Tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik

HAM & BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT BMR[1]

Pernahkah kita mendengar istilah HAM?

Kalau kita pernah mendengarnya, lalu apakah kita tahu kepanjangan dan arti dari HAM?

Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

        Di dalam kehidupan sehari-hari, sebagai mahkluk sosial manusia selalu berinteraksi dengan manusia lain.Bahkan hewan maupun lingkungan hidup pun sekarang dipandang sebagai subyek hukum. Artinya kalau ada perselisihan dan pelanggaran hak milik, hak atas kenyamanan, ketentraman, dan keamanan yang diderita oleh sesama manusia dan makhluk hidup lain, hal tersebut merupakan pelanggaran hak asasi dan Negara wajib hadir untuk mencegah, mengatasi, dan menyelesaikannya sehingga keseimbangan tatanan sosial masyarakat yang terganggu akibat pelanggaran hak asasi tadi dapat dikembalikan kepada keadaan semula (restitutio in integrum).

Hak Asasi Manusia terdiri dari berbagai macam, yaitu hak untuk hidup, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk memperoleh kesehatan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak untuk memperoleh hak milik, hak untuk tidak mengalami bentuk kekerasan, hak untuk berpendapat dan berkelompok, hak untuk memeluk agama dan beribadah, serta hak untuk memperoleh keadilan.

Negara Indonesia sudah berusaha untuk memenuhi hak asasi manusia para warga negaranya, antara lain, di bidang pendidikan pemerintah berusaha menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau, wajib belajar, beasiswa melalui kartu Indonesia pintar, biaya pendidikan yang gratis dan disubsidi serta kesediaan anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan; di bidang kesehatan pemerintah berusaha menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang terjangkau, fasilitas jaminan kesehatan nasional bagi warga yang tidak mampu melalui Kartu Indonesia Sehat, serta peningkatan anggaran, tenaga kesehatan, dan sarana prasarana kesehatan yang layak sampai ke pelosok nusantara; pada bidang ketenagakerjaan, pemerintah meningkatkan pelatihan melalui kartu prakerja dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang mudah dan murah.

Kewajiban Dasar Manusia

Dalam pelaksanaan hak asasi manusia di bidang-bidang tersebut di atas, masyarakat juga mempunyai kewajiban dasar manusia. Pasal 67 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan “Setiap orang yang ada diwilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.”

Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, bebangsa, dan bernegara.” Dan ayat (2)nya mengatur “Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.”

Jadi, pada pokoknya kewajiban dasar manusia yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia, jadi tanpa pelaksanaan kewajiban dasar manusia yang baik maka pelaksanaan hak asasi manusia bisa terganggu, misalnya, kewajiban masyarakat yang merupakan wajib pajak untuk membayar pajak tepat waktu, tanpa adanya pemasukan negara dari pajak, anggaran pemerintah (pusat maupun daerah) untuk merealisasi pelaksanaan hak asasi manusia warga negara di bidang pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, dan ketenagakerjaan sulit tercapai secara maksimal dan kewajiban masyarakat menjaga ketertiban; ketenteraman di lingkungan desanya agar pelaksanaan hak asasi manusia oleh pemerintah di bidang pembangunan pekerjaan umum di desa itu dapat terlaksana dengan aman dan lancar dan masyarakat bebas dari rasa ketakutan; serta hak untuk mendapatkan  hak milik atas tanah harus memperhatikan kewajiban untuk mengolah tanah itu sehingga tidak terjadi tanah terlantar atau memperhatikan kawasan konservasi hutan yang tidak bisa dimiliki oleh individu.

Di Indonesia terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur HAM yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Dalam bidang hak asasi manusia untuk memperoleh keadilan (right to justice), Negara membantu sarana perlindungan bagi masyarakat yang tidak mampu untuk memperoleh keadilan yaitu dengan mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pemberian bantuan hukum ini meliputi masalah hukum keperdataan, hukum pidana, dan masalah hukum tata usaha negara baik secara litigasi di peradilan maupun nonlitigasi atau di luar peradilan. Apabila ada individu, masyarakat atau kelompok masyarakat yang tidak mampu yang mempunyai perkara (masalah hukum yang perlu diselesaikan) bisa datang ke Pemberi Bantuan Hukum antara lain lembaga bantuan hukum yang telah terdaftar, lulus verifikasi, dan terakreditasi di Kementerian Hukum dan HAM, dengan menulis permohonan bantuan hukum - bagi yang tidak mampu menyusun secara tertulis dapat menyampaikan permohonannya secara lisan - yang dilampiri identitas pemohon bantuan hukum, surat keterangan miskin dari lurah atau kepala desa di tempat tinggal pemohon bantuan hukum, atau Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Langsung Tunai, Kartu Beras Miskin, atau dokumen lain sebagai pengganti surat keterangan miskin, dan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perkara, misalnya panggilan polisi, surat penetapan tersangka, surat dakwaan, surat gugatan, dan lain-lain.Kemudian apabila permohonan tersebut memenuhi syarat maka pemberian bantuan hukum akan melakukan pemberian bantuan hukum secara litigasi dan nonlitigasi. Pemberian bantuan hukum secara litigasi oleh advokat berupa pendampingan dan/atau menjalankan kuasa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan dalam tingkat pemeriksaan di persidangan sementara pemberian bantuan hukum secara nonlitigasi dilakukan oleh Advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum meliputi kegiatan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara baik secara elektronik maupun nonelektronik, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, pendampingan di luar pengadilan, dan/atau penyusunan dokumen hukum.

