Yang tidak termasuk syarat syarat perawi antara lain adalah

Yang tidak termasuk syarat syarat perawi antara lain adalah

1. Syarat-syarat Perawi dalam Tahammul Hadis Tidak dapat dipungkiri bias mendapatkan hadis atau menerimanya merupakan anugerah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat untuk membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau tatakrama seorang thalib al-hadis, dalam menerima hadis harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatu altahammul sehingga hadis yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan. Berikut syarat-syarat bagi perawi dalam tahammul hadis:

1) Penerima harus dlabit (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).

2) Berakal sempurna serta sehat secara fisik dan mental

Syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalambertahammul hadis karena untuk menerima hadis yang merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadis tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya. Selain sehat akal, dalam bertahammul juga harus dalam keadaan sehat fisiknya dan juga mentalnya agar orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya.

3) Tamyiz

Syarat pertama perawi dalam tahammul al-hadis adalah tamyiz. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar. Seorang yang belum baligh boleh menerima hadis asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima hadis walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul hadis dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bias menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadis nabi. Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.

2. Syarat Perawi dalam Ada’ al-Hadis

Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadis adalah:

1) Islam

Pada waktu periwayatan suatu hadis seorang perawi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan hadis oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadis yang diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadis orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadisia harus sudah masuk Islam.

2) Baligh

Yang dimaksud baligh adalah perawi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis. Baik baligh karena sudahberusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini bias diketahui dalam kitab-kitab fiqih.

3) Adalah (adil)

‘Adl merupakan suatu sifat yang melekat dalam jiwa seorang perawi, yang mendorong rawi untuk bertaqwa dan memelihara harga diri (muru’ah) sehingga menjauhi segala dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Sifat ‘adalahnya seorang rawi berarti sifat ‘adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadis sifat ‘adalah ini berarti orang Islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga diri.Jadi syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat ‘adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal

4) Dlabit

Dlabit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadis harus mengingat hadis yang ia sampaikan tersebut. Saat ia mendengar hadis dan memahami apa yang didengarnya, ia harus hafal sejak ia menerima hadis itu hingga ia meriwayatkannya. Dabit oleh ulama ahli hadis dibagi menjadi dua yaitu:

a) Dlabtu al-Shadri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki.

b) Dlabtu al-Kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan hadis yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditasheh sampai ia meriwayatkan hadis sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut.

Sedangkan untuk hadisnya sendiri itu haruslah Tsiqoh, maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat atau dengan Qur’an. Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang syarat-syarat perawi dalam tahammul wal ada’ Hadis. Sumber Modul 3 Konsep Dasar Ulumul Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

BAB I

PENDAHULUAN

Rawi dalam ulumul hadits adalah seseorang yang menyampaikan hadits (berupa perkataan, perbuatan, persetujuan maupun sifat Rasul) kepada umat Nabi Muhammad saw. Yang mana seorang rawi itu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap hadits-hadits Rasulullah, karena apabila seorang rawi itu tidak memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan  oleh para ulama’ hadits, maka hadits yang disampaikannya tidak diterima atau ditolak.

At tahammul wal al adaa merupakan dua istilah yang tidak asing lagi dalam ilmu hadits karena keduanya merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan hadits di dunia ini oleh karenanya pada kesempatan ini penulis memilih judul yang berkaitan dengan at tahammul wal al adaa supaya penulis bisa lebih mengetahui mengenai at tahammul wal al adaa dan kita semua bisa mengetahui atau lebih akrab lagi dengan istilah-istilah dalam ilmu hadits yang belum kita ketahui (at tahammul wal al adaa) .

  1. 2.    Rumusan Masalah
    1. Apa pengertian dan syarat-syarat perawi hadits?
    2. Apa yang dimaksud dengan at tahammul?
    3. Apa yang dimaksud dengan al adaa?
  2. 3.    Tujan Penulisan
    1. Mengetahui pengertian dan syarat-syarat perawi hadits?
    2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan at tahammul
    3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan al adaa

BAB II

PEMBAHASAN

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits[1]. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.

