Show
Al-Qur'an atau Qur'an (bahasa Arab: القرآن, translit. al-Qurʾān), adalah sebuah kitab suci utama dalam agama Islam Kalam Allah SWT, yang dipercayai Muslim bahwa kitab ini diturunkan oleh Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.[1] Kitab ini terbagi ke dalam beberapa surah (bab) 114 surah dan setiap surahnya terbagi ke dalam beberapa ayat[2]. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an difirmankan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril,[3][4] berangsur-angsur selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari atau rata-rata selama 23 tahun, dimulai sejak tanggal 17 Ramadan,[5] pengumpulan Al-Qur'an ditempuh dengan cara: pertama al jam'u fis sudur para sahabat menghapalnya di luar kepala setiap kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur budaya orang arab yang menjaga Turats peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hapalnya kedua al jam'u fis suthur yaitu wahyu turun saat Nabi Muhammad berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke Madinah hingga wafat pada tahun 632.[1][6][7][8]Umat Muslim menghormati Al-Qur'an sebagai sebuah mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW, sebagai salah satu tanda dari kenabian,[9] dan merupakan puncak dari seluruh pesan suci (wahyu) yang diturunkan oleh Allah SWT sejak Nabi Adam dan diakhiri dengan Nabi Muhammad SAW.[a] Kata "Quran" disebutkan sebanyak 70 kali di dalam Al-Qur'an itu sendiri.[10] Menurut ahli sejarah beberapa sahabat Nabi Muhammad Shallallah Alaihi Wasallam memiliki tanggung jawab menuliskan kembali wahyu Allah SWT berdasarkan apa yang telah para sahabat hafalkan.[11] Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, para sahabat segera menyusun dan menuliskan kembali hafalan wahyu mereka. Penyusunan kembali Al-Qur'an ini diprakarsai oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq atas usulan dari Umar bin Khattab dengan persetujuan para sahabat senior. Al-Qur’an menjelaskan sendiri bahwa isi dari Al-Qur’an adalah sebuah petunjuk. Terkadang juga dapat berisi cerita mengenai kisah bersejarah, dan menekankan pentingnya moral.[12][13] Al-Qur’an digunakan bersama dengan hadis untuk menentukan Syari'ah.[14] Saat melaksanakan Salat, Al-Qur’an dibaca hanya dalam bahasa Arab.[15] Beberapa pakar Barat mengapresiasi Al-Qur’an sebagai sebuah karya sastra bahasa Arab terbaik di dunia.[16][17] Seseorang yang menghafal isi Al-Qur'an disebut Hafiz. Beberapa umat Muslim membacakan Al-Qur’an dengan tartil, dan peraturan, yang disebut tajwid. Saat bulan suci Ramadan, biasanya umat Muslim melengkapi hafalan Dan membaca Al-Qur’an mereka setelah melaksanakan shalat tarawih. Untuk memahami makna dari al quran, umat Muslim menggunakan rujukan yang disebut tafsir.[18] Etimologi[sunting | sunting sumber]Wahyu pertama Muhammad, Surah Al-Alaq, kemudian ditempatkan ke-96 dalam urutan Al-Qur'an (dalam gaya penulisan saat ini). Terdapat dua pendapat berbeda mengenai asal usul nama Al-Qur'an, apakah kata [[القرآن]] adalah Isim jamid dan musytaqq atau Isim jamid dan musytaqq.[19] Asy-Syafi'i, di antara yang berpendapat pertama, mengatakan
Yang perlu menjadi catatan di sini adalah bahwa Riwayat yang dibaca Asy-Syafi'i adalah riwayat Ibnu Katsir yang membacanya Al-Quran, tanpa hamzah.[21] Pendapat ini dibantah dengan argumen bahwa pembacaan kata "Al-Qur'an" tanpa hamzah (menjadi al-Qurān), seperti dalam Qiraat Ibnu Katsir, termasuk dalam hukum takhfīf (peringanan cara membaca) dan naql (pemindahan harakat hamzah ke huruf bersukun sebelumnya).[22] Yang berpendapat dengan pendapat kedua, ada yang menganggapnya musytaqq dari huruf ق-ر-ن q-r-n. Abu al-Hasan al-Asy'ari mengatakan, "Kata itu musytaqq dari kata qarantu al-syay’ bil-syay’, yang artinya aku menggabungkannya ke yang satunya. ... Dari kata ini juga, haji yang digabung dengan umrah dalam satu ihram disebut qiran."