Watak tokoh Mbah Jum yang tidak tergambar pada petikan novel tersebut adalah

You're Reading a Free Preview
Pages 6 to 12 are not shown in this preview.

You're Reading a Free Preview
Pages 6 to 13 are not shown in this preview.


Daun-daun Waru di Samirono

Kumpulan Kritik dan Esai

Oleh: Gebby Maulansyah

Psikologi Sosial dalam Cerpen Daun-daun Waru di Samirono Karya Nh. Dini

Seuntai Kritik Impresi

Dalam karyanya ini, Nh. Dini menciptakan tokoh Mbah Jum, seorang wanita tua pencari daun waru. Dalam menceritakan tokoh Mbah Jum, pengarang tidak lupa menyisipkan nilai sosial, yakni karakter individual tokoh dan hubungannya diantara karakter-karakter yang diciptakan pengarang. Pemahaman suatu karakter sendiri tidak semata-mata paham saja namun dapat mempelajari hubungan tokoh dengan lingkungannya, interaksi tokoh  dan prinsip tingkah laku manusia(tokoh) secara umum. Dengan demikian, psikologi sosial dalam cerpen Daun-daun Waru di Samirono dapat diuraikan sebagai berikut:

·         Karakter tokoh

Pengarang menciptakan tokoh Mbah Jum dengan semua karakter yang melekat pada tokoh itu. Dalam ceritanya, Mbah Jum adalah wanita dengan semangat hidup tinggi dan tidak mau menyusahkan orang lain. Hal ini terlihat pada cuplikan berikut:

.

Semua orang mengenal dia. Hanya pendatang baru, misalnya anak-anak yang mondok di kos-kosan, pengontrak rumah pengganti penghuni lama yang akan bertanya: Siapa mak atau mbah Jum itu?

.

Dari cuplikan di atas, pengarang menciptakan karakter tokoh Mbah Jum sebagai orang yang dikenal semua orang di kampungnya. Dengan melekatkan karakter yang demikian, tokoh Mbah Jum memiliki karakter yang baik sehingga dikenal oleh banyak orang. Selain itu, karakter tokoh juga dijelaskan pengarang seperti dalam cuplikan berikut ini:

.

Untuk mendapatkan uang paling sedikit Rp. 3000, timbunan ranting harus menggunung setinggi lututnya. Selembar daun dihargai tiga puluh rupiah. Meskipun di bawah lipatan pakaian di kardus dia masih menyimpan beberapa ribu rupiah sisa upah membantu kondangan lalu, tetapi ia harus menambah lagi. Lebaran mendatang dia ingin membeli kain bercorak parang yang sudah lama dia idamkan.

.

Dari cuplikan di atas, terbentuk karakter tokoh yang berkemauan keras sebagai makluk individu. Sebagai seorang yang individu, tokoh Mbah Jum berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, walaupun di usia yang sudah renta. Dari sini, pengarang berusaha mengajarkan kepada pembaca, bahwa sebagai makhluk individu manusia harus dapat berusaha sendiri untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya.

·         Hubungan karakter tokoh dengan lingkungannya

Hubungan karakter tokoh dengan lingkungannya terkait dengan interaksi tokoh dengan serangakaian unsur yang ada dalam lingkungan tempat tinggalnya. Dalam menciptakan tokoh Mbah Jum, pengarang juga melibatkan unsur ini. Hal ini dapat dilihat dari cuplikan berikut:

Beberapa tukang becak yang mangkal di kelokan bergantian mengucapkan kalimat-kalimat ramah. Seorang dari mereka menarik sebatang bambau yang diselipkan diantara dahan pohon waru.

Daunya hari ini bersih-bersih, Mbah,katanya sambil menyerahkan galah kepada perempuan berambut abu-abu itu.

Nuwun, Masa, nuwun, kata Mbah Jum sambil melepas selendang pengikat gendongan, lalu meletakannya di dalam tenggok di tanah.

Dari cuplikan di atas, terlihat adanya hubungan karakter tokoh dengan lingkungannya. Dalam lingkungan, masyarakat adalah salah satu unsur yang ada di dalamnya. Sebagai seorang yang tua, tokoh Mbah Jum adalah orang yang berhubungan baik dengan lingkungannya. Memang dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang akan diterima lingkungannya dan dihormati orang lain jika orang itu  baik. Hal ini diciptakan pengarang pada tokoh Mbah Jum untuk meberitahukan, bahwa orang baik akan diterima dilingkungannya jika memiliki karakter yang baik.

Selain berhubungan dengan masyarakat, pengarang menciptakan tokoh Mbah Jum yang memiliki keterikatan dengan alam. Hubungan itu dijekaskan pada cuplikan berikut:

 ....Seingat Mbah Jum, para tetangganya sering menyebut September karena berarti sumbere kasep. Perempuan tua itu hanya mengenal nama-nama bulan Jawa melalui hitungan cahaya malam di langit: Jumadil akhir, ruwah.....Dia baru menyadari bahwa poso atau puasa sudah tampak di ambang waktu...

Mbah Jum begitu akrab dengan alam, bahkan tanpa menggunakan kalender beliau mampu menghitung bulan hanya dengan melihat cahaya malam di langit. Betapa bersahabatnya tokoh Mbah Jum dengan langit.

