Upacara yajna yang dipersembahkan kehadapan Tuhan beserta manifestasinya disebut

MUTIARAHINDU -- Setiap tindakan tanpa dilandasi keyakinan yang mantap, akan sia-sia. Demikian pula keyakinan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sraddha apnoti brahma apnoti, mereka yang memiliki iman yang mantap dapat mencapai dan bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa, demikian pula dalam melaksanakan yajna, mutlak dilandasi Sraddha (keimanan atau keyakinan) yang mantap.

Baca: Yajña dalam Mahabharata dan Masa Kini

Upacara yajna yang dipersembahkan kehadapan Tuhan beserta manifestasinya disebut
Image: pejati_dupa_smg
Pengertian dan Hakikat Yajña

Kata yajña berasal dari bahasa Sansekerta, dengan akar kata ”yaj” berarti memuja, mempersembahkan, korban. Dalam kamus bahasa Sansekerta, kata yajña diartikan; upacara korban, orang yang berkorban yang berhubungan dengan korban (yajña). Dalam kitab Bhagavad Gita dijelaskan, yajña artinya suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran untuk melaksanakan persembahan kepada Tuhan, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:27).

Yajña berarti upacara persembahan kurban suci. Pemujaan yang dilakukan menggunakan kurban suci memerlukan dukungan sikap dan mental yang suci juga. Sarana yang diperlukan sebagai perlengkapan sebuah yajña disebut dengan istilah upakara.

Upakara yang tertata dalam bentuk tertentu yang difungsikan sebagai sarana memuja keagungan Tuhan disebut sesajen. Upakara dapat diartikan memberikan pelayanan yang ramah tamah atau kebaikan hati. Dengan demikian sudah semestinya setiap upakara yang dipersembahkan hendaknya dilandasi dengan kemantapan, ketulusan dan kesucian hati, yang diwujudkan dengan sikap dan perilaku ramah tamah bersumber dari hati yang hening dan suci.

Baca: Syarat-syarat dan Aturan dalam Pelaksanaan Yajña

Tata cara atau rangkaian pelaksanaan suatu yajña disebut upacara. Kata upacara dalam kamus Sansekerta diartikan mendekati, kelakuan, sikap, pelaksanaan, kecukupan, pelayanan sopan santun, perhatian, penghormatan, hiasan, upacara, pengobatan. Kegiatan upacara dapat memberikan ciri-ciri tersendiri bagi agama-agama tertentu, sekaligus membedakannya dengan agama-agama yang lainnya. Setiap agama memiliki tatanan tersendiri dalam melaksanakan upacaranya. Di dalam pelaksanaan upacara diharapkan terjadinya suatu upaya untuk mendekatkan diri ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta prabhawanya, kepada alam lingkungannya, para pitara, para rsi atau maha rsi dan manusia sebagai sesamanya.

Wujud dari pendekatan itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk persembahan maupun tata pelaksanaan sebagaimana yang ditentukan dalam berbagai sastra yang memuat ajaran agama Hindu. Kesucian itu adalah sifat dari Tuhan Yang Maha Esa. Siapa pun orangnya bila berkeinginan mendekatkan diri dan berdoa ke hadapan Tuhan Yang Maha Suci, hendaknya menyucikan diri secara lahiriah dan bathiniah. Secara alamiah dunia beserta isinya harus bergerak harmonis, selaras, seimbang, dan saling mendukung. Agama Hindu mengajarkan umatnya selalu hidup harmonis, seimbang, selaras, dan saling mendukung, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:28).

Tidak dibenarkan sama sekali oleh ajaran suci Veda hanya meminta saja dari alam, tetapi memberi kepada alam juga menjadi sebuah kewajiban dalam rangka menjaga keseimbangan alam. Katakanlah dengan bunga, kata orang bijak yang masih relevan dilakukan sepanjang zaman. Ketika memberi, tak boleh mengharapkan pengembalian, itu merupakan ajaran Veda tentang ketulusikhlasan. Saling memberi adalah satu-satunya cara untuk menjaga keteraturan sosial. Jangan heran bila di masyarakat dalam setiap upacara adat keagamaan selalu saling memberikan makanan. 

