Apa kewajibanmu sebagai pengguna fasilitas di tempat umum seperti bandara atau

Halte bus (serapan dari bahasa Belanda: bushalte), perhentian bus, atau setopan bus (bahasa Inggris: bus stop, bus shelter) adalah tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang bus, biasanya ditempatkan pada jaringan pelayanan angkutan bus dalam kota.

Tempat perhentian bus di Singapura

Tempat perhentian bus di Jl. Pasar Minggu, Jakarta Tempat perhentian bus di Lippo Cikarang

Di halte ini terdapat pemberhentian bus pariwisata atau bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dan truk barang jika terjadi penggantian sopir dan awak, sopir sedang sholat atau sembahyang, Buang air kecil atau besar di toilet, mengganti ban, memperbaiki mesin, mengecek barang dan mesin, serta disusul dengan bus pariwisata atau bus AKAP atau truk barang lain yang melintas langsung.

Terutama di jalan-jalan sempit di pusat kota, bus pariwisata atau bus AKAP dan truk barang berhenti di sini untuk bersilang dengan bus pariwisata atau bus AKAP dan truk barang yang melintas langsung. Namun, karena ada perbaikan dan pelebaran jalan pada tahun 2009-2010, bus pariwisata atau bus AKAP dan truk barang tidak lagi berhenti di sini. Di pusat kota ditempatkan pada jarak 300 sampai 500 meter dan di pinggiran kota antara 500 sampai 1000 meter.

Semakin banyak penumpang yang naik turun di suatu tempat perhentian bus semakin besar dan semakin lengkap fasilitas yang disediakan. Untuk tempat perhentian yang kecil cukup dilengkapi dengan rambu lalu lintas saja, dan untuk perhentian yang besar bisa dilengkapi dengan atap dan tempat duduk, bahkan bila diperlukan dapat dilengkapi dengan kios kecil untuk menjual surat kabar, atau makanan ringan & minuman.

Desain tempat perhentian tergantung kepada beberapa kriteria, yaitu:

Estetika

Estetika tergantung kepada kebijakan daerah, ada yang menggunakan pendekatan modern, yang minimalis, ataupun menggunakan pendekatan kedaerahan dengan ciri chas daerah yang bersangkutan. Semakin bagus tempat perhentian bus tersebut semakin besar biaya yang perlu dikeluarkan untuk pembangunannya.

Dimensi

Tergantung kepada jumlah penumpang yang akan menggunakan yang kaitannya dengan jumlah bus yang melewati tempat perhentian tersebut, frekuensi bus yang melalui tempat tersebut jumlah trayek yang melalui tempat perhentian tersebut.

Jarak antara tempat perhentian bus

jarak antar tempat perhentian tergantung kepada lokasinya di pusat kota dengan kegiatan yang tinggi disarankan [1] 400 m ataupun kurang dari itu sedang dipinggiran kota dengan kerapatan yang rendah dapat ditempatkan pada jarak antara 600 sampai 1000 m. Untuk mendapatkan jarak antara yang optimal disarankan untuk menggunakan modelling perencanaan angkutan umum.[2]

Rambu bus stop dari GMPTE di Manchester, UK.

Perlengkapan tempat perhentian bus tergantung kepada sistem yang digunakan, terbuka atau tertutup seperti shuttle/shelter atau tempat perhentian, seperti contoh bus TransJakarta, ataupun jumlah penumpang yang menggunakan fasilitas tempat perhentian bus. Perlengkapan meliputi:

  • Rambu lalu lintas Tempat perhentian bus, tabel 2 no 6 k,
  • Atap untuk melindungi penumpang dari hujan ataupun panas
  • Tempat duduk untuk calon penumpang
  • Sistem pendingin udara (AC)
  • Informasi perjalanan
  • Penjualan tiket seperti yang diterapkan pada TransJakarta atau Trans Jogja
  • Telepon umum
  • Sarana penunjang seperti kios media massa, makanan, dan minuman.

