Sekaten merupakan acara tahunan yang rutin digelar di Solo dan Yogyakarta sejak abad ke-15. Acara ini merupakan tradisi yang dilakukan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Karena tradisi ini selalu terjaga, maka tak heran di setiap pelaksanaannya selalu banyak warga di Solo dan Yogyakarta yang antusias untuk turut meramaikan. Pada penyelenggaraan sekaten, biasanya diadakan pasar malam selama satu bulan penuh. Setelahnya, akan diadakan acara Grebeg Maulud Nabi berupa kirab gunungan yang berlangsung sebagai puncak acara. Tidak hanya sekadar perayaan, ternyata sekaten juga memiliki sejarahnya tersendiri terutama bagi penyebaran agama Islam di Jawa Tengah. Tradisi ini digunakan Wali Songo untuk menarik perhatian masyarakat terhadap agama Islam. Sekaten dipercaya sebagai perpaduan antara kesenian dan dakwah karena melalui acara inilah masyarakat diperkenalkan agama Islam. Saat itu banyak masyarakat yang menyukai alat musik gamelan, sehingga pentas kesenian ini selalu digelar pada hari penyelenggaraan sekaten. Prosesi itu pula yang masih dipertahankan hingga kini. Dalam pagelarannya dilakukan tahapan membunyikan gamelan yang diarak ke Masjid Agung hingga dikembalikannya gamelan sekaten sebagai tanda berakhirnya acara upacara sekaten. Biasanya rangkaian pagelaran ini berlangsung pada tanggal 5 hingga 12 bulan Rabiulawal, dimana gamelan terus ditabuh nonstop secara bergantian. Setelah itu acara akan berlanjut pada prosesi Numpak Wajik dan Grebeg Muludan. Secara garis besar tidak ada yang membedakan pagelaran sekaten di Solo dan Yogyakarta. Hal pembeda hanya berada di kirab akhir. Dalam Grebeg Muludan di Keraton Yogyakarta terdapat 6 buah gunungan, yaitu 2 buah gunungan lanang/laki-laki, 1 gunungan wadon/perempuan, 1 gunungan dharat, 1 gunungan gepak, dan 1 gunungan pawuhan.
Yogyakarta mempunyai tradisi budaya yang unik dalam memperingati Hari Lahir Nabi Muhammad SAW atau Maulud (maulid) Nabi, yaitu Perayaan Sekaten. Perayaan Sekaten ini rutin diadakan sejak tahun 1960-an bertempat di Alun-alun Utara pada bulan Maulud, bulan ketiga pada kalender Jawa. Memilih datang ke Jogja bertepatan dengan perayaan Sekaten ini merupakan pilihan yang tepat. Kita bisa menik mati suasana Pasar Malam yang dibuka sejak bulan Sapar (Kalender Jawa) yang dimeriahkan dengan beberapa wahana permainan lokal seperti Ombak Banyu, Bianglala, Komedi Putar, Rumah Hantu, tong Setan dan permainan lainnya. Selain itu, ada prosesi inti Perayaan Sekaten yang bisa kita saksikan selama perayaan ini. Miyos Gongso
Prosesi Miyos Gongso itu mengeluarkan dua perangkat Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo dari Kraton menuju Mesjid Gede Kauman. Dua Gamelan ini dibawa oleh para prajurit dan abdi dalem dari Keraton melalui Siti Hinggil, melewati Alun-alun Utara lalu menuju Mesjid Gede Kauman. Dua Gamelan ini tidak diletakan bersama, namun Gamelan Kyai Guntur Madu diletakan di bagian Kidul (Selatan) dan Kyai Nogowilogo diletakan di bagian Lor (Utara). Dengan dikeluarkannya dua gamelan ini sekaligus sebagai penanda dimulainya Sekaten. Acara ini biasanya mulai menjelang tengah malam sekitar pukul 23.00 WIB. Jika ingin menyaksikan prosesi ini sebaiknya datang lebih awal sekalian menikmati suasana pasar malam dan mencoba wahana permainan yang ada :D Prosesi Miyos Gongso ini digelar pada tanggal 5 Maulud atau pada saat ini bertepatan dengan tanggal 7 Januari 2014 Numplak Wajik
