Jelaskan bahwa shalat dapat menghindarkan diri dari sifat suka meminta minta

Abdullah bin Abbas berkata: "Terjadi gerhana matahari... Lalu Rasulullah saw. melaksanakan shalat. Beliau berdiri lama sekali... selesai beliau shalat, matahari terlihat sudah muncul. Lalu beliau bersabda: 'Sesungguhnya matahari dan rembulan adalah dua di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana lantaran kematian seseorang ataupun karena kelahirannya. Oleh sebab itu, apabila kalian melihat gerhana itu, maka ingatlah kepada Allah!'

Kaum muslimin bertanya: 'Wahai Rasulullah, kami melihatmu seakan-akan memetik sesuatu pada tempatmu ini. Kemudian kami melihatmu pula agak tertegun?'

Rasulullah saw. bersabda: 'Aku melihat surga. Lalu aku mencoba memetik anggur darinya. Seandainya aku dapat mengambilnya, tentu kalian dapat memakannya selama dunia masih ada. Dan aku melihat neraka Aku sama sekali belum pernah melihat pemandangan yang lebih seram seperti yang aku lihat hari ini. Aku melihat kebanyakan penghuni neraka itu adalah para wanita.' Kaum muslimin bertanya: 'Apa sebabnya, ya Rasulullah?' Rasulullah saw. bersabda: 'Sebab kekafiran mereka.' Ada yang bertanya: 'Apakah karena mereka mengkufuri Allah?' Rasulullah saw. bersabda: 'Sebab mengkufuri kenikmatan berkeluarga dan kebaikan (orang kepadanya). Kalau engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka sepanjang tahun, kemudian dia melihat satu kesalahan kecil padamu, maka akan dia berkata: "Aku tidak pernah melihat kebaikan darimu sama sekali.'" (HR Bukhari dan Muslim)422 Dalam hadits ini ada dua hal yang patut kita bahas dan kita renungkan:

Pertama apa maksud hadits tersebut? Apakah wanita lebih banyak menghuni neraka karena kejahatan lebih dominan menguasai fitrah mereka, sementara pada diri laki-laki tidak demikian? Jika ternyata hal itu bukan hanya terdapat dalam diri wanita, tentu mereka tidak dimintai pertanggungjawaban karena berbuat kejahatan. Hadits tersebut menetapkan bahwa mereka bertanggungjawab terhadap apa yang mereka kerjakan dengan tangan mereka sendiri, seperti ketidakpatuhan mereka kepada keluarga/suami. Benar sekali apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar berikut ini: "Dalam hadits Jabir terdapat dalil yang menunjukkan bahwa yang terlihat di dalam neraka itu adalah wanita-wanita yang memiliki sifat-sifat tercela seperti dalam hadits berikut:

'Orang yang paling banyak aku lihat di dalamnya (neraka) dari kalangan wanita yang apabila diberi kepercayaan menyimpan rahasia, dia bocorkan; apabila diminta sesuatu kepadanya, dia bakhil; apabila mereka yang meminta, mereka ngotot dan minta banyak; serta apabila diberi, mereka tidak pandai berterima kasih.423

Hadits ini mengingatkan kita pada sabda Rasulullah saw.:

'Aku lihat ke dalam surga, lalu aku lihat kebanyakan penghuninya dari kalangan fakir miskin.'424

Lantas apa yang membuat jumlah orang kaya di surga cenderung sedikit? Jawabannya tidak lain karena banyak di antara mereka yang melakukan kemaksiatan dengan ulah mereka sendiri, seperti mengambil harta haram, membelanjakannya untuk sesuatu yang haram, kikir, dan tidak mau menyumbangkannya pada jalan-jalan yang baik.

Kedua, manfaat apa yang dapat kita ambil sebagai umat Islam, baik laki-laki maupun wanita, dari hadits ini? Menurut hemat saya, manfaat terbesar yang dapat kita petik dari hadits ini adalah amalan atau upaya kita semua untuk menghindarkan diri dari api neraka. Tidak ada tujuan disebutkan neraka dan keadaannya kecuali untuk menghindarkan diri darinya.

