Hukum anak tidur bersama ibu bapa

Apakah anak laki-laki yang telah baligh boleh tidur bersama ibunya atau saudara perempuannya?
Jawab:
Anak-anak laki-laki yang telah baligh atau telah mencapai usia sepuluh tahun, tidak boleh lagi tidur bersama ibu atau saudara perempuan mereka di kamar tidur atau di kasur mereka. Hal ini demi menjaga kemaluan dan menjauhkan dari kobaran fitnah serta menutup celah yang mengantarkan kepada kejelekan.
Nabi n telah memerintah umatnya untuk memisah tempat tidur anak-anak mereka apabila usia mereka telah genap sepuluh tahun. Beliau n bersabda,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka bila enggan mengerjakannya pada usia sepuluh tahun. Dan pisahkanlah di antara mereka pada tempat tidurnya.”2
Dalam al-Qur’an, Allah l memerintahkan agar anak-anak yang belum baligh meminta izin ketika masuk rumah/kamar pada tiga waktu yang aurat biasanya tersingkap dan tampak. Allah l menekankan hal tersebut dengan menamakan tiga waktu itu adalah aurat.
Allah l berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak yang kalian miliki dan anak-anak yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian (bila hendak masuk ke tempat kalian) tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian luar kalian di tengah hari dan setelah shalat Isya. Itulah tiga aurat bagi kalian.” (an-Nur: 58)
Anak yang telah baligh diperintah oleh Allah l untuk meminta izin setiap akan masuk rumah/kamar. Allah l berfirman,
“Apabila anak-anak kalian telah sampai usia baligh, hendaklah mereka meminta izin (di setiap waktu ketika hendak masuk ke tempat kalian) seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” (an-Nur: 59)
Semua itu dimaksudkan untuk mecegah gangguan/godaan, menjaga kehormatan, dan menutup celah yang mengantarkan kepada kejelekan.
Adapun anak laki-laki yang berusia di bawah sepuluh tahun masih boleh tidur bersama ibu atau saudara perempuannya di tempat tidurnya, karena adanya kebutuhan untuk menjaganya dan mencegah bahaya darinya bersamaan dengan aman dari fitnah. Ketika aman dari fitnah, mereka boleh tidur sama-sama di satu tempat/kamar walaupun sudah mencapai usia baligh, hanya saja masing-masing tidur di kasurnya sendiri. Wa billahi at-taufiq.
(Fatwa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta. Ketua: Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz. Wakil ketua: asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi. Anggota: asy-Syaikh Abdullah ibn Ghudayyan, asy-Syaikh Abdullah ibn Qu’ud, no. 1600, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 17/408—409)

Catatan kaki:

2 HR. Abu Dawud no. 495, dinyatakan hasan dalam Shahih Sunan Abi Dawud.

Anak merupakan sebuah amanah yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada setiap orang tua agar dididik dengan baik dan benar. Maka sebagai orang tua, terdapat berbagai kewajiban dalam merawat anak, salah satunya dengan memisah tempat tidur mereka. Hal demikian seperti dijelaskan dalam hadits:


مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ


“Perintahlah anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) saat mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur di antara mereka” (HR Abu Daud).


Berdasarkan hadits ini, para ulama berpandangan bahwa tempat tidur anak harus dipisah, baik dengan orang tua ataupun saudaranya, tatkala anak sudah menginjak usia sepuluh tahun. Kewajiban ini selain berlandaskan dalil hadits di atas, juga dimaksudkan agar menjauhi prasangka buruk (mawadhi’ at-tuham) serta agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sebab usia sepuluh tahun merupakan usia-usia mulai munculnya syahwat (madzinnah as-syahwat). Kewajiban memisah ranjang ini salah satunya ditegaskan dalam kitab Kifayah al-Akhyar:


يحرم على الرجل أَن يضاجع الرجل وَكَذَا يحرم على الْمَرْأَة أَن تضاجع الْمَرْأَة فِي فرَاش وَاحِد وَإِن كَانَ كل وَاحِد مِنْهُمَا فِي جَانب الْفراش كَذَا أطلقهُ الرَّافِعِيّ وَتَبعهُ النَّوَوِيّ على ذَلِك فِي الرَّوْضَة وَقيد النَّوَوِيّ التَّحْرِيم فِي شرح مُسلم بِمَا إِذا كَانَا عاريين وَهَذَا الْقَيْد صرح بِهِ القَاضِي حُسَيْن والهروي وَغَيرهمَا وَقد ورد فِي بعض الرِّوَايَات ذَلِك وَإِذا بلغ الصَّبِي والصبية عشر سِنِين وَجب التَّفْرِيق بَينه وَبَين امهِ وَأَبِيهِ وَأُخْته وأخيه فِي المضجع للنصوص الْوَارِدَة فِي ذَلِك وَالله أعلم