Prosesi pembuatan Wajik (makanan khas yang terbuat dari beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali pembuatan pareden yang digunakan dalam upacara Garebeg Maulud yang merupakan acara puncak nantinya. Prosesi ini diadakan sore hari di Pawon Ageng di halaman bangsal Kemagangan Kidul (selatan) dan harus disaksikan oleh salah seorang saudara Sri Sultan yang menjadi pembesar (pengageng) Kraton Yogyakarta. Uniknya pada prosesi ini diiringi dengan musik ansambel lesung-alu (alat penumbuk padi), kenthongan, dan alat musik kayu lainnya. Setelah Prosesi ini selesai, akan dilanjutkan dengan pembuatan pareden. Jika ingin menyaksikan acara ini, ada bisa datang ke bangsal Kemagangan Kidul yang letaknya di selatan Keraton Yogyakarta, atau sebelah timurnya Komplek Tamansari. Prosesi ini akan dilaksanakan pada tanggal 11 Januari 2014 Kondur Gongso merupakan kebalikan dari prosesi Miyos Gongso, dua perangkat Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo dikembalikan/pulang kembali ke Kraton setelah ditabuh selama 7 hari di Mesjid Gede Kauman. Ada yang unik dari prosesi ini yaitu akan ada “Sebar Udhik-Udhik” yang dilakukan oleh Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono. Udhik-Udhik terdiri dari beras kuning, uang logam dan bunga. Sebar Udhik-Udhik ini melambakan kemurahan hati Sultan untuk memberi kemakmuran kepada rakyatnya. Disini akan banyak masyarakat yang berebut Udhik-Udhik karena dipercaya akan mendapatkan berkah, ketenangan dan kelancaran rezeki. Acara ini diadakan malam hari sebelum Grebeg Maulud di pagi harinya atau tepatnya Tanggal 11 Bulan Maulud. Pada kali ini, prosesi ini diadakan pada tanggal 13 Januari 2013 Grebeg Maulud
Merupakan prosesi terakhir dari perayaan Sekaten dan juga merupakan prosesi yang paling ramai didatangi oleh masyarakat dari segala penjuru. Prosesi dimulai jam 07.30 dan diawali dengan Parade Kesatuan Prajurit Kraton Yogyakarta dengan mengenakan pakaian mereka. Sekitar jam 10 akan ada 3 buah Gunungan yang dikeluarkan dari Siti Hinggil menuju Halaman Alun-alun Utara, Mesjid Gede Kauman dan Pakualaman. Gunungan-gunungan tersebut nantinya akan diperebutkan oleh masyarakat karena dipercaya mendapatkan berkah, kelancaran rizki dan ketenangan. Prosesi ini berlangsung pada tanggal 12 Maulud atau bertepatan pada tanggal 14 Januari 2014. Jika ingin menyaksikan prosesi ini, lebih baik datang pagi, karena agar bisa mendapatkan posisi yang diinginkan.
Sekaten merupakan sebuah kegiatan tahunan yang diselenggarakan Karaton Yogyakarta Hadiningrat. Awalnya, Sekaten bertujuan meng-Islam-kan masyarakat Jawa yang hidup di sekitar kraton saat pemerintahan Sri Sultan HB I. Saat itu rakyat masih memeluk kepercayaan animisme serta dinamisme. Penyelenggaraannya sendiri berlangsung sejak abad ke -16 dan terus berlangsung hingga sekarang. Sekaten sendiri, dilaksanakan di bulan Maulud yaitu bulan ke tiga dalam tahun Jawa. Bulan tersebut mensimbolkan kegembiraan serta penghormatan kepada Nabi Muhammad S.A.W. Upacara Sekaten itu terdiri atas beberapa kegiatan. Pertama, sebar udik-udik, lalu Miyos Gongso. Kegiatan ini untuk membawa dua buah gamelan bernama Kyai Nagawila dan Kyai Guntur Madu ke Masjid Gede Kauman Yogyakarta. Keduanya hanya dibunyikan (ditabuh) saat acara puncak perayaan Sekaten. Penempatannya pun berbeda. Gamelan Kyai Nagawilaga di Pogangan Lor. Sedangkan gamelan Kyai Guntur Madu di Pagongan Kidul. Lalu, Njejak Boto. Maknanya ialah perjalanan atau hijrah masyarakat menuju proses yang lebih baik. Kegiatan ini, dilakukan pemerintahan HB I sampai HB X. Prosesi ketiga disebut Numplak Wajik. Prosesi ini