·         Interaksi semua karakter

Dalam menciptakan tokoh utama dan beberapa tokoh sampingan, ada hubungan karakter antar tokoh dalam cerita. Penciptaan tokoh-tokoh ini menimbulkan interaksi, terutama dalam hubungannya sebagai makhluk sosial atau sebagai bagian dari masyarakat. Interaksi antar tokohnya dapat dilihat dari cuplikan berikut:

...

Sambil mengawasi dari jauh siapa yang berseru, otak erempuan itu sempat berfikir. Panggilan kepadanya dimulai dari Lek, Mak, kemudian berubah menjadi Mbah dari waktu ke waktu menuruti perubahan penampilan tubuh dan lebih-lebih warna rambutnya. Kali itu, sebutan Mak tentu diucapkan oleh seseorang yang sudah cukup lama mengenal dia.

Laki-laki yang duduk di bangku warung seberang jalan menggerakkan tangan kanan di tentangan kepala sebagai pemberitahuan bahwa dialah yang menegur.

Mak Jum berhenti, berdiri tepat di pinggir trotoar menghadap ke seberang. Dia seru menjawab.

 ....

Dari cuplikan di atas, pengarang menciptakan interaksi antar tokoh yakni tokoh Mbah Jum dengan seorang laki-laki. Dalam kehidupan bermasyarakat, memang harus terjadi interaksi antar sesama manusia. Dengan karakter Mbah Jum yang baik dan ramah, tentu juga berpengaruh  terhadap sikap terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Interaksi tokoh Mbah Jum dengan laki-laki itu, ditunjukkan dengan lambaian tangan yang menunjukkan bahwa itu sebuah interaksi. Meskipun tidak ada dialog, bahasa tubuh seoerti lambaian tangan itu, merupakan tanda adanya interaksi dan hubungan baik.

....

Dia tidak tahu usiannya yang pasti. Pak Dukuh memberinya tahun kelahiran yang dikira-kira saja. Waktu itu penduduk harus ditata karena negara sudah teratur dan merdeka, kata Pak Bayan.

....

Interaksi antar tokoh juga terlihat dari cuplikan di atas. Interaksi yang digambarkan melalui tokoh Pak Dukuh terhadap Mbah Jum, adalah hubungan seorang lurah atau kepala kawasan terhadap tokoh Mbah Jum, seorang wanita tua yang tidak tahu akan tanggal lahirnya. Dengan demikian, pengarang mengajarkan kepada pembaca bahwa seorang lurah harus memperhatikan warganya, sampai hal terkecil sekalipun. Terutama terhadap orang yang baik.

·         Prinsip tingkah laku manusia (tokoh) secara umum

Dalam menciptakan tokoh dan membangun cerita, pengarang mewujudkan prinsip tingkah laku manusia secara umum untuk menunjukkan kepada pembaca, bahwasanya orang yang baik akan mendapatkan kebaikan pula. Hal ini terlihat pada cuplikan berikut:

....

Dia tetap menjadi bagian keluarga Bu Guru. Makanan tidak sulit, karena dimana-mana orang mengulurkan sepincuk nasi bersama lauk, segelas teh atau air. Sedangkan di dapur keluarga Bu Guru, dia mendapat sajian di atas papan rak nasi lengkap dengan masakan hari itu

....

Dari cuplikan di atas, digambarkan tokoh Mbah Jum adalah seorang yang tidak sulit untuk mendapatkan makan. Walaupun usianya sudah renta, dia tidak perlu sampai mengemis hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Hal ini karena karakter baik yang melekat dalam diri Mbah Jum, pastilah akan dibalas dengan kebaikan pula.

Hingga saat kecelakaan bus yang menimpa hampir setengah warga kampung, dia selalu menyapu dan membersihkan pekarangan. Bila ledeng tidak mengalir, dia mengangsu dari sumur di tengah kampung.

....

Cuplikan di atas juga merupakan sebuah gambaran bahwa seseorang yang bersikap baik kepada orang lain,  akan mendapat perlakuan yang sama pula. Karena pada dasarnya, manusia  harus menyadari bahwa dirinya diciptakan sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial.

Demikianlah uraian esai cerpen Daun-daun Waru di Samirono dengan pendekatan titik tumpu pada psikologi sosial. Terlihat sebenarnya pengarang ingin mengajarkan bahwasanya manusia itu menyadari dirinya sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat, sikap baik kepada diri sendiri dan orang lain akan membuahkan hasil yang berupa kebaikan pula. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita menenpatkan diri dalam berinteraksi dengan diri sendiri, lingkungan, dan mewujudkan sebuah prinsip tingkah laku manusia secara umum.

Lalainya Seorang Nh. Dini pada Unsur-unsur Vital Cerpennya

Coretan Kritik Yudisial

      Nh. Dini terkenal sebagai seorang cerpenis yang mengusung tema feminisme pada setiap karyanya. Feminisme di sini memang sangat kontras dan seolah nyata, namun terkadang terlihat dilebih-lebihkan. Dia memang seorang wanita yang peduli akan feminisme. Akan tetapi, hendaknya feminisme di sini harus diimbangi dengan teoretis mengenai kehidupan sosial yang sesuai dengan kehidupan masyarakat pembaca. Nah, hal inilah yang kurang disingkronkan oleh Nh. Dini dalam karyanya khususnya cerpennya yang berjudul Daun-daun Waru di Samirono.