“Haram bagi seorang laki-laki tidur seranjang dengan laki-laki yang lain, begitu juga bagi perempuan haram tidur satu ranjang dengan perempuan yang lain, meskipun masing-masing dari mereka berada di sisi ranjang yang lain, seperti yang dimutlakkan oleh Imam ar-Rafi’i dan diikuti oleh Imam an-Nawawi dalam kitab ar-Raudhah, sedangkan dalam kitab Syarah Muslim, Imam an-Nawawi membatasi keharaman tersebut ketika mereka dalam keadaan telanjang. Batasan demikian sama halnya yang ditegaskan oleh Qadli Husein, al-Harawi dan ulama lainnya. Pembatasan demikian juga terdapat dalam sebagian riwayat. Dan ketika anak kecil laki-laki dan perempuan telah menginjak usia sepuluh tahun, maka wajib untuk memisahkan mereka dengan ibu, bapak, saudara laki-laki, dan perempuannya dengan ranjang yang berbeda, sebab terdapat dalil nash yang menyebutkan hal ini. Wallahu a’lam” (Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, hal. 354)


Meski demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban memisahkan tempat tidur anak tidak dimulai dari usia sepuluh tahun, melainkan sejak anak menginjak usia tujuh tahun. Pendapat ini salah satunya diusung oleh Imam az-Zarkasyi dengan berpijak pada dalil hadits yang lain yang menyebutkan usia tujuh tahun sebagai pijakan utama dalam pemisahan tempat tidur anak. Berikut penjelasan mengenai hal ini:


وَمَا ذَكَرَهُ مِنْ اعْتِبَارِ الْعَشْرِ فِي التَّفْرِيقِ نَازَعَ فِيهِ الزَّرْكَشِيُّ وَغَيْرُهُ فَقَالُوا بَلْ الْمُعْتَبَرُ السَّبْعُ لِخَبَرِ «إذَا بَلَغَ أَوْلَادُكُمْ سَبْعَ سِنِينَ فَفَرِّقُوا بَيْنَ فُرُشِهِمْ» رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ إنَّهُ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ قَوْلَهُ فِي الْخَبَرِ الْمَشْهُورِ «وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ» رَاجِعٌ إلَى أَبْنَاءِ سَبْعٍ وَأَبْنَاءِ عَشْرٍ جَمِيعًا


“Hal yang dijelaskan berupa penetapan umur sepuluh tahun sebagai pijakan wajibnya memisah ranjang, ditentang oleh imam az-Zarkasyi dan ulama yang lain. Mereka berpendapat bahwa yang menjadi pijakan adalah umur tujuh tahun, berdasarkan hadits “jika anak kalian telah berumur tujuh tahun, maka pisahlah ranjang tidur mereka” hadits riwayat imam Daruquthni dan imam Hakim, hadits ini adalah hadits shahih berdasarkan syarat kualifikasi Imam Muslim. Hadits ini menunjukkan bahwa sabda Nabi dalam hadits yang masyhur “Pisahlah ranjang di antara mereka” berlaku bagi anak berumur tujuh sekaligus sepuluh tahun” (Syekh Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 3, hal.113)


Namun penetapan usia tujuh tahun dalam pemisahan tempat tidur anak, rupanya dipandang sebagai pendapat yang lemah oleh para ulama, dan hadits yang menyebut perintah memisahkan tempat tidur anak saat menginjak usia tujuh tahun diarahkan hanya bersifat anjuran (sunnah) tidak sampai mengarah pada hukum wajib.  


Sedangkan maksud memisahkan tempat tidur antara anak dan orang tua, dapat mengarah pada dua cara. Pertama, memisah tempat tidur dengan memiliki tempat tidur sendiri-sendiri bagi anak dan orang tua. Kedua, tempat tidur cukup satu tempat atau satu ruangan, namun masing-masing anak dan orang tua berada di tempat yang terpisah dan tidak saling berdekatan.


Masing-masing dari dua cara dalam memisahkan anak dan orang tua dalam tempat tidur sama-sama dapat dijadikan pijakan dan diamalkan, meski yang paling utama adalah mengikuti cara pertama, sebab cara tersebut merupakan cara yang paling hati-hati (al-ahwath). Kedua cara ini terangkum dalam kitab Hasyiyah ar-Ramli al-Kabir berikut:


ـ (قَوْلُهُ وَيَجِبُ التَّفْرِيقُ إلَخْ) قِيلَ التَّفْرِيقُ فِي الْمَضَاجِعِ يَصْدُقُ بِطَرِيقَيْنِ أَنْ يَكُونَ لِكُلٍّ مِنْهُمَا فِرَاشٌ وَأَنْ يَكُونَا فِي فِرَاشٍ وَاحِدٍ وَلَكِنْ مُتَفَرِّقَيْنِ غَيْرَ مُتَلَاصِقَيْنِ وَيَنْبَغِي الِاكْتِفَاءُ بِالثَّانِي؛ لِأَنَّهُ لَا دَلِيلَ عَلَى حَمْلِ الْحَدِيثِ عَلَى الْأَوَّلِ وَحْدَهُ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ حَمْلُهُ عَلَيْهِ هُوَ الظَّاهِرُ بَلْ هُوَ الصَّوَابُ لِلْحَدِيثِ السَّابِقِ فَرَّقُوا بَيْنَ فُرُشِهِمْ مَعَ تَأْيِيدِهِ بِالْمَعْنَى وَهُوَ خَوْفُ الْمَحْذُورِ


“Maksud dari memisah ranjang bias mencakup dua cara. Pertama, masing-masing dari keduanya (anak dan orang tua) memiliki tempat tidur tersendiri. Kedua, mereka berdua berada dalam satu tempat tidur, namun terpisah dan tidak saling menempel atau berdekatan. Hendaknya bentuk memisah ranjang ini dicukupkan dengan cara kedua, sebab tidak ada dalil yang mengarahkan hadits pada pemaknaan cara pertama saja. Imam az-Zarkasyi berkata: mengarahkan hadits pada cara pertama adalah makna yang dhahir bahkan merupakan makna yang benar, berdasarkan hadits 'Pisahlah di antara ranjang mereka' besertaan kuatnya cara pertama ini terhadap makna, yakni khawatir terjadinya hal yang ditakutkan” (Syihabuddin ar-Ramli, Hasyiyah ar-Ramli al-Kabir ‘ala Asna al-Mathalib, juz 3, hal. 113) 

Walhasil, memisah tempat tidur anak dengan orang tua adalah hal yang wajib saat anak sudah menginjak usia sepuluh tahun. Pendapat yang lain menyebutkan pemisahan ranjang ini dimulai saat anak berusia tujuh tahun. Dalam praktiknya, sebaiknya orang tua senantiasa bijak dan memperhatikan sarana dan prasarana yang tersedia dalam rumahnya, jika ruangan rumah hanya terbatas dan tidak memungkinkan untuk dipisah dengan kamar yang lain, maka boleh bagi orang tua untuk mengikuti cara kedua dalam memisah tempat tidur anak dengan sekiranya tidur anak dan orang tua tidak berdekatan dan menempel, meski masih dalam satu ruangan yang sama.

Di samping menyiapkan suasana baru bagi anak yang beranjak kian dewasa, memisahkan tempat tidur juga bagian dari ikhtiar membentuk pribadi anak untuk lebih mandiri. Dengan tidur sendiri, apalagi bila punya kamar sendiri, anak dilatih untuk bertanggung jawab atas dirinya dan ruangannya tanpa mesti selalu bergantung pada orang tua. Wallahu a’lam.


Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Jember, Jawa Timur.

Sampai kapan anak boleh tidur dengan orang tua?

Para ulama berpandangan bahwa tempat tidur anak harus dipisah, baik dengan orang tua ataupun saudaranya, tatkala anak sudah menginjak usia sepuluh tahun.

Kenapa anak tidak boleh tidur dengan orang tua?

Bayi yang tidur di satu ranjang yang sama dengan kedua orangtuanya sangat berisiko mengalami SIDS atau Sudden Infant Death Syndrome. SIDS sendiri merupakan kematian mendadak yang terjadi pada bayi tanpa adanya gejala atau tanda yang mendahuluinya.

Apakah boleh anak laki laki tidur dengan ibunya?

Adapun anak laki-laki yang berusia di bawah sepuluh tahun masih boleh tidur bersama ibu atau saudara perempuannya di tempat tidurnya, karena adanya kebutuhan untuk menjaganya dan mencegah bahaya darinya bersamaan dengan aman dari fitnah.

Apakah anak perempuan tidak boleh tidur dengan Ayah?

Anak gadis yang sudah baligh tidak boleh lagi tidur dengan orangtua terutama bapaknya. “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah jika enggan melakukan shalat bila telah berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Abu Dawud).