Apa yang harus dilakukan seorang istri jika suami tidak memberi nafkah?

Apa yang harus dilakukan seorang istri jika suami tidak memberi nafkah?

TANYA MUI, muisulsel.com — Assalamu’alaykum Warohmatullahi Wabarokatuh Saya ingin menanyakan perihal:

Apakah benar bahwa dalil mengenai kewajiban suami menafkahi istri itu sudah usang alias tidak berlaku lagi jika istri tersebut memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap (suami-istri PNS), sehingga suami tidak perlu memberikan/mempercayakan uang nafkah bulanan sepeserpun kepada istri sejak awal menikah?

Selain itu, istri tersebut justru wajib turut serta membantu ekonomi keluarga dengan bergantian bersama suami memenuhi kebutuhan keluarga setiap bulan selama bertahun-tahun (jika tiba giliran istri belanja kebutuhan keluarga, terkadang pengeluaran istri lebih banyak, namun sebaliknya jika tiba giliran suami sengaja membatasi pengeluaran sesedikit mungkin) ?

— Dari +62 813 2192 8***

MUI MENJAWAB — Berikut kami uraikan pendapat para ulama tentang persoalan nafkah istri yang bekerja:

1. Pendapat pertama: Tidak wajib memberikan nafkah kepada istri yang keluar bekerja meskipun dengan izin suaminya, sebagaimana pendapat Hanabilah dan sebagian Syafiiyah.

2. Pendapat kedua: Istri tetap berhak mendapatkan nafkah ketika bekerja di luar atas izin suaminya, pendapat ini menurut Malikiyyah serta sebagian dari Hanafiyah dan Syafiiyah, dan merupakan pendapat dari Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa kewajiban suami untuk memberikan nafkah berdasarkan akad meskipun ada pelanggaran yang dilakukan (nusyuz).

3. Pendapat Ketiga: Seorang suami wajib menanggung sebagian dari nafkah kepada istrinya jika istrinya bekerja pada sebagian hari dan kembali kepada suaminya pada sebagian yang lain. Pendapat ini dari sebagian Hanafiyah, Syafiiyah dan Malikiyah.

Dari beberapa pandangan di atas maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

Sesungguhnya kewajiban suami adalah mencari nafkah dan menafkahi istri dan keluarganya, dan kewajiban istri adalah mengatur rumah tangganya dengan baik.

Namun jika sang istri memperoleh penghasilan dengan aktifitasnya di luar rumah, apabila sang istri tetap menjalankan kewajibannya sebagai Ibu rumah tangga, maka suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya, sekalipun istri memiliki pengahsilan sendiri.

Namun apabila tugas rumah tangga berpindah kepada suami karena tidak memiliki pekerjaan, maka suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya dengan kompensasinya adalah memberikan izin kepada istrinya untuk bekerja di luar.

Untuk itu, hendaknya seorang suami dan istri memusyawarahkan dengan solusi terbaik, misalnya menggabungkan penghasilan suami dan istri lalu kemudian dipergunakan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Wallahu A’lam.■

*) Oleh: Tim Komisi Fatwa MUI Sulsel

Hubungan suami istri ialah ikatan suci yang di dalamnya terdapat berbagai macam tuntunan serta tuntutan disesuaikan dengan syariat Islam. Ada berbagai macam kewajiban yang mesti dijalankan. Di sisi lain, ada juga hak yang boleh dituntut antara satu pihak dengan yang lainnya. Misalkan: suami berhak menuntut ketaatan istri, di sisi lain ia wajib memberikan nafkah kepada istri. Sebaliknya, istri berhak menuntut nafkah dari suami namun wajib taat.


Terkait dengan persoalan nafkah. Wajib bagi suami memberikan nafkah berupa materi, juga nafkah non materi yang biasa dikenal dengan istilah nafkah batin. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaily dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu j. IX, h. 6832:


للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل.


Artinya: “Bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafkah dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.”


Ketika seorang suami ternyata tidak bisa memenuhi kewajiban pemberian nafkah, selama istrinya rela dan lapang dada untuk saling berbagi, maka ikatan pernikahan tetap bisa dipertahankan. Kebijakan semacam ini tercermin dalam Alquran surat al-Talaq: 7 :


لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا


Liyunfiq żụ sa'atim min sa'atih, wa mang qudira 'alaihi rizquhụ falyunfiq mimmā ātāhullāh, lā yukallifullāhu nafsan illā mā ātāhā, sayaj'alullāhu ba'da 'usriy yusrā


Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.


Sebaliknya, ketika istri merasa tidak bisa bersabar akan hal tersebut. Ia boleh menuntut hak tersebut kepada suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, juz VII, hal. 121:


قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى : لَمَّا دَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلَى أَنَّ حَقَّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَعُولَهَا احْتَمَلَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا وَيَمْنَعَهَا حَقَّهَا وَلَا يُخَلِّيَهَا تَتَزَوَّجُ مَنْ يُغْنِيهَا وَأَنْ تُخَيَّرَ بَيْنَ مُقَامِهَا مَعَهُ وَفِرَاقِهِ 


Artinya: “Imam Syafi’i berkata, baik Alquran maupun sunah telah menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap istri adalah mencukupi kebutuhannya. Konsekuensinya adalah suami tidak boleh hanya sekadar berhubungan badan dengan istri tetapi menolak memberikan haknya, dan tidak boleh meninggalkannya sehingga diambil oleh orang yang mampu memenuhi kebutuhannya. Jika demikian (tidak memenuhi hak istri), maka isteri boleh memilih antara tetap bersamanya atau pisah dengannya,”


Ketentuan di atas berlaku untuk nafkah secara umum. Baik itu nafkah lahir maupun nafkah batin. Persoalan berikutnya ialah terkait soal durasi. Berapa lama suami boleh tidak memberikan nafkah batin bagi istrinya?