      Ada pula yang sifatnya sederhana namun vital adanya. Yakni permasalahan ejaan. Nh. Dini menggunakan ejaan dengan seenaknya sendiri tanpa mempertimbangkan nilai estetika yang ada dalam  karya sempurna. Penggunaan ejaan pada cerpen Daun-daun Waru di Samirono ini menunjukkan kesemburatan yang sebenarnya bisa dinetralisasi dengan pilihan kata yang lebih aman. Pada akhirnya berkuranglah nilai positif dalam satu karya Nh. Dini ini hanya karena permasalahan ejaannya. Sungguh ironi.

      Alur yang digunakan Nh. Dini pada cerpen ini pun juga mengalami kesemrawutan. Ini ditunjukkan  pada ragam alur campuran namun tidak jelas latar dan penguatan karakter alurnya. Pada awal cerita ditunjukkan bahwa alur terkesan konsisten maju. Tetapi, pada tengah cerita berubah mundur dan setelah itu kurang ada kejelasan bahwa alur akan dibawa ke mana. Oleh sebab itu di sini terlihat bahwa Nh. Dini belum dapat memunculkan alur yang menarik dan dapat diikuti dengan baik.

      Dari segi penokohan perlu dikritisi masalah pembangunan pencitraan tokoh. Dalam pencitraan tokohnya Nh. Dini tidak begitu tegas mengungkapkan latar belakang tokoh, sehingga pembaca bisa menafsirkan dengan multitafsir dan menimbulkan perdebatan karakter penokohan. Lebih daripada itu, ada pula sifat tokoh yang tidak konsisten dalam menjalani perannya sebagaimana mestinya. Nh. Dini menunjukkan ketidaktelitiannya dalam mencetak tokoh yang baik. Nh. Dini dapat dikatakan gagal dalam mengungkap keindahan feminisme dalam karya sastra yang perfeksionis.

      Dapat disimpulkan bahwa cerpen Daun-daun Waru di Samirono karya Nh. Dini masih memerlukan pembenahan di sana-sini mulai penulisan ejaan yang baik sampai penguatan karakter, dan lain sebagainya masih membutuhkan perhatian lebih.

Nilai Edukasi dalam Penokohan Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari

Pendidikan yang paling efektif dapat diberikan dengan contoh dan keteladanan. Cerpen sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat memberikan perenungan, penghayatan, dan tindakan para pembacanya tentang nilai-nilai edukatif yang terdapat dalam ceritanya. Nilai-nilai itu mengungkapkan perbuatan yang dipuji atau dicela, pandangan hidup mana yang dianut atau dijauhi, dan hal-hal apa yang dijunjung tinggi yang berkaitan dengan moral, sosial, religi, dan budaya dalam kehidupan manusia.

Tokoh Karyamin dalan Cerpen Senyum Karyamin digambarkan sebagai orang desa yang miskin. Ia bekerja sebagai

penambang batu di sungai. Penulis menggambarkan karakter Karyamin sebagai seseorang laki-laki yang pantang menyerah ia berusaha terus menerus walaupun ia jatuh sampai beberapa kali.

Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh,lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Dan setiap kali jatuh, Karyamin menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya.

Dari kutipan diatas Karyamin pantang menyerah untuk mengankat batu ke atas walaupun ia sudah jatuh dua kali pada pagi itu. Terlebih lagi ia menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Karyamin digambarkan juga sebagai seorang suami yang bertanggung jawab ia berusaha menafkahi keluarganya. Ia adalah orang miskin yang bodoh. Yang sudah ditipu tengkulak yang membawa batunya. Penulis melukiskan Karyamin sebagai orang desa yang identik dengan kebodohan, kemiskinan dan bersahaja. Penulis menggambarkan kemiskinan tersebut dengan Karyamin yang terbelit oleh banyak utang. Selaina itu ia sendiri tidak mampu untuk mengisiperutnya sendiri.


Jadi kamu sungguh tak mau makan, Min? Tanya Saidah melihat Karyamin bangkit.
Tidak. Kalau kamu tak taham melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang utangku dankawan kawan.

            Karakter tidak mau merepotkan orang lain ditambahkan penulis sebagai sifat Karyamin. Sebagai mana orang desa yang tahu diri. Karyamin adalah orang yang sabar ia mengahadapi cobaan hanya dengan tersenyum. Karena ia tidak tahu lag harus berbuat apa dengan kesulitan yang ia alami. Penulis menggambarkan senyuman Karyamin sebagai suatu kemenangan atas segala kesuliatan yang menimpa Karyamin. Karyamin juga sangat mencintai istrinya dan ia tidak mau membuat istrinya bersedih atas apa yang menimpanya. Ia tidak mau menambah penderitaan yang sedang dialami istrinya.

