Daulah Fatimiyah mencapai kejayaannya saat dipimpin oleh khalifah Abu Mansur Nizar Al-Aziz yang mana beliau adalah khalifah ke?

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah : Sejarah Peradaban Islam (SPI) Dosen Pembimbing :

Dr. Syeh Hawib Hamzah, M.Pd.I

oleh ;
Saifun Nizar Al Khuri

Daulah Fatimiyah mencapai kejayaannya saat dipimpin oleh khalifah Abu Mansur Nizar Al-Aziz yang mana beliau adalah khalifah ke?

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam Islam kita telah mengenal banyak dinasti pemerintahan, seperti dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan lain sebagainya. Adanya dinasti-dinasti tersebut merupakan revolusi ke tiga dari bentuk pemerintahan langsung oleh Rasulullah dan masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.

Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Saat itu kondisi Dinasti Abbasiyah melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaannya yang luas. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.

Dinasti Fathimiyah adalah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya pengutusan Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam, yang pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang dan saling menghormati.

  1. Rumusan Masalah
  2. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Fatimiyah ?
  3. Apa saja kemajuan dan kontribusi Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam?
  4. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Dinasti Fatimiyah ?

Tujuan dari makalah ini antara lain sebagai berikut ;

  1. Mengetahui sejarah berdirinya dinasti Fatimiyah.
  2. Mengetahui kemajuan dan kontribusi Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam
  3. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Dinasti Fatimiyah.

 BAB II

PEMBAHASAN

  1. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah

Dinasti Fatimiyah menyatakan dirinya sebagai keturunan lansung Hadzrat Ali dan Fatimiyah dari Ismail anak Jafar Sidik, keturunan keenam dari Ali. Kaum Syi’ah Ismailiyah itu sendiri muncul karena berselisih paham dengan Syi’ah Imamiyah tentang imam yang ketujuh. Menurut kaum Imamiyah, imam yang ketujuh adalah putra Ja’far yang bernama Musa al-Kazhim, sedangkan menurut Ismailiyah imam yang ketujuh adalah Putra Ja’far yang bernama Isma’il. Sehingga meskipun Ismail sudah meninggal, kaum Ismailiyah tidak mau mengakui penobatan Musa al-Kazhim sebagai Imam. Menurut mereka hak atas Ismail sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada orang lain walaupun sudah meninggal.[1]

Sekte Ismailiyah ini pada awalnya tetap tidak jelas sehingga datanglah Abdullah Ibnu Maimun yang kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama dan politik Ismailiyat ini. Menurut Von Grunibaum, pada tahun 860 M kelompok ini pindah ke daerah Salamiya di Syria dan disinilah mereka membuat suatu kekuatan dengan membuat pergerakan propagandis dengan tokohnya Said ibnu Husein. Mereka secara rahasia menyusupkan utusan-utusan keberbagai daerah Muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan Ismailiyat kepada rakyat. Dengan cara inilah mereka membuat landasan pertama bagi munculnya Dinasti Fatimiyah di Afrika dan Mesir.[2]

Pada tahun 874 M muncullah seorang pendukung kuat dari Yaman yaitu bernama Abu Abdullah Al-Husein yang kemudian menyatakan dirinya sebagai pelopor Al-Mahdi. Abu Abdullah Al-Husein kemudian pergi ke Afrika Utara, dan karena pidatonya yang sangat baik dan berapi-api ia berhasil mendapat dukungan dari suku Barbar. Selain itu, ia mendapat dukungan dari seorang gubernur Ifriqiyah yang bernama Zirid. Philip K. Hitti menyebutkan[3] bahwa setelah mendapatkan kekuatan yang diandalkan ia menulis surat kepada Imam Ismailiyat (Said ibnu Husein) untuk datang ke Afrika Utara yang kemudian Said diangkat menjadi pimpinan pergerakan. Pada tahun 909 M, Said berhasil mengusir Ziadatullah, seorang penguasa Aghlabid[4] terakhir untuk keluar dari negerinya. Kemudian, Said diproklamasikan menjadi imam pertama dengan gelar Ubaidullah Al-Mahdi. Dengan demikian, berdirilah pemerintahan Fatimiyah pertama di Afrika dan Al-Mahdi menjadi khalifah pertama dari Dinasti Fatimiyah yang bertempat di Raqpodah daerah Al-Qayrawan.

