Carilah artikel tentang kehidupan masyarakat terasing atau sikap masyarakat yang tradisional

Jakarta -

Indonesia sebagai negara dengan ratusan suku bangsa, memiliki beberapa suku yang tetap bertahan dengan keaslian tradisi mereka. Salah satunya adalah suku Samin yang berasal dari pedalaman Blora, Jawa Tengah.

Suku Samin yang masih memegang teguh tradisi dan adat, memiliki ajaran sendiri. Mereka konsisten dalam berperilaku menjunjung tinggi kejujuran, tidak iri, tidak dengki, dan tidak berprasangka jelek pada orang lain. Selain itu, bersikap apa adanya tanpa mengada-ada.

Ajaran Samin yang disebut Saminisme, adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan Sedulur Sikep. Dulu, ajaran ini membuat orang suku Samin dianggap kurang pintar dan sinting.

Kata Sedulur memiliki arti "saudara", dan Sikep adalah "senjata". Sedulur Sikep bermakna ajaran Samin yang mengutamakan perlawanan tanpa senjata dan tanpa kekerasan. Semua berawal dari masa penjajahan Belanda dan Jepang pada zaman dahulu. Sedulur Sikep artinya mereka mengobarkan semangat perlawanan kepada Belanda, dengan cara menolak membayar pajak dan semua peraturan dari pemerintah kolonial.

Masyarakat suku Samin sering kali memusingkan pemerintah Belanda dan Jepang dengan sikap ini, yang mana sampai sekarang masih suka dianggap menjengkelkan oleh kelompok luar.

Namun, suku Samin justru senang jika disebut Wong Sikep. Pasalnya, menurut mereka, istilah atau sebutan ini berkonotasi positif yaitu berarti orang yang baik dan jujur.

Masyarakat Samin memang dikenal jujur dan terbuka pada siapapun, termasuk pada orang yang belum dikenal. Mereka akan berbicara sesuai realitas tanpa rekayasa, meski kadang dinilai sebagai sikap lugu yang cenderung bodoh. Cara inilah yang digunakan saat dulu melawan Belanda, meski sudah mengerti namun pura-pura tidak mengerti.

Mereka juga menganggap semua orang sebagai saudara dengan mengedepankan kebersamaan. Contohnya berlaku dalam hal simpan-pinjam. Di salah satu daerah yang masih kuat memegang ajaran Samin, ada arisan setiap 35 hari sekali. Iuran akan dikumpulkan menjadi tabungan, lalu bisa dipinjamkan kepada siapa saja tanpa ada bunga.

Selain itu, ada juga sikap gotong royong yang tinggi. Misalnya, saat ada yang membangun rumah atau mengerjakan sawah, tanpa diminta semua warga akan datang untuk membantu. Gotong royong ini dikenal oleh suku Samin sebagai Sambatan atau Rukunan.

Keunikan lainnya, mereka memegang teguh Solahing Ilat atau gerak lidah. Artinya, lidah harus dijaga agar tetap mengucapkan kata-kata yang jujur dan tidak menyakiti orang lain. Jangan menyakiti orang lain, kalau tidak mau disakiti. Jangan membohongi orang lain kalau tidak ingin dibohongi, jangan mencelakai orang lain kalau tidak mau celaka, dan masih banyak lagi.

Sosok Tokoh Samin Surosentiko

Samin berasal dari nama seorang penduduk, Ki Samin Surosentiko, yang lahir pada 1859 di Desa Poso, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Dulu Samin dianggap sebagai residivis oleh pemerintah Belanda, atau penjahat yang keluar-masuk penjara.

Namun, bagi masyarakat di pedesaan Bojonegoro, ia memiliki predikat sebagai pencuri berhati mulia, mirip dengan kisah Robin Hood di hutan Sherwood, Inggris. Bahkan, seorang guru besar di Surabaya menyebut sosok Samik sebagai intelektual desa.

Samin juga merupakan seorang pemimpin yang sangat dihormati, pejuang pergerakan melawan pemerintah kolonial Belanda, guru kebatinan, dan raja tanah Jawa.

