Bagaimana praktiknya di Indonesia pada masa Hindia Belanda

1. Dampak penjajahan Belanda di Indonesia dalam bidang politik adalah kuatnya pengaruh pemerintah kolonial Belanda pada penyelenggaraan pemerintahan kerajaan – kerajaan yang ada di Indonesia seperti ikut campur dalam mengatur kebijakan atau keputusan yang akan diambil oleh Raja, mengubah struktur pemerintahan kerajaan, serta memusatkan kekuasaan di Batavia. Selain itu, dampak dari penjajahan Belanda pada bidang politik dapat dilihat ketika Belanda mengambil alih wilayah kekuasaan berbagai Kerajaan di Indonesia.

Dampak penjajahan Belanda di bidang politik juga dapat dilihat pada perubahan kelas sosial masyarakat Indonesia, baik masyarakat kalangan istana maupun rakyat biasa, yakni kelas sosial raja dan keluarga raja yang sebelumnya kedudukannya berada pada kelas atas berubah turun kelas menjadi berada pada kelas sosial terbawah. Dan rakyat Indonesia dari kalangan tuan tanah dan para pedagang yang sebelumnya menduduki kelas sosial menengah kedudukannya berubah menjadi turun pada kelas sosial terbawah.

2. Ekonomi uang adalah kondisi ekonomi dimana masyarakat menggunakan uang sebagai sarana dalam transaksi dan pembayaran. Ini berbeda dengan ekonomi barter dimana masyarakat menggunakan barang dalam transaksi dan tukar menukar serta dalam kegiatan lainnya seperti membayar pajak.

Praktiknya di Indonesia pada masa Hindia Belanda ekonomi uang mulai diterapkan pada masa “Cultuurstelsel” atau masa Tanam paksa.

Penggunaan sistem ekonomi uang mulai menyebar pada masa penjajahan belanda, seiring dengan diberlakukannya sistem Tanam Paksa, oleh Gubernur Jenderal Johannes Van Der Capellen pada tahun 1930an. Dengan sistem ini penjajah Belanda membuka perkebunan di wilayah pedalaman, seperti perkebunan teh, gula, kopi dan karet. Dengan perkebunan ini penjajah Belanda memaksa petani untuk bekerja di perkebunan ini. Sebagai upah mereka diberikan uang, meski dengan jumlah yang tidak sepadan dengan kerja berat di perkebunan ini.

Munculnya sirkulasi uang ini, membuat penggunaan uang sebagai alat tukar dalam kegiatan perekonomian menjadi berkembang pesat. Koin gulden, mata uang belanda, menjadi medium tukar dan menggantikan metode barter yang sebelumnya mendominasi sistem perekonomian di pedalaman.

3. Struktur pemerintahan pada zaman Belanda adalah sistem pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Kekuasaan tertinggi saat itu dipegang dan diatur oleh pemerintahan kerajaan Belanda. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu Pemerintah Hindia-Belanda banyak menggunakan jasa pihak pribumi. Dalam pelaksanaan struktur pemerintahan dari atas ke bawah seperti pada gambar berikut:

Bagaimana praktiknya di Indonesia pada masa Hindia Belanda

Pengaruhnya dalam struktur pemerintahan RI sekarang merupakan warisan dari penerapan ajaran Trias Politica yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.

4. Iya benar. Politik Etis merupakan kebijakan Belanda yang penting bagi kehidupan rakyat Indonesia. Politik Etis berusaha meningkatkan pendidikan dan kondisi kehidupan penduduk asli Hindia Belanda.  Ini dilakukan dalam tiga kebijakan yang disebut dengan “Trias van Deventer”, yaitu:

  • Irigasi: membuat dibangunnya berbagai waduk dan saluran pengairan
  • Edukasi: membuat dibangunnya berbagai sekolah dan munculnya kalangan cerdik pandai
  • Transmigrasi: membuat adanya perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari Jawa  

5. Kebijakan Belanda di Indonesia selalu bersifat diskriminatif misalnya segmentasi dalam masyarakat di Hindia Belanda, yaitu golongan orang kulit putih (Belanda) atau keturunannya menjadi golongan utama, masyarakat Tionghoa di golongan kedua dan pribumi di golongan terakhir karena Belanda berkepentingan untuk terus memecah belah rakyat di Indonesia, bahkan antar suku di sebuah wilayah.

Golongan yang mendapatkan akses mudah ke berbagai fasilitas publik yang berkualitas adalah golongan Eropa dan sebagian golongan Timur Asing yang kaya. Sedangkan golongan pribumi sangat dibatasi pergerakannya.

6. Belanda telah memanfaatkan kultur feodal di Indonesia untuk meneguhkan kekuasaannya di Indonesia karena dengan cara sistem sosial tertutup tersebut, rakyat tidak bisa masuk ke strata lebih tinggi untuk ikut campur dengan belanda. Kultur feodal sebenarnya sudah ada sejak zaman kerajaan. Hal tersebut sangat menguntungkan Belanda dalam rangka meneguhkan kekuasaannya di Indonesia. Dengan gaya kepemimpinan ala kerajaan masa lalu yang cenderung otoriter, Belanda bekerjasama dengan pemimpin pribumi lokal bersama-sama menindas rakyat jelata agar mau menuruti perintah Belanda misalnya mengerjakan tanam paksa, rodi yang menyebabkan keuntungan melimpah ruah bagi kerajaan Belanda.