Dari basis mereka di Ifrikiyah, mereka segera mengumpulkan berbagai perlengkapan dan kekayaan untuk memperluas daerah kekuasaannya dari perbatasan Mesir sampai provinsi Fez di Maroko. Kemudian, pada tahun 914 M mereka bergerak ke arah timur dan berhasil menaklukkan Alexandria atau Iskandariyah, menguasai Syiria, Malta, Sardinia, Cosrica, Pulau Betrix dan pulau lainnya. Selanjutnya pada tahun 920 M ia mendirikan kota baru di pantai Tunisia yang kemudian diberi nama Al-Mahdi.

Pada tahun 934 M, Al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Al-Qosim dengan gelar al-Qoim (934 M/323 H-949 M/335 H). Pada 934 Al-Qoim mampu menaklukkan Genoa dan wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke Mesir tetapi tidak berhasil karena sering dihadang oleh Abu Yazid Makad, seorang khawarij di Mesir. Al-Qoim meninggal dan kemudian digantikan oleh anaknya, Al-Mansur yang berhasil menumpaskan pemberontakan Abu Yazid Makad. Al-Mansur kemudian digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad dengan gelar Al-Muiz.

Fokus Dinasti Fatimiyah pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muiz yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimiyah, puteri Rasulullah dan Isteri dari Ali bin Abi Thalib. Fatimiyah merujuk asal-usul mereka kepada pasangan suami isteri ini. Sebagaimana diketahui, dinasti ini berakar pada Syi’ah Ismailiyah, para pengikutnya mengharapkan kemunculan Imam al-Mahdi. Mereka mengakui diri mereka adalah keturunan Nabi melalui Ali dan Fathimah lewat garis Ismail putera Ja’far al-Shadiq. Kemudian Al-Muiz  meningkatkan propaganda untuk menduduki Mesir, yang pada saat itu dalam kondisi kacau dan lemah. Dan pada tahun 969 M Muiz mengutus seorang Jendral bernama Jauhar Silicy yang dikirim untuk menguasai Mesir sebagai pusat dunia Islam zaman itu.

Berkat perjuangan Jendral Jauhar, Mesir dapat direbut dalam masa yang cukup singkat. Tugas utamanya adalah :

  1. Mendirikan Ibu Kota baru yaitu Kairo.
  2. Membangun suatu Universitas Islam yaitu Al-Azhar
  3. Menyebarluaskan Ideologi Fatimiyah yaitu Syi’ah, ke Palestina, Syria dan Hijaz.

Setelah itu baru khalifah Muiz datang ke Mesir tahun 362 H/ 973 M memasuki kota Iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota yang baru. Tiga tahun kemudian Muiz meninggal dunia dan digantikan oleh Aziz. Sesudah itu digantikan oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan daulah Fatimiyah. Al-Hakim memerintah selama 25 tahun, jasanya yang besar adalah mendirikan Darul Hikmah yang berfungsi sebagai akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova dan Bagdad. Dilengkapi dengan perpustakaan yang bernama Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam buku dengan berbagai macam ilmu.

Pada masa awal pemerintahannya, Al-Muiz berhasil menaklukkan Maroko, Sycilia dan Mesir dengan memasuki kota Kairo Lama (Fusthath) dan menyingkirkan Dinasti Iksyidiyah. Setelah memerintah Mesir, Fatimiyah membangun kota di Kairo Baru (Al-Qohiroh) dan terus memperluas kekuasaannya sampai ke Palestina, Suriah dan mampu mengambil penjagaan atas tempat-tempat suci di Hejaz.

Setelah Al-Muiz meninggal, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Mansur Nizar Al- Aziz. Ia terkenal sebagai seorang yang pemberani dan bijaksana. Dibawah pemerintahannya, Dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Pada masa pemerintahan Al-Aziz, seluruh Syria dan Mesopotamia bisa ditaklukkan. Pada masa kekuasaannya, Dinasti Fatimiyah Mesir menjadi saingan berat bagi Bagdad yang kekuasaannya mulai lemah dibawah penguasa Bani Buwaihi. Penguasa Fatimiyah, Al-Aziz dan penguasa Bagdad Buwaihi menjalin persahabatan dengan cara saling menukar duta.