Alam semesta ini diciptakan oleh Brahman dengan kekuatan-Nya sebagai Dewa Brahma. Isi alam yang kita nikmati untuk kesehatan lahir dan batin. Makanan yang disediakan oleh alam harus disyukuri dan dinikmati secara seimbang. Kitab suci Veda mengajarkan umat hindu dalam menyampaikan rasa syukur dengan memakai isi alam, yaitu bunga, daun, cahaya, air, dan buah. Isi alam ini dikemas, ditata dalam aturan tertentu sehingga menjadi sesajen persembahan (banten).Sesajen ini dipakai sebagai media persembahan kepada Brahman.

Sesajen atau banten bukan makanan para dewa atau Tuhan, melainkan sarana umat dalam menyampaikan dan mewujudkan rasa bakti dan syukur kepada Brahman, Sang Hyang Widhi. Di dalam ajaran suci Veda, Santi Parwa atau Bhagavad Gita disebutkan, mereka yang makan sebelum memberikan yajña disebut pencuri. Veda mengajarkan tentang etika sopan santun, mengingat semua yang ada di dunia ini berasal dari Sang Hyang Widhi, maka tentu sangat sopan apabila sebelum makan diwajibkan mengadakan penghormatan dengan persembahan kepada pemilik makanan sesungguhnya, yaitu Sang Hyang Widhi. Dengan demikian, yajña itu adalah kurban suci yang tulus ikhlas untuk menjaga keseimbangan alam dan keteraturan sosial.

Yajña berarti persembahan, pemujaan, penghormatan, dan kurban suci. Yajña adalah korban suci yang tulus ikhlas tanpa pamrih. Berdasarkan sasaran yang akan diberikan yajña, maka korban suci ini dibedakan menjadi lima jenis sebagai berikut.

Yajña jenis ini adalah persembahan suci yang dihaturkan kepada Sang Hyang Widhi dengan segala manisfestasi-Nya. Contoh Dewa Yajña dalam kesehariannya, melaksanakan puja Tri Sandya, sedangkan contoh Dewa Yajña pada hari-hari tertentu melaksanakan piodalan di pura dan lain sebagainya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:29).

“kāòksanta karmaṇāṁ siddhiṁ yajanta iha devatāá, kṣipraṁ hi mānuṣe loke siddhir bhavati karma-jā”.

“Mereka yang menginginkan keberhasilan yang timbul dari karma, beryajña di dunia untuk para deva, karena keberhasilan manusia segera terjadi dari karma, yang lahir dari pengorbanan”.(Bhagavad Gita. IV.12).

Rsi Yajña adalah korban suci yang tulus ikhlas kepada para Rsi. Mengapa yajña ini dilaksanakan, karena para Rsi sudah berjasa menuntun masyarakat dan melakukan puja surya sewana setiap hari. Para Rsi telah mendoakan keselamatan dunia, alam semesta beserta isinya. Bukan itu saja, ajaran  suci  Veda  juga  pada  mulanya disampaikan oleh para Rsi. Para Rsi dalam hal ini adalah orang yang disucikan oleh masyarakat. Ada yang sudah melakukan upacara dwijati disebut  pandita,  dan ada yang melaksanakan upacara ekajati disebut pinandita atau pemangku. Umat hindu memberikan yajña terutama dimaksud untuk menghantarkan upacara yajña yang dilaksanakan, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:30).

Korban suci jenis ini merupakan bentuk rasa normat dan terima kasih kepada para pitara atau leluhur karena telah berjasa ketika masih hidup melindungi kita. Kewajiban setiap orang yang telah dibesarkan oleh leluhur adalah memberikan persembahan yang terbaik secara tulus ikhlas. Ini sangat sesuai dengan ajaran suci Veda agar umat Hindu selalu saling memberi demi menjaga keteraturan sosial, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:30).