Tempat perhentian bus kadang-kadang dilewati oleh beberapa trayek dengan jadwal yang berbeda-beda sehingga perlu dilengkapi dengan sistem informasi yang memuat informasi mengenai:

  • Nomor trayek bus,
  • rute yang dilewati,
  • jadwal perjalanan,
  • besaran tarif, dan
  • untuk tempat perhentian bus modern dilengkapi dengan timer yang menunjukkan berapa lama lagi bus akan datang. Untuk itu biasanya digunakan sistem informasi modern yang menggunakan GPS dan komunikasi serta sistem yang dapat memperkirakan berapa lama lagi bus berikut sampai.

Halte bus dapat menambah keselamatan penumpang dalam beberapa cara:

  • Halte bus mencegah penumpang naik atau turun dari bus di lokasi yang berbahaya, seperti di persimpangan atau di tempat bus berbelok dan tidak menggunakan jalur khusus.
  • Sopir bus tidak dapat sembarangan terus menerus mencari calon penumpang. Sebuah halte bus berarti sopir bus hanya mencari calon penumpang ke setiap halte.
  • Adanya halte bus mengharuskan penumpang untuk berkumpul sendiri sebelum naik, sehingga mengurangi waktu yang dihabiskan untuk naik ke bus.
  • Pada malam hari, ketika jumlah penumpang lebih sedikit, pembatasan terkadang dilonggarkan dan penumpang diperbolehkan keluar dari bus di mana saja dengan alasan yang wajar.[3]
  • Halte bus biasanya dilengkapi jalur perhentian khusus, sehingga bus dapat berhenti tanpa menghambat arus lalu lintas di jalan raya.
  • Bus
  • Celukan bus
  • TransJakarta
  • Trans Jogja
  • Bus Stop Design Guidelines[pranala nonaktif permanen]
  • Design guidelines for accessible bus stops[pranala nonaktif permanen]
  • Tempat perhentian bus TransJakarta di Gambir

  • Tempat perhentian bus di Curitiba, Brasil

  • Tempat perhentian bus di Shanghai, China

  • Informasi perjalanan bus di Tempat perhentian bus kota Shanghai, China

  1. ^ [1]Transport for London, Accessible bus stop design guidance
  2. ^ Optimal Bus Stop Spacing Through Dynamic Programming and Geographic Modeling
  3. ^ "Halten auf Wunsch - Vestische Straßenbahnen GmbH". web.archive.org. 2016-04-19. Diakses tanggal 2022-01-24. 

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Halte_bus&oldid=21039836"

Pada beberapa waktu belakangan ini kita sering membaca, mendengar, atau bahkan menyaksikan sendiri mengenai seringnya “pesawat antre menjelang keberangkatan maupun pendaratan”nya. Hal seperti itu bisa diakibatkan oleh berbagai sebab, bahkan gabungan daripada beberapa sebab. Faktor penyebab itu antara lain karena peningkatan jumlah pesawatnya di satu sisi, dan lambatnya perkembangan penambahan fasilitas pada sisi lainnya. Bisa jadi juga disebabkan karena adanya kekurangcermatan pada waktu perencanaan, atau adanya kebijakan yang kebablasan, atau adanya keterlambatan dalam mengantisipasi perkembangan2, atau sebab-sebab lain. Secara umum hal tersebut berkaitan dengan kapasitas bandar udara. Dalam kaitan ini Paul Stephen Dempsey menulis: “The capacity of an airport is constrained by the weakest link in the chain of (1) airway capacity, (2) runway capacity, (3) apron capacity, (4) terminal capacity, or (5) surface acces capacity. Bottlenecks anywhere along the path of the aircraft, the surface transportation vehicle, the pedestrian, the freight or mail create obstructions to efficiency and impose economic and non­economis costs.An airport‟s maximum capacity is defined by the maximum capacity of its runways, gates, terminal facilities, baggage handling capacity, trains, curb pace, roads, or parking, for example. Congestion at any point along the path can back up movements at any earlier point along the path.”

Penerbangan merupakan kegiatan manusia yang paling banyak diatur, baik berdasarkan peraturan internasional (yang dikeluarkan oleh ICAO), maupun peraturan perundang-undangan nasional (Indonesia). Bahkan peraturan ICAO yang tidak jarang pula dikacaukan dengan peraturan nasional suatu negara tanpa dipahami kedudukan hukum peraturan yang sebenarnya. Di bidang kebandarudaraan sebagai bagian dari kegiatan penerbangan secara keseluruhanpun demikian pulalah keadaannya.

Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebandarudaraan, pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah hirarkinya. Di negara kita, hirarki peraturan bidang kebandarudaraan tersebut terdiri dari:

  • Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Undang – Undang Penerbangan);
  • PP No. 3 Tahun 2001 dan PP No. 70 Tahun 2001;
  • Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) yang lebih dikenal dengan sebutan Civil Aviation Safety Regulations (CASR), d.h.i. PKPS Bagian 139 (kita lebih mengenalnya sebagai CASR Part 139);
  • Manual of Standards (MOS); dan
  • Advisory Circulars (AC).

Terjadinya peningkatan jumlah pesawat udara yang mendarat dan berangkat seperti itu tentu tidak hanya terjadi di Bandara Soekarno-Hatta saja, melainkan juga terjadi di bandara-bandara lain termasuk bandara-bandara yang berada dalam pengelolaan PT Angkasa Pura II (Persero). Seperti yang dikatakan di atas, banyak aspek yang terkait yang bisa dan harus dilihat mulai dari penggunaan wilayah udara (airways &airspace), pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, aspek lingkungan, serta SDM yang mengawakinya,

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas seluruh aspek tersebut, melainkan hanya satu bagian daripadanya yaitu tentang bandar udara, khususnya yang berkenaan dengan aspek legalnya (Legal aspect of Airport), “mendampingi” tulisan lain mengenai pokok bahasan yang sama. Tulisan ini hanya dimaksudkan untuk memberikan gambaran ringkas mengenai peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional (khusus bidang penerbangan) serta hubungan antara keduanya,

Topik yang akan diulas disesuaikan dengan apa yang sudah disepakati penyelenggara (MHU) bersama dengan PT AP2, dilihat dari kerangka yang berkaitan dengan:

  1. Bagaimana Pemerintah mengantisipasi perkembangan penerbangan yang demikian pesat seperti itu yang sudah dituangkannya dalam berbagai tingkatan peraturan perundang-undangan; dan
  2. Beberapa kasus yang mungkin atau pernah terjadi di bandar udara.

UPAYA PEMERINTAH MENGANTISIPASI PERKEMBANGAN PENERBANGAN

Ada berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang telah dibuat Pemerintah untuk tujuan tersebut. Beberapa diantaranya antara lain:

  1. UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Undang-Undang ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan, pembangunan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dalam Undang-Undang ini ditetapkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan Daerah dengan melibatkan masyarakat.

Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara.

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL), adalah dokumen perencanaan kementerian/lembaga untuk periode 5 (lima) tahunan sesuai dengan kewenangannya.

  1. UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) 2005-2025

Sebagaimana telah dimaklumi, rencana pembangunan Pemerintah (yang dahulu dituangkan dalam GBHN), terdiri dari:

  1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang, yang selanjutnya disingkat RPJP, adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun.
  2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah, yang selanjutnya disingkat RPJM, adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun.

Dalam UU No 17/2007 sebagai acuan pelaksanaan pembangunan jangka panjang ditegaskan bahwa pembangunan transportasi diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah; membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional; serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. Untuk itu, pembangunan transportasi dilaksanakan dengan mengembangkan jaringan pelayanan secara antarmoda dan intramoda; menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan transportasi yang memberikan kepastian hukum dan iklim usaha yang kondusif.

  1. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 49 Tahun 2008 Tentang RPJP Departemen      Perhubungan 2005-2025

Secara sektoral, sebagai tindak lanjut dari dua peraturan perundang-undangan di atas, Kementerian Perhubungan menetapkan RPJP-nya dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 49 Tahun 2008.

Sasaran pembangunan transportasi nasional jangka panjang (2005-2025) bidang Transportasi Udara, khususnya bandar udara bertumpu pada 2 hal, yaitu:

  • Terwujudnya peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan penerbangan dan kebandarudaraan;
  • Terwujudnya multioperator kebandarudaraan;

sebagai instrument keselamatan penerbangan serta penurunan tingkat kecelakaan dan musibah penerbangan.

Untuk itu, Pemerintah menetapkan strategi pembangunan masing-masing matra transportasi dimana dalam bidang prasarana transportasi udara, khususnya bandar udara adalah sebagai berikut:

  1. Pengembangan bandar udara dalam jangka panjang akan mengikuti strategi optimalisasi, pendanaan, antisipasi keadaan darurat, keterbukaan, sinergi operasi, sertifikasi, eco airport, dan otomatisasi bandara.
  2. Strategi optimalisasi dan antisipasi keadaan darurat dilakukan pada bandara di lokasi bencana dan bandara kawasan perbatasan;
  3. Strategi pendanaan dengan pola pendanaan campuran dilakukan dengan mengedepankan peran swasta dan pemerintah daerah dalam pembangunan bandara baru yang didasarkan pada kelayakan investasi sesuai dengan mekanisme pasar;
  4. Strategi keterbukaan terkait dengan kerjasama penyelenggaraan bandara dan pengelolaan fasilitas; Strategi sinergi operasi difokuskan pada penggunaan bandara secara bersama sipil dan militer pada sisi yang berbeda;
  5. Strategi sertifikasi terkait dengan pemenuhan dokumen pengoperasian bandara (Rencana Induk, KKOP dan Batas kawasan kebisingan); Strategi eco­airport terkait dengan kewajiban menyusun dokumen AMDAL; Strategi otomatisasi dilakukan dengan penerapan otomatisasi bandara sesuai dengan perkembangan teknologi mutakhir.

Sampai dengan posisi ini, UUP yang berlaku dan dipakai sebagai acuan tentu saja masih UU No. 15 Tahun 1992 dengan beberapa Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya. PP yang dimaksudkan adalah: PP 40 Tahun 1995jo. PP 3 /2000 Tentang Angkutan Udara, PP 3 Tahun 2001 Tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, PP 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan, dan PP 36 Tahun 2006 tentang Pencarian dan Pertolongan. Semua PP tersebut yang saat ini secara formal masih berlaku akan diuraikan seperlunya sejauh ada kaitannya dengan pokok bahasan kita.

UUP No. 1/2009 merupakan penyempurnaan dari UUP No. 15/1992. Penyempurnaan diperlukan antara lain guna menyelaraskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan paradigma dan lingkungan strategis, termasuk otonomi daerah, kompetisi di tingkat regional dan global, peran serta masyarakat, persaingan usaha, konvensi internasional tentang penerbangan, perlindungan profesi, serta perlindungan konsumen. Dengan UUP No. 1/2009 diharapkan ”penyelenggaraan penerbangan sebagai sebuah sistem dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat, bangsa dan negara, serta memupuk dan mengembangkan jiwa kedirgantaraan dengan mengutamakan faktor keselamatan, keamanan, dan kenyamanan.”

Dalam Undang-Undang ini telah dilakukan perubahan paradigma yang nyata dalam rangka pemisahan yang tegas antara fungsi regulator, operator, dan penyedia jasa penerbangan. Di samping itu, juga dilakukan penggabungan beberapa penyelenggara yang ada menjadi satu penyelenggara pelayanan navigasi serta untuk sertifikasi dan registrasi pesawat udara juga dibentuk unit pelayanan otonom, dengan mengutamakan keselamatan dan keamanan penerbangan, yang tidak berorientasi pada keuntungan, secara finansial dapat mandiri, serta biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan untuk biaya investasi dan peningkatan operasional (cost recovery).

Sebagai suatu penyempurnaan wajar saja jika dibandingkan dengan UU No. 15 /1992 terdapat beberapa perbedaan besar/kecil. Dapat dikemukakan beberapa contoh misalnya berdasarkan UU No. 1/2009 yang dimaksud dengan:

  • Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, Bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, sertafasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
  • Aerodrome adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang hanya digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas.
  • Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas­batas tertentu yang digunakansebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang,dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.
  1. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 7 Tahun 2010 Tentang Renstra Kemenhub 2010-2014

Pasca diberlakukannya UU No. 1/2009, Pemerintah d.h.i. Kementerian Perhubungan menetapkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 7 Tahun 2010 Tentang Rencana Strategis Kemenhub 2010-2014. Termasuk dalam rencana strategis Kementerian Perhubungan itu antara lain:

a. Sarana :

  1. Operator (Bandar Udara, airlines, dan ATC) berkewajiban melaksanakan seluruh ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam pelaksanaan security, safety, services dan aturan ICAO, ANNEX sesuai yang tertulis dalam company manual, Standard Operating Procedures dan instruksi kerja;
  2. Evaluasi secara berkala terhadap aspek teknis dan operasi armada
    pesawat udara.

b. Prasarana Bandar Udara (antara lain):

  1. Pelaksanaan pembangunan tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat
    secara total, namun bersama dengan penyelenggara Bandar Udara atau swasta;
  2. Pengoptimalan prasarana transportasi udara (Bandar Udara) di lokasi bencana dan rawan bencana sehingga dapat melayani operasi pesawat Hercules C-130, M-50 dalam rangka evakuasi dan distribusi bantuan, sesuai prioritas program pengembangan Bandar Udara;
  3. Pembangunan prasarana transportasi udara (Bandar Udara) di daerah perbatasan untuk operasi pesawat M-50 dengan daya dukung landasan mampu didarati pesawat C-130 (Hercules), sesuai prioritas pengembangan Bandar Udara;
  4. Pembangunan Bandar Udara baru dengan membuka peluang kerja sama lebih besar dalam pengusahaan jasa kebandarudaraan dan pengusahaan jasa terkait Bandar Udara;
  5. Penggunaan Bandar Udara secara bersama sipil-militer pada sisi yang berbeda/berseberangan dengan landas pacu sebagai pemisah;
  6. Pengembangan multi airport di Jakarta Metropolitan Area guna menunjang Bandar Udara Soekarno Hatta;
  7. Peningkatan prasarana di Indonesia bagian Timur, daerah rawan bencana dan pulau – pulau terluar;
  8. Peremajaan dan pengadaan fasilitas PKP-PK.
  9. Pembangunan Bandar Udara berwawasan lingkungan dengan konsep 3R (reuse, recycle dan reduce) serta dapat mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

c. Perundang-undangan :

1)     Penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut UU No.1
Tahun 2009 tentang :

  • Bandar Udara (memuat sekurang-kurangnya tentang penetapan lokasi, pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup Bandar Udara, penggunaan bersama pangkalan udara dan Bandar Udara);
  • Pelaksanaan kedaulatan atas wilayah udara (memuat sekurangkurangnya tentang penetapan kawasan udara terlarang & terbatas, kewajiban pemandu lalu lintas penerbangan).

2)     Harmonisasi peraturan-peraturan dibidang transportasi udara

 TANGGUNG JAWAB PENGELOLA BANDAR UDARA   

Pengaturan penerbangan termasuk kebandarudaraan diatur dalam berbagai peraturan dalam berbagai tingkatan sesuai dengan tata urut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-undang Penerbangan berisikan pandangan umum pemerintah Republik Indonesia berkaitan dengan peraturan penerbangan sipil. PKPS/CASR menetapkan kerangka kerja regulasi (Regulation) dimana semua penyedia jasa harus bergerak di dalamnya. PKPS/CASR ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan.

MOS berisikan spesifikasi (Standar) yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara berkaitan dengan keseragaman aplikasi. Sementara itu, Advisory Circulars (AC) ditujukan sebagai rekomendasi dan petunjuk untuk menggambarkan suatu cara, walau tidak harus sebagai satu-satunya cara, untuk melakukan penyesuaian dengan Manual of Standards Part 139 – Aerodromes. AC dapat menjelaskan persyaratan regulasi tertentu dengan menyediakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan dan penjabaran.

Konvensi Chicago 1944 memberikan kemungkinan adanya penyimpangan dari ketentuan-ketentuan standar ICAO dengan peraturan di negara-negara tertentu. Oleh sebab itu perlu pula diperhatikan:

  1. Jika terjadi perbedaan pemahaman arti antara MOS dan PKPS/ CASR, yang menjadi acuan adalah tetap pada PKPS/CASR.
  2. Jika terjadi perbedaan standar antara yang dijelaskan dalam standar ICAO dan yang ada di MOS, standar MOS yang berlaku.

Mencermati peraturan-perundangan bidang kebandarudaraan, bisa dilihat menurut wilayah berlakunya (nasional dan internasional), berdasarkan hirarkinya, maupun berdasarkan jenis kegiatannya.

Namun, disini kita hanya membahas mengenai tanggung jawab pengelola bandar udara, di mana peraturan-peraturan yang mengatur mengenai hal ini adalah :

A. UU No. 1/2009

Pasal 240

  1. Badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara.
  2. Tanggung jawab terhadap kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  • kematian atau luka fisik orang;
  • musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan; dan/atau
  • dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara.

Risiko atas tanggung jawab terhadap kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diasuransikan.

(4) Setiap orangyang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan;
  2. pembekuan sertifikat; dan/atau
  3. pencabutan sertifikat.

Menurut Pasal 240 ayat 1 UU. No. 1 tahun 2009 di atas badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara.

Yang dimaksud dengan “pengguna jasa bandar udara” adalah setiap orang yang menikmati pelayanan jasa bandar udara dan/atau mempunyai ikatan kerja dengan bandar udara. Sedangkan yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah masyarakat sekitar bandar udara, atau siapapun yang tidak ada sangkut pautnya dengan penyelenggaraan bandara atau penerbangan pada umumnya.

Beberapa peristiwa di berbagai tempat pernah terjadi seperti adanya penduduk tersambar pesawat yang sedang dalam proses pendaratan di ujung landasa, pengendara sepeda motor ketabrak pesawat latih, atau petani yang sedang mengerjakan pertaniannya di “ladang”nya.

Tanggung jawab sebagaimana diatur dalam UUP di atas, tentu tidak bisa serta merta dibebankan demikian saja kepada pihak badan usaha bandara. Banyak aspek yang perlu dilihat.

Dahulu orang berpendapat bahwa apabila pengguna jasa bandara atau calon penumpang pesawat udara ingin menggugat penyelenggara /operator bandar udara atas suatu kecelakaan atau insiden penerbangan, merupakan hal yang sangat sulit atau hampir mustahil, mengingat dunia penerbangan terkait dengan hal-hal teknis yang rumit apabila penumpang atau pihak ketiga diminta untuk membuktikan kesalahan operator bandar udara. Selain pengguna jasa bandar udara, maskapai penerbangan juga dapat melayangkan gugatan apabila memang kecelakaan atau kelambatan

penerbangan disebabkan oleh kelalaian operator bandara. Jangan-jangan keadaannya sekarang sudah berbalik 180 derajat. Indikatornya? Salah satunya adalah kenyataan bahwa pengacara berpengalaman di bidang penerbangan (hukum udara) sudah semakin banyak. Lebih dari itu prinsip yang diterapkan terhadap tanggung jawab penyelenggara/operator bandara dalam hal iniadalah prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).

Oleh karena demikianlah kiranya maka pembentuk UU sekaligus mengingatkan agar risiko tanggung jawab terhadap kerugian seperti peristiwa di atas, wajib disuransikan. Dan apabila kewajiban asuransi tidak dilaksanakan sudah disediakan sanksi administratif yang dapat dijatuhkan.11

Namun disamping itu, penyelenggara bandar udara/badan usaha kebandarudaraan, di sisi lain, diberikan payung hukum untuk “menjaga” fasilitas bandarudara atas setiap kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatannya di bandar udara. Ketentuan itu dapat kita lihat pada Pasal 241 sebagai berikut: “Orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan di bandar udara bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya”.

Pembebanan tanggung jawab kepada operator bandar udara tidak berarti bahwa maskapai udara akan berkurang tanggung jawabnya. Masing-masing pihak mempunyai tanggung jawab sesuai porsinya, begitu juga dengan penumpang.

Pengaturan dalam UUP No. 1/2009 mengenai tanggung jawab ganti kerugian badan usaha bandar udara, ditutup dengan perintah “Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.”

Seandainyapun Peraturan Menteri seperti demikian misalnya pada saat ini belum ada, kewaspadaan adanya kemungkinan seprti diuraikan di atas tetap harus diantisipasi.

B. KUH Perdata

Berkaitan dengan tanggungjawab pengelola bandar udara/operator bandar udara/badan usaha bandar udara ini ada beberapa pasal terpopuler dalam KUH Perdata yang perlu kita pirsani :

Pasal1365

Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

Pasal 1366

Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.

Pasal 1367

Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barangyang berada di bawah pengawasannya.

Orangtua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadapsiapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali. Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yangdisebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu.

Guru sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu orang-orang itu berada di bawah pengawasannya.

Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orangtua, guru sekolah atau kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka masing-masing tidak dapat mencegah perbuatan itu atas mana meneka seharusnya bertanggung jawab.

BEBERAPA STUDI KASUS MENGENAI TANGGUNG JAWAB PENGELOLA BANDAR UDARA:

  1. Terperosoknya Pesawat Falcon di Apron
  2. Petani Tertabrak Pesawat Yang Melakukan Pendaratan Tidak Normal
  3. Tergelincirnya Pesawat Keluar Landasan
  4. Pesawat atau Bagiannya Rusak Disebabkan Adanya FOD
  5. PT AP2 vs Pemda (Pajak & Retribusi Daerah)
  6. Kasus Lain Yang Pernah Dialami Peserta

_________________________________
oleh: Dr. Baiq Setiani, SE. SH. MM. MH.

1Sebagai contoh dikemukakan KOMPAS1, jumlah penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta yang pada tahun 2006 berjumlah 248.000, berkembang setiap tahun menjadi masing-masing 211.000 pada tahun 2007, 216.000 pada tahun 2008, sementara pada tahun 2012 yang baru lalu sudah berjumlah 381.000 pesawat.

2Beberapa waktu yang lalu ada pendapat yang mengatakan bahwa peningkatan jumlah penumpang tidak/belum perlu dibarengi dengan pembangunan/perluasan terminal, sebab bagi perusahaan penerbangan seandainya penumpang kembali berkurang dengan mudah pesawat bisa dijual atau kalau pesawatnya pesawat sewaan segera bisa dikembalikan kepada si-empunya. Kalau terminal atau landasan mau dikemanakan?

3Stephen Dempsey, Public International AIR LAW, Institute and Center for Research in Air & Space Law, McGill University, 2008.

4 Kecuali jika secara tegas ditunjuk dalam peraturan perundang-undangan nasional kita. Misal MOS yang menyebutkan bahwa: “Standar ini harus dibaca dalam kaitannya dengan: (a) ICAO Annex 4 Aeronautical Charts; (b) ICAO Annex 14 Aerodromes (Vol 1); (c) ICAO Annex 15 Aeronautical Information Services; (c) ICAO Doc 9157/AN901: Aerodrome Design Manuals (semua bagian); (d) Federal Aviation Administration (FAA) Advisory Circular 150/ 5300 -13.

5 Periksa pula Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011.

6Penjelasan UUP No. 1/2009.

7 Bandingkan dengan definisi „lapangan terbang” sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 15/1992 sbb.: “Yang dimaksud dengan lapangan terbang dalam ketentuan ini adalah kawasan di daratan atau perairanyangdipergu­nakan untuk lepas landas dan/atau pendaratan pesawat udara.”

8Kalau pada beberapa hari terakhir ini banyak kita dengar pendapat para pengamat, para ahli atau masyarakat umum tentang rencana pemindahan operasi beberapa perushaan penerbangan ke Halim PK, atau rencana pembangunan bandar udara di daerah Karawang, atau mengapa tidak memindahkan sebagaian operasi pesawat itu ke Pondok Cabe, atau ke Pangkalan Udara Atang Sanjaya, dan sejenisnya, disadari atau tidak, pernah membaca atau belum, sebenarnya hal itu sejalan dengan apa yang tertuang dalam RPJP Kemenhub ini.

9Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago 1944

10 Perbedaan dari ICAO Standards, Recommended Practices and Procedures diterbitkan dalam AIP

Indonesia Gen 1.7.

11Hal ini berbeda dengan era UU No. 15/1992, dimana pada saat itu belum ada ancaman sanksi bagi penyelenggara bandara/badan usaha kebandarudaraan apabila tidak mengasuransikan tanggungjawabnya.

Video yang berhubungan