1.1  Syarat-Syarat Rawi

Berakal, cakap/cermat , adil, dan Islam adalah syarat syarat yang mutlak untuk menjadi seorang perawi agar riwayatnya dapat diterima . apabila seorang perawi tidak memenuhi seluruh predikat itu maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan dipakai. Oleh para kritikus hadist, baik angkatan lama maupun angkatan baru, keempat syarat tersebut membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Syu’bah bin al~Hajjaj(160 H) pernah ditanya : “ Siapakah yang hadistnya terpakai ?” Syu’bah menjawab: “ Orang yang meriwayatkan hadist dari orang terkenal yang justru tidak mereka kenal, hadistnya tidak terpakai. Atau apabila dia salah memahami suatu hadist. Atau bila dia sering melakukan kesalahan-kesalahan. Atau meriwayatkan hadist yang disepakati banyak orang bahwa hadist tersebut salah. Maka hadist-hadist yang diriwayatkan oleh orang seperti itu tidak dipakai. Adapun selainya, boleh diriwayatkan.”[2]

Tampaknya Syu’bah ingin menegaskan bahwa dua syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi bila hadistnya ingin diterima yakni adil dan cermat. Sering melakulan kesalahan berarti tidak cermat, dan menyalahgunakan pemahaman hadist berarti tidak adil. Mengenai persyaratan harus Islam dan berakal, keduanya sudah menjadi syarat penting dan mutlak , sehingga Syu’bah tidak perlu menyebutkanya lagi . sebab tidak bisa kita gambarkan lagi seorang yang adil tapi bukan Islam atau orang yang cermat tapi tak berakal.

Menurut para ahli hadist berkal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk  membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah memasuki usia akil balig[3]. Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang  mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.[4]

Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadist yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist yang mereka riwayatkan, maka kecermatanya masih diragukan.[5]

Syu’bah al-Hajjaj berkata: “Hadist aneh yang anda terima berasal dari orang yang aneh pula”.[6] Allah akan menghargai orang orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja . hadist shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.[7]

Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadistnya diakui kejujuranya.”[8]

Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika masalah kebersihan dapat baru diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya sendiri.[9] Itulah menurut Imam fakhrudin dan Saif-Ahmad. Kepribadian yang baik harus dipenuhi oleh seorang rawi yang adil lebih banyak dikaitkanya dengan ukuran ukuran moral seorang rawi

Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadist, bukan ketika membawa atau menanggungnya.[10]

Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits” dengan istilah at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadits kepada orang lain mereka istilahkan dengan al aada. [11]

2.1  Syarat menerima riwayat hadits

Menurut pendapat yang sahih, perawi pada waktu menerima riwayat hadits tidak disyaratkan harus beragama Islam dan baligh, namun setidak-tidaknya harus sudah tamyiz. Jadi orang kafir dan anak-anak dinyatakan sah menerima riwayat hadits, tetapi untuk kegiatan penyampaiannya tidak sah sebelum masuk Islam dan baligh.[12]

Ada sebagian pendapat menyatakan, bahwa perawi hadits dalam melaksanakan kegiatan penerimaan riwayat hadits dinyatakan harus baligh pendapat ini tidak benar, sebab banyak kaum muslimin secara ijma’ menerima atau tidak mempersoalkan riwayat sahabat, baik diterima sebelum atau sesudah baligh.

Para ulama berbeda pendapat tentang minimal usia disunatkan mendengar hadits

  1. Menurut ulama Syam minimal berumur 30 tahun
  2. Menurut ulama Kufah, minimal berumur 20 tahun
  3. Menurut ulama Basrah, minimal berumur 10 tahun
  4. Untuk masa sekarang yang benar adalah mulai umur sedini mungkin sekiranya yang bersangkutan sudah mampu mendengarnya, karena semua hadits sudah tercatat dalam kitab-kitab hadits.

