Berapa kali Cornelis de Houtman melakukan pelayaran ke Indonesia

Di abad 15 M, aktivitas perdagangan orang-orang Eropa ke Asia terputus karena jalur perdagangan di laut tengah dipersulit oleh Turki Utsmani. Hal itu terjadi setelah kota Konstantinopel jatuk ke tangan Sultan Mahmud II sehingga yang orang-orang Eropa sulit berdagang di wilayah kekuasaanya.

Maka dimulailah gerakan eksplorasi samudra yang disebut The Age Reconnaisance, yaitu upaya mencari jalur jalan lain menuju Asia. Semangat itu akhirnya mengantar orang-orang Eropa menemukan dunia baru sekaligus mendapat pengetahuan mendalam tentang kemaritiman, terutama tekhnologi pembuatan kapal yang mampu mengarungi samudra.

Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda adalah empat negara Eropa yang berlomba menaklukan lautan di Asia. Hasrat menaklukan samudra dipicu oleh kisah-kisah petualangan Marcopolo. Selain itu misi Gold, Gospel dan Glory yang di amanatkan oleh negaranya menjadi misi dan motivasi untuk menemukan dunia baru.

Rempah-rempah Asia sejak lama menjadi daya tarik orang-orang Eropa. Karena aroma rempah itulah, Cornelis de Houtman tahun 1592 pergi ke Lisboa membawa misi para saudagara Amsterdam untuk mencari informasi tentang tempat yang banyak rempah-rempahnya.

Dari Lisboa, de Houtman mendengar kabar tentang Hindia Timur dari buku Itinerario yang ditulis Jan Huygen van Linschoten saat kembali dari Timur jauh  bersama orang portugis. Dari informasi itu mencuat nama Sunda Kalapa sebagai tempat untuk mendapatkan rempah-rempah.

Rencana mencari kepulauan rempah-rempah pun disusun.  Dua tahun kemudian yaitu tahun 1594, berdiri perseroan Compagnie van Verre yang bertujuan untuk mendukung ekspedisi ke timur.  Perusahaan tersebut dibentuk oleh sembilan orang, yaitu Hendrik Hudde, Reinier Pauw, Pieter Hasselaar, Arent ten Grootenhuis, Hendrik Buyck, Syvert Sem, Jan Poppen, Jan Karel dan Dirck van Os.

Mereka mengumpulkan uang sebanyak 276.000 gulden sebagai  modal membeli barang dagangan, membangun kapal dan merekrut orang. Cornelis de Houtman ditunjuk sebagai pemimpin ekspedisi, ia berperan sebagai oppercommies of opperkoopman atau kepala bagian pembelian.

Pada 2 April 1595, dari Amsterdam bertolak empat buah kapal yang masing-masing bernama Amsterdam, Hollandia, Mauritius dan Duyfken berlayar ke laut lepas dipimpin oleh Cornelis de Houtman

Arie Saksono dalam De Eerste Expeditie naar INDIË  menuliskan De Houtman berada di Kapal Mauritius yang diawaki oleh 84 orang membawa 200 muatan yang masing-masing beratnya 2 ton. Kapal Hollandia diawaki oleh 85 orang dengan 200 muatan.

Lalu Kapal Amsterdam diawaki oleh 59 orang dengan 100 muatan. Dan Kapal Duyfken adalah kapal intai tipe kapal pinas yang cocok untuk perairan dangkal, diawaki oleh 20 orang dengan 25 muatan. Sebuah catatan menulis bahwa keempat kapal ini dipersenjatai dengan 100 meriam

Ekspedisi mereka disebut The Far East land (pelayaran ke Timur Jauh). Pelayaran itu sebetulnya kurang persiapan matang. Beberapa minggu di laut lepas, persediaan makanan menipis, para anak buah kapal mulai terkena sariawan. Pertengkaran terjadi antara kapten kapal dengan saudagar memperburuk keadaan, bahkan  mengakibatkan beberapa orang terbunuh dan dipenjara di dalam kapal.  

Pada 18 September 1595 armada tiba di Madagaskar. Namun disana mereka terkena wabah penyakit, mengakibatkan banyak yang mati.  Enam bulan lamanya ekspedisi itu tertahan. Mereka yang meninggal dikuburkan. Sehingga di Teluk Madagaskar terdapat tempat yang disebut  kuburan Belanda. Baru pada 2 Maret 1596 armada de Houtman dapat bertolak dari Madagsakar.

Pada l 5 Juni 1596 tiba di Pulau Enggano, Sumatera bagian selatan. Tujuan utama mereka adalah ke Pelabuhan Sunda Kelapa seperti yang ditulis oleh van Linschoten. Namun penduduk Enggano tidak mengenal Sunda Kelapa yang saat itu sudah menjadi Jayakarta. Pada 22 Juni 1596 armada de Houtman akhirnya mendarat di Pelabuhan Banten.

Saat itu, de Houtman melihat Banten sebagai kota pelabuhan yang besar dan ramai.  Banyak saudagar dari Jawa, Cina, Bengali, Gujarat, Arab, Persia, Turki  yang berdagang di pasar Banten. Bahkan orang Portugis dan Inggris sudah ada di Banten. Inggris malah mendirikan loji di Banten.

Kedatangan Belanda awalnya  disambut baik oleh penduduk Banten yang terbiasa dengan kedatangan orang asing.  Namun tidak  bagi orang Portugis yang menganggapnya sebagai saingan. Namun prilaku kasar pelaut Belanda kepada pribumi menyebabkan mereka  dimusuhi.

Saat Belanda datang, Banten sedang dalam masa transisi pemerintahan, penguasa Banten yang bernama Sultan Maulana Muhammad  yang berusia 25 tahun wafat tahun 1596 M dalam peristiwa penyerangan ke Palembang.

Karena gugur di palembang Sultan Maulana Muhammad diberi gelar Prabu Seda ing Palembang. Putranya yang bernama Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir baru berusia 5 tahun. Sehingga tahun 1596 ditunjuklah Mangkubumi Jayanagara sebagai wali pemerintahan Banten.

Houtman bersama 8 pengawalnya menghadap Mangkubumi  Jayanegara  untuk melakukan transaksi dagang.  Jayanegara mengajukan syarat-syarat yang cukup tinggi. Houtman diharuskan membayar di muka uang pelabuhan sebanyak 10.000 gulden.

Selain itu de Houtman tidak boleh bertransaksi langsung dengan penduduk, harus melalui sang mangkubumi. Houtman juga harus membayar ratusan  gulden ke syahbandar pelabuhan ketika barang di muat ke kapal.

Syarat itu ditolak dengan angkuh oleh de Houtman. Akibatnya fatal, dia dan pengiringnya ditawan karena dianggap menghina dan merendahkan penguasa Banten.  Beberapa hari kemudian para awak kapal Belanda menyadari bahwa de Houtman telah ditawan.

Pada 5 September 1596 terjadilah pertempuran antara armada Belanda yang ingin membebaskan de Houtman dengan Banten. Meriam pun ditembakan dari kapal Belanda. Akhirnya pertempuran dihentikan untuk mencegah kerusakan di pelabuhan. Dengan membayar denda 4.500 gulden de Houtman dapat dibebaskan.

Armada De Houtman menyingkir ke arah timur. Tanggal 13 November 1596, De Houtman mendarat di pelabuhan Jayakarta. Aneka logistik yang ditawari pedagang di Jayakarta dibeli dengan harga jauh lebih murah dibanding di Banten. Bahkan mereka juga membeli air minum yang berasal dari Kali Ciliwung yang saat itu masih sangat bersih dan sehat.

Tanggal 16 November 1596, kapal Hollandia dikunjungi oleh Bupati Jayakarta. Esok harinya mereka berlayar ke timur. Namun baru saja berlayar satu jam di Teluk Jakarta, lambung kapal Amsterdam robek berlubang terkena karang.

Setelah diperbaiki, pada 2 Desember 1596  Ekspedisi de Houtman berlabuh di Pelabuhan Sedayu Jawa Timur. Namun baru 3 hari disana, mereka diserang oleh pasukan Bupati Sedayu, yang kemudian memaksa armada angkat sauh melanjutkan pelayaran ke arah timur.

Dari Catatan De eerste Expeditie naar Indie, pada tanggal 5 Desember 1596 armada de Houtman tiba di Pulau Madura. Namun karena trauma diserang seperti di Sedayu, mereka menyerang duluan. Menyebabkan kapal kapal Amterdam yang sudah rusak semakin parah kondisinya. Tanggal 11 Januari 1597 kapal Amsterdam akhirnya dibakar.

Pada 28 januari 1597 armada de Houtman tiba di Bali dan diterima dengan baik. Namun karena awak kapalnya tinggal sedikit dan tidak mampu berlayar dengan 4 kapal, maka  Houtman memutuskan untuk membakar 1 kapal lagi yang tingkat kebocorannya sudah parah.  

Di Bali, Houtman dapat membeli barang kebutuhannya. Akhirnya tanggal 26 Februari 1597 De Houtman memutuskan pulang kembali ke Belanda melalui pantai selatan Jawa. Saat itu, anak buahnya banyak yang jatuh sakit.

Pada 11 Agustus 1597, setelah mengarungi lautan selama 6 bulan akhirnya armada de Houtman tiba di Belanda. Awak kapal yang tersisa saat itu hanya berjumlah 90 orang. Walaupun ekspedisi pertama membawa kerugian namun telah dijadikan pengalaman untuk membuka jalur pelayaran bagi ekspedisi berikutnya.

Antara tahun 1598 dan 1601, sebelum VOC berdiri,  tercatat 12 ekspedisi yang datang ke nusantara dengan total 65 kapal. Perusahaan tersebu diantaranya: Compagnie van Verre (Perusahaan dari Jauh), De Nieuwe Compagnie (Perusahaan Baru), De Oude Compagnie (Perusahaan Lama), De Nieuwe Brabantse Compagnie (Perusahaan Brabant Baru) dan  De Verenigde Compagnie Amsterdam (Perhimpunan Perusahaan Amsterdam). (berbagai sumber)

Ada empat kapal yang diberangkatkan, masing-masing bernama Amsterdam, Hollandia, Mauritius, dan Duyfken. Dipaparkan dalam buku Ship Decoration: 1630-1780 (2013) karya Andy Peters, dengan empat kapal inilah orang-orang Belanda untuk pertamakalinya mengarungi lautan menuju timur jauh (hlm. 16).

Ternyata tidak mudah bagi armada besar Belanda pimpinan Cornelis de Houtman untuk mencapai bahkan menemukan Banten. Begitu banyak rintangan yang mereka hadapi selama mengarungi lautan.

Baru beberapa pekan setelah meninggalkan Amsterdam, banyak anggota penghuni kapal yang terserang penyakit. Paling parah adalah wabah sariawan lantaran menipisnya stok makanan. Belum lagi terjangan badai yang nyaris saban waktu melanda keempat kapal tersebut.

Intrik-intrik selama perjalanan, terutama konflik antar-penumpang atau kru yang tidak suka dengan aturan dari kapten kapal, juga menjadi kendala tersendiri. Sejumlah pertikaian terjadi dan tak jarang menyebabkan nyawa melayang, juga tidak sedikit yang harus dikurung di penjara kapal.

Saat singgah di Madagaskar, pulau yang berada di Samudera Hinida selepas pantai timur Afrika, semakin banyak kru yang tewas. Tidak kurang dari 70 orang meninggal dunia dan dikuburkan di pulau ini. Teluk Madagaskar kemudian dikenal dengan istilah “kuburan orang-orang Belanda".

Dibeberkan oleh Russell Shorto dalam Amsterdam: A History of the World's Most Liberal City (2013), hanya dalam tempo enam bulan sejak keberangkatan, lebih dari seperempat orang yang ikut dalam ekspedisi ini harus kehilangan nyawa.

Cornelis dan kru tampaknya tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi iklim dan alam tropis yang jauh berbeda dengan kondisi di Belanda. Satu per satu awak kapal bergelimpangan, pingsan lantaran kehausan dan tidak tahan dengan cuaca panas khas kawasan tropis.

Menemukan Nusantara

Setelah lebih dari berbulan-bulan mengarungi samudera luas dengan aneka macam rintangan yang amat mengerikan, akhirnya armada Cornelis de Houtman berlabuh di Banten pada 27 Juni 1596. Saat tiba, hanya 249 orang yang selamat sampai di tujuan.

Cornelis dan para saudagar besar beserta kru mengenakan gelar kemiliteran untuk menambah wibawa mereka menghadapi orang-orang di tanah yang baru mereka temukan itu. Harapannya, kehadiran mereka bisa diterima, bahkan dihormati oleh tuan rumah.

Jurrien & Foskelien van Goor dalam Prelude to Colonialism: The Dutch in Asia (2004) menyebutkan, orang-orang Belanda yang sejatinya berprofesi sebagai pedagang itu banyak yang memakai gelar kapten atau laksamana. Sedangkan Cornelis memilih gelar kapten mayor (hlm. 27).

Merapat di bandar dagang milik Kesultanan Banten, Cornelis terperangah melihat suasana pelabuhan yang ternyata riuh oleh kesibukan. Kotanya pun besar dan cukup ramai, bahkan tidak jauh berbeda dengan kota tersibuk di negeri Belanda, Amsterdam.

William Lodewijk, saudagar Belanda yang ikut dalam rombongan Cornelis, seperti dikutip dari buku Ragam Pusaka Budaya Banten (2007) karya Tri Hatmadji, menghitung paling tidak ada 36 kapal asing yang sedang singgah dan berlabuh di Banten kala itu (hlm. 142).

Dalam pengamatan Lodewijk dan Cornelis, sebagaimana dikutip dari buku Catatan Masa Lalu Banten (1993) yang disusun Halwany Michrob dan ‎A. Mudjahid Chudari, pusat pemerintahan Kesultanan Banten tertata dengan baik dan rapi, dikelilingi oleh tembok lebar dari bata merah (hlm. 87).

Luas kota ini kira-kira nyaris setara dengan Amsterdam, dan seperti ibukota Belanda itu, di Kota Banten juga terdapat banyak kanal yang seluruhnya bisa dilayari. Kapal-kapal Belanda yang ditumpangi Cornelis, juga semua kapal asing, wajib memasuki pintu gerbang khusus dan harus membayar ongkos masuk.

Awalnya, kedatangan bangsa asing ini memang disambut dengan baik oleh penduduk setempat, termasuk oleh otoritas Kesultanan Banten. Saat itu, Banten diperintah oleh Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulqadir yang baru saja naik takhta (1596-1647).

Cornelis seharusnya bisa menunaikan misinya, yakni membeli rempah-rempah yang dibutuhkan, karena transaksi perniagaan di Banten amat gampang. Barter, bahkan mata uang, sudah menjadi alat pertukaran yang cukup populer.

Namun, orang-orang Belanda yang belum lama menginjakkan kaki di tanah Banten itu justru bertingkah buruk, terutama dengan seenaknya keluar-masuk Kota Banten. Penduduk setempat yang tadinya menerima kini berbalik sikap lantaran tidak suka dengan perangai orang-orang asing itu.

Akibat perilaku yang tak pantas itu, banyak orang yang ditangkap oleh aparat Kesultanan Banten dan dijebloskan ke penjara, salah satunya adalah Frederick de Houtman, kakak Cornelis. Portugis juga turut bermain dalam situasi ini. Kala itu, Portugis –yang punya berpengaruh besar dalam perdagangan di beberapa wilayah di Nusantara –bermitra dengan Kesultanan Banten.

Disebutkan oleh Slamet Muljana dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, pihak Cornelis terpaksa membayar uang pembebasan. Mereka diusir, digiring ke luar dengan tembakan meriam dari benteng Kota Banten (hlm. 271).

Misi Cornelis di Banten memang belum berhasil kendati tidak bisa juga dibilang gagal sama sekali. Namun, inilah untuk pertamakalinya armada Belanda menemukan jalur dan akhirnya tiba di negeri surganya rempah-rempah. Dan, Cornelis de Houtman adalah perintis arahnya, pembuka jalan kolonialisme Belanda di Nusantara.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/ivn)

Penulis: Iswara N Raditya Editor: Ivan Aulia Ahsan