Lokasi, Kebiasaan, dan Lingkungan Suku Samin

Masyarakat Samin mewarisi budaya tani dan tinggal mengelompok di daerah tertentu. Dikenal sebagai masyarakat yang tertutup, sebagian besar dari mereka tinggal di Dusun Tambak, kurang lebih 40 kilometer dari Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Namun, selama lebih dari satu dasawarsa, ada suku Samin yang menyebar sampai ke luar wilayah Blora, seperti di Kabupaten Kudus, Pati, Grobogan, Rembang, Bojonegoro, dan Ngawi.

Meski di tengah kehidupan modern, mereka tetap memegang ajaran Saminisme dari leluhur. Masyarakat Samin memang dikenal dengan keluguan, kejujuran, dan sikap apa adanya yang kadang nyeleneh sehingga dipandang masyarakat lain secara berbeda. Namun dibalik itu, ada pesan terutama mengenai kejujuran yang bisa diteladani dari kehidupan suku Samin.

Simak Video "Korupsi Rp 3 Miliar, Pasutri Anggota Polres Blora Ditahan"


[Gambas:Video 20detik]
(lus/pal)

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau kita melihat langsung kehidupan masyarakat Polahi di Gorontalo, maka mungkin kita akan mengambil kesimpulan bahwa inilah masyarakat yang paling terasing, tidak pernah bersentuhan dengan peradaban modern, apalagi diberdayakan oleh pemerintah, karena masyarakat ini memang benar-benar primitif.

Telah banyak peneliti-peneliti sosial yang khususnya berkecimpung di pemberdayaan masyarakat terasing, tapi penulis bisa menjamin, tidak ada satu pun yang terjun langsung ke masyarakat Polahi. Kita tidak tahu alasannya, tapi yang bisa diterima secara akal sehat bahwa mereka memang belum mendapatkan informasi tentang masyarakat Polahi ini.

Tulisan ini dibuat untuk mengingatkan pada kita, bahwa jauh di seberang sana, ditengah kerasnya kehidupan liar hutan rimba di Provinsi Gorontalo, terdapat suatu masyarakat yang perlu penanganan khusus dan terencana agar konsep pemberdayaan yang kita pahami bersama, dapat menyentuh masyarakat Polahi tersebut.

Sejarah Masyarakat Polahi

Menurut cerita, Polahi  adalah masyarakat pelarian zaman dahulu yang melakukan eksodus ke hutan karena takut dan tidak mau dijajah oleh Belanda sehingga menjadikan mereka sebagai masyarakat terasing sampai dengan saat ini.

Masyarakat Polahi ini tinggal di hutan gunung Boliyohuto Kabupaten Gorontalo kendati demikian sangat sukar bagi kita  untuk menjumpai mereka. Ini dikarenakan polahi sulit menerima kehadiran orang luar sekalipun sesama warga Gorontalo.  Sikap antisosial ini lebih disebabkan trauma masa lampau . Ini pula yang menyebabkan mengapa literatur yang mengangkat penelitian mengenai masyarakat polahi masih jarang dijumpai.

Jika menelusuri sejarah perjuangan rakyat Gorontalo dalam mengusir penjajah, ternyata terdapat benang merah yang dapat ditarik untuk mengetahui bagaimana masyarakat polahi pertama kali muncul. Pemerhati sejarah Gorontalo MUHTAR UNO dalam hasil studi  yang dipublikasikan  secara online dapat dilihat bahwa masyarakat Gorontalo adalah masyarakat yang memiliki jiwa patriotisme yang sangat tinggi sehingga mereka rela mengasingkan diri  dihutan dengan alasan menolak kerja paksa dan tuntutan membayar pajak kepada kompeni.

Secara terperinci ia memaparkan bahwa perlawanan rakyat Gorontalo terhadap kaum penjajah sudah dimulai sejak Raja Eyato menjadi raja di Gorontalo pada tahun 1673 sampai 1679 Masehi.

Kala itu Raja Eyato berusaha menghalang-halangi belanda  mendarat di Gorontalo dengan membakar perahu-perahu mereka dan tidak mengizinkan pasukan belanda untuk mengambil air minum di muara sungai bone. Hanya karena kelicikan belanda dengan berpura-pura mengajak berunding yang menyebabkan perlawanan rakyat terhenti karena Eyato ditangkap dan diasingkan.  Kendati demikian perjuangan tidak terputus karena penerusnya raja Biya dengan gigih menentang kehadiran orang asing yang ingin merampas kekayaan alam milik penduduk pribumi.

