Mengapa tafsir atau penafsiran masa sahabat itu berbeda beda

Dari sekian banyak tafsir atas al-Quran, bisa dikatakan hasil penafsiran masing-masing tafsir tidak ada yang sama persis. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, antara lain latar belakang mufassir, sumber penafsiran, metode tafsir dan lainnya. Kali ini kita mulai dari metode tafsir terlebih dulu.

Ulama menggunakan metode-metode khusus dalam menafsirkan al-Quran. Metode diperlukan sebagai media penyajian tafsir dan terkait juga dengan tujuan penulisannya. Perbedaan metode tidak jarang mempengaruhi hasil penafsiran, sehingga penting mengenal metode penafsiran Alquran. Beda metode, akan berbeda pula produk tafsirnya.

Secara umum ada empat metode yang populer digunakan para ulama tafsir. Berikut ulasannya lebih lanjut disertai pemaparan tentang kelebihan, kekurangan dan karakteristiknya masing-masing:

Metode tahlili

Metode tahlili adalah metode tafsir yang sifatnya tajzi’i, yakni mengurai secara rinci satu persatu bagian terkecil dari ayat al-Quran. Umumnya pemaparan berdasarkan tartib mushafi, di mana mufassir menafsirkan ayat al-Quran secara berurutan dari surah Al-Fatihah sampai surah An-Nas.

Metode tahlili merinci segala macam aspek ayat. Mulai dari makna mufradat, analisis kebahasaan (i’rab), ragam qiraat hingga berbagai hukum yang dapat disarikan darinya (istinbatul hukm). Diperkaya pula dengan komponen-komponen penafsiran lain seperti konteks turunnya ayat (asbabun nuzul), relasi antarayat atau antarsurat (munasabah) serta riwayat-riwayat terkait.

Kelebihan dari metode ini adalah pembahasannya yang komprehensif, sehingga sangat cocok bagi pengkaji yang ingin mendalami tafsir Alquran.

Adapun kekurangannya, antara lain metode ini tidak mengarah pada penyelesaian masalah yang konkret di masyarakat. Dengan istilah lain kurang membumi karena tidak dikaitkan pada problematika di dunia nyata. Selain itu, karena saking luasnya pembahasan, banyak hal yang tidak dibutuhkan pembaca ikut disertakan. Mufassir juga kadang terjebak pada kecenderungan mazhabnya. Tidak jarang tafsir model ini mengaitkan ayat tidak pada tempatnya.

Menurut Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, metode tahlili secara konseptual merupakan metode tafsir yang pertama kali digunakan. Para sahabat dahulu sebagaimana diceritakan oleh Ibn Mas’ud, mempelajari Alquran secara bertahap sepuluh ayat-sepuluh ayat. Mereka tidak beranjak ke pelajaran berikutnya sampai jelas pemahamannya akan makna persepuluh ayat tersebut dan telah mengamalkannya.

Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab yang panjangnya 15 jilid itu termasuk tafsir yang menggunakan metode ini.

Metode ijmali

Metode ijmali ialah metode menafsirkan Alquran dengan penjelasan yang global, ringkas dan dengan diksi populer serta jelas. Tidak seperti metode tahlili yang rinci, dalam metode ijmali mufassir terkadang hanya menafsirkan lafaz-lafaz yang dirasa perlu diberi penjelasan. Penjelasannya pun tidak panjang lebar, akan tetapi secukupnya saja sesuai kebutuhan.

Kitab tafsir yang memakai metode ini lebih mudah dipahami karena tidak bertele-tele. Tafsir al-Jalalain misalnya yang hanya menyisipkan penjelasan singkat di sela-sela ayat. Sifatnya yang praktis membuatnya cocok untuk pemula atau bagi orang yang punya waktu terbatas.

Sedangkan dari sisi kurangnya, tafsir ijmali tidak dapat memberikan penjelasan ayat secara detail dan dari berbagai sudut pandang. Sehingga kurang memuaskan bagi pembaca yang menginginkan penjelasan mendalam.

Selain Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Munir karya Syekh Nawawi al-Bantani termasuk kategori ini.

Metode muqarin

Metode muqarin atau komparatif merupakan metode tafsir yang berusaha membandingkan antara satu ayat dengan ayat lain yang redaksinya mirip atau antara ayat dengan hadis yang sekilas tampak bertentangan. Bisa juga perbandingan antara berbagai penafsiran ulama yang berbeda satu sama lain, serta antara teks Alquran dengan teks dari kitab suci agama lain.

Keunggulan menggunakan metode ini, mufassir dapat memberikan wawasan yang luas dari berbagai sudut pandang untuk kemudian pembaca dapat menilai mana penafsiran yang lebih relevan dibandingkan penafsiran lain. Pembaca juga dapat mengetahui faktor-faktor yang mengakibatkan munculnya persamaan maupun perbedaan pendapat tersebut.

Kelemahan tafsir dengan metode ini barang kali akan cukup menyulitkan dan kurang sesuai untuk kalangan awam atau pemula, sebab pembahasan tafsir terkadang sangat kompleks dan mendalam.

Salah satu karakteristik tafsir muqarin, mufassir biasanya memberikan pandangannya pada bagian akhir setelah sebelumnya memaparkan pendapat para mufassir lain. Pandangan tersebut bisa berupa afirmasi kepada salah satu pendapat dengan argumentasi tertentu, bisa dengan mengompromikan atau mencari jalan tengah di antara perbedaan pendapat. Bisa pula ia menawarkan interpretasi baru disertai bantahan atas pendapat sebelumnya.

Contoh kitab tafsir dengan metode muqarin ialah Safwatut Tafasir karya Muhammad Ali As-Sabuni.

Metode maudui

Metode maudui merupakan metode menafsirkan Alquran yang didasari pada tema tertentu. Setidaknya ada tiga macam metode maudui yang populer saat ini.

Macam pertama, mufassir menginventarisasi ayat-ayat yang mengandung kosakata tertentu untuk kemudian menafsirkannya. Ini berguna untuk mengetahui bagaimana penggunaan kosakata tersebut dalam Alquran dan apa saja makna yang dikandungnya. Contoh, al-Mar’ah fil Qur’an, karya Syekh Muhammad Mutawalli Ash-Sha’rawi yang membahas makna dan penggunaan kata al-Mar’ah (perempuan) serta sinonim dan derivasinya dalam Alquran.

Adapun macam kedua, mufassir menghimpun dan membahas suatu aspek dari Alquran. Misalnya kitab Ash-Shamil fi balaghatil Qur’an yang ditulis oleh KH. Afifuddin Dimyati. Kitab ini khusus mengkaji sisi sastrawi Alquran.

Sedangkan macam ketiga dari metode maudui adalah tematik surat, yakni mufassir membatasi penafsirannya pada surat tertentu. Misal, ia hanya menafsirkan surat Yusuf dalam satu kesatuan. Biasanya mufassir akan menentukan terlebih dahulu tema sentral surat (mihwar/’amud), sehingga apapun interpretasi selanjutnya akan berkaitan dengan tema sentral tersebut.

Salah satu yang menjadi kelebihan tafsir maudui ialah mufassir fokus membahas suatu tema tertentu, sehingga pembaca mendapatkan pemahaman yang utuh terkait bagaimana konsep qur’ani atau pandangan dunia (weltanschauung) Alquran tentang tema tersebut.

Di Indonesia, kajian yang awalnya diperkenalkan oleh M. Quraish Shihab ini cukup populer, khususnya di kalangan akademisi tafsir hari ini. Sebab tafsir maudui dinilai lebih mampu menjawab persoalan-persoalan konkret di masyarakat.

Adapun yang menjadi salah satu kekurangan tafsir jenis ini, mufassir biasanya mengabaikan aspek-aspek lain dari ayat yang tidak berkaitan dengan tema yang diangkat. Tafsir jenis ini juga tidak jarang hanya menjadi ajang justifikasi mufassir pada persoalan-persoalan yang diyakininya.

Demikian empat metode populer dalam menafsirkan Alquran. Ini tidak berarti menafikan atau mengesampingkan metode lain. Sebab selama aktivitas menafsirkan Alquran masih eksis dilakukan, akan selalu muncul kreasi dan inovasi dalam mengembangkan metodenya.

Beberapa mufassir hari ini ada yang telah berusaha menggabungkan berbagai metode ini demi mengoptimalkan kitab tafsirnya. Kekurangan yang ada pada satu metode dapat ditutupi oleh kelebihan yang dimiliki metode lain.

Metode tafsir Alquran adalah hasil ijtihad ulama sebagai usaha memahami kandungan firman Allah SWT. Ia tidak memiliki tuntunan langsung dari Nabi dan tidak pernah dipatenkan. Selain itu antara satu metode dengan metode lain, tidak ada yang terbaik atau lebih utama dari yang lain. Sebab metode hanyalah sarana untuk mengantarkan pada tujuan. Masing-masing metode bahkan memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.

Dapat dikatakan bahwa perkembangan tafsir sudah ada sejak al-Qur’an itu sendiri diturunkan. pada saat Rasulullah saw. masih hidup beliaulah yang menjadi tokoh sentral dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana dalam firman Allah surah an-Nahl ayat 44:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (النحل: 44)

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl/16: 44)

Kemudian setelah wafatnya beliau saw. maka para sahabat yang mendalami kitabullah dan yang telah menerima tuntunan serta petunjuk Nabi merasa terpanggil untuk ambil bagian dalam menerangkan dan menjelaskan apa yang mereka ketahui dan mereka pahami mengenai al-Qur’an.

Maka dari itu, pada kesempatan kali ini pemakalah akan memaparkan makalah tentang ‘Tafsir Pada Masa Sahabat’, berupa pemahaman para sahabat terhadap ayat al-Qur’an, sumber-sumber penafsiran, karakteristik, maupun biografi para tokoh mufassir yang terkenal pada masa itu.


Pada masa sahabat penafsiran al-Qur’an dilakukan secara langsung kepada inti dan kandungan al-Qur’an, dan mengarah kepada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayat serta menggambarkan makna dari ayat-ayat yang berisi nasihat, petunjuk, kisah-kisah agamis, penuturan tentang keadaan umat terdahulu, menjelaskan tentang maksud peribahasa dan ayat-ayat yang dijadikan oleh Allah sebagai contoh bagi manusia untuk dipikirkan dan direnungkan, nasihat yang baik, dan maksud-maksud al-Qur’an yang lain.

Para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an banyak merujuk kepada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunya ayat dan peristiwa-peristiwa yang menjadi penyebab turunya ayat tersebut. Oleh karena itu mereka tidak mengkaji dari segi Nahwu, I’rab, dan macam-macam Balaghah, seperti ilmu Ma’any, Baya dan Badi’,Majaz dan Kinayah. Mereka juga tidak mengkaji dari segi lafaz, susunan kalimat, hubungan antara ayat satu dan yang lainnya dan segi-segi lain yang sangat diperhatikan oleh mufasir-mufasir yang datang kemudian (mutaakkhirin), karena mereka mempunyai dzauq (rasa kebahasaan) dan mereka mengetahui hal itu secara fitrah mereka, sangat berbeda dengan kita yang baru mengetahui hal itu berdasarkan kaidah-kaidah dan dari kitab-kitab serta hasil kajian-kajian terdahulu.

Sekalipun demikian, para sahabat tetap merasa perlu mendiskusikan dan mengkaji sebagian ayat yang maknanya sangat dalam dan jauh untuk bisa dicapai.

A.          Pemahaman Para Sahabat terhadap Ayat-Ayat Al-Qur’an

Mengetahui tafsir adalah hal yang sangat penting, maka para sahabat sangat bersungguh-sungguh dalam mempelajari al-Qur’an, yakni menghayati dan memahami maknanya.

Isya Ibn Mu’awiyah berkata: “orang-orang yang membaca al-Qur’an sedang mereka tidak mengetahui tafsirnya adalah seumpama orang yang datang kepadanya sebuah surat dari raja pada malam hari, sedang mereka tidak mempunyai pelita. Mereka dipengaruhi ketakutan  dan mereka tidak mengetahui isi kitab itu. Orang-orang yang mengetahui tafsirnya adalah seumpama seorang yang dibawa kepadanya sebuah lampu, lalu mereka dapat membaca apa yang tertulis dalam surat itu.”

Mempelajari tafsir tidak sukar bagi para sahabat karena mereka menerima al-Qur’an langsung dari Shahib ar-Risalah dan mempelajari tafsir al-Qur’an pun dari beliau sendiri.

Menurut pendapat ulama, kondisi pemahaman para sahabat terhadap ayat al-Qur’an dapat dibedakan dalam dua kelompok:

1.             Ibnu Chaldun dalam muqaddimahnya menyebutkan bahwa semua sahabat memiliki pemahaman yang sama terhadap al-Qur’an. Karena al-Qur’an itu turun dengan bahasa mereka sendiri.

2.             Ibnu Quthaibah dalam risalahnya al-Masaa’ilu wal Wajibat yang didukung oleh Amin al-Khuly menyebutkan bahwa orang Arab termasuk juga para sahabat, berbeda pengertian dan pemahamannya terhadap keseluruhan dari isi al-Qur’an, karena meskipun al-Qur’an itu menggunakan bahasa mereka akan tetapi di dalamnya terdapat lafaz-lafaz gharib dan musykil yang pengetahuannya hanya dapat diperoleh dari penjelasan Nabi saw. bahkan antara pribadi sahabat yang satu dengan yang lain tentu tidak setingkat kualitasnya dalam memahami al-Qur’an.

Dari kedua pendapat di atas, nampaknya pendapat kedua yang lebih realistis, karena di samping para sahabat memiliki  tingkatan kecerdasan yang tidak sama, juga ada faktor lain yang menyebabkan tingkat pemahaman mereka berbeda yaitu: (1) Penguasaan bahasa, (2) Intensitas dalam mendampingi Nabi saw., dan (3) Pengetahhuan tentang orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada waktu diturunkan al-Qur’an.

B.           Sumber-sumber penafsiran para Sahabat

Secara garis besar para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an menggunakan 4 sumber, yaitu Al-Qur’an, Hadis Nabi, Ijtihad, dan keterangan Ahli Kitab.

Sumber utama penafsiran mereka adalah al-Qur’an itu sendiri. al-Qur’an itu ibarat jalinan kalung yang satu dengan yang lainnya saling terkait dan saling menjelaskan. Oleh karena itu, orang yang akan menafsirkan al-Qu’an, pertama kali harus memperhatikan penafsiran dalam al-Qur’an. Karena bila ditelaah semua ayat al-Qur’an, maka diantara ayat-ayat itu ada yang mujmal, mubayyan, muthlaq, muqayyad, umum dan ada yang khusus.  

Sumber kedua ialah hadis Nabi karena banyak hadis yang merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat yang musykil yang ditanyakan sahabat kepada Nabi saw. Sebagai contoh lafadz المغضوب عليهم  (mereka yang dimurkai) ialah Yahudi sedangkan الضالين (mereka yang sesat) ialah Nasrani (Hadits riwayat Ahmad, Turmudzy dari ‘Adi bin Hibban). Contoh lain, misalnya dari Uqbah bin ‘Amir, ia berkata : “Saya pernah mendengar Rasulullah mengatakan di atas mimbar ketika membaca ayat:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ (الأنفال: 60)

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS. Al-Anfal/8: 60). Ketahuilah ‘kekuatan’ di sini adalah ‘memanah’.”

Namun hadis yang digunakan sebagai sumber penafsiran juga harus diteliti keotentikannya, apakah ia benar-benar hadis dari Nabi atau bukan.

Sahabat apabila tidak mendapatkan penafsiran dari al-Qur’an dan juga Hadist, maka mereka berusaha menafsirkan dengan ijtihad dan istimbath. Di antara sahabat yang menfsirkan al-Qur’an dengan ijtihad adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sedang yang tidak membenarkan penafsiran dengan ijtihad ialah Abu Bakar ra. dan Umar bin Khattab ra.

Sebagaiman telah kita ketahui bahwa terdapat persamaan antara al-Qur’an dengan kitab Taurat dan Injil dalam beberapa masalah tertentu, seperti dalam hal cerita-cerita para Nabi dan umat-umat terdahulu. Tetapi biasaya cara al-Qur’an mengungkapkan cerita-cerita tersebut tidaklah mendetail, bahkan biasanya hanya secara global. Hanya saja sebagian para sahabat ada yang senang melakukan pencarian mengenai cerita-cerita yang tidak ada keterangannya di dalam al-Qur’an kepada ahli kitab yang telah masuk Islam seperti Abdus Salam dan Ka’b al-Ahbar. Pengambilan cerita itupun terpaksa karena Nabi tidak menjelaskannya secara mendetail karena para sahabat ingin menegetahui sebab penciptaan langit, bumi dan sebagainya. Dan itupun hanya sebagian kecil saja, dan tidak bertentangan dengan aqidah Islam.

Pada mulanya para sahabat yang berijtihad dengan keterangan-keterangan Yahudi dan Nasrani hanya ingin menunjuk kepada kebenaran Nabi, seperti Abdullah bin Umar meriwayatkan isi kitab Taurat semata-mata untuk menguatkan keterangan dan menantang orang-orang ahli kitab. Akan tetapi setelah beberapa waktu berlalu, berpindahlah fungsi israiliyyat dari fungsi ijtihad kepada fungsi takwil, takhrij, dan tafsir yang memalingkan maksud al-Qur’an kepada maksud yang sesuai riwayat-riwayat itu, dan terbukalah pintu bagi orang seperti Yuhanna ad-Dimasyqi untuk merusakkan makna-makna al-Qur’an.

C.       Tokoh Mufassirun di masa Sahabat

1.      Ditinjau dari ke Masyhurannya:

a)    Tokoh-tokoh termasyhur ialah:





b)   Tokoh-tokoh tidak termasyhur ialah:



5)   Abdullah bin Amr bin Ash



2.      Ditinjau dari segi banyak sedikitnya penafsiran:

a)    Tokoh yang banyak penafsirannya:

b)   Tokoh yang sedikit penafsirannya :



11)    Abdullah bin Amr bin Ash



Berikut biografi singkat tentang  4 mufassir yang paling banyak penafsirannya:

Abdullah bin Abbas adalah orang yang ternama dikalangan umat Islam. Ia adalah anak paman Rasulullah saw. yang pernah dido’akan oleh Nabi saw. dengan kata-kata: “Ya Allah berilah pemahaman tentang urusan agama dan berilah ilmu kepadanya tentang ta’wil”. Ibnu Mas’ud berkata: “Penerjemah al-Qur’an yang paling baik adalah Abdullah bin Abbas”. Ia dikenal dengan julukan Bahrul Ilm (lautan ilmu), Habrul Ummah   (Ulama Umat) dan Turjuman Al-Qur’an (Juru tafsir Al-Qur’an). 

Kalimat yang dikutip dari muridnya, Mujahid: “Ketika Ibnu Abbas menafsirkan ayat al-Qur’an, maka aku melihat seberkas cahaya di wajahnya.