2.2    Tata cara Penerimaan Riwayat Hadits

Para ulama ahli hadits menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadits menjadi delapan macam[13] yaitu :

Suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan cara didiktekan, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya, sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang dismpaikannya tersebut. Menurut jumhur ahli hadits, ini yang paling tinggi tingkatannya. Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa al-sama’ yang dibarengi al kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat, karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibandingkan dengan cara lainnya.

Termasuk dalam  kategori sama’ juga seseorang yang mendengarkan hadits dari Syeikh dari balik sattar(semacam kain pembatas/penghalang). Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasarkan para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah melalui ummahat al-mu’minin (para istri Nabi).

Kata yang dipakai adalah :

سمعت او حد ثني او أخبر ني او أنبأ ني او قال لي او ذ كر لي

  1. Al Qira’ah ‘ala al Syaikh atau ‘Aradh al Qira’ah

Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang membacakan hadits dihadapan gurunya , baik dibaca sendiri atau dibaca orang lain dan dia mendengarkanya, sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik seorang guru hafal maupun tidak, tetapi ia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.

Kata yang dipakai untuk cara ini

1)      Yang paling hati-hati

قر أت علي فلا ن او قر ئ عليه و انا أسمع فأقر أ به

2)      Menggunakan ibarat al sama’ yang dikaitkan dengan lafal qira’ah :

حد ثنا قر اءة عليه

3)      Yang sering dipakai oleh sebagian besar ulama’ hadits hanya kata:

أخبر نا

Yaitu, seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan yang ada padanya. Pemberian izin ini dinyatakan secara lisan atau tulisan. Contohnya seperti perkataan seorang guru kepada salah satu muridnya :

أجرت لك ان تروي عني صحيح البخاري

“ saya beri izin untuk meriwayatkan hadits-hadits yang ada pada kitab shahih al_bukhari.”

Al munawalah terbagi menjadi 2 macam yaitu:

  1. Al munawalah al maqrunah bi al-ijazah yaitu al munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Prakteknya, seorang guru hadits menyodorkan kepada muridnya hadits yang ada padanya, kemudian guru tadi berkata :” anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits yang saya peroleh ini”, atau seorang murid menyodorkan hadits kepada guru hadits, kemudian guru itu memeriksanya dan setelah guru memaklumi bahwa dia juga meriwayatkan, maka dia berkata: “hadits ini telah saya terima dari guru-guru saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits ini dari saya”. Bentuk ijazah ini dinilai paling tinggi kualitasnya diantara bentuk ijazah yang lain.
  2. Al munawalah mujarradah ‘an al ijazh yaitu al munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Praktejnya seoran gguru menyodorkan kitab hadits kepada muridnya sambil berkata “ini hadits yang pernah saya dengar” atau “ini hadits yang telah saya riwayatkan”.

Kalimat periwayatan yang dipakai dengan cara al-munawalah

  1. Untuk al-munawalah al maqrunah bi al-ijazah yang terbaik dengan kata

ناولني أو ناولني وأجا زلي

  1. Boleh juga memakai ibarat al-sama’ atau al-qira’ah yang dikaitkan dengan kata munawalah dan ijazah seperti :

حدثنا منا ولة أ و أخبرنا منا ولة واجازة

Artinya seorang guru hadits menulis hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang tertentu, baik ditulis sendiri maupun orang lain atas permintaannya, baik yang diberi itu berada dihadapan guru atau tidak.

Al kitabah dibagi menjadi 2 macam yaitu:

  1. Al kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan

أجزتك ما كتبت لك أو اليك

  1. Al kitabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, artinya seorang guru menulis sebagian hadits untuk diberikan kepada seorang tanpa memberi izin meriwayatkannya.

Kalimat periwayatan yang digunakan untuk cara al-kitabah

  1. Dengan jelas memakai lafal al-kitabah, seperti perkataan :

كتب الي فلان

  1. Atau memakai lafal al-sama’ atau al qira’ah yang dikaitkan dengan lafal al-kitabah seperti perkataan

حد ثني فلا ن أو أخبر ني كتا به

Artinya seorang guru hadits memberitahukan kepada muridnya, hadits atau kitab hadits yang telah didengarnya atau diterimanya dari perawinya.