Dalam cerpen ini latar alam merupakan hal yang sangat menonjol dalam cerpen ini. Seperti cerpen-cerpennya yang lain Ahmad Tohari sangat kuat dalam menggambarkan latar alam. Latar alam di cerpen ini adalah sebuah kali yang masih asri dan masih dapat diambil batunya. Tidak seperti kali-kali yang ada di kota-kota besar yang kalinya sudah tidak dapat diharapkan lagi karena berwara hitam dan bau.

Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata Karuyamin menagkap sesuatu yang bergerak padasebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh si paruh udang.punggugnya biru erngkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah sanga. Tiba-tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Degan mangsa diparuhnya mangsa diparuhnya burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari rumpun gelagah dan lenyap dibalik gerumbul pandan.

           Penulis benar-benar dengan  sangat detail menggambarkan suasana alam yang ada didaerah tersebut. Baik dari kebiasaan burung si paruh udang yang lengkap dengan morfologi burung tersebut. Yang kini sudah jarang ditemui di kota. Penulis juga menggambarkan pedesaan sebagai dunia yang jujur dan masih erat sekali rasa saling menolong. Berikut kutipannya:

Jadi kamu sungguh tak mau makan, Min? Tanya Saidah melihat Karyamin bangkit.
Tidak. Kalau kamu tak taham melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang utangku dankawan kawan.

Dari kutipan di atas penulis berusaha melukiskan rasa saling menolong maih sangat lekat di pedesaan. Tidak seperti di kota yang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Selain itu penulis benar-benar dengan jelas mengetahui bagai mana cara menganakat batu. Dari tempat yang miring.hal itu menambah kesan benar-benar seperti nyata.

Cerpen Senyum Karyamin menggunakan sudut pandang ketiga penulis serba tahu. Karena penulis menggukan Karyamin sebag pelaku

utama dan menggukana kata ganti orang ketiga. Penulis juga menggukan gaya bahasa yang sederhana di samaping itu ia juga banyak menggukan majas.

Tubuhnya rubuh,lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya.
lambungnya yang kempongberguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya

Sedangkan alur penulis menggunakan alur maju karena tidak ada bagian yang mengulang masa lalu Karyamin. Setiap kejadian berlangsung secara runtun.
Agaknya, judul itu sendiri dapat menyuratkan makna yang ingin diangkat dalam cerpen-cerpen di dalamnya. Senyum
untuk kepahitan hidup yang sering mendera Karyamin (wakil dari orang-orang desa yang miskin, yang pinggiran, dan juga yang tersingkir dari masyarakat desa) tanpa mengetahui jalan keluar darinya, dari kepahitan itu. Senyum sebagai lambang dari usaha menerima nasib, bahkan menertawainya, karena apa boleh buat. Mereka hanya bisa merenungi nasibnya tanpa tahu harus melangkah ke mana.

***

Kritik Impresi dengan Pendekatan Struktural

 Cerpen Terjemahan Namaku Hiroko

Adapun tokoh/penokohan yang memerankan cerita novel Namaku Hiroko, antara lain sebagai berikut.

ü  Hiroko

:

Seorang gadis lugu, jujur dan rendah hati, selalu belajar dari kesalahan yang diperbuatnya, berkeinginan kuat untuk memperbaiki kehidupan pribadi Hiroko dan keluarganya.

ü  Keluarga Hiroko

:

Ayah Hiroko (Uneo-san), seorang pekerja keras, petani.

Ibu tirinya, seorang ibu yang baik hati dan selalu berusaha menyenangkan hati anak-anaknya, seperti dilakukannya kepada Hiroko. Dia memperlakukan Hiroko seperti anaknya sendiri.

Dua adik laki-laki, manja dan susah diatur.

ü  Tomiko

:

Seorang sahabat teman lama yang selalu membantu setiap kesusahan teman-temannya.

ü  Emiko

:

Sahabat Tomiko yang tegas pada pendiriannya tapi bijaksana yang juga sebagai kepala pembantu rumah tangga.

ü  Michiko

:

Teman Tomiko yang sama-sama jadi seorang perantau dari desa yang terbilang paling modern di antara yang lainnya. 

ü  Nakajima-san

:

Seorang atasan yang bijaksana yang selalu memperhatikan Hiroko karena secara pribadi ada kesamaan nama dan nasib. 

ü  Sanao

:

Cerdas, tampan, berpendidikan tinggi tetapi kurang teguh pendirian dan selalu mementingkan dirinya sendiri.

ü  Soeprapto

:

Baik, berpendidikan cukup tinggi dan menjunjung tinggi adat ketimuran.

ü  Kishihara Yukio

:

Berpendidikan dan mempunyai pendidikan penting, segala sesuatu diukur dari materi.

ü  Yoshida

:

Suami Natsuko, seorang pengusaha sukses, mempunyai kesamaan fisik dengan Sanao hanya sifatnya yang berbeda Yoshida lebih peduli dan selalu membahagiakan Hiroko.  

ü  Natsuko

:

Istri Yoshida yang lugu, penurut dan sifatnya sangat tertutup. 

Novel Namaku Hiroko secara keseluruhan, mulai dari kata pengantar sampai biodata penulis dapat disimpulkan bahwa tema yang dijadikan inspirasi oleh penulis adalah tentang perubahan perilaku masyarakat Jepang secara umum akibat dari kemajuan ekonomi dan industri pasca Perang Dunia Ke-2.