Dalam pemerintahannya, Al-Aziz sangat liberal dan memberikan kebebasan kepada setiap agama untuk berkembang, bahkan ia telah mengangkat seorang wazirnya dari pemeluk agama Kristen yang bernama Isa ibnu Nastur. Disamping itu, Manasah, seorang Yahudi diberi jabatan tinggi dalam pemerintahan berdasarkan kemampuannya.[5] Pada masa pemerintahan Al-Aziz ini kedamaian antar umat beragama terjalin dengan baik dalam waktu yang cukup lama.

Khalifah-khalifah daulah Fatimiyah secara keseluruhan ada empat belas orang. Yaitu ;

  1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M-934 M)
  2. Abul Qasim Muhammad al-Qa’im bin Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M-946 M)
  3. Abu Zahir Isma’il al-Mansur billah (946 M-953 M)
  4. Abu Tamim Ma’ad al-Mu’izz li-Dinillah (953 M-975 M)
  5. Abu Mansur Nizar al-‘Aziz billah (975 M-966 M)
  6. Abu ‘Ali al-Masur al-Hakim bi-Amrullah (996 M-1021 M)
  7. Abu’l-Hasan ‘Ali al-Zahir li-I’zaz Dinillah (1021 M-1036 M)
  8. Abu Tamim Ma’add al-Mustansir bi-llah (1036 M-1094)
  9. Al-Musta’li bi-llah (1094 M – 1101 M)
  10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M – 1130 M)
  11. ‘Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M – 1130 M)
  12. Al-Zafir (1149 M – 1154 M)
  13. Al-Fa’iz (1154 M – 1160 M)
  14. Al- ‘Adhid (1160 – 1171 M)
  1. Masa Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah terhadap Peradaban Islam

Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar, baik dalam sistem pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan. Bahkan dibawah pemerintahan Abu Mansur Nizar Al-Aziz, Fatimiyah berhasil mendapatkan tempat tertinggi sebagai dinasti Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur, ia telah berhasil menjadi lawan tangguh bagi kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Kemajuan lain yang terlihat pada masa Al-Aziz yang adalah sebagai berikut ;

Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu pemerintahan yang dianggap pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan pejabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan khalifah.

Menteri-menteri (wazir) kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok militer dan sipil. Yang dibidangi oleh kelompok militer di antaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok sipil diantaranya :

  1. Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percatakan uang
  2. Ketua dakwah, yang memimpin darul hikam (bidang keilmuan)
  3. Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan dan ukuran
  4. Bendaharawan negara, yang membidangi baitul mal
  5. Wakil kepala urusan rumah tangga khalifah
  6. Qari, yang membacakan Al-Qur’an bagi khalifah kapan saja dibutuhkan

Selain dari pejabat istana ini, ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Syria dan Asia Kecil. Mesir dikelola oleh gubernur Mesir Utara, Syarqiya, Gabiya dan Alexandria. Pengurusannya diserahkan kepada para pejabat setempat.

Ketentaraan dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, amir-amir yang terdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal khalifah. Kedua, para opsir jaga. Ketiga, berbagai resimen yang bertugas sebagai hafidzah, juyutsiyah, dan sudaniyah.

Dalam menyebarkan tentang ke-Syiah-annya, Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.[6] Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya, kelompok ini lebih cenderung membela kelompok Syiah Ismailiyah, dan kelompok inilah yang mampu menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazillah terutama dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu, agama, pengembangan syariah dan filsafat Yunani.

Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Fathimiyah ini diantaranya sebagai berikut.