[23] Adapun Abu Zakariya al-Farra' mengatakan, "Kata itu musytaqq dari kata القرائن al-qarā’in, bentuk jamak dari قرينة qarīnah ("indikator")."[23] Al-Qurtubi sependapat dengan al-Farra' dengan alasan bahwa ayat-ayat Al-Qur'an itu saling membenarkan satu sama lain dan saling mirip.[21] Yang juga berpendapat bahwa kata al-Qur'an itu isim musytaqq, ada yang menganggapnya musytaqq dari huruf ق-ر-ء q-r-’.[23] Ibnul Atsir mengatakan, "(Kata 'Al-Qur'an') adalah mashdar (bentuk kata infinitif, dengan pola) seperti غفران gufrān dan كفران kufrān."[22] Kata qara’a sendiri dapat bermakna membaca atau bermakna mengumpulkan.[b] Di antara yang berpendapat maknanya "mengumpulkan" adalah az-Zujjaj. Sementara itu, al-Lihyani menggunakan firman Allah, إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ "Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu"[Al-Qiyamah:17-18] sebagai dalil bahwa makna "Al-Qur'an" bukan "mengumpulkan," tetapi "membaca", karena penggunakan kata sambung "dan" mengharuskan adanya pergantian kata.[24] Jika al-Qur'an berasal dari kata qara’a yang bermakna membaca, maka al-Qur'an berarti bacaan, sedangkan jika bermakna mengumpulkan, maka al-Qur'an berarti kumpulan, karena Alquran itu berisi kumpulan kisah-kisah dan hukum.[25] Nama dan definisi[sunting | sunting sumber]Meskipun kata Al-Qur'an adalah yang paling sering digunakan di dalam kitab suci tersebut untuk merujuknya—seperti di ayat ke-9 dari Surah al-Isra' di bawah ini, Allah juga menggunakan berbagai nama berbeda, seperti al-Furqān ("pembeda"), al-Kitāb ("buku"), dan al-Żikr ("pengingat").[26] Selain itu, al-Qur'an juga disebut dengan karakteristiknya, seperti kabar gembira, ilmu (pengetahuan), tali yang kuat, kebenaran, tali Allah, dan pernyataan yang jelas untuk manusia.[26]
Para ahli tafsir memiliki definisi tersendiri tentang Al-Qur'an, semisal Dr. Subhi Saleh yang mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
Adapun Muhammad Ali Ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
Pendekatan dari beragam disiplin ilmu menghasilkan beragam definisi yang menyoroti aspek-aspek istimewa dari Al-Qur'an.[27] Berbagai definisi secara istilah yang ada memiliki kesamaan maksud, yaitu firman Allah SWT yang ditularkan turun-temurun sampai zaman kita, baik secara lisan, maupun tulisan.[26] Al-Qaththan mendefinisikan al-Qur'an sebagai "firman Allah SWT yang diturunkan kepada Muhammad yang dapat menjadi sarana ibadah dengan membacanya."[28] Sejarah penulisan mushaf Al-Qur'an[sunting | sunting sumber]Manuskrip Sana'a, halaman kanan manuskrip biner Stanford '07. Lapisan atas adalah ayat 265-271 Surah Baqarah. Lapisan ganda mengungkapkan penambahan yang dibuat pada naskah pertama Al-Qur'an dan perbedaannya dengan Al-Qur'an hari ini. Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak.[29] Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis. Periode penurunan Al-Qur'an[sunting | sunting sumber]Al-Qur'an tidak turun secara sekaligus dalam satu waktu melainkan berangsur-angsur supaya meneguhkan diri Rasul.[30] Menurut sebagian ulama, ayat-ayat al-Qur'an turun secara berangsur-angsur dalam kurun waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari; dan ada pula sebagian ulama lain yang berpendapat bahwa Al-Qur'an diwahyukan secara bertahap dalam kurun waktu 23 tahun (dimulai pada 22 Desember 603 Masehi).[31] Para ulama membagi masa turunnya ini dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah yang membentuk penggolongan surah Makkiyah dan surah Madaniyah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Nabi Muhammad SAW ﷺ dan surah-surah yang turun pada waktu ini tergolong surah Makkiyyah. Sementara periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surah yang turun pada kurun waktu ini disebut surah Madaniyah. Ilmu Al-Qur'an yang membahas mengenai latar belakang maupun sebab suatu ayat atau beberapa ayat al-Qur'an diturunkan disebut Asbabun Nuzul. Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya[sunting | sunting sumber]Penulisan ayat-ayat al-Qur'an dilakukan serta diselesaikan pada masa nabi Muhammad SAW yang merupakan seorang Arab,[32][33][34] Pertanggungjawaban isi Al-Qur'an berada pada Allah SWT, sebab kemurnian dan keaslian Al-Qur'an dijamin oleh Allah SWT.[35] Sementara itu sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa transformasi Al-Qur'an menjadi teks saat ini tidak diselesaikan pada zaman nabi Muhammad SAW, melainkan proses penyusunan Al-Qur'an berlangsung dalam jangka waktu lama sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga khalifah Utsman bin Affan. Masa Nabi Muhammad SAW[sunting | sunting sumber]Menurut riwayat para ahli tafsir, ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menulis Al-Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab.[36] Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
Masa Khulafaur Rasyidin[sunting | sunting sumber]Pemerintahan Abu Bakar[sunting | sunting sumber]Pada masa kekhalifahan Abu Bakar pada priode 11-13 Hijriyah di Madinah, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama Perang Riddah) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para Sahabat Nabi. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksanaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafshah binti Umar yang juga istri Nabi Muhammad[37]. Pemerintahan Utsman bin Affan[sunting | sunting sumber]Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an. Mengutip hadis riwayat Abu Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al-Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraisy tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al-Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Namun terdapat keterangan bahwa dialek bahasa yang dipergunakan di Al-Qur'an merupakan dialek Arab murni.[38] Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, Utsman mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan Madinah (mushaf al-Imam). Struktur[sunting | sunting sumber]Al-Qur'an terdiri atas 114 surah, 30 juz dan 6238 ayat menurut riwayat Hafsh,[39] 6262 ayat menurut riwayat ad-Dur, atau 6214 ayat menurut riwayat Warsy.[40][41] Secara umum, Al-Qur'an terbagi menjadi 30 bagian yang dikenal dengan nama juz. Pembagian juz memudahkan mereka yang ingin menuntaskan pembacaan Al-Qur'an dalam kurun waktu 30 hari. Terdapat pembagian lain yang disebut manzil, yang membagi Al-Qur'an menjadi 7 bagian. Surah[sunting | sunting sumber]Setiap surah dalam Al-Qur'an terdiri atas sejumlah ayat, mulai dari surah-surah yang terdiri atas 3 ayat; yakni Surah Al-Kausar[42], Surah An-Nasr[43] dan Surah Al-Asr[44], hingga surah yang mencapai 286 ayat; yakni surah Al-Baqarah[45]. Surah-surah umumnya terbagi ke dalam subbagian pembahasan yang disebut ruku.' Kunjungan Ratu Syeba ke Raja Salomo. Edward Poynter, 1890. Menurut Taurat, tujuh ratus istri dan tiga ratus selir menyesatkannya di masa tuanya dan menyuruhnya menyembah berhala. Salomo masuk Al-Qur'an sebagai nabi-raja yang memerintah manusia, jin dan alam. Lafadz Bismillahirahmanirrahim (بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) merupakan ciri di hampir seluruh pembuka surah di Al-Qur'an selain Surah At-Taubah. Walaupun demikian, terdapat 114 lafadz Bismillahirahmanirrahim yang setara dengan jumlah 114 surah dalam Al-Quran, oleh sebab lafadz ini disebut dua kali dalam Surah An-Naml[46], yakni pada bagian pembuka surah serta pada ayat ke-30 yang berkaitan dengan sebuah surat dari Sulaiman kepada ratu Sheba. Makkiyah dan Madaniyah[sunting | sunting sumber]Menurut tempat diturunkannya, surah-surah dapat dibagi atas golongan Makkiyah (surah Mekkah) dan golongan Madaniyah (surah Madinah).