Lalu bagaimana cara kaum wanita menghindarkan dirinya dari api neraka? Di antara caranya adalah dengan meninggalkan sikap durhaka terhadap keluarga/suami. Bagaimana pula caranya agar wanita dapat menjauhkan diri dari sikap durhaka terhadap keluarga tersebut? Jawabnya, mulailah melalui pendidikan dan pengarahan guna mempertebal rasa takwa dan taat kepada Allah di dalam hatinya. Kemudian dilakukan juga dengan mengingat pesan dan nasihat Rasulullah saw. ketika mereka digoda oleh setan. Namun, jika ternyata mereka kalah, sehingga terjebak ke dalam perbuatan maksiat, maka mereka harus segera beristighfar (mohon ampunan dari Allah) dan memberikan sedekah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw. dalam hadits berikut:

"Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian (dalam riwayat Muslim: 'Dan perbanyaklah istighfar'), karena aku melihat kalian sebagai penghuni neraka yang terbanyak." Kaum wanita bertanya: "Apa sebabnya, wahai Rasulullah?" Rasulullah saw. bersabda: "Karena kalian banyak mengutuk dan mengingkari budi baik suami." (HR Bukhari dan Muslim)425

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Dari hadits ini dapat diambil beberapa pelajaran, diantaranya: anjuran menyampaikan nasihat, sebab nasihat dapat menghilangkan sifat tercela tersebut serta sedekah itu dapat menghindarkan azab dan mungkin dapat juga menghapuskan dosa yang terjadi antara para makhluk."426

Kemudian bagaimana pula kaum laki-laki menjaga dirinya dari api neraka? Caranya adalah dengan menghindari perbuatan-perbuatan yang haram dan menunaikan semua kewajibannya. Di antara kewajiban kaum laki-laki adalah memelihara ibu-ibu mereka, saudara-saudara perempuan, para istri, dan anak-anak perempuan mereka dengan baik. Di antaranya dengan menyediakan peluang yang cukup untuk memberi pelajaran dan nasihat yang berkesan serta ibadah yang dilakukan secara berjamaah, seperti shalat Jum'at, shalat dua hari raya, atau tarawih sehingga hati mereka dipenuhi oleh nilai-nilai iman dan takwa. Demikian pula halnya dengan memberikan peluang yang cukup agar mereka dapat mengerjakan amal saleh seperti bersedekah, beramar ma'ruf nahi munkar, serta mengajak manusia menuju kebaikan. Hal-hal seperti itu merupakan sifat kepemimpinan yang baik dan diwajibkan oleh Allah SWT atas kaum laki-laki. Allah SWT telah berfirman: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita ..." (anNisa': 34)

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..." (at-Tahrim: 6)

Juga termasuk kepemimpinan yang baik seperti apa yang dikatakan Rasulullah saw. dalam sabda beliau berikut:

"Seorang lelaki/suami adalah pemimpin bagi anggota keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai mereka." (HR Bukhari dan Muslim)427

B. HADITS KEDUA

Abu Sa'id al-Khudri berkata: "Rasulullah saw. pergi ke tempat shalat pada hari raya Adha atau hari raya Fitri. Selanjutnya beliau melewati jamaah wanita, lalu bersabda: 'Wahai kaum wanita ... aku tidak pernah melihat orang-orang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian.' Mereka (kaum wanita) bertanya: 'Apa kekurangan akal dan agama kami, ya Rasulullah?' Rasulullah saw. menjawab: 'Bukankah persaksian seorang wanita sama seperti setengah persaksian seorang laki-laki?' Mereka menjawab: 'Benar.' Rasulullah saw. bersabda: 'Maka di situlah letak kurang akalnya.' (Kemudian beliau bertanya): 'Bukankah wanita itu, ketika haid tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa?' Mereka menjawab: 'Benar.' Rasulullah saw. bersabda: 'Maka di situlah letak kurang agamanya.'" (HR Bukhari dan Muslim)428

Kita akan menguraikan hadits ini dari tiga sudut.

1. Pengertian Umum

Nabi saw. bersabda: "... Aku tidak pernah melihat orang-orang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian," memerlukan kajian dan penelitian, baik segi momentum dikeluarkannya hadits tersebut atau dari segi kepada siapa hadits tersebut ditujukan, maupun dari segi bentuk dan susunan katanya. Hal ini perlu sekali dilakukan untuk mengetahui relevansinya dengan karakteristik wanita.

Dari segi momentum, hadits di atas disampaikan ketika Nabi saw. memberikan saran dan nasihat kepada kaum wanita pada suatu hari raya. Mungkinkah Rasulullah saw. sebagai seorang yang berakhlak mulia memejamkan mata terhadap persoalan wanita, menjatuhkan martabat mereka, atau merendahkan nilai kepribadian mereka pada saat yang penuh dengan suka cita itu?

Dari segi kepada siapa hadits itu ditujukan, sudah jelas. Mereka adalah jamaah wanita kota Madinah yang mayoritas kaum Anshar. Mereka digambarkan oleh Umar dalam ucapannya sebagai berikut:

"Tatkala kami tiba di kota Madinah, kami menemukan bahwa yang lebih dominan adalah kaum wanitanya. Lalu wanita-wanita kami meniru adab dan perilaku orang-orang Anshar."429

Hal itu dapat menjelaskan mengapa Rasulullah saw. mengatakan: "Aku tidak pernah melihat orang-orang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian."

Adapun dari segi bentuk dan susunan kata hadits, dapat dikatakan bahwa kata-katanya tidak berbentuk taqrir (ketetapan), kaidah, atau hukum umum, tetapi lebih bersifat ungkapan rasa kagum Rasulullah saw. terhadap kontradiksi yang terjadi, yaitu mengenai lebih dominannya kaum wanita --padahal mereka adalah makhluk yang lemah-- atas kaum laki-laki yang memiliki sikap tegas. Artinya, kekaguman Rasulullah saw. terhadap hikmah dan rahasia kebijaksanaan Allah meletakkan kekuatan di tempat yang kita duga lemah dan Dia memperlihatkan kelemahan di tempat yang kita duga kuat! Karena itu, kita patut bertanya: "Bukankah hadits yang terdapat dalam nasihat Nabi saw. itu mengandung sentuhan atau sindiran halus terhadap kaum wanita? Bukankah hal ini merupakan permulaan yang baik pada satu bagian dari nasihat Nabi saw.?" Seolah-olah beliau ingin mengatakan: "Wahai kaum wanita, kalau kalian diberi kekuatan oleh Allah untuk melumpuhkan hati kaum laki-laki yang tegas, meskipun kalian lemah, maka takutlah kepada Allah dan janganlah kalian menggunakan kekuatan kalian tersebut kecuali untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat!" Demikianlah permasalahannya, dan kalimat "orang-orang kurang akal dan agama" itu disampaikan hanya satu kali, guna menarik perhatian. Hal itu pun merupakan pendahuluan yang baik dan halus dalam menyampaikan nasihat, khususnya terhadap kaum wanita. Artinya, hal itu tidak pernah disampaikan secara tersendiri dalam bentuk taqrir, baik di hadapan kaum wanita maupun kaum laki-laki.

2. Pengertian Khusus

Ada beberapa kemungkinan mengenai makna kurang akal dari hadits tersebut, antara lain adalah:

  1. Kekurangan fitrah/alamiah yang bersifat umum, artinya tingkat kecerdasannya menengah saja.
  2. Kekurangan alamiah dalam jenis tertentu; artinya dalam beberapa kemampuan akal khusus, seperti dalam berhitung, daya imajinasi, dan daya nalar.
  3. Kekurangan insidental dalam jenis tertentu yang berjangka pendek. Kekurangan semacam ini terjadi atas fitrah manusia sementara waktu akibat faktor yang bersifat insidental, seperti ketika datang waktu haid, masa nifas, atau masa-masa kehamilan.
  4. Kekurangan insidental dalam bidang tertentu yang berjangka panjang. Kekurangan semacam itu dapat terjadi karena berbagai kondisi kehidupan khusus, seperti sibuk terus dengan masalah kehamilan, melahirkan, menyusukan anak, dan memeliharanya. Hari-harinya dilewatkan di bawah atap rumah saja, tidak pernah meninggalkannya sehingga terputus sama sekali dengan dunia luar. Hal ini membuat mereka semakin tidak memahami berbagai bidang kehidupan serta daya tangkapnya semakin lemah atas masalah-masalah keuangan atau lainnya.

Sesungguhnya contoh Rasulullah saw. bagi wanita mengenai kurang akal tersebut dapat membantu memperkuat alasan mengenai kekurangan jenis tertentu, baik yang bersifat fitrah/alamiah maupun yang bersifat insidental. Namun demikian, apapun bidang kekurangannya, hal itu tidak akan merusak kekuatan akal atau kemampuan wanita dalam memikul segala tanggung jawabnya yang utama. Sebagian dari tanggung jawab tersebut ada yang lebih dikhususkan untuk wanita, seperti menjaga anak-anak. Tugas semacam itu tidak mungkin diserahkan Allah kecuali kepada makhluk yang normal, dan kita sebagai kaum bapak tidak mungkin mempercayakan putra-putri kita ke dalam naungan manusia yang rusak akal dan agamanya.

Di antara tanggung jawab yang di dalamnya ikut terlibat wanita bersama laki-laki adalah seperti dalam urusan-urusan berikut:

  1. Tanggung jawab kemanusiaan; artinya manusia memikul tanggung jawab apa yang dia kerjakan dan akan diperhitungkan di akhirat kelak. Masalah itu sudah ditetapkan di dalam Al-Qur'an.
  2. Tanggung jawab pidana dan memikul hukuman pembalasan di dunia karena perilaku yang menyimpang. Masalah ini juga ditetapkan dalam Al-Qur'an.
  3. Tanggung jawab sipil, hak mengelola harta, membuat kontrak/perjanjian, serta membendung/menguasai suatu permasalahan. Hal ini dibenarkan oleh para fuqaha umumnya berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah.
  4. Tanggung jawab menentukan keputusan mengenai harta. Hal ini ditetapkan/diakui oleh Abu Hanifah.
  5. Tanggung jawab meriwayatkan Sunnah yang menerangkan Al-Qur'an. Hal ini disepakati oleh semua ulama kaum muslimin.

Jika ternyata pengertian yang lebih kuat adalah kekurangan dalam jenis/bidang tertentu, maka tiga kemungkinan terakhir mengenai makna kekurangan akal tersebut dapat saja terjadi, tidak ada kontradiksi diantaranya, bahkan satu sama lainnya saling mempengaruhi.

Dari segi adanya kekurangan alamiah dalam beberapa jenis kemampuan khusus akal, seperti penguasaan masalah keuangan dan angka-angka --yaitu suatu kemampuan yang telah dinyatakan dalam Al-Qur'an: "... supaya jika seorang (perempuan) lupa maka seorang lagi mengingatkannya ...." (al-Baqarah: 282)-- maka kekurangan seperti ini, jika bukan merupakan sesuatu yang alamiah/bawaan sejak lahir dan sebagai pembeda antara wanita dan laki-laki sebagaimana adanya perbedaan dalam beberapa anggota tubuh, maka ia merupakan sesuatu yang alamiah atau semi-alamiah pada masa setelah usia balig akibat pengaruh perkembangan yang berkaitan dengan organ seks pada masa perkawinan dan setelah menjadi ibu. Artinya, hal itu bersamaan dengan sempurnanya organ seks yang diiringi proses kehamilan, melahirkan, dan menyusukan anak, dari satu sisi, dan bersamaan dengan sempurnanya kehidupan sosial tertentu bagi wanita dari sisi lain.

Yang mendorong kami untuk memegang pendapat ini adalah interaksi yang biasa kita saksikan antara kehidupan biologis dan sosial pada satu sisi dan kehidupan akal pada sisi lain. Di antara gejala interaksi tersebut dapat kita identifikasikan seperti apa yang terjadi ketika wanita memberikan kesaksian --ketika dia dipengaruhi oleh perasaannya-- atau ketika menjalani masa-masa yang kurang menyenangkan seperti waktu haid, atau ketika dia menghadapi keadaan berat seperti masa-masa kehamilan, menyusukan, dan memelihara anak, di samping mengurus pekerjaan rumah tangga.

Hadits Nabi saw. itu pun mengisyaratkan kekurangan yang dimiliki wanita, tetapi dengan tidak menentukan masanya. Seolah-olah masalah penetapan masanya itu sengaja ditinggalkan agar manusia dapat melakukan ijtihad dan penelitian ilmiah. Namun demikian, dalam masalah ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

  1. Kekurangan jenis dalam salah satu kemampuan khusus mungkin saja diimbangi oleh kelebihan dalam satu atau beberapa kemampuan yang lain.
  2. Kekurangan di sini berkaitan dengan kaum wanita secara umum. Tetapi hal ini bukan berarti tidak adanya beberapa wanita yang dikaruniai Allah kemampuan yang tinggi, bahkan kadang-kadang luar biasa dalam bidang-bidang yang biasanya kaum wanita secara umum lemah dalam bidang-bidang tersebut. Bahkan tidak mustahil wanita-wanita tersebut lebih unggul daripada laki-laki --sebagian besarnya- - dalam bidang-bidang tadi. Ibnu Taimiyyah pernah berkata: "Kelebihan jenis (ras) tidak harus berarti kelebihan seseorang. Barangkali budak hitam dari Habasyah lebih unggul menurut Allah daripada bangsa Quraisy." Pada bagian lain beliau mengatakan: "Tetapi, pada dasarnya, warga perkotaan lebih unggul daripada warga pedesaan, meskipun kadang-kadang beberapa orang warga desa lebih unggul daripada kebanyakan orang kota."430
  3. Apabila kekurangan jenis yang alami atau insidental itu terjadi karena fungsi beberapa anggota badan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah atas anak cucu Adam yang wanita --hal itu merupakan sesuatu yang baik dan dapat membantu laki-laki dan wanita melaksanakan perannya dalam kehidupan-- maka kehidupan yang monoton dan senantiasa terisolasi di balik tembok rumah adalah sesuatu yang membahayakan kehidupan wanita, kehidupan keluarga, dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Bahaya tersebut berakibat pada hilangnya akal wanita secara keseluruhan, bahkan bisa jadi membuatnya sebagai seorang pemalas dan orang yang bosan hidup, tidak memiliki gairah sama sekali, serta tidak peduli sedikit pun dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Bersamaan dengan itu perannya dalam mendidik anak-anak akan lemah dan semangatnya untuk membangun masyarakat dengan kegiatan sosial dan politik akan memudar.