  1. Abu Hatim Ar-Rozi. Ia adalah seorang da’i Ismailiyat yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik. Abu Hatim menulis beberapa buku diantaranya Kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah fiqih, filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
  2. Abu Abdillah An-Nasafi. Ia telah menulis kitab al-Mashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Madzhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin, Ushulusyar’I, Adda’ watu Manjiyyah. Kemudian, ia juga telah menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof.
  3. Abu Ya’kub as-Sajazi. Ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya, di antaranya: Asasuda’wah, Asyaro’i, Kasyful Asyror, Itsbatun Nubuwah, al-Yanabi, al-Mawazin dan kitab an-Nasyroh.
  4. Abu Hanifah An-Nu’man Al-Maghribi. Ia menulis kitab Da’aimul Islam al-Yanabu, Mukhtasorul Atsar, Mukhtasorul Idoh, Kaifayatu Sholah, Manhijul Faroid, ar-Risalah Misriyah, ar-Risalah Datal Bayan Dam Ikhtilafu Ushul Madhabib.
  5. Ja’far ibnu Mansur Al-Yamani. Ia menulis kitab A’wiluzakah, Srao’irunnutaqo’I, Asywahid wal bayan, dan al-Fitrotu wal Qironaati.
  6. Hamiduddin Al-Kirmani. Ia telah menulis kitab Uyunul Akhbar, al-Mashobihu fi Itsbati Imamah.[7]
  7. Keilmuan dan Kesusastraan

Seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang menghabiskan ribuan dinar perbulannya. Pada masanya, ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad Al-Tamimi. Di samping Al-Tamimi ada juga seorang ahli sejarah dan filsafat yang bernama Muhammad ibnu Yusuf Al-Kindi dan Ibnu Salamah Al-Quda’i. Seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al-Aziz yang berhasil membangun Masjid Al-Azhar.

Kemajuan keilmuan yang paling fundamental pada masa Fatimiyah ini adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan dan perpustakaan yang disebut’ daarul hikam atau daarul ilmi yang dibangun oleh khalifah Fatimiyah Al-Hakim bi Amrillah di Kairo pada tahun 395 H/ 1005 M. Al-Maqrizi dalam kitab Al-Khuthath bercerita, Pada hari Sabtu bertepatan tanggal 10 Jumadil Akhir tahun 395 H dibuka sebuah perpustakaan yang dinamai Darul Hikmah. Disitulah tempat duduk para ahli fikih. Buku-buku dari perbendaraan istana dibawa kesana. Orang-orang masuk ke dalamnya, dan menyalin apa saja yang sekiranya ingin disalin. Ada pula mereka yang hanya sekadar duduk membaca. Setelah perpustakaan ini diberi karpet, pintu-pintu di hiasi dengan berbagai ornamen dan dipermak dengan begitu indah, tempat ini banyak disinggahi para qurra, astrologi, ahli nahwu, bahasa dan para dokter. Perpustakaan ini juga disediakan pelayan yang menlayani pengunjung. Di Darul Hikmah ini terdapat buku-buku dari perbendaharaan Amirul Mukminin Al-Hakim Bi Amrillah yang memang sang khalifah sendiri memerintahkan untuk mengangkutnya. Buku-buku tersebut meliputi semua cabang disiplin ilmu. Perpustakaan ini juga dibangun khusus untuk propaganda doktrin ke-Syiahan. Pada masa ini Al-Hakim mengeluarkan dana sebanyak 257 dinar untuk mengadakan menuskrip dan perbaikan buku-buku. Kurikulum yang dikembangkan pada masa ini lebih banyak ke masalah keislaman, astronomi dan kedokteran.

Perpustakaan ini memuat banyak buku-buku berharga, sebagian sejarawan menuturkan, perpustakaan tersebut memuat 600,000 buku. Pendapat lain mengatakan terdapat 200,000 jilid karangan dalam fikih dari berbagai madzhab, bahasa Arab, hadits, sejarah dan ekspedisi, falak, agama, kimia, ditambah sejumlah besar mushaf Al-Qur’an. Abu Syamah menuturkan, perpustakaan ini menghimpun 1220 naskah dari kitab Tarikh Ath-Thabari, sedangkan jumlah buku menjadi jutaan buku.[8]

Darul Hikmah ini tetap menjadi acuan para penuntut ilmu dan peradaban hingga runtuhnya khilafah Fatimiyah. Ketika Shalahuddin Al-Ayyubi menguasai Mesir, beliau menghancurkannya lalu tempat ini dibangun madrasah Syafi’iyyah.[9]

Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis Ali ibnu Yunus, kemudian Ali Al-Hasan dan Ibnu Haytam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karya tentang matematik, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan.

