Bagaimanakah tindakan yang dilakukan oleh Presiden jika seandainya rapbn yang diajukan oleh Presiden ditolak oleh DPR?


KOMPAS.com – Informasi seputar mekanisme penyusunan APBN banyak dicari pembaca, khususnya bagi yang sedang mencari tahu bagaimana proses penyusunan RAPBN hingga menjadi APBN.

APBN adalah singkatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sedangkan kepanjangan dari RAPBN adalah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Terkait hal ini, beberapa pertanyaan kerap mencuat terkait siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan APBN.

Baca juga: Kenapa Setiap Negara Memerlukan APBN?

APBN diajukan oleh siapa? Apakah APBN diajukan oleh pemerintah dan disetujui oleh DPR? Siapa yang mengesahkan APBN?

Selain itu, ada pula pertanyaan seperti, bila RAPBN tidak disetujui DPR maka APBN yang mana yang digunakan? Kapan RAPBN disahkan menjadi APBN?

Karena itu, artikel ini akan membantu pembaca menjawab sederet pertanyaan tersebut dengan menyajikan informasi seputar mekanisme penyusunan APBN.

Aturan penyusunan APBN

Dasar hukum penyusunan APBN mengacu didasarkan pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diubah menjadi Pasal 23 Ayat (1), (2) dan (3) Amandemen UUD 1945.

Baca juga: Mengapa Negara Singapura Lebih Berfokus pada Perdagangan dan Industri?

Berdasarkan ketentuan tersebut, mekanisme penyusunan APBN harus mengikuti prosedur sebagai berikut:

  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  2. Rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
  3. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

Dengan demikian, bila RAPBN yang diajukan oleh pemerintah telah disetujui oleh DPR, kemudian akan disahkan menjadi APBN melalui UU.

Sementara apabila RAPBN ditolak harus maka pemerintah harus melakukan revisi kemudian diajukan lagi ke DPR atau pemerintah bisa memilih menggunakan APBN tahun sebelumnya.

Baca juga: Mengapa dalam Ekonomi Modern Setiap Negara Memiliki Bank Sentral?

Dengan ketentuan tersebut, maka sudah jelas RAPBN diajukan oleh pemerintah pusat dan disahkan oleh DPR menjadi APBN melalui UU. Artinya, secara tegas disebutkan bahwa RAPBN disahkan menjadi APBN oleh DPR.

Adapun dikutip dari laman resmi DPR RI, beberapa regulasi terkait dasar penyusunan, penetapan dan pemeriksaan APBN yang berlaku adalah sebagai berikut:

  • UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
  • UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
  • UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

Periode penyusunan APBN

Terkait pula dengan mekanisme penyusunan APBN, penting mengetahui periode penyusunan APBN. Tahun Anggaran yang berlaku pada APBN meliputi masa 1 tahun yaitu sebagai berikut:

  • Sebelum Tahun 2000: 1 April - 31 Maret
  • Tahun 2000 (masa peralihan): 1 April - 31 Desember
  • Setelah Tahun 2000: 1 Januari - 31 Desember

Baca juga: Mengapa Negara Harus Berutang?

Adapun waktu penyusunan, pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN dilakukan pada tahun sebelum anggaran dilaksanakan.

Misalnya, untuk menyusun APBN Tahun Anggaran 2023, maka pembahasan, penyusunan dan penetapannya dilakukan pada tahun 2022.

Proses penyusunan RAPBN hingga menjadi APBN

Lebih lanjut, dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tahap penyusunan APBN adalah sebagai berikut:

  • Tahap 1: Perencanaan dan penetapan RAPBN yang disusun oleh kementerian/lembaga yang menghasilkan rencana kerja pemerintah yang mengacu pada asumsi dasar ekonomi makro.
  • Tahap 2: Pembahasan dan penetapan APBN yang dilakukan pemerintah dan DPR dengan pertimbangan masukan DPD.
  • Tahap 3: Pelaksanaan dan pengawasan APBN.
  • Tahap 4: Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang disampaikan oleh presiden selambat-lambatnya 6 bulan setelah anggaran berakhir.

Baca juga: Rumus Menghitung PPN, Pahami Cara Hitung Pajak Masukan dan Keluaran

Adapun berdasarkan laman resmi DPR RI, siklus APBN terdiri dari:

  • Penyusunan dan Pembahasan APBN
  • Penetapan APBN
  • Pelaksanaan APBN
  • Laporan Realisasi SM I dan Prognosis SM II APBN
  • Perubahan APBN

Itulah informasi seputar mekanisme penyusunan APBN untuk menjawab pertanyaan bagaimana proses penyusunan RAPBN hingga menjadi APBN.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Prosedur Penolakan dan Pencabutan Perpu yang pertama kali dipublikasikan pada Senin, 21 Oktober 2013.

Penetapan Perppu oleh Presiden                                      

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam artikel-artikel di atas, Maria Farida Indrati Soeprapto dalam buku Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, mengatakan bahwa Perppu jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), yaitu pada masa persidangan berikutnya (hal. 94).

Apabila Perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan undang-undang. Sedangkan, apabila Perppu itu tidak disetujui (ditolak) oleh DPR, akan dicabut (hal. 94).

Persetujuan atau Penolakan Perppu

Hal ini sesuai dengan wewenang DPR yang terdapat dalam Pasal 71 huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah:

DPR berwenang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.

Perlu Anda ketahui, proses pembahasan Perppu untuk disetujui atau ditolak, dilakukan oleh DPR melalui rapat paripurna.[1] Nantinya, DPR-lah yang menentukan persetujuan atau penolakan suatu Perppu tersebut melalui keputusan rapat paripurna.

Dalam hal Perppu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna (ditolak), maka sebagai tindak lanjut atas Keputusan Rapat Paripurna DPR yang menolak Perppu yang bersangkutan, Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.[2]

Kami sekaligus meluruskan istilah ‘membatalkan’ yang Anda gunakan, karena mengacu pada Pasal 52 ayat (5) UU 12/2011, maka istilah yang tepat untuk digunakan adalah ‘mencabut dan menyatakan tidak berlaku’.

Produk Hukum yang Mencabut Perppu

Lalu, produk hukum apa yang dipakai sebagai bentuk penolakan atau pencabutan suatu Perppu itu? Untuk menjawabnya, kita berpedoman pada Pasal 52 ayat (6) dan ayat (7) UU 12/2011 yang berbunyi:

  1. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

  2. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Dari ketentuan di atas, dapat kita ketahui bahwa secara hukum, DPR atau presidenlah yang mengajukan Rancangan Undang-Undang ("RUU") tentang pencabutan Perppu.

RUU yang diajukan itu juga mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu.

Contoh

Dalam Bagian Menimbang huruf a UU 3/2010 dikatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“Perppu 4/2009”) yang diajukan oleh presiden tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna pada 4 Maret 2010.

Kemudian, presiden mengajukan RUU tentang pencabutan Perppu 4/2009. RUU tersebut disahkan dengan diterbitkannya UU 3/2010 yang mencabut dan menyatakan Perppu 4/2009 tidak berlaku.

Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, produk hukum yang dipakai untuk mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Perppu yang ditolak oleh DPR adalah peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan Perppu, yaitu undang-undang.

Presiden atau DPR-lah yang mengajukan RUU tentang pencabutan Perppu yang ditolak oleh DPR itu.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Referensi:

Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Kanisius: Yogyakarta, 1998.