Sumber dana penyelenggaran bantuan hukum dibebankan pada APBN dan daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD sehingga masyarakat miskin tidak dimintai dana untuk mendapatkan bantuan hukum alias gratis.

Di Pengadilan Negeri (PN) Kotamobagu dalam pelayanan publik bagi individu, masyarakat, atau kelompok masyarakat se-Bolaang Mongondow Raya yang tidak mampu atau miskin yang sedang terkena perkara atau masalah hukum baik itu pidana maupun perdata tersedia layanan Pengacara Piket dan Pos Bantuan Hukum (Posbakum). Layanan tersebut mengacu kepada Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Yang Tidak Mampu Di Pengadilan, Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA Nomor: 52/DJU/SK/HK/006/5/tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan PERMA Nomor 1 Tahun 2014, dan Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA Nomor: 1385/DJU/SK/OT.01.3/9/2016 tentang Pemberian Bantuan Hukum Kepada Orang Miskin atau Kelompok Orang Miskin dengan ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun maupun di bawah 5 (lima) tahun oleh organisasi bantuan hukum terakreditasi.

Layanan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu di PN Kotamobagu terdiri dari 1. Layanan pembebasan biaya perkara; 2. Penyelenggaraan sidang di luar Gedung pengadilan; dan 3. Penyediaan posbakum pengadilan.

Perihal layanan pembebasan biaya perkara. Bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dapat mengajukan permohonan pembebasan biaya perkara perdata dengan melampirkan dokumen-dokumen surat keterangan tidak mampu atau surat keterangan tunjangan sosial lainnya dan pengadilan akan menyediakan layanan pembebasan biaya perkara sesuai kebutuhan atau kuota di setiap tahun anggaran. Kompenen biaya yang akan digratiskan atau ditanggung oleh negara melalui melalui mekanisme pembebasan biaya perkara ini adalah biaya meterai, biaya pemanggilan para pihak, biaya pemberitahuan isi putusan, biaya sita jaminan, biaya pemeriksaan setempat, biaya saksi/ahli, biaya eksekusi, alat tulis kantor (ATK), biaya penggandaan salinan putusan, dan penjilidan berkas perkara, biaya redaksi, leges, serta penerimaan negara bukan pajak.

Untuk mempermudah masyarakat Bolaang Mongondow Raya (BMR) yang tidak mampu atau sulit menjangkau lokasi kantor pengadilan karena hambatan biaya atau hambatan fisik atau hambatan geografis. Majelis hakim PN Kotamobagu dapat melakukan persidangan di luar Gedung pengadilan, misalnya, di kantor pemda, kantor desa, dan kantor kecamatan dengan biaya penyelenggaraan sidang di luar Gedung pengadilan ditanggung oleh anggaran pengadilan sepanjang anggaran masih mencukupi.

        Terhadap pihak-pihak yang tidak mampu yang akan atau telah bertindak sebagai penggugat/pemohon, tergugat/termohon, terdakwa atau saksi yang tidak memiliki akses pada informasi dan konsultasi hukum yang memerlukan layanan berupa pemberian informasi, konsultasi, nasihat hukum, atau bantuan pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan dapat menerima layanan pada Pos Bantuan Hukum (Posbakum)pengadilan dengan syarat pihak tersebut dapat membuktikan bahwa mereka tidak mampu dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang diketahui kepala desa/lurah atau surat keterangan tunjangan sosial, dan surat pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat. Posbakum pengadilan terletak di lingkungan kantor pengadilan, beroperasi sesuai hari dan jam kerja pengadilan dan pemberi layanan posbakum pengadilan terdiri dari lembaga penyedia bantuan hukum yang sudah bekerjasama dengan PN Kotamobagu berupa lembaga masyarakat sipil penyedia bantuan hukum unit kerja advokasi hukum pada organisasi profesi advokat, dan/atau lembaga konsultasi dan bantuan hukum perguruan tinggi. Pembiayaan pada Posbakum ini ditanggung oleh Negara melalui anggaran pengadilan. Dalam pemberian layanan posbakum, pemberi layanan bantuan hukum dilarang melakukan diskriminasi terhadap pemohon bantuan hukum, memberikan informasi yang tidak memiliki dasar hukum, pembuatan dokumen untuk sidang di pengadilan tanpa seijin Advokat di Posbakum, membuka rahasia penerima layanan posbakum, menerima imbalan dari penerima layanan posbakum atau pihak yang terkait dengan perkara bersangkutan, meminta biaya atas layanan posbakum, serta memberikan janji-janji sehubungan dengan layanan posbakum. Masyarakat yang dirugikan oleh pemberi layanan posbakum atas kualitas pelayanan yang buruk atau praktik layanan yang menyimpang dari ketentuan layanan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu dapat menyampaikan aduan atau keluhan kepada Pengadilan Negeri Kotamobagu.