Sebagai bangsa yang paling maju di Asia dalam bidang ekonomi Jepang mengalami kemunduran dalam hal kebudayaannya. Budaya asing (Barat) telah menjajah masyarakat Jepang.

Di sini penulis berusaha membandingkan budaya Jepang dengan budaya Indonesia lewat hadirnya tokoh Soeprapto.

Novel ini mengisahkan kehidupan masyarakat Jepang pada masa sekitar tahun 1960-an atau + 13 tahun setelah Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia Ke-2.

Kota Pelabuhan Kobe dijadikan kota utama karena menurut pengamatan penulis dari pelabuhan Kobelah segala pengaruh budaya asing atau barat mulai meracuni kehidupan masyarakat Jepang pada umumnya.

Dilihat dari cerita Novel ini, Namaku Hiroko termasuk alur maju artinya kejadian dan urutan ceritanya disusun secara runtut dari awal sampai akhir.

Sudut pandang adalah cara atau pandangan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita. Dalam Novel Namaku Hiroko sudut pandang yang digunakan adalah pandangan orang pertama yaitu aku yang menjadi tokoh utama. Hal ini membuat para pembaca seolah ikut mengalami dan merasakan petualangan si aku. 

Dalam novel ini mungkin secara keseluruhan penulis berusaha menyampaikan pesan bahwa kemajuan industri/ekonomi suatu bangsa dapat memundurkan budaya masyarakatnya. Tetapi kemajuan budaya suatu bangsa, seharusnya bisa memajukan ekonomi bangsa atau masyarakatnya. 

Adapun secara khusus, pesan yang disampaikan oleh penulis dengan penokohan Hiroko adalah jalani hidup seperti air mengalir, selalu jujur, dan rendah hati.

Seperti dapat diambil contoh pada penulisan kata kebendaan, lahiriyah dan sebagainya. Mungkin untuk penulis novel angkatan sekarang (muda) kata itu diganti dengan kata materi, fisik dan sebagainya. Terbukti setelah mengamati salah satu Novel yang ditulis pada masa tahun 1960-1970-an terdapat kesamaan dalam gaya penulisannya, yakni tidak disisipi istilah asing. 

Cerpen Dua Dunia Feminisme Nh. Dini

Nh. Dini merupakan sosok pengarang yang kompeten. Ia berusaha menampilkan karya-karya unggulan dengan segala kerendahan hatinya. Dua Dunia merupakan salah satu karyanya yang menarik perhatian masyarakat pecinta sastra. Hal yang menarik yang terdapat dalam cerpen yang berisi tentang aspirasi feminis ini adalah segi tema di dalam karakteristik penokohan yang dibangun oleh pengarang yang seolah-olah sebagai pencerminan atas diri pengarang itu sendiri, yakni Nh. Dini yang peduli akan hak-hak perempuan (feminis).

Cerita pendek Dua Dunia  menceritakan kisah perjuangan Iswanti, seorang janda muda dengan satu anak. Dalam keadaan sakit, dia harus berjuang untuk mencari nafkah dan mempertahankan putri semata wayangnya, Kanti, agar tidak jatuh ke tangan bekas suaminya, Darwo. Penderitaan Iswanti sudah bermula ketika dia masih di bawah tanggung jawab orang tuanya, yaitu ketika dia harus mengerjakan tugas-tugas berat yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Didikan dan perlakuan dari orang tuanya yang menganut paham patriarki membawanya dari penderitaan hidup yang satu ke penderitaan hidup yang lain. Perbuatan ibunya yang tidak bertanggung jawab dan suami hasil pilihan orang tuanya, membuat kesengsaraannya semakin berkepanjangan. Semenjak awal kehamilannya, dia harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya berselingkuh di depan matanya sementara ibu mertua selalu menistanya. Sebagai wanita, bukan hanya dari orang tua tetapi juga dari suami dan ibu mertua yang menganut paham patriarki, Iswanti menuai penderitaan.

Dalam cerita pendek Dua Dunia, Nh. Dini mengajukan protes terhadap pendidikan orang tua terhadap anak perempuannya yang mengacu pada ajaran adat Jawa yang dinilainya hanya berorientasi pada kepentingan laki-laki. Menurut Nh. Dini tujuan orang tua mendidik anak perempuannya menjadi manusia yang berarti bagi keluarganya atau membawa kebesaran bagi nama keluarga adalah bukan mendidik anak untuk menuruti semua perkataan orang tua dan tanpa mempunyai pendapat sendiri atau tidak memberi kesempatan anak menentukan pilihannya sendiri karena orang tua juga bisa melakukan kesalahan. Dengan didikan yang salah tersebut akhirnya anak yang mengetahui apa yang benar tidak bisa berbuat apa-apa untuk meluruskan kesalahan karena diajarkan untuk selalu menuruti perkataan orang tua atau diajarkan untuk tidak membantah perkataan orang tua.