7. Perbandingan antara sekolah di Zaman Kolonial Belanda dengan pendidikan sekolah sekarang adalah sekolah pada zaman kolonial perempuan hanya boleh sekolah sampai SD sedangkan laki-laki boleh sampai tingkat mana saja misalnya SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi.

Sedangkan zaman sekarang tidak ada pembatasan pendidikan. Perempuan dan laki laki mempunyai derajat yang sama sehingga perempuan dan laki laki boleh sekolah sampai perguruan tinggi meskipun dari latar belakang sosial yang berbeda-beda.

8. RA. Kartini adalah wanita yang sangat merasakan terkena dampak dari kultur zaman kolonial Belanda. Tetapi ia tidak menyerah. Pada masanya R.A. Kartini sangat membenci budaya feodalisme yang ada di lingkungannya. Ia membenci sembah sujud yang berlebihan dari rakyat kepada pejabat pribumi, juga membenci sopan santun yang terlalu berlebihan dari anak kecil terhadap orang yang lebih tua. Hingga akhirnya ia menulis surat kepada teman-temannya di Belanda yang kemudian dikumpulkan menjadi buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Isi buku tersebut membahas kesedihan R.A. Kartini yang hidup dalam belenggu feodalisme. Ia ingin hidup setara dengan kaum pria.

Bagaimana praktiknya di Indonesia pada masa Hindia Belanda

Bagaimana praktiknya di Indonesia pada masa Hindia Belanda

Penulis: Abdul Hadi
tirto.id - 23 Sep 2021 18:55 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Bagaimana praktiknya di Indonesia pada masa Hindia Belanda
Penjelasan mengenai contoh 4 bentuk penderitaan rakyat Indonesia pada masa penjajahan Belanda.

tirto.id - Sejak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menguasai sejumlah wilayah nusantara pada tahun 1600-an, hingga pemerintahan Hindia Belanda bubar akibat Perang Dunia II, berbagai bentuk penderitaan dialami rakyat Indonesia.

Penderitaan panjang yang harus dilalui rakyat Indonesia akibat kolonialisme itu mendorong banyak bumiputra bertekad memperjuangkan kemerdekaan. Rasa senasib-sepenanggungan di bawah penjajahan Belanda kemudian membentuk nasionalisme dan persatuan bangsa Indonesia.

Advertising

Advertising

Perjuangan panjang akhirnya berbuah pada proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, kemerdekaan tersebut masih harus ditebus dengan pengorbanan banyak pejuang karena Belanda sempat ingin berkuasa kembali di Indonesia.

Mengutip buku Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (1997) terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, penderitaan rakyat Indonesia selama penjajahan Belanda tidak hanya akibat perang dan kekerasan. Kemiskinan, kelaparan, hingga perbudakan bahkan dialami rakyat Indonesia saat dunia sudah memasuki abad ke-20.

Ada banyak contoh penderitaan rakyat Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Empat contoh di bawah ini cuma sebagian dari bentuk penderitaan rakyat Indonesia akibat kolonialisme Belanda.

1. Kebijakan Cultuurstelsel (Tanam Paksa)

Setelah menguasai Indonesia berdasarkan Konvensi London pada 1814, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda di nusantara dipimpin oleh suatu komisi yang beranggotakan Vander Capellen, Elout, dan Buyskes.

Salah satu misi penjajahan Belanda tersebut ialah untuk membayar utang Kerajaan Belanda yang tergolong besar karena perang. Saat komisi ini diambil alih Gubernur Jenderal Van den Bosch, kebijakan tanam paksa, yang kerap disebut pula dengan Cultuurstelsel, diimplementasikan di banyak daerah sejak tahun 1830.

Sistem tanam paksa benar-benar memeras tenaga rakyat Indonesia serta mengeruk kekayaan alam di nusantara. Banyak rakyat bumiputra menderita akibat Cultuurstelsel.

Baca juga: Sejarah Cultuurstelsel: Aturan, Tujuan, Tokoh, & Dampak Tanam Paksa

Kapasitas sawah dikurangi untuk keperluan tanam paksa, rakyat dipaksa bekerja, bahkan kadang dituntut bekerja di kebun yang letaknya sampai puluhan kilometer jauhnya dari desa. Selain itu, kerja rodi juga dilakukan di bawah todongan senjata. Akibatnya, kemiskinan dan kelaparan menjalar di banyak tempat.

Infografik SC Indonesia di Masa Penjajahan Belanda. tirto.id/Fuad

Tanaman yang harus ditanam selama Cultuurstelsel ditentukan oleh pemerintah Belanda. Kopi, teh, tebu dan jenis komoditas potensial ekspor lainnya harus ditanam demi menambah pundi-pundi harta Kerajaan Belanda.