        PN Kotamobagu telah berkomitmen untuk menjamin hak setiap masyarakat BMR khususnya yang miskin yang menghadapi masalah hukum dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun maupun di bawah 5 tahun untuk mendapatkan akses bantuan hukum, juga berkomitmen memberikan rujukan organisasi bantuan hukum yang terakreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM langsung kepada orang miskin yang menghadapi permasalahan hukum, dan berkomitmen memudahkan organisasi bantuan hukum yang terakreditasi tersebut mendapatkan dokumen persidangan atas perkara orang miskin atau kelompok orang miskin yang ditanganinya.

        Semoga dengan semangat Hari Hak Asasi Manusia yang jatuh pada 10 Desember bertepatan dengan tanggal pernyataan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh Majelis Umum PBB 71 tahun lalu, hak asasi manusia masyarakat BMR akan pemenuhan keadilan dan layanan hukum semakin bisa dipenuhi.

 

Tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik

[1]ditulis oleh Dewantoro, Hakim Pengadilan Negeri Kotamobagu.


Page 2

PELANGGARAN LALU LINTAS DAN PENEGAKAN HUKUMNYA

 DI BOLAANG MONGONDOW RAYA

Masyarakat di wilayah Bolaang Mongondow Raya dalam berkegiatan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan hidup tidak terlepas dari lalu lintas dan angkutan jalan raya, seperti menggunakan sepeda motor untuk pergi ke kantor, mengantar anak sekolah, pergi berbelanja ke pasar, menggunakan mobil untuk mengangkut penumpang, berwisata, pergi ke tempat ibadah, dan termasuk berjalan kaki di trotoar jalan.

Masyarakat dalam beraktivitas menggunakan kendaraan bermotor di atas jalan umum tidak bisa sesuka hati menggunakan alat transportasi tersebut karena ada kepentingan masyarakat lainnya yang menggunakan jalan umum tersebut, misalnya, para pejalan kaki, penumpang bentor, dan pengendara kendaraan yang sama-sama menggunakan jalan umum, sehingga aktivitas berkendara di jalan umum menjadi kepentingan publik yang harus diatur oleh negara agar masyarakat dapat menggunakan alat transportasi di jalan umum secara berhati-hati, lancar, tertib, nyaman, dan yang terutama aman.

Untuk mengatur aktivitas berkendara dan transportasi publik, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membuat aturan tentang lalu lintas di jalan, yaitu Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan beserta peraturan pelaksanaannya yang dibuat oleh instansi yang berwenang untuk itu.

Di dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut diatur antara lain mengenai angkutan jalan, jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan, serta pengelolaannya, danketentuan pidana apabila ada pelanggaran pidana terhadap Undang-undang tersebut.

Ancaman pelanggaran pidana yang diatur di Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada pokoknya akan diterapkan pada pelanggaran: kelengkapan kendaraan bermotor, berupa plat nomor, lampu, sabuk pengaman, dan kotak P3K; kelengkapan pengendara kendaraan bermotor berupa helm standar dan kelengkapan helm bagi orang yang membonceng; kelengkapan surat izin mengemudi (SIM) pada pengendara sebagai bukti pengendara layak dan mampu mengoperasikan kendaraan bermotor di jalan raya; kelengkapan surat tanda nomor kendaraan (STNK); larangan aktivitas yang membahayakan selama mengemudikan kendaraan bermotor, seperti menelepon; dan lain-lain.

Pelanggaran lalu lintas yang notabene merupakan pelanggaran pidana perorangan merupakan cikal bakal terjadinya kecelakaan lalu lintas (lakalantas) yang mengakibatkan kerugian pada orang lain masyarakat pengguna jalan dan pejalan kaki, jumlah pelanggar perkara tindak pidana ringan pelanggaran lalu lintas Januari hingga medio Juli 2019 mencapai 2.500 pelanggar sementara sebagaimana dimuat dalam Harian Bolmong Raya tanggal 4 Juli 2019, jumlah lakalantas di Bolaang Mongondow Raya dari Januari sampai dengan Juni 2019 telah mencapai 135 peristiwa dengan korban luka ringan mencapai 187 orang, korban luka berat mencapai 28 orang, dan korban meninggal dunia mencapai 40 orang dengan kerugian materiil mencapai Rp 367.750.000,-

Apabila ada pengguna kendaraan atau angkutan jalan yang melanggar aturan hukum tentang lalu lintas tersebut maka mereka melakukan pelanggaran lalu lintas. Pelanggaran lalu lintas adalah suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan seseorang yang mengemudi kendaraan umum atau kendaraan bermotor juga pejalan kaki yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Untuk melakukan pencegahan pelanggaran lalu lintas dan penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas, Kepolisian Republik Indonesia berwenang melakukan perbuatan dan aktivitas seperti sosialisasi tertib berlalu lintas bahkan melakukan operasi terhadap pelanggaran lalu lintas di jalan raya sesuai dengan aturan yang berlaku antara lain petugas harus mempunyai surat tugas dalam melakukan operasi lalu lintas dan adanya papan pengumuman sedang dilakukannya operasi lalu lintas di jalan raya.Apabila terdapat pengguna jalan atau angkutan yang melanggar maka dilakukan proses tilang oleh petugas kepolisian dari Satuan Lalu Lintas Polres berupa pengisian kertas tilang dengan menulis identitas siapa yang melanggar, di mana pelanggaran dilakukan, dan pasal apa yang dilanggar, kemudian petugas melakukan penyitaan barang bukti pelanggaran lalu lintas yaitu STNK, SIM, dan bahkan bisa kendaraan bermotor pelanggar yang bersangkutan apabila pelanggar saat operasi lalu lintas tidak dapat menunjukkan dokumen kelengkapan mengemudi berupa SIM dan STNK.

Setelah dilakukan pengisian kertas tilang dan penyitaan barang bukti oleh petugas Lantas maka lembar tilang warna biru akan diberikan kepada pelanggar sementara kertas tilang warna lainnya akan dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk kemudian pelanggar menjalani persidangan dan apabila bersalah akan dijatuhkan pidana membayar denda yang akan dimasukkan ke kas negara atau apabila tidak mau membayar denda dapat memilih menjalani hukuman kurungan di Rumah Tahanan Negara Kotamobagu.

 Pengadilan Negeri Kotamobagu dalam melakukan penegakan hukum terhadap perkara pelanggaran lalu lintas berpedoman kepada  Peraturan Mahkamah Agung Nomor    12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintasyang mengatur penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas agar berjalan  dengan efektif dan efisien, dengan hal-hal penting sebagai berikut: pelanggar tidak harus hadir di sidang pengadilan, kecuali pelanggar mengajukan keberatan dalam hal adanya penetapan atau putusan perampasan kemerdekaan, misalnya, pelanggar lalu lintas dihukum hakim menjalani kurungan beberapa hari di Rutan maka pelanggar berhak mengajukan keberatan di sidang pengadilan; ketentuan pelanggar tidak harus hadir di sidang pengadilan, ini dilakukan untuk menekan praktik percaloan perkara tilang.

Pada hari sidang yang sama dengan jadwal sidang sesuai dengan apa yang tertulis di kertas tilang yang dipegang pelanggar tilang–biasanya setiap hari kerja Jumat, pelanggar tilang cukup melihat besaran denda tilang di papan pengumuman Pengadilan Negeri Kotamobagu, di papan pengumuman Kejaksaan Negeri Kotamobagu, dan di situs webSistem InformasiPenelusuran Perkara Pengadilan Negeri Kotamobagu dengan alamat www.sipp.pn-kotamobagu.go.id atau di situs web www.tilang.pn-kotamobagu.go.idkemudian setelah mengetahui besaran denda tilang yang dijatuhkan Hakim, pelanggar membayar hukuman denda tilang dan biaya perkara secara tunai atau elektronik ke rekening Kejaksaan Negeri Kotamobagu melalui bank yang ditunjuk (BRI) dengan nomor rekening 0036-01-0014-85-30-9, setelah pelanggar membayar denda tilang dan biaya perkara, pelanggar menukarkan resi pembayaran denda dengan barang bukti yang disita pada saat operasi tilang (seperti SIM, STNK, dan kendaraan bermotor) di kantor Kejaksaan Negeri Kotamobagu atau Satuan Lalu Lintas Polres Kotamobagu. Tata cara penyelesaian perkara tilang ini diakronimkan menjadi 3M (MELIHAT-MEMBAYAR-MENUKAR).

Isi putusan tilang yang pelanggar akan lihat berupa daftar nama pelanggar, pasal pelanggaran, nomor plat kendaraan bermotor, jumlah denda pelanggaran, dan nama hakim serta panitera pengganti. Pengadilan Negeri Kotamobagu sudah membuat aplikasi sistem informasi perkara tilang yang dapat diunduh di play store dan bisa dilakukan instalasi aplikasi di gawai masing-masing yang bernama aplikasi Tilang Online PN Kotamobagu.

Pengadilan Negeri Kotamobagu berharap dengan adanya penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas menggunakan sarana teknologi dan informasi akan mengoptimalkan pengelolaan perkara pelanggaran lalu lintas, pelayanan publik menjadi prima, mendorong akuntabilitas penegak hukum, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan peradilan.

Penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas melalui proses tilang, persidangan, dan membayar denda tilang hanya merupakan tindakan yang bersifat insidentil dan sporadis dan kiranya bukanlah merupakan tindakan yang tepat untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dalam berlalu lintas yang baik. Usaha peningkatan dan pembinaan kesadaran hukum bermasyarakat yang utama, efektif, dan efisien adalah dengan Pendidikan baik Pendidikan formal di sekolah mulai dari Pendidikan dasar, menengah, hingga Pendidikan tinggi dan Pendidikan nonformal melalui sosialisasi aturan lalu lintas dan cara berkendara yang baik di pertemuan-pertemuan umum, surat kabar, website, radio, dan televisi.

Semoga ke depan angka pelanggaran lalu lintas dan kecelakaan lalu lintas di wilayah Bolaang Mongondow Raya dapat menurun drastis dan masyarakat lebih tertib, disiplin, dan berhati-hati dalam berlalu lintas serta mampu menciptakan kenyamanan berkendara dan keamanan bagi pengguna jalan yang lain seperti pengendara kendaraan bermotor, penumpang kendaraan bermotor, dan para pejalan kaki demi menciptakan masyarakat Bolaang Mongondow Raya yang taat hukum dan berbudaya lalu lintas yang baik.

         

Tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik

[1] Oleh Dewantoro, Hakim Pengadilan Negeri Kotamobagu. Tulisan ini dimuat di Harian Bolmong Raya, Kamis, 11 Juli 2019.


Page 3

PASCA PUTUSAN MK NOMOR 18/PUU-XVII/2019

Oleh: Raja Bonar Wansi Siregar, S.H., M.H. Hakim Pengadilan Negeri Kotamobagu

            Pemberlakukan jaminan fidusia di Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, namun pengaturannya masih berdasarkan yurisprudensi. Hal ini ditandai dengan adanya arrest HgH tanggal 18 Agustus 1932 atau yang lebih dikenal dengan sebutan arrest                   B.P.M.-CLYGNETT yang memutuskan bahwa perjanjian penjaminan dengan objek jaminan berupa mobil adalah suatu penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang sah. Oleh                 karena pengaturan jaminan fidusia belum diatur secara lengkap dan komprehensif dalam peraturan perundang-undangan sementara disisi lain praktek jaminan fidusia semakin berkembang dimasyarakat, maka dibentuklah Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk lebih mendorong pembangunan nasional dan memberikan kepastian serta perlindungan hukum (legal certainty and legal protection) bagi pihak yang berkepentingan.

            Salah satu ciri yang sangat menguntungkan bagi penerima fidusia sebagaimana diatur dalam        Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 adalah “Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (1) dicantumkan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", yang diartikan kalau Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Suatu putusan pengadilan dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde), jikalau terhadap putusan tersebut telah tertutup untuk dilakukan upaya hukum. Jadi orang yang memegang Sertifikat Jaminan Fidusia disamakan dengan orang yang telah menang berperkara di Pengadilan, berdasarkan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 

            Sebagai konsekuensi logis dari adanya title eksekutorial dalam Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut, maka berdasarkan pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang No. 42 tahun 1999 menyatakan “Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”. Adapun yang dimaksud dengan “menjual atas kekuasaan sendiri” adalah suatu bentuk “Parate Eksekusi”. Parate Ekekusi bukan merupakan suatu hal yang baru dalam pengaturan hukum jaminan di Negara kita. Dalam pasal 1155 KUHPerdata mengatur tentang adanya kewenangan yang diberikan kepada pemegang gadai untuk menjual gadai dihadapan umum jikalau pemberi gadai wanprestasi tanpa harus memenuhi suatu formalitas selain yang diatur dalam pasal 1155 KUHPerdata. Adapun tujuan pemberian kewenangan Parate Eksekusi kepada kreditur adalah untuk memberikan kemudahan kepada kreditur selaku pemegang jaminan untuk dapat mengambil pelunasan tagihannya.

             Sebagai tindak lanjut dari Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang No. 42 tahun 1999, maka dalam Pasal 29 Ayat (1b) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 diatur tentang cara penjualan benda objek jaminan fidusia oleh Penerima Fidusia atas kekuasaan sendiri, melalui pelelangan umum dimana hasil dari penjualan tersebut akan digunakan untuk melunasi sisa piutang yang ada. Dengan demikian proses eksekusi Jaminan Fidusia melalui Parate Eksekusi tidak melibatkan Pengadilan.

Dalam praktek sehari-hari pelaksanaan Parate Eksekusi tidaklah mudah, hal ini dikarenakan Pemberi Fidusia yang sejak awal tetap menguasai objek jaminan tersebut (constitutum possessorium), tidak mau secara sukarela menyerahkan objek jaminan kepada Penerima Fidusia, pada hal berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 menyatakan “Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia”. Untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia melalui parate eksekusi, maka berdasarkan penjelasan umum Pasal 30 tersebut menyatakan “Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang”.

Menindaklanjuti ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tersebut, maka telah dikeluarkan beberapa peraturan yang berkaitan dengan prosedur Parate Ekskusi yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 35 /Pojk.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan dan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 02/KN/2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.