Di bawah Fatimiyah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan Dunia non-Islam dibina dengan baik, termasuk dengan India dan negeri-negeri Mediterania yang beragama Kristen. Di samping itu, dari Mesir ini dihasilkan produk industri dan seni Islam yang terbaik.

Pada suatu festifal, khalifah kelihatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana khalifah yang dihuni 30.000 orang terdiri 1200 pelayan dan pengawal. Juga masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru. Pemandian umum yang dibangun dengan baik terlihat sangat banyak di setiap kota itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan sisi kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir.

Para khalifah sangat dermawan dan sangat memerhatikan warga mereka yang non-Muslim. Di bawah pemerintahannya, orang-orang Kristen diperlakukan baik, apalagi pada masa pemerintahan Al-Aziz. Ia adalah salah seorang khalifah Fatimiyah yang sangat menghargai orang-orang non-Muslim. Orang-orang Suni pun ikut menikmati kebebasan bernegara yang dilaksanakan khalifah-khalifah Fatimiyah sehingga banyak di antara da’i-da’i Sunni yang belajar di Al-Azhar.

Walaupun Dinasti Fatimiyah ini bersungguh-sungguh di dalam men-Syiahkan orang mesir, tetapi mereka tidak melakukan pemaksaan kepada orang Sunni untuk mengikuti aliran Syiahnya. Itulah salah satu bentuk kebijakan pemerintahan yang dilakukan Dinasti Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial yang aman dan tentram.[10]

  1. Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah

Setelah Al-Aziz meninggal, Abu Ali Al-Mansur yang baru berumur sebelas tahun diangkat untuk menggantikan dengan gelar Al-Hakim. Kekuasaannya ditandai dengan berbagai kekejaman. Ia telah membunuh beberapa wazir, merusak beberapa gereja Kristen termasuk Gereja Holy Sepulchre (makam suci) di Palestina pada 1009 M. Peristiwa ini menjadi salah satu pemicu berkobarnya Perang Salib. Selain itu, ia juga telah memaksa orang kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, mengendarai keledai dan menunjukkan tanda salib bagi orang Kristen serta menaiki lembu dengan memakai bel bagi orang Yahudi. Kesalahannya yang paling fatal adalah pernyataannya yang menyatakan diri sebagai inkarnasi tuhan, yang kemudian diterima dengan baik oleh sekte Syiah baru yang bernama Druz sesuai dengan nama pemimpinnya Al-Daradzi yang  berasal dari Turki. Pada tahun 1021 M Al-Hakim dibunuh di Muqattam oleh suatu konspirasi yang dipimpin oleh saudaranya sendiri, yang bernama Sita Al-Muluk.

Kebijakan politik Al-Hakim telah menimbulkan rasa benci kaum Dzimmi dan Muslim non-Syi’ah. Anaknya Abu Al-Hasan Ali Adhahir (1021 M/411 H-1035 M/427 H) naik tahta ketika masih berumur enam belas tahun. Sebagai orang yang cukup piawai ia berhasil kembali menarik simpati kaum Dzimmi. Namun, tak lama kemudian ia jatuh sakit karena paceklik dan meninggal dunia pada 1035 M. Sepeninggal Abu Al-Hasan, tahta kekhalifahan digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad Al-Musytansir (1035 M/427 H – 1094 M/487 H).

Pada 1083 M kekuasaan Fatimiyah di Syria mulai goyah. Palestina selalu berontak dan kekuasaan Seljuk dari Timur pun mampu menguasai Asia Barat. Provinsi-provinsi Fatimiyah yang di Afrika mulai memboikot pembayaran pajak, ada yang menyatakan kemerdekaan atau kembali bersatu dengan Abbasiyah. Pada 1052 M, suku Arab Bani Hilal dan Sulaim bergerak ke Barat menguasai Tripoli dan Tunisia. Kemudian, pada 1071 M sebagian besar daerah Sycilia dikuasai oleh bangsa Normandia.

Setelah Al-Mustansir meninggal, kekhalifahan diganti oleh puteranya yang kedua yang namanya Abu Al-Qosim Ahmad Al-Musta’li. Anak yang pertama, Nizar melarikan diri ke Iskandariyah dan disana mengumandangkan diri sebagai khalifah dengan gelar Al-Mustafa li Din Allah. Ketika Al-Musta’li mengetahui kejadian ini Al-Afdhal yang mengangkat Al-Musta’li membawa bala tentara untuk mengangkap Nizar dan memenjarakannya sampai meninggal. Dengan kejadian ini rakyat terpecah menjadi dua. Yang pertama kelompok Nizari dan kedua Musta’li. Di luar Mesir, kaum Nizari Ismailiyah asing sebagian berada di Syria dan sebagiannya lagi di Pegunungan Persia Barat di bawah pimpinan Hasan Assabah.[11] Gerakan inilah yang kemudian disebut dengan Asasin yang berasal dari kata Hasyasyin “Paraganzaiz”. Kelompok ini menentang pemimpin Fatimiyah yang kemudian mereka menjadi pengikut Agakan, pemimpin kaum khoja di India. Pada masa Al-Musta’li ini tentara Salib mulai bergerak menuju pantai Negeri Syam dan menguasai Antokia sampai Bait Al-Maqdish. Setelah Al-Musta’li wafat, ia digantikan oleh anak Abu Ali Al-Mansur Al-Amir yang masih berusia lima tahun (1101 M/459 H – 1130 M/524 H). Kemudian, Al-Amir dibunuh oleh kelompok Bathiniah. Al-Amir digantikan oleh Abu Al-Maemun Abdu Al-Majid Al-Hafidz (524-544 M). Al-Hafidz meninggal dunia dan digantikan oleh Abu Mansur Ismail, anaknya yang berusia 17 tahun dengan gelar Al-Dhafir. Ia seorang pemuda yang tampan dan lebih senang memikirkan para gadis dan nyanyian daripada urusan militer dan politik. Sebenarnya dalam kekhalifahannya dia hanyalah seorang boneka sebab kekuasaan semuanya di bawah pengaruh Wazir Abul Hasari bin Assalar. Pada tahun 1054 M, Al-Adhafir dibunuh oleh anaknya Abbas, kemudian digantikan oleh anak laki-lakinya yang masih bayi bernama Abul Qosim Isa yang bergelar Al-Faiz. Al-Faiz meninggal dunia sebelum dewasa dan digantikan oleh sepupunya yang berusia sembilan tahun yang bernama Abu Muhammad Abdullah Al-Adhid. Belum lagi Al-Adhid memantapkan dirinya ke tahta kerajaan, Raja Yerusalem menyerbu Mesir sampai ke pintu gerbang kota Kario. Perebuatan kekuasaan terus terjadi sampai munculnya Salahuddin yang menggantikan pamannya sebagai Wazir. Salahuddin adalah seorang yang ramah sehingga dengan cepat mendapatkan simpati rakyat dan bahkan mengalahkan pengaruh khalifah. Langkah pertama Salahuddin mengirim ekspedisi militer melawan tentara Salib di Karak dan Subik, dan ia mendapat  kemenangan pada perang itu. Rakyat Mesir Syi’ah maupun orang Turki dan Sunni sama-sama menggangap sebagai pelindung mereka menghadapi tentara Salib di Syam. Perang ini terus berlanjut sehingga dibuat perjanjian dengan Richard De Lion Heart (Raja Inggris). Langkah berikutnya Salahuddin mengisi pos-pos urusan keagamaan dengan para fuqaha mazhab Sunni dan menendang oknum-oknum angkatan bersenjata yang tidak loyal. Kemudian, Nur Addin mengirim surat kepada Salahuddin agar menyebut nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah Jum’at menggantikan nama khalifah Fathimiyah walaupun Salahudin tidak berani mengabulkan tetapi Nur Addin tetap memaksanya.

