Tentu saja dalam pelaksanaan Yadnya itu ada aturan aturan tertentu aturan dalam Yadnya disebut

You're Reading a Free Preview
Page 2 is not shown in this preview.

Buku Guru Kelas XI SMASMK 72 Utama itu, seperti tidak pernah melihat makanan, cara makannya tergesa-gesa,”kata Drupadi dengan nada mengejek. Walaupun jarak antara Dewi Drupadi mencela Sang Brahmana Utama cukup jauh, karena kesaktian dari brahmana ini, maka apa yang diucapkan oleh Drupadi didengarkannya secara jelas. Sang Brahmana Utama diam, tetapi batinnya kecewa. Drupadi pun melupakan peristiwa tersebut. Di dalam ajaran agama Hindu, diajarkan bahwa apabila kita melakukan tindakan mencela, maka pahalanya akan dicela dan dihinakan. Terlebih lagi apabila mencela seorang Brahmana Utama, pahalanya bisa bertumpuk-tumpuk. Dalam kisah berikutnya, Dewi Drupadi mendapatkan penghinaan yang luar biasa dari saudara iparnya yang tidak lain adalah Duryadana dan adik-adiknya.

C. Syarat-syarat dan Aturan dalam Pelaksanaan Yajña

Syarat pelaksanaan yajña secara berkualitas. Disebutkan dalam kitab suci Bhagavad Gita bab XVII sloka 11, 12 dan 13 menyebutkan, ada tiga tingkatan pengorbanan persembahan suci yajña dipandang dari segi kualitasnya: Pertama Tamasika yajña, yaitu yajña tanpa memperhatikan petunjuk-petunjuk sastra Veda. Kedua, Rajasika yajña, yaitu yajña yang dilakukan dengan penuh harapan akan hasilnya dan bersifat pamer. Ketiga, Satwika yajña, yaitu yajña yang dilakukan kebalikan dari tamasika dan rajasika yajña. Dari uraian di atas, yajña yang satwika-lah yang dilaksanakan, karena telah memenuhi paling tidak tujuh syarat berikut. 1. Sradha , artinya, pelaksanaan yajña hendaknya dengan keyakinan penuh, yaitu diyakini kebenarannya yang bersifat mutlak. Yajna tidak akan membawa dampak spiritual kalau tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Tanpa keyakinan yang mantap, lambang atau simbol yang terdapat dalam upakara hanya akan berarti sebagai pajangan keindahan belaka tanpa arti. Bhima memandang perintah guru Drona untuk mencari Tirtha Kamandhalu sebagai suatu yajña. Dijalaninya dengan keyakinan yang mantap, tanpa keraguan, tidak memikirkan segala akibatnya. Dengan keyakinannya itu akhirnya Bhima berhasil mendapatkan Tirtha kamandhalu. 2. Lascarya , artinya: suatu pengorbanan persembahan besar atau kecil, sedikit ataupun banyak dari ukuran materi hendaknya dengan penuh keikhlasan. Orang yang pikirannya masih diselimuti keragu-raguan melaksanakan yajña tidak akan mendapatkan anugerah dari Hyang Widhi. Dewi Kunti, ibu dari Panca Pandawa Diunduh dari http:bse.kemdikbud.go.id 73 Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti diminta Dewi Durga mempersembahkan salah satu putranya. Dengan diselimuti keragu-raguan Dewi Kunti menghaturkan Sahadewa putra tirinya kepada Dewi Durga. Saat keragu-raguan dalam beryajña inilah maka Kalika Raksasi Bhuta kala menyusup ke dalam diri Kunti. Kunti menjadi emosi menyeret Sahadawa, sedangkan sahadewa tulus ikhlas menyerahkan dirinya. Karena keikhlasannya Dewa Siwa masuk ke dalam tubuh Sahadewa. Sahadewa pun menjadi sakti dan tidak bisa disantap oleh Dewi Durga. Bahkan Dewi Durga yang berujud mengerikan berubah menjadi cantik kembali sebagai Dewi Uma. 3. Sastra , artinya beryajña haruslah dilaksanakan berdasarkan petunjuk sastra. Kata sastra dalam hal ini adalah peraturan atau ketentuan hukum yang bersumber dari kitab suci. Kedudukan hukum kitab suci Hindu disebutkan dalam Manawa Dharmasastra