Akhirnya setelah sekian lamanya bertempur menentang Belanda, Raja Biya bersama anak buahnya ditangkap belanda tahun 1690 dan raja Biya diasingkan ke Seylon dan pengikutnya Isnaeni di buang ke Afrika selatan.  Sedangkan dua pendekar lainnya Apitalau dan Ilato mengihilang entah kemana,sehingga ia berkesimpulan, Apitalau dan Ilato bersama seluruh prajuritnya melarikan diri ke hutan kemudian menjadi Polahi.

Gambaran Masyarakat Polahi Terkini

Masyarakat terasing Polahi didalam hutan umumnya mereka hidup berpencar dalam kelompok-kelompok kecil.  Mereka terdapat di hutan di Kecamatan Paguyaman, Boliyohuto dan Suwawa. Pemerintah Kabupaten Gorontalo telah mengidentifikasi masyarakat Polahi dengan kelompok 9, kelompok 18, kelompok 21 atau kelompok 70 berdasarkan jumlah anggota kelompok dalam satu kampung.  Mereka hidup bercocok tanam, berburu babi hutan dan belum mengenal pakaian dan hanya mengenakan penutup syahwat dari daun palma dan kulit kayu.  Rumah mereka sederhana, tidak berdinding dan untuk mencapai ke lokasi perkampungan Polahi harus menempuh perjalanan kaki selama tujuh jam.  Kehidupan primitif tergambar pula pada hubungan sedarah dimana hubungan dapat terjadi antara ayah dengan anak perempuannya, atau ibu dengan anak laki-lakinya bahkan antar sesama saudara kandung.

Jelas bahwa budaya ini sangat bertentangan  dengan ajaran agama bahkan sangat dilarang karena dalam Islam dikenal konsep muhrim yang mengatur hubungan sosial antara individu yang masih terhitung dalam kekerabatan.   Penelitian menunjukan bahwa hubungan sumbang ini berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah baik fisik maupun mental.  Kondisi tersebut terjadi karena keterbelakangan  tidak hanya karena keterpencilan melainkan tidak tersentuh yang namanya pendidikan bahkan dalam kebudayaan mereka  tidak dikenal hitung menghitung dan nama-nama hari.   Angka maksimum yang dapat mereka hitung adalah empat selebihnya adalah banyak.

Contoh diatas sedikitnya memberikan gambaran bagaimana kehidupan Polahi.   Mereka sangat jauh mengasingkan diri dengan dunia luar bahkan boleh dikatakan sangat menutup diri dengan perkembangan.  Sangat berat bagi pemerintah  dalam memajukan masyarakat Polahi ini dengan mengintegrasikannya dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Masyarakat terasing di Gorontalo atau lazim disebut Polahi saat ini keberadaannya sangat terpinggirkan bahkan nyaris sangat sulit tersentuh program pemerintah.  Berangkat dari persoalant ersebut pemerintah kabupaten Gorontalo tetap berusaha melakukan pendekatan agar kehidupan masyarakat polahi yang mengsingkan diri dengan hidup dihutan dapat ber-sosialiasi dengan masyarakat disekitarnya. Tercatat jumlah polahi di Kabupaten Gorontalo masih cukup banyak. Tentu ini menjadi tanggung jawab pemerintahdaerah untuk mengangkat derajat dan martabat kehidupan mereka.  Untuk itu pemerintah  Kabupaten Gorontalo memfasilitasi dengan menikahkan secara sah masyarakat Polahi dengan masyarakat umum secara massal sekaligus menyediakan rumah layak huni.

Pola Pemberdayaan

Selain mengupayakan pola interaksi dengan orang luar, Pemerintah juga harus berusaha menaikkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) demi perkembangan orang rimba dengan berbagai bantuan yang diberikan, antara lain:

1.Bidang kesehatan, sehubungan dengan tingkat kematian bayi dan ibu yang tinggi, serta adanya kerentanan orang rimba terhadap penyakit, pemerintah harus menurunkan fasilitator kesehatan yang membantu mereka dengan memperkenalkan pengobatan maupun sarana kesehatan modern seperti puskesmas dengan disesuaikan dengan adat orang rimba sendiri.