Al-Adhid, khalifah Fatimiyah yang paling akhir menginggal dunia pada 10 Muharram 567 H/ 1171 M. Pada saat itulah Dinasti Fatimiyah hancur setelah berkuasa selaka 280 tahun lamanya, kemudian Salahudin memegang kekhalifahan. Dengan munculnya Salahudin sebagai khalifah, sekte Ismailiyah telah kehilangan pamornya. Sinkron dengan telah dijadikannya paham Ahlussunnah wal Jamaah sebagai dasar dalam kehidupan keagamaan, maka berakhirlah kekuasaan Syiah Ismailiyah, dalam hal ini Dinasti Fatimiyah di kawasan Mesir.[12]

BAB III

PENUTUP

Dinasti Fatimiyah berdiri pada tahun 909 hingga 1171 Masehi. Saat itu kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaannya yang luas. Kelahiran dinasti ini dimulai dengan adanya gerakan dari cabang kaum Syi’ah Imamiyah, yaitu Syi’ah Ismailiyah.

Dinasti Fatimiyah telah memberikan sumbangan peradaban yang besar bagi peradaban Islam, mereka memberikan ruang berkembangnya ilmu pengetahuan sehingga melahirkan banyak ilmuwan dengan didirrikannya Dar al-Hikmah dan Dar al-Ilmi dan keberadaan Universitas al-Azhar sebagai pusat pengkajian ilmu yang masih terasa hingga kini.

Kemunduran Dinasti Fatimiyah bukan hanya disebabkan faktor eksternal berupa serangan pasukan luar, melainkan juga masalah internal yang tidak dapat diselesaikan seperti berkurangnya kesetiaan publik kepada penguasa yang dianggap berperilaku aneh, banyak campur tangan para wazir akibat penguasa yang belum cukup umur.

Penulis menyadari bahwa makalah yang disajikan ini jauh dari kesempurnaan, maka masukan dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak khususnya Dosen Pembimbing mata kuliah ini sangat kami harapkan demi perbaikan karya tulis kami, akhirnya semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita tentang Dinasti Fatimiyah, terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad. Dhuhal al-Islam, Jilid I. Kairo: Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr, tt.
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam, Edisi I. Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009.
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta; Rajawali Pers, 2009
Grunbaum, G.E. Van. Clasical Islam A History 600-1258, Chicago: Aldine Publishing Company, 1970
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam Cet. III, Jakarta: Kencana, 2007.
Ibrahim, Hasan. Tarikh al-Daulah al-Fatimiah, Kairo: Jannatut Ta’lif, 1958.
Hitti, Philip. History of the Arabs; From the Earliest Times to the Present, London: The Macmilland Press Ltd, 1974.
Syamah, Abu. Ar-Raudhatain fi Ikhbar Ad-Daulatain, Beirut; Dar Al-Jail Jilid I, tt.

[1]Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Cet. III, Jakarta: Kencana, 2007) h. 141.

[2]G.E. Van Grunbaum, Clasical Islam A History 600-1258, (Chicago: Aldine Publishing Company, 1970) h. 114.

[3]Philip K. Hitti, History of the Arabs; From the Earliest Times to the Present, (London: The Macmilland Press Ltd, 1974), h. 618

[4]Aghlabid adalah sebuah dinasti yang memerintah Ifriqiyah yang terletak di Tunisia dan Aljazair Timur yang tunduk pada kekhalifahan Abbasiyah Lihat Encyclopedia Britannica dengan judul Banu al-Aghlab. https://www.britannica.com/topic/Aghlabid-dynasty diakses pada 15 November 2016 Pukul. 19.06 Wita

[5]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Cet. I; Yogyakarta; Pustaka Book Publisher, 2007), h. 191.

[6]Ahmad Amin, Dhuhal al-Islam, Jilid I (Kairo: Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr, t.t) h.188

[7]Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al-Fatimiah, (Kairo: Jannatut Ta’lif, 1958) h.465-501

[8]Abu Syamah, Ar-Raudhatain fi Ikhbar Ad-Daulatain, (Beirut; Dar Al-Jail Jilid I, tt) h.200

[9]Lihat Ibnu Khaldun dalam kitab Al-I’bar Jilid IV h.79 dan Abdullah Al-Umari dalam bukunya Tarikh Al-Ilm inda Al-Arab h.38

[10]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Edisi I (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009), h. 265

[11]G.E. Van Grunebaun, Clasical Islam A History 600-1258, (Chicago: Aldine Publishing Company, 1970) h. 148

[12]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, (Jakarta; Rajawali Pers, 2009) h.122