Baca: Contoh Praktik Yajña menurut Kitab Mahabharata dalam Kehidupan

Manusa Yajña adalah pengorbanan untuk manusia, terutama bagi mereka yang memerlukan bantuan. Umpamanya ada musibah banjir dan tanah longsor, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:30).

Banyak pengungsi yang hidup menderita. Dalam situasi begini, umat Hindu diwajibkan melakukan Manusa Yajña dengan cara memberikan sumbangan makanan, pakaian layak pakai, dan sebagainya. Bila perlu terlibat langsung untuk menjadi relawan yang membantu secara sukarela.

Dengan demikian, memahami Manusa Yajña tidak hanya sebatas melakukan serentetan prosesi keagamaan, melainkan juga seperti donor darah dan membantu orang miskin.

“yeyathāmāṁ prapadyante tāṁs tathaiva bhajāmy aham, Mamavartmānuvartante manusyaá partha sarvaṡaá”.

“Bagaimanapun (jalan) manusia mendekati-Ku, Aku terima wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada segala jalan”. (Bhagavad Gita.IV.11).

Manusa Yajña dalam bentuk ritual keagamaan juga penting untuk dilaksanakan. Karena sekecil apa pun sebuah yajña dilakukan, dampaknya sangat luas dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Umpamanya, kalau kita melaksanakan upacara potong gigi, maka semuanya ikut terlibat dan terkena dampaknya. Agama Hindu mengajarkan agar upacara Manusa Yajña. dilakukan sejak anak dalam kandungan seorang ibu. Ada beberapa perbuatan yang diajarkan oleh Veda sebagai bentuk pelaksanaan dari ajaran Manusa Yajña, antara lain:

a). Membantu orangtua, wanita atau anak-anak yang menyeberang jalan ketika kondisi lalu lintas sedang ramai.

b). Menjenguk dan memberikan bantuan kepada teman yang sakit.

c). Melakukan bakti sosial, donor darah, dan pengobatan gratis.

d). Memberikan tempat duduk kita kepada orangtua, wanita, atau anak-anak ketika berada di dalam kendaraan umum.

e). Memberikan beras kepada orang yang membutuhkan.

f). Memberikan petunjuk jalan kepada orang yang tersesat.

g). Membantu fakir miskin yang sangat membutuhkan pertolongan.

h). Membantu teman atau siapa saja yang terkena musibah, bencana alam, kerusuhan, atau kecelakaan lalu lintas, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:31).

i). Memberikan jalan terlebih dahulu kepada mobil ambulan yang sedang membawa orang sakit. Semua perilaku ini wajib dilatih, dibiasakan, dan dikembangkan sebagai bentuk pelaksanaan Manusa Yajña. Dalam konteks ini, tidak berarti hanya melakukan upacara saja, tetapi juga termasuk membantu orang.

Upacara Bhuta Yajña adalah korban suci untuk para bhuta, yaitu roh yang tidak nampak oleh mata tetapi ada di sekitar kita. Para bhuta cenderung menjadi kekuatan yang tidak baik, lebih suka mengganggu orang. Contoh upacara Bhuta Yajña adalah masegeh, macaru, tawur agung, panca wali krama. Sedangkan tujuannya adalah menetralisir kekuatan bhuta kala yang kurang baik menjadi kekuatan bhuta hita yang baik dan mendukung kehidupan umat manusia, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:32).

Renungan Bhagavad Gita, III.10

“Sahayajñāh prajāh sṛṣtvā puro ‘vāsa prajāpatiá, anena prasavisyadhvam eṣa vo ‘iṣtakhamadhuk”.

"Pada zaman dahulu kala Prajapati (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan manusia dengan yajna dan bersabda; dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu ”. 


Mudana dan Ngurah Dwaja. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian             Pendidikan dan Kebudayaan.

Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti : Buku Siswa / Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. -- Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.vi, 190 hlm.; 25 cm

Kontributor Naskah  : I Nengah Mudana dan I Gusti Ngurah Dwaja.

Penelaah : I Wayan Paramartha. – I Made Sutrisna.

Penyelia Penerbitan  : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud