Dalam hukum kerjasama yang bertugas menjadi pengelola atau pengusaha disebut

Salah satu prinsip ekonomi Islam adalah ajarannya yang bersifat menyeluruh. Islam sangat memperhatikan keberkahan dan kehalalan segala sesuatu. Termasuk juga sumber dari harta yang dimiliki. Karena itulah ekonomi Islam hadir dan menjadi solusi untuk kegiatan bisnis yang lebih halal.

Perbedaan utama antara ekonomi Islam dengan konvensional adalah akad atau instrumen yang digunakan. Dengan begitu, seseorang yang mempraktekkan ekonomi Islam bisa mendapat tujuan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ekonomi Islam memiliki 5 bentuk kerjasama bisnis, yaitu syirkah, mudharabah, jual beli, transaksi dengan pemberian kepercayaan, dan titipan. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing bentuk tersebut:

1. Bentuk Kerja Sama Syirkah

Syirkah dalam ekonomi Islam bisa dibilang sepadan dengan konsep joint venture dalam ekonomi konvensional. Sistem kerja sama ini berjalan dengan menggabungkan sumber daya yang dimiliki demi tercapainya tujuan bersama.

Sumber daya yang digabungkan bisa dalam berbagai macam bentuk yang disepakati. Mulai dari modal, uang, keahlian, bahan baku, jaringan kerja, dan lain sebagainya. Bentuk kerja sama syirkah umumnya dilakukan oleh dua orang atau dua pihak, dan bisa juga lebih dari itu.

2. Bentuk Kerja Sama Mudharabah

Mudharabah adalah bentuk kerja sama yang melibatkan dua pihak, yaitu pemodal yang disebut shahibul maal dan pelaksana usaha yang disebut mudharib. Hasil dari bentuk kerja sama ini sering disebut sebagai bagi hasil. Dan penentuan persentase bagi hasilnya ditentukan terlebih dahulu sesuai dengan kesepakatan.

Dalam bentuk kerja sama ini, mudharib memiliki kewajiban untuk mengembalikan modal yang dia pinjam serta membayarakan keuntungan sesuai kesepakatan. Pembayaran dilakukan sesuai dengan besaran yang disepakati dan dalam rentang waktu yang telah disepakati juga.

3. Bentuk Kerja Sama Jual Beli / Murabahah

Bentuk kerja sama jual beli dalam Islam juga sering disebut sebagai murabahah. Dalam bentuk kerja sama ini, terdapat penyerahan kepemilikan barang antara penjual dan pembeli. Bentuk ini adalah bentuk kerja sama paling umum dalam ekonomi Islam.

Ada beberapa bentuk akad yang boleh dilakukan dalam murabahah. Yaitu bissamanil ajil, salam, istishna, isti’jar, ijarah, dan sarf.

– Bissamanil Ajil: transaksi jual beli dilakukan dengan penetapan harga yang berbeda untuk pembelian tunai dan angsuran.

– Salam: transaksi jual beli secara tunai, namun penyerahan barang ditunda sesuai kesepakatan.

– Istishna: transaksi jual beli dengan sistem pemesanan, pembayaran dilakukan saat pengambilan barang.

– Ijarah: transaksi jual beli jasa baik dalam bentuk penyewaan barang, tenaga, atau keahlian.

– Sarf: transaksi jual beli mata uang antar negara.

4. Bentuk Kerja Sama Pemberian Kepercayaan

Bentuk kerja sama ini merupakan perjanjian atas penjaminan atau penyelesaian hutang dengan pemberian kepercayaan. Dalam melakukan kerja sama ini, ada beberapa akad yang umum digunakan. Di antaranya adalah jaminan (kafalah atau damanah), gadai (rahn), dan pemindahan hutang (hiwalah).

Akad jaminan memungkinkan adanya pengalihan tanggung jawab seseorang yang dijamin kepada penjamin. Sedangkan gadai dilakukan dengan memberikan barang berharga dengan nilai yang setara atau lebih dari nilai pinjaman. Dan pemindahan hutang dilakukan untuk memindahkan kewajiban pembayaran hutang kepada orang lain.