II.6 sebagai “Seluruh kitab suci Veda merupakan sumber pertama dari dharma. Kemudian sumber dharma berikutnya adalah adat istiadat, tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami Veda, juga kebiasaan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri sendiri “. Sumber-sumber dharma yang disebut belakangan dari sumber pertama tidak boleh bertentangan atau pun menyimpang dari Veda. 4. Daksina , artinya suatu penghormatan dan penghargaan dalam bentuk harta benda atau uang yang dihaturkan secara tulus ikhlas kepada pemimpin upacara pandita, pinanditapemangku, yang telah berjasa sehingga upacara berjalan aman, lancar dan sukses. 5. Mantra , artinya setiap pelaksanaan upacara keagamaan yang berkualitas unsur mantra atau Gita nyanyian ke-Tuhanannya. Lagu-lagu suci untuk pemujaan diucapkan umat, pinandita dan pandita sesuai dengan ketentuan dan aturannya. 6. Annasewa artinya jamuan makan atau minum kepada tamu upacara atithi yajña sesuai dengan kemampuan masing-masing, juga sebagai salah satu syarat yajña yang baik. Namun demikian jamuan ini tidak boleh dipaksakan. Kalau dipaksakan bukanlah disebut yajña yang satwika. 7. Nasmita , artinya : suatu upacara agama hendaknya tidak dilangsungkan dengan tujuan pamer kemewahan atau pamer kekayaan dengan maksud tamu dan tetangga berdecak kagum. Tetapi bukan berarti yang mampu tidak boleh menampilkan kemewahan dan keindahan dalam upacara yajña, asalkan kemewahan dan keindahan yang dihadirkan itu hanya pantas dilangsungkan dengan tujuan mengagungkan nama Tuhan. Dengan kata lain, tidak menekankan semata-mata Diunduh dari http:bse.kemdikbud.go.id Buku Guru Kelas XI SMASMK 74 aspek ritual dan seremonial belaka. Jadi kualitas yajña yang dilaksanakan umat Hindu baik yang besar maupun yang kecil dari upacara dalam kandungan sampai pada upacara kematian hendaknya memenuhi paling tidak tujuh syarat seperti yang diuraikan di atas. Karena yajña yang berkualitas bukan memberatkan beban hidup manusia, melainkan menuntun umat manusia menuju kepada keseimbangan hidup. Jika kebutuhan jasmani dan rohani manusia terpenuhi secara seimbang, maka dapat dikatakan tujuan agama Hindu tercapai. Diharapkan setelah mempelajari ajaran yajña peserta didik dapat menumbuh kembangkan semangat dan keyakinannya untuk memahami pengertian dan hakikat yajña, menjelaskan yajña yang dilaksanakan pada zaman Mahabharata, dan memahami yajña yang sudah menjadi kewajiban bagi umat Hindu. Peserta didik mendapatkan tugas untuk dapat menjelaskan dan pentingnya yajña dalam ajaran agama Hindu. Peserta didik dapat memberikan contoh hubungan yajña dengan pelestarian alam semesta lingkungan, hubungan yajña dengan ekonomi, sosial, budaya, adat istiadat, pariwisata, karena ajaran yajña bersifat universal. Pendidik memberikan tugas kepada peserta didik untuk melestarikan sumber-sumber bahan untuk Upakara Yajña. Peserta didik ditugaskan untuk dapat menyebutkan tujuan pelaksanaan yajña, syarat-syarat melaksanakan yajña, menjelaskan tingkatannya, dan bentuk-bentuk yajña. Peserta didik membuat tugas mengamati dan membuat laporan tertulis dari pelaksanaan Panca Yajña di lingkungan tempat tinggalnya. Pendidik menugaskan peserta didiknya membuat sarana yajña. Peserta didik diberikan tugas mengkomunikasikan bentuk-bentuk yajña yang terdapat di daerahnya yang sesuai dengan budaya setempat. Pendidik memberikan ruang dan waktu untuk kegiatan ektrakurikuler membuat berbagai macam sarana yajña. Guru memberikan