalam agama islam tentang orang memiliki banyak harta dan orang yang sedikit
Bersikap Seimbang untuk Dunia dan Akhirat

Oleh : Sofwan Hadikusuma, Lc, M.E

Jika ada yang bertanya, untuk apa sebenarnya manusia diciptakan di dunia ini? Sebagai seorang muslim, tentu akan mudah menjawabnya: untuk beribadah. Demikian karena tujuan penciptaan memang telah jelas dititahkan oleh Allah swt. yaitu dalam firman-Nya pada surat adz-dzariyat ayat 56 yang artinya berbunyi: “Tiadalah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembahku)”. Ayat ini berlaku umum  menjelaskan bahwa tugas pokok kita sebagai manusia pada dasarnya adalah untuk beribadah semata. Namun demikian, apakah yang dimaksud dengan ibadah di sini hanya seperti yang kita bayangkan yaitu melaksanakan rukun Islam semata? Atau hanya berdiam di masjid berdzikir kepada Allah tanpa henti tanpa melakukan kegiatan apapun selainnya? Tentu tidak. Ketentuan bahwa satu-satunya tugas kita sebagai makhluk ciptaan Allah adalah untuk beribadah memang tidak dapat didustakan. Namun kenyataan bahwa kita hidup di dunia juga tidak dapat dikesampingkan.

Setiap manusia di dunia memiliki jalan takdir hidupnya masing-masing. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah saw. menerangkan bahwa nasib manusia pada hakikatnya sudah ditentukan, termasuk rezeki, ajal, amal, kesedihan, dan kebahagiaannya. Hal ini seharusnya meniscayakan adanya iman kepada Allah bahwa Dia lah satu-satunya yang berkuasa dan tiadalah manusia melakukan sesuatu apapun kecuali ditujukan untuk menggapai ridha-Nya.

Manusia memang diciptakan dengan berbagai macam watak dan karakter. Berdasarkan tingkat kesadarannya, aktivitas yang dilakukan tentu juga akan berbeda-beda. Seseorang dengan kesadaran bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, akan bisa menyeimbangkan kebutuhan duniawi dengan akhiratnya. Sementara seseorang dengan tingkat kesadaran tidak berimbang, akan lebih condong memprioritaskan salah satu dari keduanya.

Dari Anas ra. ia berkata, Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi saw. untuk bertanya tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka menganggap ibadah mereka sedikit sekali. Mereka berkata, “Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan Nabi saw., padahal beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang.” Salah seorang dari mereka mengatakan, “Aku akan melakukan shalat malam seterusnya.” Lainnya berkata, “Aku akan berpuasa seterunya tanpa berbuka.”  Kemudian yang lain juga berkata, “Sedangkan aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah.”

Melihat kepada potongan hadis di atas, tentu ada rasa kagum bagaimana semangat ibadah para sahabat yang sangat tinggi. Namun ternyata, setelah kabar ketiga sahabat tersebut sampai kepada Nabi saw., beliau memiliki tanggapan yang berbeda. Beliau menegaskan bahwa telah berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah sehingga melupakan aspek kehidupan dunia, padahal amalan yang demikian tidak dicontohkannya. Pada lanjutan hadis dijelaskan bahwa Rasulullah saw. mendatangi mereka seraya bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang tidak menyukai sunahku, ia tidak termasuk golonganku.”

Sebaliknya, terlalu memperhatikan dunia hingga melupakan akhirat tentu juga tidak baik. Manusia memang diciptakan dengan akal dan dihiasi dengan keinginan (syahwat) pada keindahan-keindahan duniawi. Allah swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 14 yang artinya adalah, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa wanita, anak, harta, kendaraan, termasuk sawah ladang adalah keindahan dunia yang wajar jika manusia condong kepadanya. Kecintaan terhadap beberapa hal tersebut pada dasarnya adalah sah karena fitrah manusia memang diciptakan demikian. Namun kemudian menjadi tidak wajar jika kecintaan yang timbul menjadi berlebihan, apalagi menjadikan kesemuanya itu hanya sebagai tujuan hidup tanpa memperhatikan urusan akhirat.