Sistem tanam paksa bisa menggelembungkan kas Belanda, tapi rakyat bumiputra menderita. Selain kelaparan dan kemiskinan, penyakit pun sering mewabah karena banyak orang kurang gizi. Bahkan, banyak pekerja paksa yang mati kelaparan.

Dampak besar sistem tanam paksa pada penderitaan rakyat di nusantara membuat kritik tajam dilontarkan pada pemerintah Hindia-Belanda. Kritik itu malah datang dari sebagian orang Belanda sendiri.

Karena Cultuurstelsel dianggap tidak manusiawi, sistem tanam paksa dihapuskan dan diganti dengan pihak swasta Belanda yang turun mengelola perkebunan di nusantara. Secara berangsur-angsur, sistem tanam paksa kemudian dihapuskan pada 1861, 1866, 1890, dan 1916.

2. Perbudakan di Hindia Belanda

Ketika VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coenstraat berhasil menguasai Batavia, kondisi wilayah yang kini menjadi Jakarta tersebut tidak sepadat pada masa kemudian. Banyak penduduk lokal Batavia kabur ke pelosok Batavia Selatan, yakni Jatinegara Kaum.

Padahal, untuk membangun Batavia selepas penaklukan, orang-orang Belanda butuh tenaga kerja. Karena itulah, VOC mendatangkan tawanan perang dan budak dari berbagai tempat, misalnya Manggarai, Bali, Sulawesi, Arakan, Bima, Benggala, Malabar, dan lainnya, demikian tercatat dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi (2001) yang ditulis Alwi Shahab.

Baca juga: Ratu Beatrix ke Jakarta dan Betapa Susahnya Belanda Meminta Maaf

Dalam perjalanannya, banyak pria bumiputra diperbudak menjadi pekerja kasar di Batavia, sementara perempuan dijadikan pemuas nafsu berahi dan pengurus rumah tangga orang-orang Belanda. Apabila mereka membangkang, hukumannya sangat kejam.

Izin perbudakan akhirnya dihapus pada 1860 oleh pemerintah Hindia-Belanda. Namun, praktiknya terus dilakukan hingga dekade pertama abad ke 20, sebagaimana dicatat Reggie Baay dalam Daar werd wat gruwelijks verricht atau Perbudakan di Hindia Belanda (2015).

3. Kerja Rodi

Salah satu kerja rodi paling terkenal yang membuat rakyat bumiputra di Indonesia sengsara adalah pembuatan jalan raya sepanjang kurang lebih 1.000 kilometer dari Anyer hingga Panarukan pada 1809.

Kerja rodi massal itu dipelopori Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, yang menerima mandat dari Louis Napoleon, penguasa Belanda di bawah pengaruh Prancis era Napoleon Bonaparte. Daendels menerima perintah untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serbuan Inggris. Maka itu, ia memerintahkan pembangunan jalan Anyer-Panarukan.

Baca juga: Bagaimana Daendels Membangun Pemerintahan Modern di Hindia Belanda?

Mengutip Britannica, nama lain kerja rodi adalah kerja budak yang dilakukan di bawah paksaan. Para pekerja tidak memperoleh upah dan dipaksa bekerja di luar batas kemanusiaan.

Kerja rodi pembangunan jalan raya Anyer hingga Panarukan pada 1809 memakan korban jiwa hingga 12.000 jiwa. Kerja rodi ini dilaksanakan di bawah todongan senjata dan lecutan cambuk. Banyak pekerja yang kelaparan hingga meninggal demi terbangunnya jalan itu.

4. Upah Rendah di Perkebunan

Sejak tanam paksa dihapuskan, pemerintah Belanda menerapkan sistem Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy). Kebijakan ini membuka Hindia-Belanda bagi pengusaha swasta-asing untuk menanamkan modal dan membuka perusahaan.

Sistem Politik Pintu Terbuka ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang (UU) Agraria (Agrarische Wet) 1870 dan Undang-Undang Gula (Suiker Wet). Dua UU itu menjadikan Hindia Belanda pusat perkebunan penting dalam perdagangan ekonomi dunia.

Namun, rakyat bumiputra yang dahulunya tersiksa dengan tanam paksa, harus mengalami derita yang lain karena dipaksa bekerja di perkebunan besar. Hingga pertengahan Abad 20, tumbuh banyak perkebunan kopi, teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau, hingga kelapa sawit di Hindia Belanda.

Ketika banyak pengusaha swasta membangun perusahaan di nusantara, rakyat Indonesia beralih menjadi buruh yang dipaksa bekerja habis-habisan dengan upah rendah. Makanan dan kesehatan mereka tidak terjamin, begitu pula dengan kesejahteraannya. Sistem memang berganti sejak pertengahan Abad 19, tapi kemiskinan tetap saja menjadi wajah sehari-hari rakyat Indonesia di bawah penjajahan Belanda.

Baca juga artikel terkait PENJAJAHAN BELANDA atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/add)

Penulis: Abdul Hadi Editor: Addi M Idhom Kontributor: Abdul Hadi

© 2022 tirto.id - All Rights Reserved.