1

Pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia

1. Permohonan pengamanan eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diajukan dengan melampirkan:

a.   salinan akta jaminan fidusia;

b.   salinan sertifikat jaminan fidusia;

   c. surat peringatan kepada Debitor untuk  memenuhi kewajibannya;

d.   identitas pelaksana eksekusi; dan

e.   surat tugas pelaksanaan eksekusi.

2. Surat peringatan kepada Debitor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah diberikan sebanyak 2 (dua) kali, yang dibuktikan dengan tanda terima.

 2

Pasal 50 Peraturan Otoritas                        Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 35 /Pojk.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan

1.      Eksekusi agunan oleh Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 

a.  Debitur terbukti wanprestasi;

b.  Debitur sudah diberikan surat peringatan; dan

  c. Perusahaan Pembiayaan memiliki sertifikat jaminan fidusia, sertifikat hak tanggungan, dan/atau sertifikat hipotek.

2.      Eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur masing-masing agunan

3

Pasal 6 Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 02/KN/2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang

a.       Dokumen persyaratan lelang eksekusi jaminan fidusia yang bersifat umum yang disampaikan pada saat permohonan lelang antara lain:

-       Salinan/foto copy Perjanjian Pokok

-       Salinan/foto copy Sertifikat Jaminan Fidusia dan Akta Jaminan Fidusia

-       Salinan/foto copy perincian hutang

-       Salinan/foto copy bahwa :

i.        Debitor wanprestasi antara lain surat-surat peringatan atau

ii.      Salinan penetapan/keterangan tertulis dari Hakim Pengawas

-       Surat pernyataan dari penjual bahwa barang yang akan dilelang dalam penguasaan penjual kecuali objek lelang merupakan benda tidak bergerak berupa bangunan yang menurut ketentuan dapat dibebani fidusia

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan ketiga aturan tersebut mengatur secara ketat tentang syarat yang harus dipenuhi oleh Penerima Fidusia dalam melakukan eksekusi Jaminan Fidusia antara lain: harus melampirkan Salinan Akta Jaminan Fidusia, Salinan Sertifikat Jaminan Fidusia, Salinan Perjanjian Pokok, Salinan Perincian Hutang Debitur dan Surat Peringatan kepada Debitur untuk memenuhi kewajibannya.

Akhir-akhir ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 18/PUU-XVII/2019 telah membawa perubahan yang mendasar terhadap penyelenggaraan usaha Perusahaan Pembiayaan (mutifinance) terlebih khusus menyangkut pelaksaanaan Parate Eksekusi. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan pelaksanaan parate eksekusi hanya dapat dilaksanakan oleh kreditur sendiri sepanjang diantara kreditur dan debitur terdapat kesepakatan tentang cidera janji dan debitur secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia tersebut kepada kreditur. Dengan kata lain jikalau diantara kreditur dan debitur tidak ada kesepakatan tentang cidera janji tersebut dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menyatakan adanya permasalahan konstitusionalitas dalam norma Pasal 15 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 42 tahun 1999 yaitu ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi dan kepastian tentang waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), apakah sejak adanya tahapan angsuran yang terlambat atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang sudah harus dilunasinya. Ketidakpastian demikian juga berakibat pada timbulnya penafsiran bahwa hak untuk menentukan adanya “cidera janji” dimaksud ada di tangan kreditur (penerima fidusia). Adanya ketidakpastian hukum demikian dengan sendirinya berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri dan kesempatan untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, syarat yang harus dipenuhi oleh penerima fidusia dalam menjual objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri adalah jika debitur cidera janji. Artinya hak dari penerima fidusia untuk melakukan eksekusi menjadi sempurna, ketika debitur telah melakukan wanprestasi. Untuk menentukan adanya wanprestasi maka harus merujuk pada pasal 1155 KUHPerdata yang isinya menyebutkan ”Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain, maka jika debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti, kreditur berhak untuk menjual barang gadainya dihadapan umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan tujuan agar jumlah utang itu dengan bunga dan biaya dapat dilunasi dengan hasil penjualan itu. Bila gadai itu terdiri dan barang dagangan atau dan efek-efek yang dapat diperdagangkan dalam bursa, maka penjualannya dapat dilakukan di tempat itu juga, asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam bidang itu.” Dengan demikian penerima fidusia tidak bisa secara sepihak menentukan adanya wanprestasi yang telah dilakukan debitur, tanpa adanya kewajiban yang tidak dipenuhi oleh debitur sebagaimana dalam perjanjian kredit yang telah disepakati. Bahkan dalam praktek saat ini, setelah debitur tidak memenuhi kewajibannya, maka dari pihak penerima fidusia akan mengirimkan surat peringatan kepada debitur untuk memenuhi kewajiban debitur tersebut. Syarat-syarat seperti: Salinan Akta Jaminan Fidusia, Salinan Sertifikat Jaminan Fidusia, Salinan Perjanjian Pokok, Salinan Perincian Hutang Debitur dan Surat Peringatan kepada Debitur untuk memenuhi kewajibannya, harus dipenuhi terlebih dahulu oleh penerima fidusia baru bisa melaksanakan parate eksekusi dengan bantuan pihak terkait seperti Polri dan KPKNL. Jikalau syarat tersebut tidak dipenuhi, pasti pihak terkait tidak akan menindaklanjuti permohonan               parate eksekusi tersebut. Adanya pihak KPKNL yang akan melakukan penjualan objek jaminan fidusia melalui pelelangan umum, akan lebih memperkuat akuntabiltas dalam mendapatkan harga jual yang wajar.  

Di dalam praktek tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh penerima fidusia, baik dalam menentukan adanya wanprestasi yang tidak sesuai dengan kesekapatan maupun dalam melakukan pengambilan objek jaminan yang bertentangan dengan hukum. Terhadap hal tersebut debitur dapat mempergunakan haknya untuk membela diri dengan mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) di Pengadilan.

  Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi, maka bisa dipastikan pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia akan dilaksanakan oleh Pengadilan, hal tersebut dikarenakan syarat bagi penerima fidusia untuk dapat melakukan parate eksekusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi sangatlah sulit untuk dipenuhi. Adanya kesadaran (awareness) dari debitur untuk menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia kepada kreditur sangatlah sulit diwujudkan, sekalipun telah ada kesepakatan tentang cidera janji. Untuk itu diharapkan kepada Pengadilan untuk dapat mempersiapkan diri baik dari segi prosedural, personil maupun perhitungan biaya dalam menindaklanjuti setiap permohonan eksekusi jaminan fidusia yang diajukan, dengan tetap memperhatikan salah satu ciri Jaminan Fidusia yaitu kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 15 Ayat (3)                   Undang-Undang No. 42 Tahun 1999.   

Tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik
  


Page 4

MENILIK PENERAPAN PRINSIP “EXCLUSIONARY RULES” DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

Oleh: Giovani, S.H.

Hakim Pengadilan Negeri Kotamobagu

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah mengamanatkan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.[1] Konsekuensi logis dari pasal tersebut menunjukkan bahwa semua warga negara Indonesia harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Penjabaran lebih spesifik mengenai pasal ini terlihat pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”,[2] yang notabene memberikan penegasan bahwa “equality before the law” adalah hak konstitusional seluruh Warga Negara Indonesia, tidak terkecuali bagi Terdakwa yang sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan.

Proses persidangan layaknya arena pertarungan bagi seorang Terdakwa karena disitulah penentuan “hidup” Terdakwa, apakah dinyatakan bersalah atau tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana. Penentuan tersebut memberikan dampak yang nyata bagi Terdakwa, bila terbukti bersalah akan dijatuhkan hukuman yang harus ditanggungnya, termasuk stigma negatif yang melekat pada diri Terdakwa apabila kembali di lingkungan masyarakat, begitupun sebaliknya bila terbukti tidak bersalah maka Terdakwa memiliki hak untuk dipulihkan harkat dan martabatnya oleh negara. Itulah salah satu esensi mengapa dalam hukum acara pidana tujuan yang dikehendaki adalah mencari kebenaran materil dari suatu peristiwa pidana.

Mencari kebenaran materil tentunya tak dapat dipisahkan dengan proses persidangan khususnya pada tahap pembuktian oleh Majelis Hakim. Pembuktian adalah tahap esensial karena pada proses inilah akan dibuktikan apakah Terdakwa benar telah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan kepadanya, sehingga peran alat bukti menjadi fokus utama dalam proses ini. Ketentuan mengenai “alat bukti yang sah” diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa.

Kapankah suatu alat bukti dikatakan sah?apakah hanya berdasarkan klasifikasi jenis alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHAP?bagaimana jika alat-alat bukti yang diajukan cara perolehannya bertentangan dengan hukum?Terkait hal tersebut ada suatu prinsip mengenai cara perolehan alat bukti yang dikenal dengan istilah “Exclusionary rules” (selanjutnya disebut Ex Rules). Secara umum, Ex Rules adalah doktrin yang mewajibkan hakim untuk mengesampingkan alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum (alat bukti menjadi tidak sah) dalam persidangan. Prinsip Ex Rules pada dasarnya berasal dari sistem common law yang menerapkan sistem jury dalam proses persidangannya. Konsekuensi lebih lanjut, apabila bukti tersebut diperoleh dengan jalan yang tidak sah maka demi hukum bukti yang diperoleh secara tidak sah tersebut haruslah tidak diperhitungkan dalam pemeriksaan di pengadilan. Dalam beberapa literatur, dikenal dengan istilah Exclusionary Discretion. Phyllis B. Gerstenfeld memberi definisi Ex Rules sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya bukti yang diperoleh secara melawan hukum.[3]