Kalimat yang sering dipakai untuk cara al-I’lam antara lain :

علمني شيخي بكذا

Artinya, seorang guru menjelang wafatnya atau sebelum bepergian, ia memberikan wasiat kepada seseorang untuk sebuah kitab hadits yang pernah diriwayatkan.

Kalimat yang dipakai untuk cara al-washiyah yaitu :

أو صي الي فلان بكذ أو حد ثني فلان وصية

Artinya, seorang murid menemukan beberapa hadits catatan seorang guru hadits yang dikenalnya dan tidak diperoleh dengan cara mendengar atau ijazah.

Kata-kata yang dipakai untuk cara al-wijadah antara lain:

وجد ت بخط فلان أو قرأت بخط فلان كذ ا

Al ada’ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat bergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, sebagaimana berikut ini[14] :

Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini dapat kita bandingkan dengan firman Allah surat Al-hujuraat ayat 6 sebagai berikut :

6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadits rasul :

رفع القلم عن ثلا ثة عن المجنون المغلوب علي عقله حتي يفيق وعن نائم حتي يستيقظ وعن

 الصبي حتي يحتلم

Hilangnya kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi (HR. Abu Daud dan Nasa’iI

Yang dimaksud dengan adil (‘adalah) adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.

Dhabit ialah :

تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذ لك من وقت التحمل الي وقت الجاء

“Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan”

Jalannya mengetahui kedhabitan perawi dengan cara I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang shiqqah dan memberikan keyakinan. Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, antara suatu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang disampaikan tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan hadits-hadits yang lebih kuat ayat-ayat  al qur’an.

BAB III

PENUTUP

Dari penjelasan syarat-syarat rawi dan tahammul wa al-ada’ di atas dapat kami ambil kesimpulan bahwa syarat-syarat rawi itu ada 4 yaitu : berakal, cakap/cermat , adil, dan islam. Dan keempat hal ini harus dipenuhi oleh seorang rawi, apabila salah satu tidak terpenuhi maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan di pakai.

Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari deorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits” dengan istilah at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadits kepada orang lain mereka istilahkan dengan al ada’. At tahammul (menerima periwayatan hadits) sendiri mempunyai 8 cara yaitu : al sima’, al qiro’ah, al ijazah, al munawalah ,al kitabah, al i’lam, al washiyah, dan al wijadah.

Sedangkan al ada’ (menyampaikan hadits) memiliki 4 syarat yang harus dipenuhi semua, karena  ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat bergantung padanya. Adapun 4 syarat tersebut yaitu: islam, baligh, ‘adalah (adil), dan dhabit

DAFTAR PUSTAKA

Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa Cendekia.

Al Shan’ani, Muhammad,. 1998. Taudlih al Afkar Lima’ani Tanqihil Andhar, vol 1, Beirut : Dar Ihyaul Turats al Arabi,

Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia

Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang : UIN-Malang Press

Uwayd ,Salah Muhammad Muhammad. 1989. Taqrib Al-tadrib . Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah

[1] Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia. hal 120

[2]Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa Cendekia. hal 62

[3] Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah. hal 54

[5]Salah Muhammad Muhammad Uwayd. Taqrib Al-tadrib . (Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989) hal 110

[6] Al-Khatib Al-Baghdadi .Al-Kifayah .hal 141

[7] Al Hakim al Naisaburi. Ma’rifah Ulum al-Hadist. hal 59

[8]Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah .hal 80

[9] Muhammad Al Shan’ani. Taudhid al-Afkar 2/121.

[10] Al-Khatib Al-Baghdadi . Al-Kifayah hal 76

[11] Sohari Sahrani. Ulumul Hadits.(Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2010) hal 176

[12] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadits. (Malang :UIN-Malang Press,2007)  hal 174

[13] Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia hal. 177

[14] Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia  hal 182