Apa sebab sila ke 2 harus diterapkan dalam koperasi

Jakarta (29/9) -- Pancasila mengandung nilai-nilai dan keyakinan yang dapat menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai ideologi bangsa, nilai-nilai Pancasila perlu ditanamkan dalam diri setiap individu warga negara sejak usia dini. Salah satu nilai penting yang secara tersirat dalam ideologi Pancasila adalah nilai gotong royong.

Asisten Deputi Pemberdayaan Pemuda, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Yohan menjelaskan bahwa kata gotong royong berasal dari kata dalam bahasa Jawa. Kata ‘gotong’ dipadankan dengan kata ‘pikul atau angkat’. Sedangkan kata ‘royong’ dipadankan dengan bersama-sama. Secara sederhana kata tersebut berarti mengangkat sesuatu secara bersama-sama atau dapat diartikan juga sebagai mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. 

Hal itu disampaikan Yohan saat membuka Kuliah Umum Yudi Latif, PhD dalam rangkaian kegiatan Sekolah Harmoni Indonesia (SHI) yang diadakan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)-Indonesia, secara virtual melalui zoom meeting, pada Selasa (29/9).

“Jadi, gotong royong memiliki pengertian sebagai bentuk ‘partisipasi aktif’ setiap individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai tambah atau positif kepada setiap obyek, permasalahan, atau kebutuhan orang banyak di sekelingnya,” ujar Yohan.

Yohan mengatakan bahwa kegiatan kuliah umum Yudi Latif, Ph.D yang membahas nilai-nilai Pancasila dan implementasinya, dan telah dilakukan secara berseri ini diharapkan dapat menambah wawasan berpikir masyarakat agar lebih mencintai pancasila dan menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam paparannya, Yudi Latif, PhD menyampaikan bahwa dasar dari semua komponen dalam Pancasila adalah gotong royong. Memang gotong royong tidak tercantum secara eksplisit dalam kelima sila dalam pancasila, namun, gotong royong merupakan intisari dari dasar negara Indonesia tersebut. 

"Kelima nilai Pancasila harus diaktualisasikan berdasarkan nilai-nilai gotong royong. Sebagai contoh, pada sila pertama, yakni, prinsip ketuhanan, harus dilandasi jiwa gotong royong. Artinya, aktivitas ketuhanan harus mengakomodasi nilai-nilai budaya lokal, bersifat lapang, transformatif, serta mampu membina toleransi antar umat beragama," jelas Yudi Latif.

Pancasila tidak menghendaki ketuhanan yang saling menyerang, mengucilkan, dan mendominasi agama-agama yang lain. Selain itu, Yudi Latif, PhD juga menekankan bahwa manusia memiliki kewajiban moral untuk bergotong royong. Diharapkan gotong royong lebih dari sekedar ikatan di dalam suku, namun juga antar kesukuan. (*)

Apa sebab sila ke 2 harus diterapkan dalam koperasi

Oleh: Dewi Arsita
(Mahasiswa Pprodi MBS 1 E angkatan 2019 IAIN Surakarta/ Santri Asrama 3 Pondok Darrusalam)

Pancasila tidak asing lagi bagi warga negara Indonesia. Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia. Tetapi Pancasila bukanlah sekedar dasar negara, bukanlah sesuatu yang harus dihafalkan di luar kepala melainkan sesuatu yang harus diamalkan oleh semua Warga Negara Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

Dituturkan oleh Kiki, seorang mahasiswa IAIN Surakarta mengatakan pendapatnya seperti berikut: Dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari sila ini, menggambarkan bahwa kita harus mengembangkan sikap saling mengormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, membina kerukunan antar pemeluk umat beragama (Puspitasari, 2015). Sila kedua ”Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Dari sila ini, menggambarkan bahwa kita harus memperlakukan manusia secara adil sesuai harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa artinya memperlakukan sesama manusia secara adil tanpa  membeda-bedakan suku, ras, agama dan keturunan.

Sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Dari sila ini dapat digambarkan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia harus bersatu tidak terpecah belah karena adanya perbedaan dan mampu menempatkan persatuan, kesatuan serta kepentingan pribadi dan golongan. Sila keempat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Dari sila ini menggambarkan sebagai Warga Negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan selalu mengambil keputusan dalam musyawarah. Sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Dari sila ini kita dapat mencerminkan sikap kekeluargaan dan gotong royong serta mengembangkan sikap adil terhadap sesama manusia.