2.Bidang pendidikan, Pemerintah harus melakukan program BTH (baca-tulis-hitung), di mana harus ada relawan yang berperan sebagai guru atau fasilitator kepada anak-anak orang rimba yang menjadi obyek dari program BTH ini.

3.Bidang agama, secara insentif dilakukan pembinaan agama dengan pendekatan adat istiadat mereka.

4.Bidang Kesejahteraan, dilakukan upaya relokasi dengan membuat rumah layak huni bagi mereka, serta diupayakan pembukaan lahan garapan tetap yang dekat dengan pemukiman relokasi mereka.

Dari situlah dapat dilihat terdapat hubungan asimilasi antara orang rimba dengan masyarakat sekitarnya, dan dengan Pemerintah, dimana pola hubungan yang terjadi bersifat konstruktivis, yaitu terdapat adanya perbedaan namun tidak berkonflik. Hal ini dikonstruksikan juga secara historis dalam tradisi orang rimba sendiri, di mana orang rimba merupakan masyarakat yang tergolong defensive dan tidak terbiasa melakukan peperangan atau berjuang untuk mempertahankan haknya.

Pembinaan masyarakat terasing merupakan salah satu program unggulan Kementrian Sosial. Pembinaan yang dilakukan pada masyarakat terasing di pedalaman, atau dalam hal ini Masyarakat Polahi, dengan cara membuatkan mereka tempat pemukiman baru, yaitu rumah-rumah perkampungan yang layak bagi masyarakat terasing.

Kelompok masyarakat Masyarakat Polahi kiranya dapat dipindahkan ke pemukiman baru tersebut dengan harapan agar Masyarakat Polahi dapat bermasyarakat seperti layaknya masyarakat biasa pada umumnya.

Kehidupan Masyarakat Polahi yang bersifat tradisional dan sistem nilai ketradisionalannya yang dianut itu telah dipertahankan secara ketat, dan hal ini harus menjadi pertimbangan yang sistematis dan terencana agar tidak menimbulakan efek psikologis yang negatif bagi masyarakat tersebut.

Masyarakat Masyarakat Polahi adalah masyarakat yang relatif tertutup, mempunyai keterkaitan dengan alam yang tinggi, melakukan kegiatan produksi yang bersifat subsistence, tidak memperoleh pelayanan sosial, sehingga menghasilkan tingkat kualitas SDM yang relatif sangat rendah.

Tujuan pemberdayaan masyarakat Masyarakat Polahi adalah meningkatkan kesejahteraannya sehingga mereka dapat menikmati kualitas hidup sebagaimana yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.Dalam wujud fisik, pemberdayaan masyarakat terpencil akan memungkinkan mereka untuk:

oBermukim secara menetap

oMelakukan kegiatan ekonomi pasar yang menguntungkan dan berkelanjutan

oTerlayani oleh fasilitas sosial ekonomi: sekolah, klinik, listrik, air bersih

oTerhubungkan dengan angkutan darat/laut reguler ke pusat desa/kecamatan.

Strategi pemberdayaan masyarakat terpencil dilakukan dengan mewujudkan ke empat elemen pemberdayaan masyarakat: inklusi dan partisipasi, akses pada informasi, kapasitas organisasi lokal, profesionalitas pelaku pemberdaya. Tantangan utama yang dihadapi dalam memberdayakan masyarakat terpencil adalah pengetahuan yang terbatas, wilayah yang sulit dijangkau, dan pemahaman adat yang kuat pada masyarakat adat.

Untuk dapat memasukkan mereka dalam proses perubahan, maka upaya yang pertama kali perlu dilakukan adalah memahami pemikiran dan tindakan mereka serta membuat mereka percaya kepada pelaku pemberdaya. Selanjutnya mereka perlu berpartisipasi dalam proses perubahan yang ditawarkan dengan memberikan kesempatan menentukan pilihan secara rasional. Proses ini dapat memerlukan waktu yang lama, namun hasilnya akan lebih efektif daripada memberikan pilihan yang sudah tertentu. Pengikutan masyarakat dalam proses perubahan dilakukan secara berangsung-angsur dari kelompok kecil menuju masyarakat lebih luas.