[47] Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu yang diperkirakan terjadi penurunan surah maupun ayat tertentu, di mana surah-surah yang turun sebelum Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah digolongkan sebagai surah Makkiyah sementara surah-surah yang turun setelahnya tergolong sebagai surah Madaniyah. Surah yang turun di Mekkah pada umumnya surah-surah dengan jumlah ayat yang sedikit, berisi prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan surah-surah yang turun di Madinah pada umumnya memiliki jumlah ayat yang banyak, berisi peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan, ataupun seseorang dengan lainnya (syari'ah) maupun pembahasan-pembahasan lain. Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini dianggap lebih tepat, sebab terdapat surah Madaniyah yang turun di Mekkah.[48] [sunting | sunting sumber]Dari segi jumlah ayat, surah-surah yang ada di dalam Al-Qur'an terbagi menjadi empat bagian:
Upaya penerjemahan dan penafsiran[sunting | sunting sumber]Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al-Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi ataupun mengganti teks yang asli dalam bahasa Arab, sebab teks yang asli memiliki ciri tata bahasa dan berbagai istilah khusus yang tidak ditemui dalam terjemahan bahasa lain.[50] Dengan demikian, kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidaklah sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.[51] Terjemahan[sunting | sunting sumber]Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal terhadap teks bahasa Arab Al-Qur'an tanpa disertai dengan usaha interpretasi lebih jauh. Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya. Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Indonesia:
Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Inggris:
Terjemahan Al-Qur'an dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia:
Tafsir[sunting | sunting sumber]Koin yang menggambarkan Alexander Agung sebagai penakluk Mesir dengan tanduk Amun di kepalanya. Alexander dianggap sebagai putra dewa Amon berkepala domba jantan di Mesir. Menurut mayoritas komentator Qur'an, Żul Qarnain adalah Alexander.[53] Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak zaman hidupnya Nabi Muhammad SAW, saat itu para sahabat dapat menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW hingga saat ini, usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Metodologi yang umum digunakan para mufassirin berupa metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat, dan dengan mengetahui asbabu nuzul nya al qur'an, itu adalah salah satu cara untuk menafsirkan al qur'an.[54] Corak penafsiran yang dihasilkan berupa tafsir bercorak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat, teologis bahkan ilmiah. Akan tetapi, adanya berbagai ayat Al-Qur'an yang masih misterius bagi para ahli tafsir, membuktikan bahwa pengetahuan dan ilmu manusia yang terbatas tidak sanggup menandingi sebuah Kitab berasal dari Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.[55] Serta terdapat keterangan bahwa inti ajaran Al-Qur'an adalah bagian-bagian tersurat yang mudah dipahami (muhkamat), sedangkan bagian-bagian tersirat yang rumit (mutasyahabihat) berada dalam Ilmu Allah.[56] Adab terhadap Al-Qur'an[sunting | sunting sumber]Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur'an sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur'an, karena tidak ada dalil yang menguatkannya.[57]