motivasi kepada peserta didiknya untuk bertanya, mengerjakan soal-soal latihan, memberikan evaluasi, dan setiap akhir pembelajaran guru memberikan tugas-tugas baik mandiri maupun kelompok untuk mendapatkan informasi kompetensi peserta didik berkaitan dengan materi yajña yang terkandung dalam kitab Mahabharata maupun pelaksanaan Panca Yajña yang dilaksanakan oleh umat Hindu di masa sekarang. Beryajña bagi umat Hindu wajib hukumnya, walau bagaimana dan di mana pun mereka berada. Sesuatu yang dilaksanakannya dengan dilandasi oleh yajña adalah utama. Bagaimana agar semua yang kita laksanakan ini dapat bermanfaat dan bekualitas-utama, mendekatlah kepada-Nya dengan tali kasih karena sesungguhnya Tuhan adalah Mahapengasih. Kitab Bhagavad Gita menjelaskan sebagai berikut. ”Ye tu dharmyāmṛtam idaṁ yathoktaṁ paryupāsate, sraddadhānā mat-paramā bhaktās te ’tiva me priyāá” Diunduh dari http:bse.kemdikbud.go.id 75 Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Terjemahannya: ”Sesungguhnya ia yang melaksanakan ajaran dharma yang telah diturunkan dengan penuh keyakinan, dan menjadikan Aku sebagai tujuan, penganut inilah yang paling Ku-kasihi, karena mereka sangat kasih pada-Ku Bhagavad Gita XII. 20. Setelah perang Bharatayuda usai, Sri Krishna menganjurkan kepada Pandawa untuk menyelenggarakan upacara yajña yang disebut Aswamedha yajña. Upacara korban kuda itu berfungsi untuk menyucikan secara ritual dan spiritual negara Hastinapura dan Indraprastha karena dipandang leteh kotor akibat perang besar berkecamuk. Di samping itu juga bertujuan agar rakyat Pandawa tidak diliputi rasa angkuh dan sombong akibat menang perang. Atas anjuran Sri Krishna, di bawah pimpinan Raja Dharmawangsa, Pandawa melaksanakan Aswamedha yajña itu. Sri Krishna berpesan agar yajña yang besar itu tidak perlu dipimpin oleh pendeta agung kerajaan tetapi cukup oleh seorang pendeta pertapa dari keturunan warna sudra yang tinggal di hutan. Pandawa begitu taat kepada segala nasihat Sri Krishna, kemudian Dharmawangsa mengutus patihnya ke tengah hutan untuk mencari pendeta pertapa keturunan Warna sudra. Setelah menemui pertapa yang dicari, patih itu menghaturkan sembahnya, ”Sudilah kiranya Anda memimpin upacara agama yang benama Aswamedha Yajña, wahai pendeta yang suci”. Mendengar permohonan patih itu, sang pendeta yang sangat sederhana lalu menjawab, ”Atas pilihan Prabhu Yudhistira kepada saya seorang pertapa untuk memimpin yajña itu saya ucapkan terima kasih. Namun kali ini saya tidak bersedia untuk memimpin upacara tersebut. Nanti andaikata kita panjang umur, saya bersedia memimpin upacara Aswamedha Yajña yang diselenggarakan oleh Prabhu Yudistira yang keseratus kali”. Mendengar jawaban itu, sang utusan terperanjat, kaget luar biasa. Ia langsung mohon pamit dan segera melaporkan segala sesuatunya kepada Raja. Kejadian ini kemudian diteruskan kepada Sri Krishna. Setelah mendengar laporan itu, Sri Krishna bertanya, siapa yang disuruh untuk menghadap pendeta, Dharmawangsa menjawab ”Yang saya tugaskan menghadap pendeta adalah patih kerajaan”. Sri Krishna menjelaskan, upacara yang akan dilangsungkan bukanlah atas nama sang patih, tetapi atas nama sang Raja. Karena itu tidaklah pantas kalau orang lain yang memohon kepada pendeta. Setidak-tidaknya permaisuri Raja yang harus datang kepada pendeta. Kalau permaisuri yang datang, sangatlah tepat karena dalam pelaksanaan upacara agama, peranan wanita lebih menonjol dibandingkan laki-laki. Upacara agama bertujuan untuk membangkitkan prema atau kasih sayang, dalam hal ini yang paling tepat adalah wanita. Diunduh dari http:bse.kemdikbud.go.id Buku Guru Kelas XI SMASMK 76 Nasihat Awatara Wisnu itu selalu dituruti oleh Pandawa. Dharmawangsa lalu memohon sang permaisuri untuk mengemban tugas menghadap pendeta di tengah hutan. Tanpa mengenakan busana mewah, Dewi Drupadi dengan beberapa iringan menghadap sang pendeta. Dengan penuh hormat memakai bahasa yang lemah lembut Drupadi menyampaikan maksudnya kepada pendeta. Di luar dugaan, pendeta itu bersedia untuk memimpin upacara yang agung itu. Pendeta kemudian dijemput sebagaimana tatakrama yang berlaku. Drupadi menyuguhkan makanan dan minuman ala kota kepada pendeta. Karena tidak pernah hidup dan bergaul di kota, sang pendeta menikmati hidangan tersebut menurut kebiasaan di hutan yang jauh dengan etika di kota. Pendeta kemudian segera memimpin upacara, ciri-ciri upacara itu sukses menurut Sri Krishna adalah apabila turun hujan bunga dan terdengar suara genta dari langit. Nah, ternyata setelah upacara dilangsungkan tidak ada suara genta maupun hujan bunga dari langit. Terhadap pertanyaan Darmawangsa, Sri Krishna menjelaskan bahwa tampaknya tidak ada ”daksina” untuk dipersembahkan kepada pendeta. Kalau upacara agama tidak disertai dengan daksina untuk pendeta, berarti upacara itu menjadi milik pendeta. Dengan demikian yang menyelenggarakan upacara berarti gagal melangsungkan yajña, gagal atau suksesnya yajña ditentukan pula oleh sikap yang beryajña. Kalau sikapnya tidak baik atau tidak tulus menerima pendeta sebagai pemimpin upacara maka gagallah upacara itu. Sikap dan perlakuan kepada pendeta yang penuh hormat dan bhakti merupakan salah satu syarat yang menyebabkan upacara sukses. Setelah mendengar wejangan itu, Drupadi segera menyiapkan daksina untuk pendeta. Setelah pendeta mendapat persembahan daksina, tidak ada juga suara genta dan hujan bunga dari langit. Melihat kejadian itu, Sri Krishna memastikan bahwa di antara penyelenggara yajña ada yang bersikap tidak baik kepada pendeta. Atas wejangan Sri Krishna itu, Drupadi secara jujur mengakui bahwa ia telah menertawakan sang pendeta pemimpin yajñanya walaupun dalam hati, yaitu pada saat pendeta menikmati hidangan tadi. Memang dalam agama Hindu, pendeta mendapat kedudukan yang paling terhormat bahkan dipandang sebagai perwujudan Dewa. Karena itu akan sangat fatal akibatnya kalau ada yang bersikap tidak sopan kepada pendeta. Diunduh dari http:bse.kemdikbud.go.id 77 Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Beberapa saat kemudian setelah Drupadi datang dan menyembah serta mohon maaf kepada pendeta, jatuhlah hujan bunga dari langit, disertai suara genta yang nyaring membahana. lni pertanda yajña Aswamedha itu sukses. Demikianlah, betapa pentingnya kehadiran ”daksina” yang dipersembahkan oleh yang beryajña kepada pendeta pemimpin yajña dalam upacara yajña.

Bab 3 Catur Marga

Sebelum memulai proses pembelajaran Catur Marga, agar guru mendahului dengan mengucapkan Penganjali Agama Hindu, dan melakukan Puja Tri Sandya doa Puja Saraswati, serta mengamati dan memberikan penilaian sikap religius dan sosial yaitu seperti menyayangi ciptaan Sang Hyang Widhi ahimsa, berperilaku jujur satya, menghargai dan menghormati antarsesama tat tvam asi, dalam kegiatan belajar mengajar yang berkaitan dengan materi Catur Marga antara lain sebagaimana dijelaskan berikut ini.

A. Pengertian dan Hakikat Catur Marga