Adapaun menurut Jannatun Nisa, berpendapat bahwa nilai Religius dalam Pancasila lebih menekankan dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dimana dalam sila ini mengajarkan untuk bertaqwa kepada Allah SWT misalnya selalu taat beribadah tepat waktu. Selain itu, Mas Irus berpendapat “Cerminan setiap perbuatan kita sebagai perbuatan yang menunjukkan bahwa kita umat beragama”

Dalam beberapa pendapat mahasiswa di atas dapat kita sebagai mahasiswa sebagai agen of change yang mempunyai peranan penting dalam penegakkan nilai Religius. Namun tidak hanya itu, perbaikan di berbagai nilai harus ditingkatkan seperti melalui kualitas agamanya. Agama merupakan pijakan fondasi dasar dalam kehidupan. Dengan kita memahami unsur dan kandungan dalam beragama dapat memperkuat moralitas, membentuk karakter  dan meningkatkan persepsi mahasiswa untuk menolak adanya radikalisme yang beredar di dalam kampus seperti menerima surat yang berisikan ajakan atau seminar yang tidak jelas arahnya. Sebagai mahasiswa harus berpikir kritis sebelum melakukan tindakan. Tindakan tersebut adalah salah satu hal yang perlu diterapkan dikalangan mahasiswa sehingga membentuk sebuah karakter.

Pancasila sebagai dasar negara atau ideologi negara tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Sebagai agama yang rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta alam), Islam sangat releven dan fleksibel dalam segala bidang kehidupan, terlebih di jenjang perguruan tinggi belum menekankan pemahamna spesifik terhadap nilai religiusnya. Oleh sebab itu, kita sebagai warga negara Indonesia terlebih dikalangan mahasiswa senantiasa melaksanakan, menjaga, dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama.

Ali Syahbana dalam tulisannya mengatakan bahwa ketika kita melihat sejarah, Pancasila tidak hanya dirumuskan oleh tokoh nasional saja. Ada tokoh ulama yang ikut serta dalam proses penyusunan dasar negara tersebut, seperti KH. Wahid Hasyim dari kalangan NU maupun ulama lain dari kalangan Muhammadiyah. Kehadiran para tokoh ulama tersebut tentunya mewarnai dan berdampak pada rumusan Pancasila yang Islami, yaitu Pancasila yang menampakkan ke-rahmatan lil’alamin ajaran Islam, bukan Pancasila yang jauh dari dan sepi dari nilai-nilai keislaman (Syahbana, 2012).

Nilai-nilai keislaman atau nilai religius sangat memperlihatkan sila pertama”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam sila pertama mengandung arti bahwa meskipun negara bukan negara agama, tetapi agama merupakan nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan negara. Sila pertama ini ditetapkan sebagai alternatif dari pembentukan Islam. Sila pertama ini menjamin hak-hak pemeluk agama lain, sejauh agama itu diakui negara (Vickers, 2011).

Keselarasan sila pertama Pancasila dengan syariat Islam terlihat dalam Al-quran yang mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan, seperti dalam Surat al-Baqarah, ayat 163 yang memiliki arti:”Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Murah, lagi Maha Penyayang”(Syahbana, 2012). Konsep ini menunjukkan bahwa dasar kehidupan bernegara rakyat Indonesia adalah ketuhanan. Didalam Islam, konsep ini biasa disebut hablum min Allah yang merupakan esensi dari tauhid berupa hubungan dengan Allah SWT (Muttaqien, 2011).

Oleh : Brilian Firdaus dan Rusliansyah Anwar

Pendahuluan

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia yang merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengertian Pancasila diawali dalam proses perumusan dasar negara dalam sidang BPUPKI. Pada rapat pertama, Radjiman Widyoningrat, mengajukan suatu masalah, yang secara khusus akan dibahas pada sidang tersebut, yaitu mengenai calon rumusan dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampillah tiga orang pembicara yaitu Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar Negara Indonesia. Sebagaimana masukan dari salah satu teman Ir. Soekarno yang merupakan ahli bahasa, maka Beliau menamainya dengan “Pancasila” yang artinya 5 dasar.

Istilah Pancasila terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu panca yang berarti lima dan sila yang berarti prinsip atau asas. Sesuai namanya, pancasila memiliki lima sendi utama atau sila yang menyusunnya, yaitu:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila kedua pancasila yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengandung pengertian bahwa seluruh manusia merupakan mahkluk yang beradab dan memiliki keadilan yang setara di mata Tuhan. Dengan kata lain, seluruh manusia sama derajatnya baik perempuan atau laki-laki, miskin maupun kaya, berpangkat maupun yang tidak. Di negara kita ini sejatinya tidak diperbolehkan adanya diskriminasi terhadap suku, agama, ras, antargolongan, maupun politik.