Sejatinya, dunia memang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 29 yang artinya berbunyi, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” Dipahami dari ayat ini adalah bahwa bumi dijadikan untuk manusia, artinya manusi memiliki hak untuk memanfaatkan segala apa yang ada di dalamnya. Pemanfaatan itu tentu harus dipahami pada hal-hal yang mengandung maslahat saja, termasuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier, dalam ukuran yang diizinkan oleh syariat.

Tentu kita semua pernah mendengar atau membaca kisah viral seseorang yang memiliki kekayaan tiada bandingannya di muka bumi ini, Qarun. Dikisahkan bahwa pada awalnya Qarun adalah seseorang yang miskin. Lalu dia meminta Nabi Musa as. untuk mendoakannya agar diberikan kekayaan kepadanya. Doa itu akhirnya dikabulkan dan Qarun lantas menjadi orang yang kaya. Al-Quran menggambarkan betapa kekayaan tersebut sangat melimpah. Saking kayanya, bahkan kunci-kunci gudang hartanya sangat berat dan harus diangkat oleh beberapa orang kuat. Namun, kecintaannya yang berlebihan terhadap harta kekayaannya memunculkan perasaan sombong yang pada akhirnya mengantarkannya pada kebinasaan.

Imam Bukhari meriwayatkan satu hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata, “Celaka budak dinar, dirham, dan kain (qathifah). Jika diberi dia ridha, jika tak diberi dia tak rela.” Melalui hadis tersebut, Rasulullah saw. menekankan bahwa sungguh tak elok manusia yang hatinya terpaku pada keberadaan harta. Menjadi kaya memang tidak salah, tapi menempatkan kekayaan pada hati tidaklah dianjurkan. Tercatat dalam sejarah, tidak sedikit para alim ulama yang mempunyai kekayaan yang banyak, namun kekayaan tersebut tidak menggoyahkan hati mereka dalam menyikapi kehidupan di akhirat.

Islam menganjurkan keseimbangan dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat. Tidak berlebihan pada dunia, sebaliknya juga tidak berlebihan pada akhirat. Dalam surat Al-Qashash ayat 77 Allah swt. berfirman, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa akhirat memang telah disediakan sebagai tempat kembali, namun sebelumnya manusia juga ditakdirkan hidup di dunia. Dengan begitu, sebagaimana akhirat harus dipersiapkan, dunia juga harus dijadikan tempat mempersiapkan hidup di akhirat kelak.

Dalam sebuah ungkapan dikatakan bahwa dunia adalah ladang akhirat (ad-dunya mazra’at al-akhirah). Maksudnya adalah bagaimana kita harus bersikap terhadap dunia untuk menjadikannya sebagai ladang di mana kita menanam berbagai amal baik untuk dipanen nantinya di akhirat. Jika amal yang kita tanam berasal dari bibit yang kurang baik, kita harus bersiap memanen hasil yang kurang baik. Sebaliknya jika yang kita tanam berasal dari bibit yang baik, maka kita akan bergembira dengan hasil yang baik pula di akhirat kelak. Allah berfirman, “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya pula.”

Bagaimana pandangan dalam agama islam tentang orang memiliki banyak harta dan orang yang sedikit
Nadzariyyatul Maal.

Pandangan Islam tentang Harta dan Kekayaan.

Oleh: Ust. M. Sofwan Jauhari, Lc., M.Ag

Islam sebagai agama yang sempurna[i] tidak hanya mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Khaliq-nya, tetapi juga mengatur hubungan horizontal antara manusia dengan manusia, bahkan manusia dengan makhluk lain. Al-Quran sebagai kitab suci ummat Islam tidak hanya menjelaskan berbagai aturan dan pandangan tentang akhirat, tetapi juga tentang kehidupan dunia yang sedang kita jalani, Al-Quran mengatur bagaimana seharusnya kita di dunia agar bahagia di akhirat. Bagaimana seharusnya kita memperlakukan harta ketika di dunia agar kita bahagia di akhirat.

Pemahaman terhadap Al-Quran

yang tidak utuh bisa menjadikan kesalah pahaman tentang Islam, termasuk tentang cara pandang terhadap harta dan kekayaan. Pandangan ummat (orang) islam tentang uang dan harta benda pada kenyataanya juga berbeda-beda, ada yang memandang harta sebagai sesuatu yang paling pokok, sehingga tenaga dan pikirannya hanya dihabiskan untuk mengumpulkan harta sampai mengabaikan ibadah, sebaliknya ada juga yang memandang harta sebagai sesuatu yang hina, akhirnya dengan dalih zuhud maka mereka rela hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Ada juga kelompok yang berada diantara dua pandangan tsb. Tulisan ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk mendapatkan cara pandang yang tepat tentang harta yang sesuai dengan ajaran Islam.

B. Pengertian Harta dalam Islam.

Diantara hal prinsip yang membedakan antara bisnis syariah dengan bisnis konvensional adalah terletak pada masalah akad. Akan tetapi, sebelum membahas akad yang menjadikan harta sebagai obyek akadnya, kita perlu membahas apakah yg dimaksud dengan harta dalam fiqh Islam.

Dalam kamus bahasa Indonesia harta berarti : barang seperti uang atau benda lain yg menjadi kekayaan; harta juga merupakan barang yang menjadi milik seseorang;[ii]

Dalam pengertian umum, (bukan dalam Fiqh Islam) harta dipahami sebagai sesuatu yg memiliki nilai ekonomis, baik yg berupa benda ataupun manfaat/jasa. Dg kata lain harta adalah sesuatu yang dapat dikumpulkan, dimanfaatkan dan dimiliki oleh manusia. Dari definisi ini maka : buah-buahan seperti anggur, apel, mangga, alpukat adalah harta. Binatang ternak atau piaraan seperti ayam, kambing, sapi bahkan babi juga termasuk harta. Minuman seperti teh, kopi, sirup, bir, tuak dan minuman keras juga termasuk harta, karena semua itu memiliki nilai ekonomis dan dapat dikuasai. Ini adalah pandangan ekonomi non Islam (konvensional) tentang harta.

Sedangkan dalam Fiqh Islam, ada beberapa definisi tentang harta yang disampaikan oleh para ulama :

الموسوعة الفقهية الكويتية (36/ 32)

وَعَرَّفَ الزَّرْكَشِيُّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ الْمَال بِأَنَّهُ مَا كَانَ مُنْتَفَعًا بِهِ، أَيْ مُسْتَعِدًّا لأِنْ يُنْتَفَعَ بِهِ . وَحَكَى السُّيُوطِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَال: لاَ يَقَعُ اسْمُ الْمَال إِلاَّ عَلَى مَا لَهُ قِيمَةٌ يُبَاعُ بِهَا، وَتَلْزَمُ مُتْلِفَهُ، وَإِنْ قَلَّتْ، وَمَا لاَ يَطْرَحُهُ النَّاسُ، مِثْل الْفَلْسِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ

Imam Zarkasyi dari madzhab Syafii mendefinisikan bahwa harta adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan atau siap untuk dimanfaatkan. Imam Suyuthi, meriwayatkan bahwa Imam Syafii berkata bahwa : Tidak disebut dengan harta, kecuali benda itu memiliki nilai yang bisa dijual karena adanya nilai tersebut, dan bagi orang yang merusaknya maka wajib menanggungnya, walaupun sedikit, dan benda itu tidak termasuk sesuatu yang dibuat oleh orang pada umumnya.[iii]

Sedangkan Imam Suyuthi yang juga dari madzhab Syafii mengatakan : Tidak disebut dengan harta kecuali sesuatu itu memiliki nilai yang menyebabkan sesuatu itu bisa dijual, diwajibkan bagi yang merusaknya untuk mengganti[iv].

Imam Ibnu Abdiin dari Ulama Hanafiah mendefinisikan harta sebagai berikut :

الدر المختار وحاشية ابن عابدين (رد المحتار) (4/ 501(

الْمُرَادُ بِالْمَالِ مَا يَمِيلُ إلَيْهِ الطَّبْعُ وَيُمْكِنُ ادِّخَارُهُ لِوَقْتِ الْحَاجَةِ، وَالْمَالِيَّةُ تَثْبُتُ بِتَمَوُّلِ النَّاسِ كَافَّةً أَوْ بَعْضِهِمْ، وَالتَّقَوُّمُ يَثْبُتُ بِهَا وَبِإِبَاحَةِ الِانْتِفَاعِ بِهِ شَرْعًا؛ …..وَحَاصِلُهُ أَنَّ الْمَالَ أَعَمُّ مِنْ الْمُتَمَوَّلِ؛ لِأَنَّ الْمَالَ مَا يُمْكِنُ ادِّخَارُهُ وَلَوْ غَيْرَ مُبَاحٍ كَالْخَمْرِ، وَالْمُتَقَوِّمُ مَا يُمْكِنُ ادِّخَارُهُ مَعَ الْإِبَاحَةِ، فَالْخَمْرُ مَالٌ لَا مُتَقَوِّمٌ، فَلِذَا فَسَدَ الْبَيْعُ بِجَعْلِهَا ثَمَنًا،

Yang dimaksud dengan al-maal (harta) adalah sesuatu yang disukai oleh tabiat manusia, dan dapat disimpan sampai waktu diperlukan,baik manusia secara keseluruhan atau sebagian. Tetapi harta akan dianggap memiliki nilai (qiimah/ mutaqawwam) apabila sesuatu itu dicintai oleh manusia dan boleh dimanfaatkan menurut syariah…. kesimpulannya: pengertian harta lebih luas dari istilah “mutaqawwam” atau “mutawwal”. Harta adalah setiap sesuatu yang bisa disimpan walaupun tidak halal seperti khamr, sedangkan mutaqawwam adalah sesuatu yang bisa disimpan dan diperbolehkan untuk dimanfaatkannya. Karena itu khamr termasuk harta yang tidak mutaqawwam atau tidak memikiki nilai, sehingga tidak boleh diperjual belikan.[v]

DR Wahbah Az-zuhayli menjelaskan bahwa secara garis besar, dalam Fiqh Islam ada dua tentang pengertian harta, yaitu pengertian harta menurut jumhur ulama dan pengertian harta menurt madzhab hanafi, beliau menjelaskan[vi] sbb :

الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي (4/ 2875)

أما في اصطلاح الفقهاء ففي تحديد معناه رأيان:

أولاً ـ عند الحنفية: المال: هو كل ما يمكن حيازته وإحرازه وينتفع به عادة، أي أن المالية تتطلب توفر عنصرين:

-1 إمكان الحيازة والإحراز: فلا يعد مالاً: ما لايمكن حيازته كالأمور المعنوية مثل العلم   والصحة والشرف والذكاء، وما لا يمكن السيطرة عليه كالهواء الطلق وحرارة الشمس وضوء القمر.

2 - إمكان الانتفاع به عادة: فكل ما لا يمكن الانتفاع به أصلاً كلحم الميتة والطعام المسموم أو الفاسد، أو ينتفع به انتفاعاً لا يعتد به عادة عند الناس كحبة قمح أو قطرة ماء أو حفنة تراب، لا يعد مالاً، لأنه لا ينتفع به وحده. والعادة تتطلب معنى الاستمرار بالانتفاع بالشيء في الأحوال العادية، أما الانتفاع بالشيء حال الضرورة كأكل لحم الميتة عند الجوع الشديد (المخمصة) فلا يجعل الشيء مالاً، لأن ذلك ظرف استثنائي.

وتثبت المالية بتمول الناس كلهم أو بعضهم ، فالخمر أو الخنزير مال لانتفاع غير المسلمين بهما. وإذا ترك بعض الناس تمول مال كالثياب القديمة فلا تزول عنه صفة المالية إلا إذا ترك كل الناس تموله.

وقد ورد تعريف المال في المادة (621) من المجلة نقلاً عن ابن عابدين الحنفي (3) وهو: «المال: هو ما يميل إليه طبع الإنسان، ويمكن ادخاره إلى وقت الحاجة، منقولاً كان أو غير منقول».

ولكنه تعريف منتقد؛ لأنه ناقص غير شامل، فالخضروات والفواكه تعتبر مالاً، وإن لم تدخر لتسرع الفساد إليها. وهو أيضاً بتحكيم الطبع فيه قلق غير مستقر؛ لأن بعض الأموال كالأدوية المرة والسموم تنفر منها الطباع على الرغم منأنها مال. وكذلك المباحات الطبيعية قبل إحرازها من صيود ووحوش وأشجار في الغابات تعد أموالاً ولو قبل إحرازها أو تملكها.

ثانياً ـ وأما المال عند جمهور الفقهاء غير الحنفية: فهو كل ما له قيمة يلزم متلفهبضمانه. وهذا المعنى هو المأخوذ به قانوناً، فالمال في القانون وهو كل ذي قيمة مالية.

Intinya adalah bahwa harta menurut :

  1. Jumhur Ulama menyatakan bahwa harta adalah sesuatu yang memilkiki nilai , dan diwajibkan bagi pihak yang merusakkannya untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, definisi dari jumhur inilah yang dipakai dalam perundang-undangan, jadi harta adalah segala sesuatu yang memiliki nilai ekonomis.
  2. Hanafiah : Harta akan disebut sebagai harta jika memuhi dua unsur yaitu (1) bisa didapatkan (ihroozuhu) dan dimiliki/dikuasai (hiyazatuhu/ saytharah ’alaihi). Hal-hal yang tidak termasuk harta adalah seperti kesehatan, kecerdasan,ilmu dan pengetahuan, cahaya matahari, cahaya bulan purnama, udara yang lepas. Sedangkan unsur ke (2) nya adalah boleh dimanfaatkan.

Dr Abdul Salam Daud Al-Ubuudy mendefiniskan:Sesuatu yang disisi manusia memiliki nilai material dan dibenarkan oleh syarak  pemanfaatannnya dalam kelapangan dan pilihan.[vii]

Dari beberapa kutipan di atas saya simpulkan bahwa pengertian harta yang dimaksudkan dalam Fiqh Islam, adalah harta yang memiliki nilai secara syariah atau yang disebut dengan “maalun mutaqawwam”. Maalun mutaqawwam inilah harta yang menjadi obyek dalam kajian fiqh mu’amalat, yang memiliki konsekwensi hokum dan boleh ditransaksikan, sedangkan harta yang tidak mutaqawwam atau tidak memiliki nilai menurut syariah maka dia tidak menjadi obyek kajian dalam fiqh mu’amalat, ketentuan-ketentuan mengenai harta dalam Islam tidak berlaku untuk harta yang tidak mutaqawwam seperti khamr dan daging babi.

Maksud dari beberapa ketentuan islam tentang harta adalah seperti : kewajiban mengeluarkan zakatnya, perintah untuk menginfakkan sebagiannya, larangan mencuri dari orang lain serta memindahkan kepemilikannya melalui berbagai akad dalam fiqh Islam. Semua contoh ketentuan ini hanya berlaku bagi maalun mutaqawwam. Contohnya adalah seseorang yang memiliki khamr dalam jumlah yang banyak, maka dia tidak diwajibkan mengeluarkan zakatnya, tidak diperintahkan untuk menginfakkan sebagian khamr kepada orang lain, tidak dianggap mencuri jika ada orang lain yang merusak/mengambil tanpa ijin, (hukumannya bukan sebagai pencuri, meskipun boleh jadi dianggap melakukan pelanggaran tetapi tidak dianggap sebagai pencuri yang hukumannya adalah potong tangan), dan tidak boleh diperjual belikan.

Selain khamr, contoh lainnya adalah pakaian yg mempertontonkan aurat, ataupun alat-alat ma'siat lain seperti VCD porno, musik porno, alat-alat perjudian, dan menyewakan tempat untuk maksiat.   Menurut ekonomi konvemsioal alat-alat maksiat yang saya contohkan tersebut akan dikategorikan sebagai harta karena memiliki nilai ekonomis, akan tetapi dalam fiqh islam dia tidak dapat disebut sebagai harta, atau disebut harta tetapi tidak memiliki nilai   (maalun ghoiru mutaqawwam) sehingga nilai akutansinya adalah nol, karena benda-benda tersebut tidak halal dimanfaatkan, dan tidak boleh ditransaksikan.

Untuk lebih jelasnya, maka pengklasifikasian harta berikut ini dapat membantu memahami pengertian harta yang saya jelaskan di atas :

Klasifikasi jenis-jenis harta :

  1. Ditinjau dari segi       boleh atau tidaknya suatu harta dimanfaatkan menurut ketentuan syar'ah       maka harta dibagi menjadi dua[viii] yaitu (1) mutaqawwam   dan (2) ghairu mutaqawwam. Mutaqawaam adalah harta yang memikiki nilai ekonomis menurt syariah, boleh dimanfaatkan menurt syariah seperti pakaian sholat, daging kambing yang disembelih sesuai ketentuan, uang yang didapatkan melalui cara yang halal. Sedangkan ghairu       mutaqawaam adalah harta       (menurut ekonomi non Islam) yang tidak memikiki nilai dan atau tidak boleh dimanfaatkan menurut syariah seperti khamr, pakaian untuk mempertontonkan aurat, alat-alat perjudian dan tempat-tempat pelacuran.
  2. Ditinjau dari segi       tempatnya, harta juga dibagi menjadi 2 macam yaitu       'Iqoor عقار       dan   منقول . Iqoor       adalh benda-benda yang tidak bergerak sepert lahan tanah, dan property, sedangkan harta manqul       adalah benda-benda yang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, baik keadaan bendanya berubah       atau tidak berubah seperti mobil, komputer, makanan dsb       sedangkan.
  3. Ditnjau dari cara pemanfaatannya, harta dibagi menjadi dua macam yaitu : Istihlaaki dan       Isti'maali. Maal Istihlaakii adalah harta yang dimanfaatkan dengan cara "merusaknya " yakni apabila diakai maka benda tersebut akan berkurang atau habis seperti makanan, minuman,tinta dan bahan bakar sedangkan maal       isti’maali adalah harta yg bisa dimanfaatkan tanpa “merusak” harta tersebut, jika dimanfaatkan maka benda tersebut tidak harus berkurang atau habis seperti rumah dan tanah .
  4. Mitsli dan Qiimi .

Maal Mitsli adalah harta yang memiliki kemiripan dengan yang lainnya, misalnya mobil merek A tipe A, sepeda motor merek B tipe B,artinya ada benda yang sama dengan benda tersebut, sehingga jika benda tersebut rusak atau habis maka kita bisa mendapatkan harta yang sama (mitslahu). Sedangkan Maal Qiimi adalah benda yang tidak ada benda lain yang serupa dengannya, tetapi ada benda lain yang nilainya serupa misalnya adalah ikan hias, dan benda antik. Jika benda-benda ini rusak, kita tidak akan mendapatkan harta yang sama, tetapi bisa mendapatkan harta lain yang nilainya sepadan dengan harta tersebut.

Dalam Islam, semua harta adalah milik Allah swt, dan keberadaannya pada manusia adalah merupakan sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt, sehingga manusia tidak memiliki kebebasan tanpa batas dalam mengelola harta yang ada dalam kekauasannya.

D.Ketentuan Dasar tentang harta dalam Islam :

Ada beberapa ketentuan dan pandangan mengenai harta, berikut saya sampaikan beberapa pandangan Islam tentang harta :

  1. Semua harta yang ada di langit dan dibumi adalah milik Allah swt yang diciptkan untuk kemakmuran manusia. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah untuk mengelola alam semesta guna tercapainya tujuan penciptaan manusia. Oleh karena semua yang ada di bumi adalah milik Allah swt maka manusia harus mengenal dan melakukan pendekatan diri kepada Allah sebelum berusaha untuk mendapatkan harta, agar cara memeperoleh dan mengelolanya sesuai dengan aturan Allah swt. Manusia       tidak memiliki kebebasan secara mutlak dalam mengelola harta yang didapatkannya. Harta yang didapat oleh manusia adalah amanah dari Allah yang harus dikelola sesuai dengan keinginan (aturan) yang memberikan amanah.

           لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ   البقرة / 284.

Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. QS   2: 284.

{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (29) } [البقرة: 29]

Dia-lah Allah swt yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian, kemudian Dia menuju ke langit , lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui terhadap segala sesuatu. QS AL-Baqarah 2: 29.

  1. Bahwa secara fitrah manusia itu mencintai harta, kecintaan kepada harta tidak selamanya negatif, dan juga tidak selamanya positif. Cinta kepada harta bisa membawa kebaikan dan keburukan. Agar kecintaan kepada harta tidak menjadi sesuatu yang negatif, maka kecintaan kepada harta tidak boleh mengalahkan kecintaan kepada Dzat yang memiliki, membagi dan mengatur harta, yaitu Allah swt begitu pula dalam hal menafkahkan harta, manusia tidak boleh menyalahi aturan Dzat yang memberikan harta sebagai amanah. Allah swt berfirman

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ (14)} [آل عمران: 14]

Dijadikan indah dalam pandangan manusia, cinta terhadap apa yang diinginkan, yang berupa wanita,anak, harta benda yg bertumpuk seperti emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hdup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. (QS Ali Imran 3: 14)

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (8)} [العاديات: 8]

Dan sessungguhnya kecintaannya (manusia) kepada harta benda benar-benar berlebihan; QS Al-aadiyat 100:8.

Dalam dua aya tersebut Allah memberitahukan bahwa manusia itu diciptakan dalam kondisi cinta kepada harta, hanya saja kecintaan manusia terhadap harta, banyak yang berlebihan, itulah cinta harta yang negatif. Kesalahannya adalah ketikan manusia cinta berlebihan, bukan ketika cinta secara wajar dan bukan merupakan kesalahan kalau seseorang memiliki harta yang banyak, jika tujuannya adalah positif sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut :

نَّهُ سَمِعَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا عَمْرُو نِعْمَ المال الصالح مع الرجل الصالح

Amru bin Ash berkata, saya mendengar rasulullah saw bersabda : Wahai Amru, sebaik-baik harta yang saleh adalah yang bersama (dimiliki) oleh orang yang saleh. HR Ibnu Hibban. [ix]

  1. Oleh karena tujuan utama/ ghoyah penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada Allah, maka penciptaan Allah swt terhadap mahluk yang lain harus menjadi sarana yang memudahkan terwujudnya tujuan utama itu. Harta yang diberikan oleh Allah swt kepada manusia harus dijadikan sarana untuk meningkatkan kwalitas ibadah. Cara mencari dan menggunakan harta harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah itu sendiri. Karena Ibadah adalh segala sesuatu yang dicintai dan diridloi oleh Allah swt maka cara mencari dan menggunakan harta terikat kepada aturan Allah swt. Yang terpenting bukanlah banyak atau sedikitnya harta yang kita miliki, tetapi halal dan keberkahan rizki yang kita dapatkan, biar banyak yang penting halal.

{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56) } [الذاريات: 56، 57]

Dan Aku tidak menciptkan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKU. (QS Adz-dzaariyat   51: 56).

اسم جامع لما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الظاهرة.

Ibadah adalah nama untuk sesuatu yang menyeluruh, mencakup semua ucapan dan perbuatan yang nampak, yang dicintai dan diridloi oleh Allah swt . [x]

Agar upaya seseorang dalam mencari harta adalah benar-benar bernila ibadah maka dia harus memiliki niat yang benar dan cara yang benar dalam mencari dan mengelolaharta yang dimilikinya. Dengn cara pandang demikikan, maka seorang muslim tidak perlu miskin untuk menjadi seorang yang zuhud.

  1. Allah telah menjamin rizki untuk setiap mahluknya, karena itu manusia wajib mengambil jatah rizki yang telah disiapkan oleh Allah swt. Dia akan membagikan rizki kepada setiap hambaNya. Tidak ada mahluk yang tidak memiliki jatah rizki, karena itu manusia wajib berusaha sendiri untuk mencari harta guna mencukupi kebutuhan ibadahnya dan untuk kebahagiaan dunia akhirat, manusia diwajibkan berusahan dan diharamkan meminta atau mengemis kepada manusia lain :

{وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (6)} [هود: 6]

Dan tidak ada mahluk satupun yang berjalan di bumi kecuali dijamin oleh Allah rezekinya, Dia mengetahui tempat diamnya dan tempat menyimpannya. Semua itu tertulis dalam kitab yang jelas (lauhul mahfudz). QS Huudh 11:6.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرَ جَهَنَّمَ، فَلْيَسْتَقِلَّ مِنْهُ أَوْ لِيُكْثِرْ»

Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah sawbersabda : Siapa yang meminta harta orang lain untuk memperkaya dirinya, sesungguhnya dia hanyalah sedang meminta bara api neraka jahannam, sialhkan dia hendak memperbanyak atau meminimalisir bara api itu. HR Ibnu Majah. [xi]

[i] Al-Quran Surat Al-Maidah   (5) : ayat 3.

[ii] http://kamusbahasaindonesia.org/harta/mirip   dikutip pada tanggal 6/9/2013   jam 07.23 WIB. Dan dari http://www.artikata.com/arti-329613-harta.html   pada jam yg sama.

[iii] Almausu’atul fiqhiyyah alkuwaitiyyah, Departemen Wakaf dan urusan keislaman Kuwait, terbitan tahun 1404-1427 H, Vol 36, hal 32.

[iv] Departemen Wakaf dan urusan agama Islam Kuwait, al-mausu’ah al-fiqhiyyah alkuwaitiyyah, Darul sofwah, cet I, cetak di Mesir, Vol 36, hal 32.

[v] Ibnu Abidin, Muhammad amin bin Umar bin Abdul Aziz Abidin ad-dimasyqi alhanafiy (wafat 1252 H), Raddul mukhtaar ;alad durril mukhtar, Darul fikr, Beirut, Cet II, 1412 H/ 1992 M, Vol IV, hal 501.

[vi] Az-Zuhayli, DR Wahbah Az-zuhayli, Al-fiqhul Islaami wa adillatuhu, Darul fikr, Damascus Suriah, Cet 4 edisi revisi (cet ke 12 sbelum revisi) Vol.IV   hal.2875 .

[vii] Dinukil dari http://www.scribd.com/doc/89193787/DEFINISI-HARTA   pada 6/9/2013 jam 07.54 WIB.

[viii] Zuhayli, op.cit, IV, 2430.

[ix] Ibnu Hibban. Muhammad Hibban bin Ahmad Attamiimi, (wafat 354 H); Al-Ihsan fii taqriib Sohh iIbnu Hibban , editor (tartib) : Amir Alaudiin li Alfarisi (wafat 739) & Syuaib Al-arnauth, Ar-Risaalah, Cet I, Beirut, 1408 H/ 1988 M, Vol.VIII   hal.6

[x] Ad-dausiri, Falih bin MAhdi bin Sa’d bin Mubarak Alu Mahdi, ad-dausiry, (wafat 1392H); Attuhfatul mahdiyyah syarah al-aqidah attadmuriyah, terbitan Universitas Islam MAdinah Munawwarah, 1413 H, Vol.II hal.50

[xi] Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin YAzid Al-Qazwini (wafat 273H), Sunan Ibnu MAjah, editor Muhammad Fuad Abdul Baqi, DAru ihyail kutub al-arabiyaah-Faisal Isa al-halabi, Vol I, hal 589.