Pendapat kelompok pertama meyakini seseorang diharuskan berwudhu sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surah Al Waaqi'ah di atas. Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al-Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surah Al Waaqi'ah di atas ialah: "Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur'an yang ada di Lauhulmahfuz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur'an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil. Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur'an kecuali mereka yang suci (bersih), yakni dengan bentuk faa'il (subjek/pelaku) bukan maf'ul (objek). Kenyataannya Allah berfirman: "Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur'an) kecuali mereka yang telah disucikan", yakni dengan bentuk maf'ul (objek) bukan sebagai faa'il (subjek). "Tidak ada yang menyentuh Al-Qur'an kecuali orang yang suci."[58] Yang dimaksud oleh hadis di atas ialah: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur'an kecuali orang mu'min, karena orang mu'min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Nabi Muhammad. "Sesungguhnya orang mu'min itu tidak najis".[59] Hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab lain[sunting | sunting sumber]Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW ﷺ yakni Shuhuf Ibrahim, Kitab Taurat, Zabur, maupun Injil, Di antara kitab-kitab suci tersebut, Allah SWT secara khusus menyebut kedudukan "Al-Kitab yang diberikan kepada Musa" memiliki kaitan paling erat dengan Al-Qur'an.[60] Terdapat berbagai ayat di Al-Qur'an tentang penegasan kedudukan terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah beberapa pernyataan Al-Qur'an, mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:
Pembacaan[sunting | sunting sumber]Menurut An-Nawawi, pembacaan Al-Qur'an dilakukan pada tempat-tempat yang bersih dan dianggap sebagai tempat terbaik. Para ulama menganjurkan bahwa tempat terbaik untuk membaca Al-Qur'an adalah di dalam masjid. Pemilihan masjid didasari oleh kemuliaan dan kebersihan yang dimiliki oleh masjid. Pembacaan Al-Qur'an di dalam masjid lebih utama dibandingkan dengan berzikir. Tujuan pembacaan Al-Qur'an dapat untuk menghafal maupun pembacaan untuk mengingat bacaannya. Pembacaan Al-Qur'an dilakukan dengan kaidah-kaidah tilawah.[67] Pemberhentian pembacaan Al-Qur'an tidak boleh dilakukan kecuali untuk menjawab salat atau untuk mendengar azan. Pelarangan menghentikan bacaan Al-Qur'an ialah ketika tujuannya hanya untuk berbicara dengan orang lain tanpa maksud tertentu. Sebaliknya, bacaan Al-Qur'an dapat dihentikan ketika adanya pembicaraan yang diperlukan dalam kondisi tertentu. Misalnya untuk mengingatkan seseorang yang lupa akan sesuatu atau menuntun orang yang Kebutaan untuk berjalan.[68] Lihat pula[sunting | sunting sumber]
Pranala luar[sunting | sunting sumber]Wikimedia Commons memiliki media mengenai Qur'an. Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Catatan[sunting | sunting sumber]
Referensi[sunting | sunting sumber]
Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]Bahasa Indonesia[sunting | sunting sumber]
Bahasa Asing[sunting | sunting sumber]
Pembelajaran:
Literatur kritik:
Ensiklopedia:
Jurnal Akademik:
Berikut manakah jumlah bilangan dari pada Alquran yang benar?Ayat Alquran berjumlah 6.236. Hitungan Al-Kufi inilah yang diikuti oleh cetakan Alquran di Indonesia, dan seluruh cetakan Alquran di dunia yang menggunakan riwayat Hafs dari Imam 'Asim.
Apakah benar jumlah ayat al qur an 6666?Para ulama sepakat mengatakan bahwa jumlah ayat Al-Quran lebih dari 6.200 ayat. Namun berapa ayat lebihnya, mereka masih berselisih pendapat. Menurut Nafi' yang merupakan ulama Madinah, jumlah tepatnya adalah 6.217 ayat. Sedangkan Syaibah yang juga ulama Madinah, jumlah tepatnya 6214 ayat.
Ayat al qur an jumlahnya ada berapa?Mushaf al-Qur'an yang diterbitkan di Indonesia jumlah ayat al-Qur'an sebanyak 6236 ayat. Mushaf Standar Indonesia mengikuti pendapat Kûfiy, yaitu Imam 'Asim (127/744), Imam Hamzah (156/772), Imam Al-Kisa'i (189/804) Khalaf al-Asyir (229/843), dan al-A'masy (148/765).
|