Ibnu Abbas juga dikenal sebagai sahabat yang pertama kali menafsirkan al-Qur’an secara bahasa dengan merujuk kepada perkataan bangsa Arab dan syair-syair mereka, untuk mengetahui arti yang tidak jelas dari lafaz dan susunan kalimat yang terdapat dalamal-Qur’an.

Ketika Umar ra. bertanya kepada para sahabat tentang maksud firman Allah surah an-Nashr, sebagian sahabat menjawab: “Allah memerintahkan kita memuji dan memohon ampun kepada-Nya jika Allah menolong dan memberi kemenangan kepada kita.” Sebagian sahabat yang lain terdiam. Umar pun bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apakah demikian pula menurut pendapatmu, hai Ibnu Abbas?” Ibnu Abbas menjawab: “Bukan begitu maksud ayat itu.” Maka ia pun menjelaskan bahwa firman Allah  إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ  adalah tanda berakhirnya ajal Rasulullah saw. kemudian Umar berkata: “Aku tidak mengetahui maksud surah ini kecuali yang kamu katakan, wahai Ibnu Abbas.”

Ibnu Abbas masih hidup selama kurang lebih 47 tahun sesudah wafatnya Umar bin Khattab.

Beliau adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafal al-Hudzail, ibunya bernama Ummu Abdin. Beliau termasuk golongan as-Sabiqun al-Awwalun ( orang-orang yang pertama masuk Islam). Ia adalah seorang pembantu Rasulullah saw, mereka sering pergi bersama-sama. Dari segi hubungan kenabian ia adalah seorang yang sangat baik dan terdidik.

As-Suyuthy mengatakan: “Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud tentang tafsir adalah lebih baik daripada yang diriwayatkan oleh Ali......”

Ali bin Abi Thalib adalah putra paman Rasulullah saw. dan suami dari putri beliau, yaitu Fatimah ra.. Ia adalah orang pertama yang beriman kepada Allah swt. dari kalangan kerabat Nabi.

Diriwayatkan dari Ali ra. bahwa beliau berkata: “Bertanyalah kepadaku, bertanyalah kepadaku, bertanyalah kepadaku tentang kitabullah. Demi Allah! Tidak ada satu ayat pun kecuali aku mengetahui apakah dia (ayat tersebut) turun pada malam atau siang.”

Ibnu Abbas ra. berkata: “Apabila datang kepada kami ketetapan dari Ali, kami tidak menyelisihnya.”

Ali adalah yang paling banyak disebut-sebut para ahli riwayat dibanding ketiga Khulafa’ur Rasyidun karena mengenai soal tafsir  mereka sangat jarang, mungkin karena mereka wafat lebih dulu.

4.             Ubay bin Ka’ab al-Anshary

Ubay bin Ka’ab merupakan salah seorang ahli qira’at yang terkenal, salah seorang penulis wahyu dan salah seorang dari sahabat yang turut bertempur dalam perang Badar.

Nabi saw. penah mengatakan bahwa Ubay bin Ka’ab adalah salah seorang sahabat yang paling pandai dalam membaca al-Qur’an. Diriwayatkan oleh Abu Ja’far ar-Razy, bahwa Ubay bin Ka’ab mempunyai suatu naskah yang besar dalam bidang tafsir. Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, al-Hakam, dan Ahmad banyak meriwayatkan tafsir-tafsir beliau ini.

D.           Nilai Tafsir Para Sahabat

Menurut al-Hakim dalam kitabnya “al-Mustadrak” yang dikutip oleh Muhammad Husain adz-Dzahabi dalam kitabnya “at-Tafsir wa al-Mufassirun” bahwa tafsir para sahabat adalah marfu’, karena seolah-olah mereka telah meriwayatkannya dari Nabi saw. Akan tetapi Ibnu Shalah dan Nawawi membatasi pada tafsir yang berkaitan dengan asbabun nuzul dan ayat yang bukan ijtihady dalam menafsirkannya.

Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:

1.        Tafsir para sahabat bernilai sama dengan marfu’ jika berhubungan dengan asbabun nuzul atau tentang suatu masalah yang tidak bisa dimasuki akal. Adapun jika bisa dimasuki akal maka nilai mauquf selama tidak ada bukti penyandaran kepada Nabi saw.

2.        Tafsir para sahabat yang mendekati marfu’, maka tidak boleh ditolak.

3.        Tafsir para sahabat dengan hadis mauquf masih diperselisihkan soal pemakaiannya sebagai sumber penafsiran. Ada yang berpendapat tidak wajib dipakai karena hal itu tidak marfu’ tetapi hanya ijtihad saja, yang mungkin benar atau salah. Dan pendapat lain mengatakan wajib dipakai, karena ada dugaan kuat bahwa para sahabat memang mendengar langsung Rasulullah, andaikata itu hanya ijtihad saja maka diperkirakan hasil ijtihad mereka itu benar sebab merekalah yang lebih banyak tau tentang al-Qur’an dibanding yang lain, sehingga mendapatkan pemahaman yang benar tentang suatu ayat al-Qur’an, seperti: Khalifah-4, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas.

E.       Karakteristik Tafsir Pada Masa Sahabat

1.      Al-Qur’an tidak ditafsirkan semua, hanya sebagian pengertian saja yang dianggap sukar, sehingga penafsiran itu berkembang sedikit demi sedikit berdasarkan pada problema yang ada. Sampai suatu waktu menjadi sempurna

2.      Sedikitnya perbedaan dalam memahami lafazh al-Qur’an.

3.      Mencukupkan penafsirannya secara tafsir global, tafsir ijmaliy.

4.      Membatasi penafsiran dengan penjelasan berdasarkan makna bahasa yang primer.

5.      Tidak ada penafsiran secara ‘ilmi, fiqhi, dan madzhabi. Sebab hal tersebut baru muncul setelah masa sahabat.

6.      Tak adanya pembukuan tafsir, sebab pembukuannya baru ada setelah abad ke—II H. Meskipun sebenarnya sudah ada shahifah yang berisi tafsir, tapi para ulama menganggapnya hanya sebagai catatan belaka.

7.      Penafsiran saat itu merupakan bentuk dari perkembangan hadis.



Dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an sahabat berbeda pengertian dan pemahaman, karena meskipun al-Qur’an itu menggunakan bahasa mereka akan tetapi di dalamnya terdapat lafaz-lafaz gharib dan musykil yang pengetahuannya hanya dapat diperoleh dari penjelasan Nabi saw. bahkan antara pribadi sahabat yang satu dengan yang lain tentu tidak setingkat kualitasnya dalam memahami al-Qur’an. Sumber penafsiran mereka ada 4, yaitu: 1) Al-Qur’an, 2) Hadis Nabi, 3) Ijtihad, dan 4) Keterangan Ahli Kitab.

Hasil tafsiran para sahabat bernilai sama dengan marfu’ jika berhubungan dengan asbabun nuzul atau tentang suatu masalah yang tidak bisa dimasuki akal. Adapun jika bisa dimasuki akal maka nilai mauquf selama tidak ada bukti penyandaran kepada Nabi saw. Cakupan penafsiran pada masa ini masih secara global, tafsir ijmaliy, dan belum ada penafsiran secara ‘ilmi, fiqhi, dan madzhabi.

Urutan mufassir yang paling banyak penafsirannya ialah, 1) Ibnu Abbas, 2) Ibnu Mas’ud, 3) Ali bin Abi Thalib, dan 4) Ubay bin Ka’ab.

Ibnu Abbas inilah yang terkenal dengan julukan Bahrul Ilm (lautan ilmu), Habrul Ummah   (Ulama Umat) dan Turjuman Al-Qur’an (Juru tafsir Al-Qur’an).