Terkait hal tersebut, terjadi perbedaan pendapat ulama. Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa seorang suami wajib memberikan nafkah batin kepada istrinya sekurang-kurangnya satu kali satu bulan. Pendapat ini berdasarkan pada ayat:


فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ 


fa iżā taṭahharna fa`tụhunna min ḥaiṡu amarakumullāh, innallāha yuḥibbut-tawwābīna wa yuḥibbul-mutaṭahhirīn


Artinya: “Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”


Imam Ibnu Hazm berpendapat demikian karena beliau memahami bahwa biasanya siklus haidl perempuan adalah sebulan sekali, dan perintah untuk menggauli istri pada ayat diatas dipahami oleh Ibnu Hazm sebagai perintah yang menunjukkan kewajiban.


Lain halnya dengan ulama lain yang tidak menganggap perintah diatas sebagai sebuah kewajiban. Sebagaimana Imam Syafi’I, beliau lebih memilih berpendapat bahwa batas waktunya ialah 4 bulan. Pendapat tersebut dibuat berdasarkan ketetapan yang dibuat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Pada masa itu, banyak lelaki yang pergi berperang meninggalkan istri mereka. Banyak sekali istri yang merasa sedih akan hal ini. Sesudah berdiskusi dengan Hafsoh, Umar kemudian memutuskan bahwa prajurit yang sudah bertugas selama 4 bulan di medan perang, ia harus pulang untuk memberikan nafkah kepada istrinya, atau menceraikannya.


Hal ini termuat dalam kitab Al-Umm, juz VII, hal. 121:


كَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ فِي رِجَالٍ غَابُوا عَنْ نِسَائِهِمْ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يَأْخُذُوهُمْ بِأَنْ يُنْفِقُوا أَوْ يُطَلِّقُوا ، فَإِنْ طَلَّقُوا بَعَثُوا بِنَفَقَةِ مَا حَبَسُوا. وَهَذَا يُشْبِهُ مَا وَصَفْتُ 


Artinya: “Umar bin Khaththab RA pernah menulis surat kepada para panglima perang mengenai para suami yang jauh istrinya, (dalam surat tersebut, pent) beliau menginstruksikan kepada mereka agar mengultimatum para suami dengan dua opsi; antara memberikan nafkah kepada para istri atau menceraikannya. Kemudian apabila para suami itu memilih menceraikan para istri, mereka harus mengirimkan nafkah yang belum mereka berikan selama meninggalkannya. Hal ini mirip dengan apa yang telah saya (Imam Syafi’i) kemukakan.”


Simpulannya, jika melihat pada pendapat ulama, maka batas maksimal suami tidak memberikan nafkah batin ialah 1 bulan jika mengacu pada pendapat Imam Ibnu Hazm, dan 4 bulan jika mengacu pada keputusan yang dibuat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khatab sebagaimana dikutip oleh Imam Syafi’I diatas.


Khusus untuk kita yang tinggal di Indonesia, kita mengetahui bahwa terdapat ta’liq talak yang dibaca oleh mempelai pria dan tertera di buku nikah, yang diantara pointnya ialah:


“Apabila saya: ... (2) Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya ... dan karena perbuatan tersebut istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian isteri saya membayar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya satu kepadanya.”


Dari shighat ta’liq talak point 2 tersebut di atas, maka di Indonesia, batasan maksimal tidak memberikan nafkah batin ialah 3 bulan. Meskipun demikian, talak tidak serta merta jatuh karena hal itu masih tergantung pada keridhaan istri. Apabila istri ridha, maka pernikahan masih bisa berjalan, sedangkan apabila istri tidak ridha, maka ia boleh mengajukan gugat cerai di pengadilan. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.


Ustadz Ibnu Syahroji, atau dikenal Ustadz Gaes

Apa yang harus dilakukan istri saat suami tidak memberi nafkah?

Sikap Istri Apabila Suami Tidak Memberikan Nafkah Maka, “hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempatkan rezekinya, hendaklah mereka memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.”

Apa hukumnya jika suami tidak memberi nafkah?

Jadi, hukum suami tidak memberi nafkah dalam Islam itu adalah haram dan berdosa besar ya Moms. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami sebagai kepala keluarga.

Apakah istri boleh minta cerai jika suami tidak memberi nafkah?

Intisari Jawaban. Ketidakmampuan suami memberikan nafkah yang layak pada istrinya dapat menjadi penyebab perselisihan dan pertengkaran antara suami istri. Kemudian, jika perselisihan terus terjadi dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, gugat cerai suami dapat diajukan.

Berapa lama suami tidak menafkahi istri?

Sedangkan menurut Imam Ahmad, batas waktu seorang suami tidak menafkahi istrinya adalah empat bulan. Hal ini sesuai dengan keputusan di masa Umar bin Khattab yang mana banyak terjadi peperangan.