Akses pada informasi dibuka dengan memberikan penjelasan mengenai program-program pemerintah yang akan dilakukan, norma-norma bermasyarakat yang perlu diketahui, ilmu pengetahuan dasar, hak-hak yang mereka peroleh, manfaat perubahan yang akan terjadi, masalah-masalah yang mungkin dihadapi, dsb.

Kapasitas organisasi lokal ditumbuhkan dengan melakukan pengorganisasian terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat pada tingkat bawah (seperti kelompok perempuan, kelompok pemuda, kelompok peladang), dan terhadap tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, aparat desa/dusun, dsb. Tujuan penguatan organisasi lokal ini adalah untuk menjadikan mereka mampu merencanakan perbaikan lingkungan mereka, mampu meningkatkan produktivitas, mampu bernegosiasi dengan pihak lain, mampu melakukan kegiatan-kegiatan bersama yang bermanfaat. Teknik-teknik pemetaan wilayah, penyusunan rencana tata ruang, perbaikan sarana permukiman, pembangunan rumah, cara bercocok tanam, cara mengolah hasil kebun, melindungi mata air, dll. perlu diajarkan atau dipelajari bersama.

Pelaku pemberdaya perlu mempunyai kemampuan profesional yang tinggi agar dapat melakukan pendampingan secara baik. Pelaku pemberdaya yang potensial adalah organ pemerintah daerah atau organisasi berbasis masyarakat lokal, yang mempunyai perhatian, komitmen, dan kemampuan untuk membangun masyarakat miskin dan terbelakang. Upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan terpencil, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal, menuntut pola kerja yang fleksibel, tidak terhambat oleh sistem administrasi penganggaran yang ketat. Agar pelaku pemberdaya masyarakat dapat bekerja secara profesional, maka mereka perlu mendapat pelatihan dan pendidikan yang memadai.

Pemberdayaan masyarakat terpencil merupakan salah satu strategi mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera. Strategi lain yang perlu dilakukan adalah pemberian peluang (creating opportunity), pengembangan kapasitas dan modal manusia (capacity building and human capital development), dan perlindungan sosial (social protection).

Pemberian peluang dilakukan dengan penyediaan prasarana dan sarana umum khususnya transportasi, listik, komunikasi, dan pasar. Pengembangan kapasitas dan modal manusia dilakukan dengan menyediakan pelayanan pendidikan dan kesehatan sesuai kondisi lokal. Penyediaan prasarana dan sarana umum serta pelayanan sosialbagi masyarakat pedesaan terpencil, akan menghadapi kendala keterpencilan wilayah, jumlah penduduk yang sedikit, lokasi yang tersebar. Untuk itu berbagai teknik dan bentuk-bentuk prasarana dan sarana serta pola-pola pelayanan khusus perlu diciptakan. Perlindungan sosial dilakukan antara lain dengan membuat peraturan yang menjamin kepastian hukum terhadap hak ulayat masyarakat adat, atau hak milik masyarakat umum, disertai dengan ketentuan tentang batas-batas tanah yang selanjutnya diakomodasikan dalam peraturan daerah mengenai rencana tata ruang wilayah. Perlindungan hukum juga diberikan pada produk-produk budaya masyarakat.

Penutup

Pemberdayaan masyarakat terasing sangat penting guna memperbaiki dan meningkatkan tatanan hidup masyarakat terasing.

Masyarakat Polahi merupakan masyarakat yang liar, ini dibuktikan dengan model hidup dan hubungan kekerabatan mereka yang begitu dekat yang jauh dari norma hukum dan norma agama. Mereka juga tidak mengenal sistem organisasi kemasyarakatan apalagi adat. Di komunitas Masyarakat Polahi, tidak dikenal apa yang dinamakan Kepala Masyarakat, atau pemimpin Masyarakat. Mereka hidup seadanya dan sangat bersahaja. Berkebun, berburu, memasak, bercengkrama adalah kegiatan keseharian mereka.

Dengan program pemberdayaan tersebut diatas, diharapkan mereka dapat hidup secara teratur dan lebih mengenal norma-norma hukum dan agama yang ada. Dan yang lebih penting adalah, adanya tenaga profesional yang dapat menangani mereka secara berkelanjutan guna mengembalikan mereka dalam kehidupan sosial yang lebih bermoral.