5. Bentuk Kerja Sama Titipan / Wadi’ah

Bentuk kerja sama ini dilakukan dengan menitipkan barang berharga yang dimiliki seseorang kepada orang lain yang dipercaya. Selama masa penitipan, maka orang tersebut dapat memberikan biaya jasa penitipan kepada orang yang dia titipkan.

Tambahan: Bentuk Kerja Sama Perwakilan Transaksi / Wakalah

Selain lima bentuk kerja sama yang telah disebutkan, ada bentuk kerja sama keenam. Bentuk kerja sama ini disebut dengan wakalah. Dalam bentuk kerja sama ini, seseorang boleh menitipkan atau memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menyelesaikan transaksi miliknya. Misalnya seperti transaksi penyerahan rumah, surat berharga, dan lain sebagainya. Bentuk transaksi ini umumnya dilakukan antara seseorang dengan manajer investasi yang dia pilih.

Mudharabah (bahasa Arab: مضاربة‎) adalah bentuk perjanjian kerja sama antara pemilik harta dengan pengelola harta. Pemilik harta (shahibul amal) menyerahkan hartanya kepada pihak lain (mudharib) untuk dibisniskan. Jika untung, keuntungannya dibagi kepada pemilik harta dan pihak pengelola harta, sesuai dengan kesepakatan di awal. Sementara itu, jika rugi, kerugian hanya dibebankan kepada pemilik harta. Pengelola harta tidak dibebani dengan kerugian. Kerja sama ini terdiri dari kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.[1]

Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.

Mudharabah berasal dari kata al-dharb yang secara artinya memukul, berjalan, sepadan, seimbang dan bagian.[1]

  1. Mudharabah menurut Imam Hanafi, mudharabah adalah "Akad syirkah dalam keuntungan, satu pihak pemilik modal dan satu pihak lagi pemilik jasa."
  2. Mudharabah menurut Imam Maliki, mudharabah adalah "Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan sebagian hartanya untuk dijadikan modal kepada orang lain agar modal tersebut diperdagangkan dengan pembayaran yang telah ditentukan (mas dan perak).
  3. Mudharabah menurut Mazhab Hanabilah, mudharabah adalah "Pemilik harta mengeluarkan sebagian hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang lain untuk diperdagangkan dengan bagian dari keuntungan yang telah diketahui."
  4. Mudharabah menurut Mazhab Syafi'i, mudharabah adalah "Akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada orang lain untuk diperdagangkan."
  • Mudharabah Mutlaqah: Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
  • Mudharabah Muqayyadah: Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
  • فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."(Q.S Al-jumu’ah:10)

  • { عن صالح بن صهيب عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ثلاث فيهن البركة البيع إلى أجل والمقارضة وأخلاط البر بالشعير للبيت لا للبيع }

Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijarah)

1. Berdasarkan prinsip bagi hasil dan berbagi risiko

  • Keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak
  • nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
  • Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.

2. Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari Mudharabah dilakukan oleh dua orang yang mempunyai maksud yang sama tetapi kapasitas yang berbeda, antara lain:

a. Pemilik modal yang tidak dapat mengelola modalnya atau tidak memiliki waktu untuk mengelolanya

b. Orang yang tidak memiliki modal tetapi mempunyai keahlian dalam mengelola modal sehingga dapat mengahsilkan keuntungan yang nantinya akan dibagi hasil sesuai akad/perjanjian awal.

Akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

Ketentuan Pembiayaan

  1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
  2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
  3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
  4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
  5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
  6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
  7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
  8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
  9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
  10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.

Rukun dan Syarat Pembiayaan

  1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
  2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
    1. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
    2. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
    3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
  3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
    1. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
    2. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
    3. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
  4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
    1. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
    2. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
    3. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
  5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
    1. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
    2. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
    3. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu.

Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan

  1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
  2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.
  3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
  4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  • Musyarakah
  1. ^ a b Nafis, M. Cholil (2011). Teori Hukum Ekonomi Syariah. Penerbit Universitas Indonesia. hlm. 154. ISBN 9789794564561. 
  2. ^ FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)
  • Teori dan Praktik Transaksi Akad Mudharabah
  • Prinsip Mudharabah Diarsipkan 2007-03-11 di Wayback Machine.
  • Mudharabah Diarsipkan 2007-05-12 di Wayback Machine.
 

Artikel bertopik Islam ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Mudharabah&oldid=19454558"