Dalam Dua Dunia, si anak perempuan yang bernama Iswanti tidak berani berbuat sesuatu untuk menyadarkan ibunya dari kesalahannya, yaitu berjudi dan menelantarkan keluarganya atau melaporkan perbuatan ibunya kepada ayahnya karena mungkin saja ibunya melarangnya untuk berbuat demikian. Karena ingin menjadi anak yang berbakti maka diapun menurut perintah ibunya. Pernikahan Iswanti dengan suami pilihan orang tuanya dapat saja dilandasi dengan kebutuhan orang tuanya akan uang akibat terbelit hutang di sana-sini. Pemikiran demikian didasari oleh perbuatan orang tuanya yang bersedia menerima uang tunjangan anak dari bekas suami Iswanti tanpa berkonsultasi dengannya atau memikirkan kebahagiaan cucu perempuan mereka. Jika demikian, maka kesalahan kembali dibuat oleh kedua orang tuanya, yaitu menikahkan anak perempuan mereka karena desakan ekonomi bukan karena memikirkan kebahagiaan anak.

Nh. Dini mencoba berargumentasi bahwa memersiapkan anak perempuan menjadi manusia yang berarti bagi keluarganya atau membawa kebesaran bagi nama keluarga juga bukan berarti hanya mempersiapkan anak perempuan untuk menjadi istri dan ibu yang baik saja karena tujuan hidup perempuan bukan hanya untuk melayani suami dan menjadi ibu yang baik saja. Ada tujuan yang lebih mulia selain daripada itu. Definisi istri yang baik bukanlah istri yang bersedia menerima semua perkataan dan perlakuan suami walaupun menyakitkan hati. Sebaliknya istri juga perlu memikirkan kebahagiaannya sendiri. Dengan kata lain, istri berhak untuk mengajukan pendapatnya sendiri, tidak asal menurut suami demi mempertahankan perkawinan yang serasi. Pendapat Nh. Dini ini tentu saja berlawanan dengan definisi istri yang baik versi masyarakat yang menganut paham patriarki dalam Perempuan di Titik Nol, yaitu bahwa istri yang baik harus dapat menyenangkan suami tanpa memedulikan kesenangan dan hak-hak pribadinya.

Menurut Nh. Dini sejalan dengan pemikiran Djajanegara dalam Kritik Sastra Feminis, Sebuah pengantar, membawa kebesaran bagi nama keluarga juga bukan berarti bahwa istri tidak boleh bercerai jika dia tidak tahan dengan sikap suaminya karena menurut Saadawi, perkawinan bukanlah penjara bagi wanita. Ditambahkannya, laki-laki tidak dapat menggunakan perkawinan sebagai alat untuk mengikat wanita sehingga laki-laki dapat menindas mereka.

Dalam Dua Dunia, Nh. Dini mencoba menunjukkan dampak dari didikan orang tua yang salah, yaitu: Iswanti menjadi korban kesewenang-wenangan orang lain, dalam hal ini ibu kandung, suami dan ibu mertuanya. Dia tidak berani berbuat apa-apa untuk melepaskan diri dari intimidasi orang lain dan dia tidak dapat menunjukkan kemarahannya melihat perselingkuhan suami di depan mata. Dapat dikatakan, memberi didikan yang salah kepada anak sama dengan mengkebiri anak sehingga menjadi korban cemoohan dan hinaan orang lain. Anak akan menjadi pasif dan tidak dapat menghargai dirinya sendiri. Dia dapat mengahargai orang tua, suami dan orang lain tetapi dia sulit menghargai dirinya sendiri. Lalu apakah definisi manusia yang berarti bagi keluarganya? Dalam kamus Nh.Dini, manusia yang berarti bagi keluarganya adalah manusia yang dapat menghargai dirinya sendiri dan orang lain. Tidak mau diperlakukan dan memperlakukan keluarganya dengan sewenang-wenang. Manusia yang berarti bagi keluarga adalah juga manusia yang dapat berguna bagi dirinya sendiri dan keluarganya sehingga kebahagiaan bersama dapat terwujud.

Perempuan di Mata Nh. Dini

Sebuah Esai

Nh. Dini memprotes tindakan orang tua yang membeda-bedakan perlakuan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan karena anak perempuan juga mempunyai potensi dan hak yang sama dengan anak laki-laki. Beliau sangat yakin bahwa jika anak perempuan diperlakukan sama dengan anak laki-laki maka merekapun tidak akan dipermainkan oleh perkawinan nantinya dan akan mencapai kemandirian ekonomi, tidak harus bergantung kepada laki-laki. Kekerasan hidup yang dialami Iswanti sendiri adalah akibat kesalahan orang tuanya.

      Kesalahan orang tua Iswanti lainnya adalah memfokuskan diri anak perempuan mereka untuk trampil mengerjakan tugas rumah tangga, termasuk mengasuh anak tanpa membekali dia dengan pendidikan yang memadai agar dapat berwawasan luas dan siap masuk dunia keja jika diperlukan. Ibu yang mempunyai wawasan luas dapat mendidik anaknya dengan lebih baik baik. Menurut saya, Nh. Dini tidak alergi dengan segala pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci dan mengasuh anak karena dalam Dua Dunia dtampilkan juga kerinduan wanita untuk melakukan itu semua.

      Pesan yang saya tangkap dari Dua Dunia adalah bahwa anak laki-laki dan wanita harus dididik agar dapat menghargai satu sama lainnya. Pendidikan yang mereka dapatkan tidak membuat mereka merasa superior sehingga memperlakukan lawan jenisnya sebagai korban. Laki-laki dan perempuan seharusnya sama-sama memainkan perannya dengan cantik sehingga perjalanan hidup dapat dilalui dengan mulus sambil bergandeng tangan mengatasi tantangan hidup. Menurut saya, Nh. Dini dengan pengalaman internasionalnya mempunyai pemikiran yang begitu jauh. Beliau yakin bahwa kemajuan Indonesia akan cepat terwujud jika manusia laki-laki dan wanita sehati dan sepikir membangun negeri ini bersama-sama, bukan saling menjatuhkan. Dengan melihat kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah wanita dan pendidik utama dalam keluarga adalah wanita maka tidak salah kalau Nh. Dini berjuang untuk memajukan wanita dan bahkan tidak segan-segan menunjukkan kemarahannya untuk menunjukkan apa yang diyakininya salah. Saya percaya bahwa Nh. Dini tentu sedih jika beliau mengetahui peistiwa ini.

      Pernah terjadi di Indonesia. Ada sepasang suami istri yang berkarir sebagai polisi,  Karir sang istri lebih melejit sehingga mempunyai pangkat yang lebih tinggi dari suaminya. Karena mempunyai tangung jawab yang lebih besar, sang istri harus berada di kantor lebih lama. Sang suami merasa tidak diperhatikan lalu mulailah timbul sakit hati.

Karena merasa kalah prestasi, sang suami tidak lagi berani mengutarakan isi hatinya kepada istrinya. Sebagai gantinya, dia menceritakan segala konfliknya kepada teman-teman sekampungnya. Komunikasi yang sehat dengan istri tidak berusaha dibangunnya. Semakin hari semakin menggunung kebenciannya dan akhirnya konflik batinnya diakhiri dengan  tembakan tepat di kepala istrinya. Untuk sesaat, memang penderitaannya hilang tetapi muncul penderitaan lain bagi anak-anaknya yang masih kecil dan kebencian baru di pihak keluarga istrinya. Yang pasti, penderitaan lainnya telah siap menanti, yaitu kehidupan yang penuh derita di penjara.

      Kita tidak tahu siapa yang salah dan tidak perlu mencari tahu siapa biang keladinya tetapi kita perlu bertanya apakah ini yang kita kehendaki? Apakah Indonesia akan maju jika peristiwa seperti ini terus terjadi? Jika disimak dengan benar, dapat disimpulkan bahwa apa yang hendak diangkat Nh. Dini pengarang wanita Jawa ini dalam Dua Dunia adalah wanita dan pria seharusnya dapat menjadi mitra yang baik. Penghalang yang menghadang adalah adanya tradisi patriarki yang mendudukkan pria di posisi lebih tinggi dari wanita sehingga wanita bukan menjadi mitra melainkan obyek dari pria. Pesan yang ingin disampaikan dikemas pengarang wanita Jawa ini dengan apiknya lewat kemarahan tokoh utama wanita yang juga bersuku Jawa. Penggunaan pemain utama yang sama-sama berlatar belakang masyarakat yang mengagungkan patriarki sengaja dilakukan untuk menajamkan pesan. Sekali lagi, apa yang diperjuangkan bukannya agar wanita dianggap lebih hebat dari laki-laki tetapi agar wanita diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki atau diperlakukan yang sama dengan laki-laki karena sebetulnya wanita mempunyai potensi yang sama dengan laki-laki. 

      Komunikasi harus dijalin,baik antara suami dan istri maupun antara orang tua dan anak perempuannya.jangan menganggap bahwa anak perempuan tidak mampu memberikan solusi bagimaslah keluarga. Nh. Dini menganggap bukan masalah suami menjadi kepala rumah tangga tetapi harus betl-betul menjalankan fungsinya dengan baik. Suami istri merupakan satu, saling melengkapi karena suami bukan manusia sempurna yang dapat berbuat salah juga. Istri harus tahu kapan angkat bicara. Komunikasi 2 arah perlu dijalin seperti dalam Kelahiran. Untuk dapat menjadi mitra yang baik maka wanita perlu dihargai keberadaannya, diberi kesempatan untuk bicara. Wanita itu hargailah perasaannya. Berilah ruang lingkup bergerak yang lebih luas bukan hanya menjadi istri dan ibu yang baik, berguna bagi keluarga tapi juga mandiri secara finansial dan berguna bagi drinya sendiri. Dan masyarakat. Keluarga jangan egois. Wanita bukan hanya punya kewajiban tetapi juga hak secara seimbang. 

      Kemarahan yang ditonjolkan bukan diarahkan kepada orang laki-laki tetapi kepada perbuatan laki-laki yang menindas wanita. Nh. Dini ingin meyadarkan wanita bahwa kemarahan akibat ditindas bukan merupakan sesuatu yang negatif, sesuatu yang harus dihindari tetapi hendaknya menyadarkan wanita untuk bangkit dan menolong diri sendiri agar bebas dari penindasan. Juga dapat disimpulkan bahwa Nh. Dini ingin menyadarkan pembaca atau masyarakat bahwa pembedaan status suami dan istri hanyalah menimbulkan penderitaan bagi wanita. Sudah waktunya bagi suami untuk berbesar hati mau berbagi kekuasaan dengan istri demi kebahagiaan keluarga. Nh. Dini juga menekankan bahwa menjadikan istri sebagai obyek tidak menguntungkan suami tetapi malah merugikan karena istri tidak dapat mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya semaksimal mungkin. Intinya, pengarang Jawa ini ingin membuka mata pembaca atau masyarakat bahwa lebih menguntungkan dan membahagiakan jika wanita dan pria menjadi patner daripada menjadi pesaing.

Danarto dalam Berhala Bersufi

Sebuah Esai

Danarto tergolong sastrawan baru, namun ia datang dengan gebrakan baru. Pandangannya yang terdahulu hampir ditinggalkannya. Pandangan tersebut yang menjadi karakteristik pada kumpulan cerpennya terdahulu bergerak ke arah yang lebih nyata. Danarto tak lagi mengoyak dunia sonya-ruri yang banyak mengandung tanya. Keterlibatan tokoh utama nyaris menjadi ajang pembredelan kebobrokan manusia metropolitan. Danarto menjadi peka terhadap problem-problem sosial manusia kapitalis yang cenderung mekanis dan memola manusia untuk menghamba pada kepuasan hedonis. Barangkali Danarto telah punya pandangan lain tentang sastrayang tidak harus melulu mengabdi pada kepentingan susastra, tretapi bisa dijadikan sebagai medium untuk mencuatkan obsesi kegelisahan terhadap kenyataan sosial yang sarat korupsi. Nah, di sini sastra berperan dalam pemberontakannya.

Cerpen Danarto memang bergerak dalam problematika sosial, yang agaknya tradisi yang khas yang tak mungkin ditinggalkannya, yakni suasana yang adsurb. Bukanlah Danarto kalau tidak memasukkan suasana absurd dalam cerpen-cerpennya.Sebagai seorang Jawa Isalam yang taat dan dibesarkan di lingkungan kerajaan Jawa. Danarto terpelanting pada dunia tassawuf, dunia kaum sufi yang bersiteguh pada doktrin wahdat al-wujud (ketunggalan wujud atau ketunggalan kehadiran) di mana semua pernyataan keheidupan menemukan ke-Esa-annya kepada Sang Kuasa. Hal ini sesuai dengan pernyataannya bahwa kita ini adalah milik Sang pencipta secara absolut dan ditentukan. Oleh sebab itu, tidak terlalu mengherankan jika hampir semua cerpennya selalu dinapasi doktrin sufi yang begitu akrab bergelayut dalam perjalanannya.

Danarto juga sedikit terpengaruh oleh bayangan absurditas yang dianut oleh kaum eksistensialis pemikir Barat yang berdasar pada keyakinan bahwa manusia berada dalam satu dunia irasional yang tanpa arti. Hanya bedanya, Danarto lebih mengandalkan intuisi daripada rasio.Tradisi berpikir sistematis belum menjadi miliknya. Sedangkan, kaum eksistensialis Barat bertolak dari rasio yang menuntunnya ke arah sistem filsafat atau setidaknya kecenderungan falsafi yang jelas penalran ilmiahnya. Namun, agaknya semua itu di-nonsens-kan oleh Danarto yang lebih meyakini adanya proses dalam proses kreasinya

Doktrin sufi sebagai salah satu keberagaman paham keagamaan berhasil menggiring Danarto untuk menghasilkan karya sastra yang transenden. Kepekaan akan kesadaran religius yang diproses melalui tatapan mata batinnya yang sensitif dalam mencuatkan obsesi kegelisahannya. Betapapun masalah yang digarap sederhana, Danarto tak mungkin bisa meninggalkan suasana absurd dalam cerpen-cerpennya yang fantastis dan netral. Danarto memang sosok baru yang membawa perubahan yang alamiah berdasarkan objektivitas kehidupan sosial yang tertuang dalam karya sastranya.

***

Tentang Penulis

Watak tokoh Mbah Jum yang tidak tergambar pada petikan novel tersebut adalah
    Penulis seorang laki-laki bernama Gebby Maulansyah yang lahir di Malang,
20 September 1991. Penulis memulai jenjang pendidikannya pada sebuah taman kanak-kanak di Dampit, Kab. Malang. Kemudian memulai pendidikan dasarnya di SDN Dampit III, melanjutkan sekolah menengahnya di SMP Negeri 1 Turen dan SMA Negeri 1 Turen.

    Kini penulis sedang menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM), dengan mengambil Program Studi S1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, & Daerah. Penulis merupakan mahasiswa aktif angkatan 2009.

      Penulis juga aktif dalam organisasi. Di antaranya Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Sastra UM, Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia FS UM, Unit Aktivitas Bola Basket UM, dan PERBASI Kabupaten Malang.

      Penulis giat berkarya baik di bidang akademik, maupun non-akademik. Pada tahun 2010, penulis mengajukan karyanya pada Program Kreativitas Mahasiswa dengan fudul Pemanfaatan Bekas Bangunan sebagai Lahan Budidaya Lele Dumbo (clarias gariepinus) dengan Sistem Kolam Karpet. Tahun berikutnya, penulis juga mengajukan judul PKM yaitu Telemart Delivery Servis Berbasis Web.

***


Page 2