Lihat Foto KOMPAS.com - Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada sekitar abad ke-8 hingga abad ke-11. Kerajaan bercorak Hindu-Buddha ini sempat beberapa kali mengalami perpindahan pusat pemerintahan, dari Jawa Tengah hingga akhirnya ke Jawa Timur. Ketika di Jawa Tengah, Mataram Kuno diperintah oleh dua dinasti berbeda, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Sayilendra. Sedangkan pada periode Jawa Timur, yang lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Medang, diperintah oleh Dinasti Isyana. Meski bercorak Hindu-Buddha, masyarakat Mataram Kuno tetap memegang teguh toleransi antarumat beragama. Berikut ini bukti adanya toleransi antaraumat beragama di Kerajaan Mataram Kuno. Baca juga: Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno Perkawinan beda agamaDinasti-dinasti yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno mempunyai perbedaan yang sangat mencolok, di mana Dinasti Sanjaya bercorak Hindu, sedangkan Dinasti Syailendra bercorak Buddha. Kekuasaan Mataram Kuno pertama kali dipegang oleh Raja Sanjaya, dibuktikan dengan Prasasti Canggal. Raja Sanjaya dikenal sebagai raja yang bijaksana, cakap, adil, dan taat dalam beragama. Di bawah pemerintahannya, kerajaan ini mejadi pusat pembelajaran agama Hindu, dibuktikan dengan banyaknya pendeta yang berkunjung dan menetap di Mataram.
Pada pertengahan abad ke-8, Raja Sanjaya wafat dan digantikan oleh putranya, Rakai Panangkaran. Setelah Rakai Panangkaran wafat, Kerajaan Mataram Kuno terpecah menjadi dua. Dinasti Sanjaya memerintah Kerajaan Mataram Kuno bercorak Hindu di Jawa Tengah bagian utara. Sementara Dinasti Syailendra memerintah Kerajaan Mataram Kuno bercorak Buddha di Jawa Tengah bagian selatan. Baca juga: Pemindahan Ibu Kota Kerajaan Mataram Kuno Kerajaan Mataram Kuno akhirnya bersatu kembali setelah perkawinan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya (Hindu) dan Pramodhawardani dari Wangsa Syailendra (Buddha). Perbedaan agama di antara Rakai Pikatan dan Pramodawardhani pun terbukti tidak menimbulkan masalah. Selama memerintah, keduanya sama-sama menjunjung toleransi beragama. Pembangunan candi Hindu-BuddhaMasyarakat Kerajaan Mataram kuno terdiri atas agama Hindu dan agama Buddha. Namun, mereka tetap hidup rukun dan saling bertoleransi. Hal itu dibuktikan dalam pembangunan Candi Plaosan di Kabupaten Klaten, yang merupakan wujud akulturasi budaya Hindu dan Buddha. Selain itu, Rakai Pikatan dan Pramodawardhani juga mendukung pembangunan candi bercorak Hindu maupun Buddha. Pada 842, mereka meresmikan Candi Borobudur (Buddha) yang dibangun sejak era pemerintahan Samaratungga. Baca juga: Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno yang Membangun Candi Prambanan
Karena Rakai Pikatan beragama Hindu, ia memerintahkan untuk membangun candi Siwa, yaitu percandian Roro Jonggrang di Prambanan. Di saat yang sama, Raja menunjukkan bahwa dirinya tidak mengabaikan candi kerajaan yang dibangun oleh Rakai Panangkaran, yaitu Candi Plaosan Lor, dan tetap menjaga perasaan permaisurinya yang beragama Buddha. Buktinya, Rakai Pikatan menambahkan sekurang-kurangnya dua candi perwara berupa bangunan stupa pada percandian itu. Hal ini dapat dilihat dari tulisan pada dua bangunan stupa di kanan dan kiri jalan masuk ke candi induk sebelah utara. Dengan demikian, pernikahan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani memang memberi dampak positif bagi toleransi antarumat beragama Hindu dan Buddha di Mataram Kuno. Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang berupa candi Hindu dan Buddha pun banyak yang didirikan secara berdampingan. Referensi:
pada 23 Sep 2016, 20:21 WIB Diperbarui 23 Sep 2016, 20:21 WIB Candi Borobudur. (Liputan6.com/Reza Kuncoro) Liputan6.com, Yogyakarta - Pendirian Candi Borobudur rupanya diwarnai cerita persaingan dan perkawinan antardinasti di Kerajaan Mataram Kuno. Candi Borobudur yang menjadi wujud kekuasaan Dinasti Syailendra memancing reaksi Dinasti Sanjaya.Rakai Pikatan sebagai pemimpin Dinasti Sanjaya kemudian mendirikan Candi Prambanan pada 850 Masehi sebagai tandingan sekaligus menunjukkan kekuasaan dinasti Hindu di Tanah Jawa. "Seperti yang diketahui, dua dinasti itu bersaing di Kerajaan Mataram Kuno, walaupun akhirnya juga berdampingan karena perkawinan politik," ujar Ririn Darini, dosen Ilmu Sejarah Fakultas Universitas Yogyakarta (UNY), kepada Liputan6.com, Selasa, 20 September 2016. Perkawinan politik yang dimaksud adalah antara Rakai Pikatan dan Pramudyawardani, raja Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Menurut Ririn, perkawinan itu tidak disetujui oleh Balaputradewa, saudara laki-laki Pramudyawardani.Dia menantang saudara iparnya untuk berkelahi dan kalah. Kekalahan itu membuat Balaputradewa melarikan diri Sumatera dan kelak menjadi orang nomor satu di Kerajaan Sriwijaya.Candi Prambanan terletak di perbatasan Klaten dan DIY. Legenda yang dipercaya masyarakat selama ini candi yang disebut dengan 1.000 candi itu dibangun oleh Bandung Bandawasa untuk mendapatkan cinta Loro Jonggrang, putri Prabu Boko yang menempati Candi Boko. Namun, Loro Jonggarang berusaha mangkir dari Bandung Bandawasa dan membuat pangeran dari daerah Barat itu murka. Ia mengutuk Lara Jonggrang menjadi arca."Memang ada arca dewi perempuan, tetapi sebenarnya itu representasi dari Dewi Laksmi, istri Siwa," kata Ririn. Prambanan, lanjut dia, memang dibangun untuk memuliakan Dewa Siwa. Sekitar 930 Masehi, ibu kota kerajaan pun dipindah ke Jawa Timur yang akhirnya berdiri Wangsa Isyana. Alasan kepindahan tidak diketahui secara pasti. Tetapi, kemungkinan besar karena letusan Gunung Merapi.
POPULER
Berita TerbaruBerita Terkini Selengkapnya |