dilaksanakan tiga hari sebelum Grebeg Maulud. Tujuannya ialah menolak bala atau kesialan, baik dalam rupa bencana atau wabah penyakit. Ada berbagai jenis empon-empon (bumbu dapur) yang digunakan. Salah satunya dlingo bengle. Bahan-bahan tersebut lalu dioleskan di sekitar wajik. Lalu sisanya dibagikan ke warga. Sedangkan Kundur Gongso menjadi arak-arakan dua gamelan kraton yang dibawa kembali ke kraton. Sri Sultan HB X sendiri yang memimpin prosesi tersebut. Peristiwa itu juga menjadi lambang sang raja yang menemui rakyatnya. Para abdi dalem yang bertugas membunyikan (menabuh) gamelan tersebut terlebih dahulu menjalani ritual tersendiri.Selain puasa, mereka juga wajib menyucikan diri. Mas Lurah Widyo Dimulyo, salah satu abdi dalem mengatakan pusaka (gamelan) ini merupakan laras pelog yang dibuat saat HB I. Untuk pemukulnya sendiri terbuat dari tanduk lembu atau kerbau. Tujuannya agar bunyi yang dihasilkan lebih nyaring. Proses pembuatan gunungan membutuhkan waktu sampai 1 minggu. Sebelumnya, ada upacara selamatan untuk mendapatkan restu Tuhan.Editor : Albertus Indratno
Lihat Foto KOMPAS.com - Sekaten adalah rangkaian kegiatan tahunan yang dijadikan sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Sekaten berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilaksanakan setiap tanggal 5 sampai 11 Rabi’ul Awal dan ditutup dengan upacara Garebeg Mulud pada 12 Rabi’ul Awal. Awal mula adanya Sekaten yaitu dimulai dari kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa pada zaman Kesultanan Demak. Saat itu, orang Jawa menyukai gamelan pada hari raya Islam, yaitu hari lahirnya Nabi Muhammad, sehingga dimainkanlah gamelan di Masjid Agung Demak. Baca juga: Nilai-Nilai pada Tradisi Sekaten Asal UsulTercetusnya nama Sekaten sendiri diadaptasi dari kata syahadatain yang berarti persaksian (syahadat) yang dua. Kemudian mengalami perluasan maksa menjadi:
Baca juga: Sejarah Singkat Khulafaur Rasyidin ProsesiUpacara tradisional Sekaten dilakukan selama tujuh hari, adapun tahapan-tahapannya sebagai berikut:
Terdapat dua tradisi yang dilakukan selama Sekaten berlangsung, yaitu Grebeg Muludan dan Numpak Wajik. Grebeg MuludanGrebeg Muludan diadakan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal atau sebagai acara puncak peringatan Sekaten. Tradisi ini dimulai dari pukul 08.00 sampai 10.00 WIB dikawal dengan 10 macam bregada (kompi) prajurit Kraton.
Prajurit tersebut adalah wirabraja, dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrirejo, Surakarsa, dan Bugis. Pada tradisi ini aka nada sebuah gunungan yang berisikan beras ketan, makanan, buah-buahan, serta sayuran yang dibawa dari Istana Kemandungan ke Masjid Agung untuk didoakan. Setelah didoakan, bagian gunungan yang dianggap sacral akan dibawa pulang dan ditanam di sawah atau ladang agar sawah mereka dapat tumbuh subur dan terbebas dari bencana. Baca juga: Raja-Raja Kerajaan Kutai Numpak WajikUpacara Numpak Wajik dilaksanakan dua hari sebelum Grebeg Muludan, diadakan di halaman Istana Magangan pada pukul 16.00. Upacara ini berisikan kotekan atau permainan lagu menggunakan kentongan, lumping (alat untuk menumpuk padi) dan sejenisnya. Numpak Wajik menjadi tanda awal pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan. Lagu-lagu yang dimainkan dalam upacara Numpak Wajik adalah lagu Jawa popular, seperti Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal Awil, dan lainnya. PantanganDalam pelaksanaan upacara tradisional terdapat beberapa pantangan, yaitu sebagai berikut:
Referensi:
|