Pembahasan

Pengertian sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Menurut Nurdiaman dan Setijo, Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya selaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, sama hak dan kewajibannya, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, dan keturunan. NKRI merupakan negara yang menjungjung tinggi hak asasi manusia (HAM), negara yang memiliki hukum yang adil dan negara berbudaya yang beradab. Negara ingin menerapkan hukum secara adl berdasarkan supremasi hukum serta ingin mengusahakan pemerintah yang bersih dan berwibawa, di samping mengembangkan budaya IPTEK berdasarkan adab cipta, karsa, dan rasa serta karya yang berguna bagi nusa dan bangsa, tanpa melahirkan primordial dalam budaya.

Mengapa keberadaan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab menjadi penting

Keanekaragaman masyarakat Indonesia selain dapat menjadi kebanggaan namun dapat pula menjadi suatu ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Adanya keanekaragaman memungkinkan suatu komunitas masyarakat dapat memilih untuk hidup berkelompok dengan orang lain yang mungkin saja berbeda dengan ras, suku, budaya atau bahasa yang dimiliki.  Namun adanya keberagaman ini kondusif pula menjadikan kelompok-kelompok tersebut saling membeci berdasarkan perbedaan yang ada di antara mereka.

Menghadapi tantangan ke depan, bangsa Indonesia harus waspada dan siap dalam menghadapi era globalisasi seperti di bidang ekonomi, kemudian ancaman bahaya laten terorisme, komunisme dan fundamentalisme. Hal-hal tersebut menjadi suatu tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia, yang bilamana  kita sebagai suatu bangsa tidak bisa bersatu alias dalam kondisi terpecah belah, maka besar kemungkinan bangsa kita akan gagal dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut.

Sila kedua yakni “kemanusiaan yang adil dan beradab” sangatlah penting pada situasi seperti ini. Bila masyarakat Indonesia menerapkan sila kedua secara baik, maka Indonesia mempunyai kemungkinan yang kokoh dalam menghadapi tantangan-tantangan dunia pada saat ini. Jadi sila kedua dapat dikatakan sebagai salah satu jaring pengaman atas permasalahan yang ditimbulkan arus globalisasi.

Keadaan aktual penerapan sila kedua dari Pancasila di Indonesia

Pada saat ini masih penerapan sila kedua dari Pancasila di negara kita masih sangat kurang Hal tersebut tercermin dari masih banyaknya kejahatan di bidang hak azasi manusia (HAM) dan suasana yang berbau SARA, seperti kampanye dari kubu-kubu tertentu yang menggunakan isu-isu SARA.

Kasus pelanggaran HAM merupakan hal yang sangat erat dengan penyelewengan sila kedua dari Pancasila. Kalau kita simak, kasus pelanggaran HAM berdasarkan sifatnya sebenarnya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu kasus pelanggaran HAM berat seperti  genosida, pembunuhan sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, dan perbudakan, sementara kasus pelanggaran HAM biasa antara lain berupa pemukulan, penganiayaan, pencemaran nama baik, menghalangi orang dalam mengekspresikan pendapatnya, dan menghilangkan nyawa orang lain.

Beberapa contoh kasus-kasus besar pelanggaran HAM dan isu SARA, antara lain kasus peristiwa G30S/PKI tahun 1965, tragedi 1998, bom Bali, kasus Salim Kancil, dan kerusuhan di kota Tanjungbalai, serta masih banyak lagi kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang sampai saat ini masih marak terjadi.

Penutup

Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” mengandung pengertian bahwa manusia Indonesia seharusnya diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya selaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memliki derajat yang sama, mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, dan keturunan.

Sila kedua dibutuhkan guna menangkal berbagai ancaman kemanusiaan serta untuk menegakkan nilai-nilai universal kemanusiaan di negara ini. Selain itu sila ini juga harus mampu menjamin hukum yang adil bagi masyarakat secara keseluruhan, utamanya demi penegakan HAM yang bermartabat. .

References

https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila

http://ivanadewi30.blogspot.sg/2016/11/permasalahan-sila-ke-2-kemanusiaan-yang.html

https://kumparan.com/manik-sukoco/memahami-pancasila

https://www.kompasiana.com/ketikan.jari/59d70a22c363760a500726a2/implementasi-nilai-nilai-pancasila-sila-kedua-dalam-menanggapi-peristiwa-rohingya-sebagai-wujud-manusia-yang-pancasilais

http://pusathukum.blogspot.sg/2015/03/Contoh-kasus-pelanggaran-HAM-di-Indonesia.html