Praktik penerapan Ex Rules dapat dilihat di beberapa negara, salah satunya yaitu pada kasus Mapp v. Ohio di Amerika pada tahun 1961. Pada perkara ini, muncul suatu kaidah hukum terkait perolehan alat bukti berupa pentingnya menegakkan dan mengefektifkan larangan atas penggeledahan dan penyitaan yang bertentangan dengan hukum, dan untuk menjamin itu pengadilan tidak akan membiarkan aktivitas inkonstitusional dalam penggeledahan dan penyitaan dan untuk memberikan efek takut kepada pelaku aparat yang menyimpang dalam bentuk menolak seluruh alat bukti yang diperoleh secara tidak sah.[4] Sedangkan di Jerman Ex Rules diterapkan secara khusus untuk pernyataan yang diperoleh melalui kekerasan, perlakuan ilegal dan perbuatan lain yang dilarang. Jerman lebih fokus terhadap pelanggaran dalam interogasi dibandingkan dengan penggeledahan dan penyitaan. Adapun di Taiwan penggunaannya dikenal dengan discretionary rules sebagai bentuk balancing pengadilan dalam mengesampingkan bukti dari sudut pandang hak asasi manusia dan kepentingan umum.[5]

Bagaimana dengan Indonesia?apakah sistem kita mengenal prinsip ini?

Sejatinya, istilah Ex Rules belum dikenal dalam sistem peradilan pidana kita. Ketentuan mengenai pembuktian dalam KUHAP mengatur tentang jenis-jenis alat bukti dan cara menilai alat bukti sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 sampai dengan Pasal 189 KUHAP. Terkait cara menilai alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, apakah termasuk penilaian terhadap cara perolehan alat bukti yang diajukan di persidangan?Sebagai contoh, apabila bukti yang diajukan berupa surat yang kemudian belakangan diketahui bahwa surat yang diajukan di persidangan diperoleh secara melawan hukum, yaitu dengan cara mengambil tanpa izin. Jika merujuk pada Pasal 187 KUHAP, diketahui bahwa pasal tersebut hanya menguraikan tentang jenis-jenis surat yang dapat dijadikan sebagai alat bukti, bukan mengenai cara menilai bagaimana perolehan alat bukti surat tersebut. Lantas, kapankah hakim dapat melakukan penilaian terhadap cara perolehan alat bukti yang diajukan di persidangan?apakah hakim harus secara aktif menanyakan kepada Penuntut Umum ataupun Penasihat Hukum perihal cara mereka memperoleh alat bukti tersebut?

Jika melihat praktek di negara lain, Hakim mulai aktif melakukan penilaian tersebut manakala pada saat diajukannya alat bukti, apakah oleh Penuntut Umum atau Penasihat Hukum, maka salah satu diantara mereka akan mengajukan keberatan dan meminta Hakim untuk menilai bagaimana cara perolehan alat bukti tersebut. Dengan kata lain, Hakim baru menilai apabila ada permintaan dari salah satu pihak. Hal ini sering dilakukan karena adanya peran aktif dari para pihak. Sedangkan, dalam proses peradilan kita, peran aktif tersebut jarang diperlihatkan, bahkan sanggahan dari para pihak biasanya diwujudkan dalam bentuk memberikan alat bukti lainnya, bukan permintaan untuk melakukan kroscek mengenai cara perolehan alat bukti yang diajukan oleh pihak lawan.

Prinsip Ex Rules sangat berkaitan dengan HAM, dimana dalam KUHAP sendiri menjunjung tinggi HAM dari Terdakwa. Kedepannya prinsip ini akan menjadi bagian penting dalam memenuhi hak konstitusional dari Terdakwa sehingga penerapannya perlu didukung dengan regulasi dalam Sistem Peradilan Pidana kita sebagai bentuk akomodir terhadap hak-hak Terdakwa yang posisinya cenderung lebih lemah dari aparat penegak hukum.

Tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016

Ichsan Zikry. S.H. 2014, Mengenal Exclusionary Rules, LBH Jakarta, diakses dari https://bantuanhukum.or.id/mengenal-exclusionary rules/#:~:text=Sejarah%20Singkat%20Exclusionary%20Rules,diformulasikan%20diantara%20tahun%201914%2D1969, diakses pada tanggal 31 Januari 2021.

[1] Lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

[2] Lihat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

[3] Pendapat ahli Prof. Dr. Eddy OS Hiariej, S.H., M.Hum. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016. hlm. 39.  

[4] Ichsan Zikry. S.H. 2014. Mengenal Exclusionary Rules, LBH Jakarta, diakses dari https://bantuanhukum.or.id/mengenal-exclusionary rules/#:~:text=Sejarah%20Singkat%20Exclusionary%20Rules,diformulasikan%20diantara%20tahun%201914%2D1969. diakses pada tanggal 31 Januari 2021.

[5] Ibid.


Page 5

Tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik

Tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik

Tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik

Indeks Kepuasan Masyarakat

Tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik

Indeks Persepsi Anti Korupsi

Tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik

Prosedur Permohonan Eksekusi

Tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik

Tata cara untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik